Doyoung terengah-engah. Keringat dingin mengalir deras membuat baju tidur yang dikenakannya terasa lembab. Dengan tangan gemetar ia mengusap air mata yang mengalir tanpa ia sadari. Diliriknya jam dinding, masih pukul setengah satu pagi. Ia merapikan selimut Taeil yang sedikit melorot akibat ia yang terbangun tiba-tiba. Doyoung mimpi buruk, rasanya seperti nyata. Jantungnya bahkan masih berdetak tidak karuan.

Dengan pelan, ia turun dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar lain dimana sang putra tengah tertidur lelap. Doyoung tersenyum tipis, ia membaringkan diri disamping Haechan, mengusap keningnya lembut dan mengecupnya hati-hati.

Doyoung takut untuk kembali tidur, mimpi tadi sangat mengganggunya. Kehilangan Haechan adalah hal yang sangat tidak ia inginkan. Membayangkannya saja ia tidak mau. Mata Doyoung kembali berkaca-kaca. Hatinya resah secara tiba-tiba. Ia mengeratkan pelukannya pada Haechan, tak ingin siapapun mengambil anak itu darinya.

"Haechanie….." panggil Doyoung. Ia membiarkan buliran airmata yang sedari tadi ditahannya menetes. "Kau tidak akan meninggalkan eomma kan?" lirihnya.

"Katakanlah….." Doyoung tak puas bicara seorang diri. "Katakanlah kau akan sering kesini… Minggu depan, bulan depan….." Doyoung terisak, entah kenapa ia tidak bisa berhenti "Kita … hiks… akan merayakan tahun baru bersama.. Ulang tahunmu… Natal bersama….."

Doyoung memejamkan mata, senggukannya terdengar lirih. Hatinya tahu ada sesuatu yang salah. Namun ia tidak berani menduga-duga.

"Kau mungkin bukan putra kandungku…." Pria itu mengigit bibir, ia mengusap kening Haechan yang basah oleh air matanya. Anak itu masih terlelap dengan nyenyak tidak terganggu sama sekali dengan tangisan Doyoung. "Tapi aku sangat menyayangimu…."

"Aku mungkin bukan Ibu kandungmu…. Tapi aku berharap bisa menjadi orang yang selalu ada untukmu….."

Doyoung terengah, isakannya semakin keras walau ia berusaha menahannya.

"Haechanie... Di kehidupan selanjutnya nanti, maukah kau menjadi putraku?"

.

.

HURT ME

.

.

Jarum suntik itu terasa sedikit menyengat di kulit ketika mengambil beberapa cc darah. Haechan sering merasakannya, jadi ia tidak ada masalah dengan benda yang sangat ditakuti saudara kembarnya itu. Ia mengucapkan terima kasih kepada perawat yang bertugas lalu mengambil selembar tissue untuk membersihkan jelly khusus yang diusapkan di dadanya.

Haechan baru saja melakukan berbagai pemeriksaan yang akan dipersiapkan untuk operasi besok. Dilangkahkan kakinya menuju kamar VVIP di ujung ruangan. Ia mengintip sebentar melalui jendela yang tidak tertutup gorden, memastikan apakah orangtuanya ada disitu. Ia tersenyum tipis ketika netranya hanya menemukan Jaemin yang sedang mengerucutkan bibir. Terlihat jelas bahwa anak itu sedang kesal.

CEKLEK

"Kukira kau sudah lupa kalau punya saudara"

Rajukan Jaemin membuat Haechan tertawa. Ia semakin cepat melangkahkan kaki menuju ranjang rawat saudaranya.

"Wae? Kau merindukanku?" tanya Haechan. Ia menusuk pipi tembam Jaemin dengan telunjuknya, membuat anak itu semakin merengut sebal.

"Tidak mungkin aku merindukanmu…." Elak Jaemin. Namun tubuhnya tidak bisa berbohong, tangannya merentang sangat lebar.

Haechan tertawa lagi. "Katanya tidak rindu… Kenapa posemu minta dipeluk begitu?" goda Haechan. Yatuhan Jaemin ini menggemaskan sekali ngomong-ngomong.

"Ughh…. Kau itu menyebalkan sekali sih… Cepat peluk!" titah Jaemin.

GREP

"Adikku ini sangat lucu sekali….." kata Haechan.

"Haechanie~ Aku merindukanmu…." Kata Jaemin setelah melepas pelukannya. "Setelah ini jangan pergi-pergi lagi ya…."

Haechan terdiam, ia mengusak surai Jaemin lalu membaringkan tubuh diatas kasur. Jaemin memandang saudara kembarnya itu dengan bingung. Ia kembali mengerucutkan bibir karena sebal Haechan tak menanggapi permintaannya.

"Kenapa tidak menjawab~" Jaemin merajuk. Gantian ia yang mencubit pipi Haechan sampai anak itu memekik sakit.

"Jangan cubit-cubit…. Bagaimana bisa Lee jenomu itu betah punya pacar sepertimu" kata Haechan sambil mengusap pipinya yang terasa sakit.

Jaemin menunduk, ia yakin wajahnya sudah memerah. "A –aku tidak. Si –siapa pacaran…." Katanya terbata-bata. Ia merutuki mulutnya yang tiba-tiba gagap. Lee Jeno adalah sebuah topik yang selalu membuat jantungnya berdetak kencang. Dan sialnya Haechan suka sekali menggodanya dengan anak laki-laki bermata sipit itu.

"Mengaku sajalah~ Aku merestuimu kok dengan dia"

Haechan yang melihat Jaemin salah tingkah terpingkal-pingkal. Ia sampai memeluk perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. Wajah Jaemin semakin memerah. Bahkan telinganya ikut berubah warna.

"Ish… Kami tidak pacaran. Jeno itu sahabatku. Lagipula aku mungkin saja tidak bisa bangun lagi setelah operasi besok." Kata Jaemin pelan

Haechan mendadak terdiam. Ia paling tidak suka jika Jaemin mulai berpikiran buruk tentang kondisinya. Ia bangun dari tidurnya, menepuk pundak Jaemin hingga saudaranya itu menoleh dan menatapnya.

"Kau akan sembuh… Kupastikan itu… Jangan pernah berbicara seperti itu lagi. Arrachi?" kata Haechan.

Jaemin mengulum senyum. Hatinya penuh rasa syukur. Memiliki Haechan sebagai saudara seperti hadiah yang diberikan Tuhan untuknya. Haechan selalu ada, menyemangati dan memberinya kekuatan. Maka ia mengangguk kecil agar binar terluka di mata Haechan menghilang.

"Boys….. Kalian sedang apa? Sepertinya serius sekali"

Keduanya menoleh saat seseorang berbaju putih masuk ke dalam ruangan dengan tangan yang membawa beberapa perlengkapan pemeriksaan.

"KUN AHJUSSI…." Pekik Haechan senang. Ia melompat turun dari tempat tidur dan segera memeluk dokter tampan itu.

"Lepaskan pelukanmu bocah… Mau sampai kapan kau memelukku? Aku harus melakukan sedikit pemeriksaan pada Jaemin ngomong-ngomong" kata Dokter Kun, tapi dokter itu sendiri juga tidak segera melepaskan pelukan keduanya. Malah ia mengusap surai anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti putranya sendiri itu dengan lembut.

Jaemin yang melihat keduanya tertawa, namun anak itu segera mengerutkan kening karena bingung

"Kalian sudah saling mengenal?"

