A Lot Like Love

Ch.1

Hujannya masih deras saat itu, tapi ia tetap ingin melangkah menyusuri setiap tetes air hujan tanpa benda pelindung sedikitpun yang menghalau air hujan untuk membasahi seluruh pakaiannya yang sudah terlihat lusuh. Hanya sebuah kemeja hitam dengan dominasi warna putih pada bagian kerahnya dan juga celana jeans yang sama hitam dengan kemeja yang sangat pas ditubuh kecilnya itulah yang menjadi penangkal dari suhu udara dingin diluar sana bersama dengan sneakers hitam yang melekat pada kaki jenjangnya. Musim dingin disertai hujan deras tentu saja sangatlah dingin bagi semua orang, tapi entah tubuhnya saja yang sudah kebal atau ia memang berupaya menahan suhu dingin yang menusuk itu. Beberapa orang menatapnya heran, pakaiannya benar-benar tidak seperti remaja pria pada umumnya yang akan mengikuti trend setiap waktunya dengan mengenakan berbagai jenis pakaian bagus dan juga rapi. Tapi pria mungil itu berbeda, kemejanya sudah cukup lusuh dan bahkan ada beberapa bagian yang akan koyak, warnanya juga sudah pudar. Ia masih disana, melangkah dengan sedikit tergesa dengan tatapan paniknya, sesekali ia tak sengaja menyenggol bahu atau tubuh oranglain hingga orang itu berteriak, menyumpahinya dengan kata-kata kasar yang bahkan tidak ia ketahui apa artinya. Tapi langkah kakinya terhenti begitu saja di tepian jalan saat indera pendengarannya mendengar suara anak kucing yang mengeong dengan keras, dan ia tertegun begitu saja. Manik hitamnya mulai mencari ke segala arah dengan wajah risaunya hingga pada akhirnya pandangan matanya terjatuh pada seekor kucing kecil berbulu putih dengan dominasi warna abu-abu dengan keadaan basah kuyup sambil berputar-putar mencari jalan.

Maka pria kecil itu memiliki inisiatifnya sendiri dengan melangkah begitu saja menghampiri anak kucing disana, memeluk tubuh mungil yang gemetar itu sambil mengusap-usap kepalanya yang basah. Tapi untuk beberapa detik saja ia mengalihkan pandangan matanya dari anak kucing itu menuju cahaya terang yang menyilaukan kedua manik hitamnya itu mulai mendekat dan semakin terang. Membuat ia menyipitkan matanya saat cahaya terang itu menyakiti matanya dan ia terbelalak. Dekapannya pada anak kecil itu semakin mengerat seiring dengan mendekatnya cahaya terang yang berasal dari sebuah benda besar yang mendekat ke arahnya. Ia dengar suara keras itu, tapi ia tak kunjung pergi dari sana barang selangkahpun. Tubuhnya bahkan terlalu kaku hanya sekedar untuk bergerak, dan ia tak bisa pergi.

1 detik..2 detik.. 3 detik..

BRUKK!

Dan ia mendapati posisinya yang baru saja terbentur dengan kerasnya jalan trotoar di samping tubuhnya sekarang, masih dengan kucing kecil itu di pelukannya. Kepalanya mendongak, dan ia menemukan seseorang disana.

"Hei! Kau mau mati ya?!"

A Lot Like Love

A Story by Yutaeil_14

Pairing: Johnny Seo x Ten Chittaphon (JohnTen)

Genre: Romance, BL, Friendship, Family.

Summary: Untuk yang pertama kalinya Johnny dipertemukan dengan seorang anak polos yang selalu ingin berada didekatnya setiap saat.

Rated: T

WARNING: Typo(s), Yaoi content, and other.

###

Yang lebih kecil tak memberikan jawaban, terdiam dalam posisi terduduk sambil menatap yang lebih tinggi dengan mata membesar. Dan semuanya hanya berjalan singkat saja sampai pada akhirnya ia merubah posisinya menjadi setengah berdiri dengan mata semakin membesar ketika kedua manik hitam itu menemukan sebungkus roti yang tinggal setengah dalam genggaman tangan lelaki jangkung itu. Lantas yang lebih tinggi menatap wajah itu sebentar lalu beralih pada roti isi coklat ditangannya, menggerakannya kesana-kemari dan pria kecil itu mengikutinya kemanapun. Dan gerakan terakhir yang diberikan oleh yang lebih tinggi adalah mengangkat roti itu ke hadapan wajahnya dan tatapannya berhenti disana. Dan untuk detik berikutnya pria kecil disana beralih menatap wajahnya, masih tak bicara.

"Kau mau ini?". Mengulurkan tangan yang menggenggam roti ke depan wajah pria kecil itu dan ia mengangguk cepat sambil mengusap-usap kepala kucing kecil yang masih tak dilepaskan.