Pertanyaan Jaemin sukses membuat jantung Haechan berdetak kencang. Ia buru-buru melepas pelukannya. Anak itu menangkap raut wajah Kun yang tegang untuk sesaat, namun dokter itu segera tersenyum dan mulai menjelaskan.

"Kami memang saling mengenal Jaeminie…." Kata Kun. "Kau tidak tahu eoh? Saudaramu itu terkadang menjengukmu ke rumah sakit ketika kau check up atau dirawat disini…" jelasnya. Ia mengusap surai Jaemin lembut, menenangkan pikiran anak itu yang sudah pasti kemana-mana.

Haechan tersenyum, ia menunduk. Yang dikatakan Kun ahjussi tidak sepenuhnya salah. Ia memang selalu mengikuti Jaemin kerumah sakit ini. Hanya saja ia tidak mungkin mengatakan pada saudaranya itu, bahwa ketika Jaemin melakukan check up, maka hal yang sama juga terjadi padanya.

Sejak kecil ia juga mendapatkan perlakuan yang sama dengan Jaemin. Ia akan diperiksa, diambil darah, dilakukan rontgen dan segala pemeriksaan lain untuk memastikan bahwa kodisinya dalam keadaan baik. Jika sang kembaran dirawat karena kondisinya kembali menurun. Maka ia juga harus bersiap jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk melakukan operasi.

Haechan selalu ada bersama Jaemin tanpa anak itu sadari. Tidak salah jika ia juga mengenal Kun dan menjadi dekat dengan dokter itu. Bahkan ia juga sering bermain bersama Chenle –putranya.

"Haechan kau jahat!" teriak Jaemin. "Kenapa tidak pernah bilang kalau kau menjengukku. Aku kesepian asal kau tahu…." lirihnya kemudian.

Haechan merasa bersalah. Ia berjalan menuju Jaemin dan mengusak rambut Jaemin penuh sayang "Maafkan aku… Kalau aku mendatangimu, kau pasti tidak akan bisa istirahat. Kita akan bermain terus. Dan kau tahu sendiri kan itu tidak baik untukmu" terang Haechan. Ia tidak bisa melihat raut kecewa Jaemin yang tercetak jelas di wajah yang selalu pucat itu.

"Sekarang biarkan Dokter Kun memeriksamu, kau harus istirahat setelah ini. Aku akan kembali lagi sore nanti."

Ada raut tidak rela di wajah Jaemin. Ia hendak melarang Haechan untuk pergi, ia masih rindu dengan anak itu. Namun senyuman di wajah Dokter Kun membuatnya urung melakukannya. Ia sudah diberitahu untuk banyak beristirahat agar saat operasi besok kondisinya stabil. Maka dengan berat hati ia mengangguk.

"Ingat janjimu…." Bisiknya pelan namun masih terdengar di telinga Haechan. "Tengah malam nanti kita harus merayakan ulangtahun bersama…."

"Kumohon…. Jangan ingkar…." Tambahnya lagi seraya menatap Haechan dengan tatapan memohon.

Haechan mengangguk. Ia tersenyum sekilas lalu mulai berjalan meninggalkan ruangan.

.

.

Doyoung tidak pernah semarah ini seumur hidupnya. Namun kali ini dadanya seperti meledak oleh amarah, tubuhnya bahkan gemetar karena ia yang mati-matian menahan emosi.

Awalnya Doyoung hanya ingin memastikan bahwa Haechan pulang dengan selamat. Anak itu memang tidak ingin diantar sampai kerumah. Ia memilih pulang dengan naik bus. Doyoung mengabulkannya, namun diam-diam ia dan Taeil mengikuti bus yang ditumpangi Haechan.

Doyoung tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, bukan rumah yang dituju Haechan, namun rumah sakit terbesar dan terbaik di Seoul. Ia hampir terjatuh saat melihat pipi putih yang selalu ia elus dengan penuh kasih sayang itu ditampar begitu keras oleh seorang pria yang mungkin seuman dengannya. Dan yang membuat jantungnya seperti terlepas adalah ketika mendengar kata-kata yang tidak ia pahami dari laki-laki bernama Ten itu.

Siapa? Operasi apa? Jantung siapa?

Seperti potongan puzzle yang menyatu, airmata Doyoung mengalir deras setelahnya.

"Kalau kau ibunya, kau tidak akan tega melakukan ini padanya" Kalimat itu Doyoung ucapkan begitu tajam.

Seseorang dihadapannya hanya berdecih, menatapnya dengan pandangan tidak suka yang kentara jelas di wajah orientalnya. "Tahu apa kau, jangan sok mencampuri urusan keluargaku." Balasnya.

Harusnya hari ini menjadi hari yang membahagiakan untuk Ten, namun seseorang yang menahan kerah kemejanya ini membuat emosinya melunjak. Mereka tidak saling mengenal, tiba-tiba saja pria bergigi kelinci itu menyerangnya. Ten baru sadar bahwa laki-laki ini adalah orang yang tinggal bersama anak sialan itu. Orang yang pernah ia selidiki secara diam-diam.

Setetes airmata lolos dari manik hitam Doyoung. Ia mengusapnya cepat hingga membuatnya melepas kerah kemeja Ten.

"Kalau kau ibunya… Kau akan menyanyanginya… bukan menyiksanya seperti ini…" Doyoung menunduk, tiba-tiba amarahnya berganti menjadi kesedihan yang luar biasa.

"Jangan berbicara seolah kau tahu segalanya…" ucap Ten.

"Kau beruntung…." Kata Doyoung disela isak tangisnya "Kau beruntung dianugerahi Tuhan seorang anak. Tidak sepertiku yang sampai sekarang belum mendapatkannya"

Biarlah Doyoung melepaskan seluruh harga diri yang ia miliki. Ia tidak peduli.

"Harusnya kau menjaganya… Bukan memperlakukannya seperti ini…."

Ten menghembuskan nafas lelah, ia memejamkan matanya yang kabur oleh genangan airmata. "Kau pikir aku menginginkan semua ini?" tanya Ten.

Kedua laki-laki dewasa itu saling menatap. Binar luka itu terpancar jelas di manik hitam keduanya. Mereka sama-sama terluka karena hal yang berbeda.

"Kau tidak akan pernah mengerti rasanya. Hari itu segalanya masih baik-baik saja. Aku masih bisa melihat tawa mereka. Namun semuanya hilang hanya keinginan anak sialan itu"

Hati Doyoung sangat sakit mendengar laki-laki itu menyebut Haechan dengan 'anak sialan'. Namun ia membiarkan laki-laki itu meneruskan kalimatnya.

"Aku kehilangan putra pertamaku, Renjunie…" Ten mengusap airmata yang mengalir tanpa seizinnya "Lalu Jaemin yang membutuhkan donor jantung untuk bertahan hidup…"

"Tidak ada jantung yang cocok dengan Jaemin… Hiks…." tangis Ten mengeras. "Tidak ada yang cocok selain jantung milik Haechan… Tidak ada yang bisa menyelamatkannya selain anak itu."

Ten menangis, meluapkan segala kesedihan yang selama ini ia pendam. Ia tidak pernah membaginya kepada siapapun, bahkan pada Yuta sekalipun. Ia ketakutan. Ia takut akan kematian Jaemin yang kapan saja bisa datang, ia menyesal bahwa satu-satunya yang bisa menyelamatkan putra kesayangannya itu adalah saudara kembarnya sendiri.

Doyoung melangkah maju. Ia ikut menangis, airmatanya berlomba-lomba keluar menuruni pipi putihnya.