"Baiklah, kau bisa ambil ini.". Menghela nafas panjang kemudian memberikannya pada pria kecil yang langsung melahapnya dengan cepat dan pria jangkung itu tersenyum sambil menggedikan bahunya. Terbangun dari posisinya kemudian melangkah pergi dari sana.

1 langkah.. 2 langkah.. 3 langkah..

Dan pria kecil itu mengikutinya dengan cepat, berlari kecil kemudian menyamakan langkahnya dengan pria jangkung di sebelahnya hingga pria itu akhirnya berhenti, memberikan tatapan heran.

"Kenapa mengikutiku? Aku tidak punya roti lagi, kau pulang saja kerumahmu. Aku harus pulang karena ini sudah malam. Jangan ikuti aku lagi ya..".

Kembali melangkah pergi

"Miaaww"

Dan lagi-lagi langkahnya terhenti, ia menolehkan kepalanya kebelakang dan ia menemukan pria kucing itu disana. Masih mengikutinya.

"Hei.. kenapa masih mengikutiku?". Bicara dengan nada lembut dengan seulas senyuman tipis.

"Jangan ikut". Bicara dengan nada sedikit mengancam, memperingatkan pria mungil itu untuk tidak mengikutinya. Tapi pria kecil itu terlihat tak mengerti, atau mungkin memang tak mau mengerti. Itu terlihat dari langkah kakinya yang kembali mengekori yang lebih tinggi dengan berjalan santai dengan kucing putih yang diselamatkannya tadi. Dan itu membuat pria dengan nama Johnny itu mempercepat langkahnya sedikit demi sedikit hingga berakhir dengan acara kejar-kejaran antara keduanya.

"Jangan ikuti aku!".

Tapi pria kecil itu masih tak mau berhenti, justru semakin mempercepat kedua kakinya menyusuri setiap tepian jalan yang dilaluinya.

"Jangan ikut—"

BRUUKK

Dan langkahnya melambat secara perlahan hingga akhirnya terhenti, menolehkan kepalanya kebelakang dan ia mendapati pria kecil itu tersungkur ke jalanan yang kasar sambil meringis pelan. Anak kucing itu terlepas dari pelukannya, tapi tak pergi barang satu langkah pun dari pria kecil itu. Maka Johnny punya inisiatifnya sendiri dengan memilih berbalik arah daripada menghindari pria kecil yang terus mengekorinya sejak tadi. Ia merendahkan tubuhnya dengan sedikit membungkuk, mengulurkan kedua tangannya kehadapan pria itu kemudian mengangkat tubuh kecilnya untuk sekedar duduk.

"Hei, kau tak apa?"

Hanya suara rintihan yang terdengar. Pria kecil itu terus menatap salah satu lututnya yang tergores hingga membuat torehan luka yang agak lebar, tapi ia tak menangis sedikitpun. Hanya berusaha untuk mengusapnya pelan kemudian sebelah tangannya yang lain beralih ke arah wajahnya. Menyentuh pipi kanannya pelan dan ia kembali merintih karena menyentuh luka goresan disana.

"Maaf, kau jadi seperti ini karena mengejarku."

Tak ada respon.

"Aku 'kan sudah bilang jangan ikut, tapi kau masih saja tak mau dengar."

Masih tak ada jawaban, lantas Johnny mengalihkan pandangannya, menatap pria kecil itu dengan wajah heran.

"Aku tidak pernah mendengar suaramu sejak tadi. Kau tidak bisa bicara atau—"

"Aku bisa..". Dan Johnny sedikit tersentak.

"Lalu kenapa kau tidak bicara sejak tadi?"

Mengangkat kepalanya kemudian menatapnya lagi dengan mata membesar.

"Karena aku tidak tahu mau bilang apa."

Dan lagi-lagi Johnny dibuat keheranan dengan sikap pria dihadapannya itu. Tapi ia tak terlalu ambil pusing, lantas mendekatkan wajahnya hingga yang lebih kecil sedikit memundurkan tubuhnya.

"Boleh aku tahu siapa namamu?"

Hanya mengerjap.

"Nama?"

"Ya.. siapa namamu"

"Tidak tahu"

Dan untuk yang kedua kalinya Johnny tersentak pelan.

"Kenapa begitu?"

"Tidak tahu".

Johnny tak bicara setelahnya, yang ia lakukan hanya memperhatikan sosok itu dari atas hingga bawah secara rinci. Matanya cukup indah, hidungnya sangat menarik, dan bibirnya sangat cantik. Lalu bagaimana bisa pria secantik ini bisa tak mengenal namanya sendiri? Tapi berikutnya kedua manik coklatnya menjurus pada sebuah kalung perak yang mengalungi leher jenjangnya. Dan itu bukan kalung biasa, ada sebuah petunjuk penting disana yang membuat Johnny kemudian tersenyum simpul.

"Namamu Ten?"

"Tidak tahu"

"Tapi kalung ini menjelaskannya padaku. Namamu Ten, okay? Jadi jangan bingung sendiri saat orang lain bertanya siapa namamu nanti."