"Ten…" bisiknya pelan. Ia meraih kedua pundak Ten, memaksa laki-laki yang terisak hebat itu untuk menatapnya. "Kumohon biarkan Haechan hidup…" pintanya.

"Aku akan membantumu untuk mencari pendonor lain.."

Doyoung tahu. Tidak ada seorang Ibu yang ingin melihat anaknya terluka. Mereka akan melakukan yang terbaik agar anak-anak mereka tersenyum dan tertawa bahagia. Seorang Ibu tidak akan membiarkan anak-anaknya menderita, tidak akan pernah.

"Aku sangat menyayangi Haechan… Meskipun dia bukan putra kandungku… Berikan dia padaku… Aku berjanji tidak akan mengusik hidupmu lagi setelah ini" ucap Doyoung. Ia bersimpuh di kaki Ten, mengharapkan iba dari laki-laki itu untuk melepas Haechan untuknya.

Doyoung merasa bersalah, Haechan bukanlah barang yang bisa diberikan sesuka hati pada orang lain. Dan tidak seharusnya ia meminta dengan cara seperti ini. Tapi ia tidak tahu harus melakukan apalagi untuk menyelamatkan anak itu.

Ten menggelengkan kepalanya, ditepisnya tangan Doyoung yang masih memegang kedua pundaknya.

"Aku tidak akan pernah bisa kehilangan Jaemin…." Ucapnya. Ia menghapus airmata yang masih mengalir "Operasi itu tetap akan dilaksanakan besok. Jangan pernah kau campuri urusan keluargaku lagi" ucapnya mutlak sembari berjalan pergi.

Bahu Doyoung tergungcang hebat. Ia menatap nanar punggung Ten yang semakin lama semakin menghilang di koridor rumah sakit.

"Haechanie…." Lirihnya "Apa yang harus kulakukan"

.

.

HURT ME

.

.

Haechan menghapus airmata yang tidak bisa berhenti mengalir. Ia mencengkeram dadanya yang terasa sakit. Haechan mendengarnya, segala pertengkaran Doyoung dan Ten. Ia tidak sengaja melihat keduanya di taman rumahsakit. Melihat tangis keduanya membuat hatinya begitu sakit. Ia ingin mati saja karena rasa sakitnya yang tidak tertahankan.

Ten itu ibu kandungnya, sampai kapanpun ia adalah orang yang harus Haechan hormati dan cintai. Ia tidak akan pernah melupakan senyum laki-laki itu, walau senyum itu tidak pernah ditujukan padanya. Haechan sangat menyanyagi Ten, kebahagiannya adalah kebahagiaan Haechan juga.

Sedangkan Doyoung, laki-laki yang baru dikenalnya beberapa bulan ini adalah malaikatnya. Dia adalah orang yang ikut terluka bersamanya, dia yang menyanyaginya walaupun tidak ada ikatan darah diantara keduanya.

Bagaiamana bisa Haechan membuat dua orang yang sangat ia kasihi itu menangis. Ia pastilah sangat berdosa.

"Appo…." Haechan menepuk dadanya keras. "Appo…." Ucapnya lagi berkali-kali.

Lampu merah berubah hijau, tanda bahwa pejalan kaki dilarang untuk menyeberang. Manik hitam itu menatap kosong jalanan yang ramai oleh mobil yang melintas. Haechan terhuyung, ia sesekali tersandung. Diabaikannya orang-orang yang melihatnya khawatir. Yang Haechan inginkan hanyalah segera pergi. Ia tertawa pelan. Bagaiamana rasanya dihantam mobil-mobil itu? Apakah sakit?

Haechan seolah tuli. Ia tetap berjalan, melangkah tanpa ragu menyeberang jalan. Bunyi klakson memekik keras. Haechan tidak peduli. Ia berdiam diri ditengah jalan. Dari sisi kiri Truk besar siap menabraknya. Ia tersenyum.

"Jaeminie…." ucapnya "Kau harus hidup, ne…."

Haechan memejamkan mata, bunyi klakson dan teriakan orang-orang masih terdengar jelas di telinganya. Setetes airmata mengalir menuruni pipi, berkilauan terkena sinar matahari.

"HAECHAN –AH….."

Seseorang memanggil namanya dan menarik tubuhnya. Ia bisa mendengar suara benturan keras antara tubuh keduanya dengan aspal jalanan. Rasa sakit di kedua lutut dan kepalanya membuatnya meringis kecil.

"KAU GILA HAH? IDIOT!"

Seeorang itu -Mark refleks berteriak begitu keras. Kepalanya sakit karena terbentur aspal dan ia yakin pasti ada bagian tubuhnya yang memar setelah ini. Penglihatannya sedikit kabur beberapa saat sebelum matanya mulai terfokus pada hal yang pertama dilihatnya. Haechan. Haechan dengan pandangan kosong menatapnya sambil berurai airmata.

Mark langsung bangkit, tanpa memerdulikan kepalanya yang semakin pusing. Ia menarik Haechan menjauh dari kerumunan orang-orang. Setelah menemukan tempat yang sepi, ia mencengkeram erat kedua lengan Haechan.

"Apa yang kau lakukan idiot?!"

Haechan terlonjak kaget karena Mark yang kembali membentaknya.

"Kalau aku tidak menarikmu, kau bisa terluka parah bodoh!" Mark menarik nafasnya sebentar. Ia mengusak surainya kasar karena mendapati Haechan yang masih diam tak menyahut.

Mark mengusap pipi Haechan yang basah, ia sendiri tidak sadar jika airmata telah menggenang di kedua pelupukya. Mark tidak pernah sekalipun menangis sejak ia berusia enam tahun. Ia kesal entah karena apa.

"M –Mark hyung…." Ucap Haechan begitu pelan. Ia mendongak untuk menatap Mark. "Aku mati saja ya hyung…."

Mark menautkan alis karena tidak mengerti. Ia menatap Haechan dengan pandangan sedih.

"A –aku mati saja ya hyung…." Ulangnya lagi.

Mark terdiam. Ia masih tidak menangkap apa maksud Haechan.

"Kalau aku mati…. Eommonim dan Doyoung ahjussi tidak perlu bertengkar lagi…."

"Kalau aku mati sekarang…. Hiks…. Doyoung ahjussi tidak perlu memohon pada eommonim untuk melepasku." Haechan menatap Mark, memohon pengertian yang lebih tua untuk memahami permintannya. "Kalau aku mati sekarang… Operasi itu akan segera dilakukan. Hiks….. Eommonim tidak perlu takut kehilangan Jaemin lagi…"

"Kau ingin bunuh diri, eoh?" tanya Mark tak percaya.

"Kalau dengan aku mati semuanya akan segera selesai… hiks…. Aku rela hyung…. Asalkan tidak ada lagi orang-orang yang marah pada eommonim…."

Angin sore itu bergerak lembut, dedaunan berjatuhan memenuhi jalan. Isak tangis itu mengalun memenuhi indra pendengarnya. Mark terpaku, ia biarkan airmata mengalir melewati kedua pelupuknya.

"Haechanie…." Panggilnya. Ia mendekap kedua pipi Haechan begitu lembut, penuh kehati-hatian. Ditatapnya netra hitam penuh luka yang masih digenangi bulir bening. "Apapun masalah yang kau punya, jangan pernah berpikiran untuk mengakhiri hidupmu seperti tadi."

Mark mengusap airmata yang masih setia mengalir di pipi Haechan.

"Lihatlah orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup lebih lama. Tidakkah kau kasihan pada mereka?" tanya Mark lembut. "Kau yang diberi sehat tidak seharusnya mempunyai keinginan seperti itu."

"Doyoung dan Taeil ahjussi pasti akan bersedih" lanjut Mark. Ia mengusap airmatanya sendiri "Mama dan papaku juga akan bersedih….. Begitu pula denganku…."

Haechan semakin terisak. Ia ingat, Jaemin mati-matian berjuang untuk hidup. Kenapa ia malah ingin segera mengakhiri hidupnya. Ia memang akan mati, tapi tidak dengan cara seperti ini. Ia hanya akan membuat Tuhan membencinya dan orang-orang yang menyayanginya akan semakin terluka.

"Mark hyung… hiks…. Jebal…. Tolong aku hyung….."

Haechan sungguh lelah. Jika boleh memohon, ia ingin segera terlepas dari rasa sakit ini. Ia tidak ingin menjadi beban bagi siapapun. Ia tidak inginn melihat Ten dan Doyoung menangis. Ia tidak ingin siapapun yang ia kenal terluka karena dirinya.

Namun satu nama yang terlintas di otaknya membuatnya terdiam oleh rasa bersalah. Jika ia mati sekarang, bagaimana dengan janjinya pada Jaemin? Mereka akan merayakan ulangtahun bersama, ia sudah berjanji.

Haechan tidak ingin mengingkari janjinya lagi, karena mungkin ia tidak akan punya waktu untuk menebusnya. Yang harus ia lakukan sekarang hanyalah bertahan sampai esok hari.

"Maaf… Maaf… Hiks… Maafkan aku jebal….."

.

.

HURT ME

.

.

Tiga menit lagi menuju tengah malam. Haechan bergegas menuju kamar rawat Jaemin yang terletak beberapa langkah dari tempat ia berdiri. Tangannya membawa 'Doyoung' –hamster peliharaannya yang sudah ia masukkan kedalam kotak.

Dengan pelan ia membuka kenop pintu. Gelap menyambutnya. Ia baru saja melangkahkan kaki saat teriakan Jaemin disertai lampu yang menyala membuatnya berhenti.

"SELAMAT ULANG TAHUN HAECHANIE~"

Haechan tidak bisa menahan senyumnya. Di atas ranjang rawat, Jaemin memegang sebuah kue tart yang sangat besar dihiasi lilin-lilin kecil berwarna-warni.

"Palli… Palli…. Ayo kita tiup lilinnya bersama-sama"

Haechan tertawa. Ia mendekat kearah kembarannya. Berhenti beberapa centi didepannya.

"Jaeminie….. Saudara kembarku yang sangat kusayangi….."

Haechan menjeda. Ia menatap Jaemin dengan selang oksigen yang terpasang dihidungnya sedang tersenyum kearahnya. Ia ikut tersenyum, mengusak pelan rambut Jaemin lalu berucap.

"Selamat Ulang Tahun juga…. Jaeminie….."

Airmata Jaemin mengalir. Anak itu tertawa walau buliran bening yang keluar dari manik matanya tidak mau berhenti. Haechan tak kuasa menahan genangan yang sudah menggenang di kedua pelupuknya sejak ia masuk kesini. Ia ikut menangis.

"A –ayo kita tiup lilinnya Haechan –ah…" Jaemin menyengguk. Ia mendekatkan kue ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday Jaemin itu kearah Haechan. "Maafkan aku…. Aku sudah memesannya dengan nama kita berdua. Tapi kau tahu sendiri eomma selalu seperti itu" tambah Jaemin. Ia takut Haechan tersinggung.

Haechan tersenyum maklum. Ia sudah biasa dan tidak masalah. Ia bisa merayakan ulang tahunnya dengan Jaemin saja Haechan sudah bahagia.

"Gwenchana~" kata Haechan "Ayo kita tiup lilinnya."

" Na… Deul… Set…"

BLOW~

Jaemin memekik senang. Ia mencolek krim coklat lalu menempelkannya di pipi Haechan. Setelahnya anak itu tertawa lagi. Haechan senang melihat Jaemin yang banyak tersenyum dan tertawa.

Haechan meletakkan hamsternya diatas meja, ia lalu mengambil selimut tambahan di lemari dan mulai mendudukkan diri disamping kembarannya.

"Jangan coba-coba memakannya. Kau sudah diberi tahu Dokter untuk puasa kan." Peringat Haechan.

Jaemin itu terkadang usil. Tadi saja ia berniat memakan kue tart yang dicuilnya diam-diam. Operasi besar mewajibkan pasiennya untuk puasa.

"Ugh… Padahal aku ingin sekali mencoba krimnya. Sepertinya enak deh" kata Jaemin. "Kalau begitu, kau saja yang makan kuenya. Aku kan tidak boleh makan"

Haechan terkejut, ia menggaruk kepalanya mencari alasan. Dia juga dilarang untuk memakan apapun sampai operasi besok.

"Aku tidak lapar Jaemin –ah… Ngomong-ngomong aboji dan eommonim kemana?" alih Haechan.

"Aku sudah meminta waktu private untuk kita berdua." Jawab Jaemin "Aku bahkan mengancam tidak mau dioperasi kalau mereka tidak mengabulkannya.. Hihihihi"

Haechan mengusak rambut Jaemin gemas. Pantas saja ia bisa leluasa bertemu Jaemin hari ini.

"Haechanie…." Panggil Jaemin. Anak itu menyandarkan tubuhnya di dekat jendela. Haechan mengikutinya. Tempat tidur Jaemin memang berdekatan dengan jendela, jadi mereka bisa melihat pemandangan taman rumah sakit di malam hari.

"Kira-kira, orang baik mana yang mau mendonorkan jantungnya padaku?"

DEG

Jantung Haechan berdetak sangat kencang. Ia mencengkeram selimut yang menutupi tubuhnya dengan erat. Tak menyangka ia akan diberikan pertanyaan seperti ini oleh Jaemin.

"D –donor jantung itu kan hanya untuk orang yang sudah meninggal Jaemin –ah" jawab Haechan.

"Tapi kau tahu sendiri kan. Berkali-kali aku diberikan donor oleh orang yang sudah meninggal, tapi tidak ada satupun yang cocok." Jaemin menundukkan kepalanya, ia takut jika apa yang ia pikirkan adalah kenyataan.

"Haechan –ah…. Kau tidak akan meninggalkanku kan?" tanya Jaemin. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang ia pikirkan selama ini salah.

Ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan. Haechan menatap manik hitam Jaemin yang terlihat sangat polos. Ia tidak ingin membohongi saudaranya itu, tapi ia tahu, anak itu akan semakin tersakiti jika ia mengatakan yang sebenarnya.

Sebuah gelengan ia berikan untuk menenangkan Jaemin. Jaemin tersenyum senang lalu merapatkan tubuhnya dengan sang kembaran. Angin malam berhembus pelan menerbangkan surai keduanya.

"Kau tahu? Dulu saat kecil kita sering seperti ini." Jaemin memulai nostalgia. "Aku akan membawakanmu selimut saat kau dikunci di dalam kamar"

"Lalu kau akan demam setelah itu…." Balas Haechan. Ia tersenyum mengingat Haechan dan Jaemin kecil di masa lalu.

"Benar!" Jaemin tertawa "Kau ingat tidak, waktu itu kau tidak bisa naik sepeda. Siapa coba yang mengajarimu…."

Haechan berpikir sejenak, satu ingatannya melayang saat Jaemin mengajarinya naik sepeda. Ia ingat wajah lucu Jaemin yang marah karena ia yang lambat dalam belajar

"Ne… Ne…. Master Jaemin… Haechan memang bodoh naik sepeda"

Keduanya tertawa. Mereka kembali bercerita, menceritakan masa lalu mereka yang penuh tawa dan air mata.