Memberi anggukan pelan.

"Baiklah, beritahu aku siapa namamu?"

"Ten.."

"Bagus, kau sudah tahu siapa namamu sekarang. Tapi omong-omong, kenapa kau mengekoriku terus? Memangnya kau tidak punya tempat tinggal?"

"Tempat tinggal itu apa?"

"Apa?"

"Tempat tinggal itu yang bagaimana? Bisa beritahu aku?"

"Bagaimana bisa kau tidak tahu apa itu tempat tinggal? Memangnya selama ini kau hidup di pinggir jalan atau apa? Dengar ya.. kau lihat itu?"

Mengarahkan jari telunjuknya ke arah sebuah rumah kecil dengan cat berwarna biru di ujung jalan, dan Ten mengikutinya.

"Itu namanya rumah. Disana sangat nyaman. Kau bisa tidur, mandi, berteduh, makan.. "

"Makan?"

"Ahaa.."

"Aku mau makan"

"Kau lapar?"

Kembali menganggukkan kepalanya dengan wajah memelas sambil memegangi perutnya.

"Aku mau yang tadi itu"

"Roti isi coklat?"

"Apa roti isi coklat itu yang kau makan tadi?"

"Ya.. yang aku berikan padamu itu namanya roti coklat. Kau mau itu?"

"Aku mau, tapi kau bilang sudah habis kan?"

"Kita bisa membelinya di toko nanti."

"Tapi nanti kau memarahiku kalau aku ikut."

"Tidak, aku tidak akan marah. Kalau kau memang tidak punya tempat tinggal kau bisa tinggal denganku."

Membuat Ten tersenyum lebar setelahnya.

"Apa dia bisa ikut?"

Mengangkat tubuh kucing kecilnya ke udara, lebih tepatnya ke hadapan Johnny. Dan pria jangkung itu mengangguk sambil mengusap-usap bulu putih itu dengan perlahan.

"Ya.. kau bisa."

.

.

.

-Sweetness Chocoville

Dering lonceng di dekat pintu masuk berdering, menghasilkan deringan singkat yang bahkan mampu memikat perhatian Ten dengan berhenti begitu saja didepan pintu sambil memperhatikan lonceng kecil keemasan itu. Sebelah tangannya terulur ke atas, hendak menyentuh benda itu tapi Johnny melarangnya dengan menarik tangannya yang terulur ke atas dan membawanya pergi dari sana.

"Yang tadi itu apa?"

"Itu lonceng, memangnya kenapa? Kau tidak pernah lihat?"

Menjawab dengan sebuah gelengan pelan.

"Kau mau lonceng seperti itu juga?"

Menghentikan langkahnya kemudian menatap Johnny dengan wajah hpolos.

"Memangnya aku bisa dapat lonceng seperti itu?"

"Ya.. akan aku belikan untukmu lain waktu.". Melanjutkan langkah kakinya menyusuri toko kue yang besar itu.

"Oh iya Ten.. kau ingin— Ten?"

Dan ia tak menemukan pria kecil itu disampingnya. Dan itu membuatnya mau tak mau harus berbalik arah untuk mencari anak itu sesegera mungkin sebelum ia membuat masalah.

"Ten..". Dan ia menemukan pria itu di balik rak kue berlapis coklat dengan sebuah roti yang sudah hampir separuh dimakan.

"Kenapa?".

"Itu…Ten, Kau pikir kau sedang apa sekarang?"

"Makan kue coklat"

"Kenapa?"

"Karena aku suka". Dan untuk yang kesekian kalinya pria itu menjawab setiap detail pertanyaannya dengan wajah polosnya.

"Kau harus membayarnya Ten, tidak boleh makan sebelum bayar. Memangnya apa saja yang telah kau lakukan selama ini hah?"

"Aku menyelamatkan kucing ini". Menunjukan kucing putih itu lagi.

"Yang lain?"

"Aku menyelamatkan kucing"

"Lupakan saja. Sekarang ayo pergi dari sini dan kita cari kue yang lain. Jangan makan sebelum membayar"

Dan Johnny menarik lengan kurus milik Ten dengan sedikit tergesa-gesa agar pria kecil itu tak pergi lagi dan berakhir dengan memakan kue ditoko seperti yang dilakukannya barusan.

"Baiklah, tunggu disini. Aku akan mengambil beberapa kue sebentar."

5 Minutes Later…

"Ten?"

Yang dipanggil membalikan tubuhnya dan ia menemukan sosok Johnny dengan sebuah keranjang kecil berisi beberapa kue didalamnya.

"Kau sedang apa?"

Lantas Ten mengangkat sebelah tangannya kehadapan wajah Johnny dengan sebungkus kue coklat yang ia temukan di bagian rak di dekat etalase.

"Mau makan?"

"Kau membukanya lagi?!"

.

.

.

TBC? END? DELETE?

Maaf kalo gak suka sama ceritanya, karena setidaknya saya sudah berusaha -_-..