"Renjunie…." Ucap Haechan yang mampu menghilangkan senyum di wajah Jaemin. "Apa kabar dia disana?"

Mata Jaemin berkaca-kaca. Ia tidak akan pernah lupa hari itu, segalanya berubah sejak kepergian sang kakak tertua.

"Ia baik-baik saja disana…. Mungkin ia sedih karena tidak bisa merayakan ulang tahun bersama kita" balas Jaemin. Ia ikut menerawang langit-langit kamar seprti yang Haechan lakukan. Tiba-tiba saja bayangan wajah Renjun yang tersenyum membuatnya ikut menyunggingkan senyum.

"Tapi surga kan berjuta-juta kali lipat lebih menyenangkan daripada di dunia. Ia bisa saja merayakan ulang tahun bersama Tuhan disana. Ugh…. Dia pasti kegirangan" Jaemin mengerucutkan bibir, kebiasaannya jika ia kesal terhadap sesuatu.

Haechan memejamkan mata, ia bisa melihat senyum Renjun padanya. Kakaknya itu seolah melambai padanya, mengajaknya untuk melihat dunianya yang telah berbeda dengan mereka.

"Haechan…!"

Haechan terlonjak kaget. Ia mengusak telinganya yang berdenging akibat pekikan Jaemin.

"Jangan melamun…. Jangan mendiamkanku…" Jaemin lagi-lagi merajuk.

"Aku tahu.. Aku tahu… Maafkan aku, ok?"

"Kau tahu tidak apa yang kutakutkan di dunia ini?" tanya Jaemin.

Haechan menatap sang kembaran dengan kening yang bertaut. "Kematian?" tebaknya.

Jaemin menggeleng. Ia mengusap tusukan infus di punggung tangannya yang sedikit terasa sakit akibat banyak bergerak.

"Aku takut tidak bisa melihatmu lagi, Haechan –ah…"

Sesuatu dalam dirinya seperti tersengat listrik. Nyeri sekali rasanya hingga membuatnya meringis. Haechan mengalihkan tatapannya menghindari mata Jaemin yang berkata sangat tulus.

"Kau satu-satunya saudara yang kupunya…" Airmata Jaemin kembali mengalir "Jangan pernah pergi meninggalkanku… Atau.. Atau aku akan marah padamu"

Haechan ikut meneteskan air mata. Ia menggenggam tangan Jaemin yang begitu dingin. Ia menggelengkan kepala berkali-kali.

"Jaem…." Haechan berkata begitu lirih "Beberapa tahun lagi, kau akan menikah dengan Lee Jeno… Aku akan berada disana, di barisan altar paling depan."

Jaemin menangis begitu keras, bahunya terguncang. Hatinya bersedih entah karena apa. Ia ingin mempercayai kalimat Haechan.

"Lalu setahun setelahnya, kau akan melahirkan anak-anak yang sangat lucu." Haechan meneruskan kalimatnya dengan susah payah "Aku akan disana… Hiks…. Menggendong salah satunya dan menjadi orang pertama yang memberimu selamat telah menjadi Ibu…."

"Aku tidak akan pergi Jaemin –ah…." Isak Haechan. Rasa takut yang luar biasa mneyelimuti dirinya. "Aku tidak akan mati…. Aku akan selalu bersamamu… Aku tidak akan pergi…."

Haechan mengulangnya berkali-kali. "Jangan marah padaku Jaemin –ah…."

"Kumohon jangan pernah marah padaku"

Malam itu Jaemin dan Haechan menangis bersama. Mereka bersyukur, seberat apapun cobaan yang diberikan Tuhan untuk keduanya, mereka selalu ada untuk satu sama lain.

"Jaemin –ah…." Panggil Haechan "Kau harus ingat bahwa aku selalu menyanyangimu…"

"Dimanapun aku berada, aku selalu menyanyangimu…."

.

.

HURT ME

.

.

Haechan merengut sebal. Ia tidak pernah suka diinfus, selang infus itu sangat pendek. Ia jadi tidak leluasa untuk bergerak. Jadilah ia hanya duduk sambil mengayun-ayunkan kakinya di pinggir tempat tidur. Ia bosan sekali rasanya.

CEKLEK

Bunyi suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh. Seseorang yang masuk ke dalam kamar rawatnya membuat manik hitamnya terbelalak lebar.

"H –Haechanie… Kau baik?"

Suara yang ia rindukan itu terdengar begitu lembut, tidak seperti yang biasa ia dengar. Ia sampai takut kalau semua ini hanya khayalan semata. Haechan memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Sosok itu masih berdiri beberapa langkah darinya, terdiam dengan canggung.

"Heum… Aku baik…."

Haechan tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Hatinya penuh akan kebahagiaan hingga membuat pipinya bersemu.

Keheningan menguasai keduanya. Tidak ada yang berbicara meskipun dua orang bermarga sama itu memiliki banyak hal untuk dikatakan.

"Terimakasih… Syalnya bagus…."

Mata Haechan membola. Ia tidak menyangka syal merah maroon yang ia buat khusus untuk ulang tahun sang ayah terpasang manis di leher laki-laki itu. Seingat Haechan ia hanya menyimpan kado-kado itu di dalam lemari, karena ia tidak berani memberikannya pada Yuta ataupun Ten.

"T –tuan suka?" tanyanya.

Laki-laki itu –Yuta meneguk ludahnya kasar. Panggilan itu entah kenapa membuat hatinya sakit. Dengan pelan, ia menepuk kepala Haechan.

"Aku tidak keberatakan kalau kau memanggilku appa mulai saat ini"

Haechan tidak bisa mencegah airmatanya untuk mengalir. Ia menatap sang ayah yang masih menepuk ringan puncak kepalanya.

"A –appa…." Panggilnya lirih.

"Heum?"

Haechan mengernyit, ia takut salah dengar. Maka ia mengulang "A –appa…."

"Ya Haechan –ah…." Yuta menahan mati-matian airmata yang sedari berkumpul di sudut mata.

"Terimakasih appa…." Haechan berkata sangat tulus. Ia tersenyum walau airmatanya masih mengalir.

"Haechan –ah….." ucap Yuta "Terimakasih, ne…. "

Haechan mengangguk. Ia paham dengan maksud sang ayah. Ketika laki-laki itu keluar dari ruang rawatnya, tidak ada rasa takut ataupun sesal yang ia rasakan. Hatinya dipenuhi keikhlasan dan rasa bahagia.

"Aku tidak pernah melihat orang yang akan mati tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila"

Seruan dari dokter Kun membuat senyum Haechan menghilang berganti dengan bibir yang mengerucut.

"Ahjussi merusak moment bahagiaku saja…" ucapnya

Kun tersenyum. Ia mendekat lalu mengusak surai Haechan penuh sayang. Setelahnya ia mengecek cairan infus dan beberapa dokumen yang akan dibawa ke ruang operasi.

"Haechan –ah…" panggil Kun. "Rasanya berat mengatakan ini. Tapi kita harus berangkat menuju ruang operasi sekarang"

Haechan tertawa, menimbulkan kernyitan di kening dokter tampan itu.

"Ayolah ahjussi… Kau harus bersikap professional… Anggap saja kau tidak mengenalku. Jadi kau bisa melakukan operasi dengan benar" kata Haechan

Kun menghela nafas, ia tidak suka berada di situasi seperti ini. Jika saja keluarga Haechan bukanlah seseorang yang berpengaruh di Korea Selatan, rumah sakit ini pasti akan menolak untuk melakukan transplantasi pada orang yang masih hidup.

"Kenapa kau senang sekali sepertinya?" tanya Kun. Ia ikut mendudukkan diri disamping Haechan. Biarlah jadwal operasi mundur beberapa menit. Ia masih ingin menikmati waktunya berdua dengan anak itu.

"Aku hanya ingin Jaaemin juga bahagia setelah mendapatkan jantung ini. Makanya sekarang aku harus bahagia. Aku sudah memarahinya, jangan sampai dia membuat Jaemin bersedih."

Ucapan Haechan membuat Kun menahan genangan airmata yang siap tumpah kapan saja.

"Haechan –ah…." Lirih Kun. "Apakah kau membenci keluargamu?"

Haechan menerawang langit kamar. Ia menautkan dahinya –tanda bahwa ia sedang berfikir.

"Ahjussi…." Jawabnya. "Aku tidak mungkin membenci keluargaku sendiri."

Mata Haechan berkaca-kaca. Apa yang ia katakana ini adalah tulus dari hatinya.

"Keluargaku mungkin bukanlah keluarga yang paling sempurna di dunia ini. Tapi aku bahagia terlahir ditengah-tengah mereka."

"Kita tidak bisa memilih orangtua mana yang akan melahirkan kita kan? Di kehidupan selanjutnya pun aku akan tetap memilih Yuta aboeji dan Ten eommonim sebagai orangtuaku."

Setetes air mata mengalir membasahi pipi Haechan. Ia mengabaikannya.

"Selama enam belas tahun hidupku, aku sangat bahagia bersama mereka. Akan lebih bahagia lagi jika di kehidupan selanjutnya mereka bisa menyanyangiku seperti mereka menyayangi Jaemin."

Haechan memilih menunduk, membiarkan air mata yang mengalir deras jatuh membasahi pakaian rumah sakitnya. "Aku ingin hidup bersama mereka lagi… Dengan aboeji dan emmonim… Renjung hyung dan Jaeminie…"

"Pasti akan menyenangkan sekali"

Kun mengerjapkan matanya yang berair. Ia menepuk puncak kepala Haechan.

"Ya, pasti menyenangkan sekali." Balas Kun. Dokter itu bangun dari duduknya dan mengambil kursi roda yang ada disamping tempat tidur. "Ayo kita berangkat… Kupastikan di kehidupan selanjutnya kebahagiaan yang kau inginkan akan kau dapatkan"

Haechan mengangguk, ia tersenyum dan mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Ia duduk di kursi roda dan Kun mendorongnya perlahan.

Koridor rumah sakit tampak begitu ramai. Orang-orang berlalu lalang. Haechan memperhatikan setiap raut wajah mereka yang lewat. Berbagai macam ekspresi ia tangkap.

Manik Haechan melebar saat melihat bayangan dua orang yang ia sayang. Menatapnya dari kejauhan, tak berani mendekat.

Airmata itu kembali menggenang lalu mengalir melewati pipi. Haechan benci menjadi cengeng. Namun hatinya sedih karena melihat mereka berdua menangisinya.

Doyoung dan Taeil ternyata selalu ada disini, di rumah sakit ini menemaninya. Mereka memperhatikan Haechan tanpa berani mendekat. Karena mereka tahu, ada takdir yang telah digariskan Tuhan untuk putra mereka.

"Kun ahjussi…" panggil Haechan.

Kun berhenti mendorong kursi roda. Ia berjongkok di depan Haechan dan terkejut karena wajah manis itu telah basah oleh air mata.

"Bisakah aku minta tolong kepadamu ahjussi?" tanya Haechan. Kun mengangguk.

"Katakan pada dua orang di belakang sana… Hiks… bahwa Haechan sangat menyanyangi mereka."

"Doyoung eomma…. Taeil appa…. Haechanie sangat menyanyangi kalian…"

"Neomu Neomu saranghayeo…."

Kun menatap dua orang yang dimaksud Haechan. Dua orang laki-laki yang sedang menangis menatap keduanya. Ia membungkuk kepada mereka berdua, meminta ijin bahwa ia akan membawa Haechan pergi.

Salah satu dari mereka balas membungkuk, memberikan senyumnya untuk Kun lalu memeluk laki-laki satunya.

Kun melanjutkan mendorong kursi roda Haechan. Ruang operasi hanya berjarak beberapa langkah. Ada Yuta dan Ten yang berdiri disana.

"Aku akan membawa Haechan masuk ke dalam. Berdoalah semoga operasi berjalan lancar"

Kun mulai bersikap professional. Ia meminta Yuta dan Ten menunggu saja di ruang tunggu keluarga. Mereka mengangguk, namun ucapan Haechan membuat mereka urung melakukannya.

"Aboeji… Eommonim…."

Haechan berdiri dari kursi roda. Ia mengambil cairan infus yang tergantung di tiang kursi, ia berjalan beberapa langkah mendekat kedua orang yang menatapnya bingung.

"Terimakasih banyak aboeji… eommonim…"

Haechan membungkuk sembilan puluh derajat. Ia mengucapkannya sungguh-sungguh. Orang tua yang sangat ia sayangi, orang tua yang telah merawatnya semenjak ia bayi sampai umurnya enam belas.

Ia berterimakasih atas enam belas tahun hidupnya bersama mereka. Yuta dan Ten telah merawat dan menjaganya begitu baik.

Setelah itu, Haechan kembali duduk di kursi roda. Tersenyum pada Kun dan keduanya memasuki ruang operasi.

Jaemin telah berbaring disana tidak sadarkan diri. Berbagai alat penyangga hidup terpasang di tubuhnya. Haechan ingin sekali memeluk tubuh lemah sang adik.

Saat jarum suntik berisi anestesi itu menyebar ke pembuluh darahnya, Haechan masih menoleh kearah Jaemin yang berada disampingnya. Seakan mengerti keinginan Haechan. Kun sebagai dokter pemimpin tersenyum di balik masker hijau yang ia kenakan, dokter itu menautkan tangan Haechan dengan sang adik.

Beberapa saat kemudian Haechan merasakan kantuk yang luar biasa. Ia masih menggenggam tangan Jaemin yang terasa dingin. Seseorang pernah berkata padanya, jika malaikat maut menghampirimu. Mereka akan memutarkan kenangan-kenangan indah semasa hidup di dunia.

Haechan mengingatnya.

Senyum Ten… Senyum Yuta.. Tawa Jaemin… Pelukan Doyoung… Elusan Taeil…. Wajah tampan Taeyong dan Jaehyun… dan Juga Mark….

Seulas senyum tersungging di bibir pucat itu, mengiringi kedua kelopak mata yang perlahan menutup.

.

.

HURT ME

.

.

Kun menghela nafas, ia masih bisa merasakan tangan dan kakinya yang bergetar. Winwin –istrinya dan Chenle putranya mungkin akan membunuhnya setelah ini.

Ia membuka pintu ruang operasi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah membantu jalannya operasi. Kun melangkahkan kaki menuju ruang tunggu keluarga. Raut wajah cemas Yuta dan Ten menyambutnya.

"Bagaimana keadaan Jaemin Kun?" Ten bertanya dengan air mata yang mengalir deras.

"Operasi berjalan dengan sukses. Jaemin harus diobeservasi selama tiga bulan untuk memantau hasil transplantasi. Semoga saja tidak ada reaksi penolakan organ baru dari tubuhnya."

Yuta dan Ten mengucapkan terimakasih berkali-kali. Air mata bahagia mereka membuat Kun tersenyum walau ada rasa ngilu di hati Pria China itu.

"Kapan kalian akan mengadakan pemakaman untuk Haechan?"

Pertanyaan Kun sukses membuat sepasang suami istri itu terdiam.

.

.

.

Sebenarnya Kun tidak ingin membuat Yuta dan Ten bersedih. Ia pamit undur diri dari kedua sahabat lamanya itu. Mereka berdua masih berdiri mematung di depan ruang operasi, menunggu Haechan yang masih dirawat di dalam sana.

Ia berjalan menuju dua orang yang sedaritadi hanya melihat dari kejauhan. Ia harus melaksanakan tugas terakhirnya.

"Ehmm… Maafkan aku…" mulai Kun. Ia membungkuk "Kun imnida. Aku dokter yang melakukan operasi untuk Haechan dan Jaemin"

Seseorang yang lebih tabah diantara keduanya memperkenalkan diri.

"Taeil imnida. Aku ayah Haechan.. Maksudku aku ayah angkat Haechan. Dan ini Doyoung… Dia istriku"

Kun mengangguk. Ia tersenyum.

"Sebelum melakukan operasi, Haechan menitipkan sesuatu padaku."

Doyoung yang sedari tadi menunduk mendongak menatap Kun. Mendengar nama Haechan disebut membuat laki-laki itu kembali menangis.

"Haechan sangat menyanyangi kalian berdua." Ucap Kun.

Airmata Taeil kembali mengalir. Laki-laki itu memejamkan mata, mengingat wajah Haechan yang mengucapkan kalimat tadi.

"Doyoung eomma…. Taeil appa…. Haechanie sangat menyanyangi kalian…"

Kun persis menirukan seperti yang Haechan ucapkan. Airmatanya sendiri sudah mengalir, ikut menangis bersama dua orang tua tersebut.

"Neomu Neomu saranghayeo…."

Doyoung terisak hebat. Bibirnya berulang kali memanggil nama Haechan.

"Haechanie….. Haechanie…." Berulang-ulang sampai nafasnya sesak. "Jebal… Jangan tinggalkan eomma."

Doyoung melemah. Yang ia ingat terakhi kali sebelum semuanya berubah menjadi gelap adalah suara Taeil yang berteriak memanggil namanya.

.

.

HURT ME

.

.

"Haechanie…. Eodiga?"

Jaemin kembali mengulang pertanyaan yang sama. Ia menatap Yuta menuntut. Ia lelah mendengar jawaban yang tidak pernah membuat hatinya puas.

Tak mendapat balasan dari sang ayah, Jaemin mendobrak kamar Haechan yang selalu tertutup. Sudah tiga bulan semenjak ia operasi dan Haechan sama sekali tidak menampakkan diri.

Aroma manis bercampur citrus memenuhi kamar. Jaemin mencengkeram dadanya, ada rasa kosong yang tak bisa ia jelaskan.

"Haechanie… eodiga?"

Lagi. Jaemin mengulang lagi. Hanya keheningan yang menjadi jawaban. Ia terduduk di lantai kamar.

"Aniya…." Ucap Jaemin. Air matanya berurai. "Aniya…." Ulangnya lagi.

"K –kau tidak akan melakukan itu kan Haechan-ah?"

Jaemin mencengkeram dada kirinya. Dirabanya bekas luka jahitan yang masih terasa di kulitnya. Ia dapat merasakan jantung itu berdetak pelan penuh irama.

"Kau kemana Haechan –ah?" tanya Jaemin "Katamu kau tidak akan pergi… Kau bilang kau tidak akan mati"

"Kenapa hiks…. kau berbohong?"

"Haechanie… Eodiga?"

Airmata berlomba-lomba menuruni pipi Jaemin. Anak itu masih terduduk dengan bahu yang berguncang hebat.

Ten memeluk putranya dari belakang. Ia mengabaikan Jaemin yang meronta dan mengumpat padanya.

"Aku tidak mau…. Hiks… Aku tidak mau….."

Jaemin meraung. Kenapa ia baru sadar, selama ini jantung yang ada di tubuhnya adalah milik saudara kembarnya. Ia yang merenggut hidup Haechan.

"EOMMA…. AKU TIDAK MAU.. BIARKAN AKU SAJA YANG MATI… EOMMA.. JEBAL…."

Ten menangis, Yuta datang untuk menenangkan keduanya.

"Jaeminie… Lihat appa sayang…" Yuta menangkup pipi Jaemin, memaksa sang putra untuk menatapnya.

"Haechan tidak akan suka melihatmu seperti ini" ucap Yuta "Yang harus kau lakukan sekarang adalah hidup dengan baik. Jagalah satu-satunya hal berharga yang ia berikan untukmu. Hargailah pengorbanannya"

Jaemin sesenggukan, ia memeluk Yuta dan Ten. Hatinya sangat sakit. Kenapa ini semua harus terjadi padanya. Kenapa harus Haechan yang menjadi pendonorya. Banyak hal yang ingin Jaemin ucapkan namun terhalang isakannya yang semakin mengeras.

'Haechanie.. Gomawo'

.

.

HURT ME

.

.

10 TAHUN KEMUDIAN

I never thought I was going to meet you in my miserable time

When I thought my life would be close to an end

You just came

You guard

And you guide

As far as I remember, I did not fall in love with you

You neither with me

I just walked into love with you

Choosing to take every step along the way

Yes, I do believe in faith and destiny

Thank you for being my water

Being with you is the best thing I want to do

Whenever I am with you I know that I am home

I vow to love you in all your forms

Till our hair turns to grey and we grow old together

I vow to always know in the deepest par of my soul that no matter what challenge might carry us apart, we will always find our way back to each other.

" I, Jeno Lee, take you Nakamoto Jaemin, to be my lawfully wedded wife, to have and to hod, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, until death do us part."

Jeno mengusap air mata di pipi Jaemin. Ia mengecup kening pasangan hidupnya itu dengan penuh kelembutan. Di hadapan pastur dan ratusan orang yang datang, mereka resmi menjadi suami-istri.

"Wedding vow mu sangat manis sekali. Aku terharu mendengarnya" ucap Jaemin.

"Aish.. Wedding vow itu tidak ada apa-apanya. Lebih manisan dirimu Jaemina…" balas Jeno.

Jaemin merona parah. Ia menunduk tak berani menatap sang suami, membuat Jeno terkekeh pelan. Jaemin masih saja seperti dulu. Rona merah itu tidak pernah hilang dari pipinya jika itu menyangkut tentang Jeno.

Sepuluh tahun berlalu, Jaemin berhasil menjalani kehidupan baru. Ia meraba dada kirinya, detakan teratur itu membuatnya menyunggingkan senyum yang begitu manis.

Disana, di barisan paling depan, orang-orang yang ia sayangi balas tersenyum padanya. Satu bayangan imajiner terbentuk rupawan, tersenyum cerah kearah Jaemin. Senyum itu masih sama dengan senyum sepuluh tahun yang lalu ketika mereka merayakan ulang tahun bersama-sama. Sedikitpun tak berubah.

Setetes air mata kembali mengalir, disusul buliran bening lainnya.

'Haechan –ah… Terimakasih sudah datang'

"Sayang… Jangan menangis…"

Ten mengusap air mata yang mengalir di pipi putranya. "Hari ini hari bahagiamu, tersenyumlah sebanyak yang kau mau. Karena hari ini tidak akan terulang untuk kedua kalinya" nasehat Ten.

Jaemin mengangguk. Ia tersenyum manis setelahnya.

"Temui Jeno disana, tidak baik membarkannya berbincang sendiri dengan teman-temannya"

"Baiklah…. Baiklah…. Aku kesana. Eomma mau kemana?" tanya Jaemin.

"Eomma mau bertemu Donghyuck. Rasanya rindu sekali dengan bocah itu." Balas Ten. Jaemin tersenyum maklum. "Doyoungie dan Taeyongie nanti malam akan menginap bersama eomma. Jadi eomma tidak akan kesepian karena kau tinggal malam pertama" Ten mengerling nakal. Ia suka sekali menggoda Jaemin yang kembali memerah.

"Aish! Eomma!" pekik Jaemin.

Ten tertawa dibuatnya.

.

.

Seorang laki-laki tampan tampak tergesa-gesa memasuki hall gereja, ia yakin acara pemberkatan pasti sudah selesai. Mampus saja dia setelah ini kena omelan banyak orang. Rambut hitamnya sedikit berantakan akibat ia yang berlari. Laki-laki itu melihat kanan dan kiri, mencari seseorang yang dikenalnya.

Karena tak menemukan satu pun orang yang dikenal, ia kembali berlari. Berkali-kali menyenggol orang-orang yang berbincang atau sekedar menyantap hidangan.

"Mark!"

Seseorang memanggil namanya. Laki-laki itu berhenti. Ia menoleh dan tersenyum tipis saat sosok yang ia kenal –Taeil- melambai padanya. Namun senyuman itu memudar saat seseorang yang berada di samping Taeil ikut menoleh kearahnya.

Mark berdiri terpaku, tangannya bergetar. Ia memejamkan mata untuk memastikan bahwa sosok itu nyata, bukan hanya imajinasinya. Ia hanya takut karena terlalu merindukan seseorang di masa lalunya dapat membuatnya berhalusinasi sampai seperti ini.

Namun sosok itu masih ada, nyata, tertawa padanya.

"Mark, ini Donghyuck. Putraku. Kau belum pernah bertemu dengannya sejak ia lahir"

Selama sepuluh tahun Mark hidup di luar negeri, ia memang jarang pulang ke Korea. Orang tuanya dan Jisung -adiknya lah yang sering mengunjunginya di Kanada.

Doyoung dan Taeil sering menelpon maupun mengiriminya pesan singkat, namun tak pernah ia balas. Karena dengan melihat Doyoung dan Taeil, Mark seperti membuka masa lalu yang ingin ia lupakan, tentang cinta pertamanya yang tak sampai.

"Hyung menangis?" Anak laki-laki itu bertanya pada Mark. Bibirnya mengerucut karena tidak segera mendapat balasan dari yang lebih tua. Dengan kesal, ia menginjak sepatu Mark. "Hyung jelek…. Tidak sopan kalau ditanya tidak menjawab" katanya.

Mark membiarkan airmatanya mengalir. Bagaimana bisa seseorang dihadapannya ini begitu mirip dengan Haechan. Binar mata jahil itu, gigi kelincinya yang sangat imut, bibir merahnya yang tebal dan–

Detakan jantungnya yang menggila karena sosok itu.

"Mark kau baik?" Taeyong datang bersama Jaehyun. Ia menepuk pundak putranya.

Mark tidak menjawab. Ia memilih menjatuhkan dirinya untuk berlutut di kaki Taeil.

"Taeil ahjussi…" panggilnya "Sejak sepuluh tahun yang lalu sampai kemarin. Tidak ada yang bisa membuat jantungku berdetak seperti yang dulu Haechan lakukan kepadaku"

Mark menyengguk, ia dapat merasakan tangan-tangan mungil itu mengusap rambutnya.

"Tapi hari ini.. aku kembali merasakannya…" Mark bersimpuh, tangannya mengatup seakan memohon pengertian Taeil. "Kumohon maafkan perasaan hinaku ini ahjussi…"

Mark terisak. Sepuluh tahun ini ia lelah memendam rasa sakitnya sendirian. Terakhir kali ia menangis adalah ketika Haechan terkubur dibawah tanah yang dingin. Ia menangis sampai dadanya sesak. Saat itu ia percaya bahwa waktu akan mneyembuhkan luka yang ia rasakan.

Namun semuanya hanyalan bualan. Luka itu masih ada, hatinya yang retak tak kunjung membaik. Ia mencari sosok Haechan pada pribadi yang lain. Namun ia tak juga menemukannya.

"Mark…." Taeil ikut berlutut. Ia membiarkan Donghyuck yang menatap keduanya tak mengerti. Anak laki-laki berumur sepuluh tahun itu mengusap airmata yang mengalir di pipi Mark. Agaknya ia merasa bersalah karena menginjak kaki Mark dan membuat hyung yang baru dikenalnya itu menangis.

"Saat Donghyuck berumur dua puluh nanti, kau akan menjadi tiga puluh tujuh." Taeil mengusap surai Mark sayang. Ingatannya kembali melayang sepuluh tahun yang lalu. Ia sering membuat Mark marah karena berkali-kali menggagalkan kencannya dengan Haechan. Ia ayah yang sangat protektif kala itu. "Mungkin kau akan jenuh karena sifat kekanak-kanakannya. Kau ingin marah karena ia yang belum bisa dewasa. Tapi aku percaya padamu"

Mark mendongak. Ia menatap Taeil yang juga menangis.

"Aku percayakan Donhyuck padamu. Jangan pernah menyakitinya karena kita semua tahu bagaimana rasanya kehilangan anak itu. Jangan pernah berjalan didepannya, karena mungkin saja ia tidak bisa mengerjarmu. Berjalanlah disampingnya, agar ia bisa selalu berpegangan padamu."

Doyoung, Taeyong, Jaehyun dan Ten yang menyaksikan itu menangis.

"Bawalah Donghyuck bersamamu… Sejauh apapun yang kalian mau… Lindungilah dia seperti aku melindunginya. Cintai dia seperti aku mencintainya."

"Bisakah kau melakukannya Mark?"

.

.

Keluargamu mungkin bukanlah keluarga yang terbaik di dunia ini

Tapi kepada merekalah, kau akan selalu pulang

Orangtuamu mungkin bukan orang tua terbaik di dunia ini

Tapi Ayah dan Ibumu lah satu-satunya orang yang akan menyanyangimu sepanjang masa

Kakak atau adikmu mungkin sangatlah menyebalkan

Tapi dengan hadirnya merekalah hidupmu akan berwarna

.

.

Akhirnya FF HURT ME SELESAI...

Terimakasih banyak atas review, masukan, favorit, follow dan segalanya

Aku sangat mencintai kalian semua, sungguhhhhhh~~

.

.

Ayo bertemu lagi di FF familiy lain yang sudah kusiapkan. Temanya masih sama, Hurt & Comfort, HAHAHA

.

Jangan lupa bilang sayang ke orang tua kita, kakak atau adik kita, sebelum Tuhan manggil kita semua untuk kembali padaNyA. (THIS IS SERIOUSLY MADE ME CRIED. KEBAYANG KALO MASIH BANYAK SALAH SAMA MEREKA. HUHU)

.

WEDDING VOW ITU MILIK ANDIEN, YG SUMPAH ROMANTIS SEKALI. HUHU

.

.

JANGAN LUPA KIBARKAN BENDERA MARKHYUCK

AND

CONGRATULATION FOR THE 1ST WINNER DREAMERS