Dooyoung tertawa kecil, laki-laki bergigi kelinci itu menertawai Taeil –suaminya yang berjongkok sambil memegangi pinggang. Tampak anak laki-laki tampan ikut tertawa sambil mengacungkan raket ke udara.
"Sudah tau tua, masih saja mau meladeni Mark bermain bulutangkis"
Dooyoung menoleh saat suara yang dikenalnya terdengar. Ia bangun dari sofa tempat ia duduk lalu menyambut dua laki-laki dewasa yang tampak kesusahan membawa puluhan keresek belanja.
"Ya ampun Tae… Kau membeli apa saja sampai sebanyak itu" Dooyoung mengambil beberapa keresek dari tangan Taeyong lalu menaruhnya diatas meja tamu. "Jae, kau taruh saja sebagian di ruang makan." Tambahnya pada laki-laki satunya yang bernama Jaehyun.
"Oke hyung" Jaehyun berkata setelah mencuri satu kecupan di bibir Taeyong. Dooyoung yang melihatnya memutar mata bosan. Kelakuan dua makhluk mesum itu tidak berubah ternyata.
"Aku lelah sekali. Banyak diskon di supermarket dan aku bingung harus membeli apa. Inginnya sih kubeli semua, tapi Jaehyun mengomel terus sepanjang kami berbelanja" adu Taeyong. Ia menjatuhkan diri di sofa, tampak kelelahan.
Dooyoung tertawa "Kau itu tidak berubah, Masih saja gila belanja" ucapnya. Ia tidak kaget dengan sifat Taeyong yang satu itu. Mereka berdua memang sudah bersahabat sejak lama, lebih dari separuh hidupnya ia habiskan berteman dengan laki-laki tampan itu.
"Mark tidak nakal kan?" alih Taeyong.
Dooyoung menggeleng. "Tidak, dia menuruti semua kata-kataku dengan baik. Aku tidak menyangka dia sudah sebesar itu. Terakhir kali bertemu dengannya, ia masih saja minta digendong Jaehyun."
"Oh Tuhan… Itu kan sepuluh tahun yang lalu. Mark sekarang tujuh belas kalau kau lupa. Tingginya saja sudah melebihiku. Mana kuat Jaehyun menggendongnya, menggendongku saja Jaehyun kualahan." Ucap Taeyong. Ia mengeluarkan beberapa minuman dingin yang dibelinya dari keresek, memberikan satu pada Dooyoung dan menaruh satu botol di atas meja untuk Jaehyun. Ngomong-ngomong kemana perginya suaminya itu, sejak tadi belum kembali dari ruang makan.
"Oh jadi kalian masih suka main gendong-gendongan ya?" canda Dooyoung.
"Sialan kau" Taeyong merengut. Ia membuka kaleng soda miliknya lalu dengan cepat meneguk isinya. Wajahnya terasa panas sekali.
Dooyoung tergelak hebat menyadari pipi Taeyong yang berubah semerah tomat. Ia sampai memegangi perutnya. Menggoda Taeyong adalah hal yang paling menyenangkan menurut Dooyoung –Setelah menggoda Taeil tentu saja.
Dooyoung kembali mengalihkan atensinya pada dua orang yang masih setia menggenggam raket di tangan. Ia bisa melihat tawa lebar di wajah Taeil. Kebahagiaan itu terlihat jelas dimatanya. Hati Dooyoung seperti dicubit kecil, rasa sesak itu kembali muncul hingga membuatnya susah bernafas. Ini tahun ke enam belas, dan ia masih belum bisa menjadi istri sempurna untuk laki-laki yang paling dicintainya itu.
"Apa kau tidak berniat adopsi? Aku punya kenalan teman yang mengurus sebuah panti asuhan didekat sini. Aku bisa menemanimu kesana kalau kau ingin."
Taeyong menggeser dudukya agar lebih dekat dengan Dooyoung. Ia benci berada di situasi ini sebenarnya. Berkali-kali ia melihat tatapan terluka Dooyoung ketika melihat interaksi Mark dan Taeil, atau bahkan interaksi Jaehyun-Mark-dan dirinya sendiri. Ia paham sekali apa yang membuat sahabatnya seperti itu.
"Aku tidak tahu. Banyak yang menyuruhku untuk melakukan hal itu. Taeil hyung juga sama. Tapi……" Dooyoung berhenti. Ia menatap Taeyong "Aku punya firasat bahwa sebentar lagi aku akan mendapatkannya."
Taeyong mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca. Ia mengambil kedua telapak tangan kurus milik Dooyoung dan menggenggamnya erat. "Aku selalu berdoa untukmu Dooyoungie… Aku juga akan mendukung apapun yang kau lakukan. Tapi, jangan perlihatkan tatapan terluka itu…. Kumohon….. Aku…. Aku sedih melihatnya"
Hati Dooyoung menghangat, ia sangat bersyukur mempunyai Taeyong sebagai sahabat. Walaupun Jaehyun sempat memboyong sahabatnya itu ke Kanada dan baru kembali sekarang, mereka tidak pernah lost komunikasi. Ia sudah menganggap Taeyong sebagai saudaranya sendiri, begitu juga sebaliknya.
"Terimakasih Taeyongie~" ucap Dooyoung tulus.
"Oh sahabatku yang manja, kemarilah aku akan memelukmu" gurau Taeyong.
Dooyoung tertawa namun segera merentangkan kedua lengannya. Kedua laki-laki dewasa itu berpelukan, menyalurkan kerinduan, saling menguatkan satu sama lain.
"Dooyoungie hyung….. Capjaymu ku…..
"Eh kalian kenapa?"
HURT ME
Seoul sedang berada di musim gugur yang membuat udara menjadi turun beberapa derajat. Tidak sampai minus, tapi dinginnya sanggup membekukan tulang. Angin musim gugur bergerak pelan, menerbangkan dedaunan kering dari pohon-pohon tua.
Yuta berdiri terpaku di depan sebuah kamar. Sayup-sayup isakan terdengar dari dalam. Suara bentakan dan bunyi lecutan ikut terdengar sampai keluar. Laki-laki itu menghela nafas, baru saja ia akan berlalu namun sebuah suara membuatnya terkejut.
"Appa….."
Yuta menoleh dan mendapati anak laki-lakinya tengah menatapnya sendu. Ia berdehem sekilas lalu berjalan mendekati putranya yang terpaut beberapa meter darinya.
"Jaemin sayang… Kenapa kau keluar dari kamarmu? Kau belum sembuh dari sakitmu"
Yuta berkata sambil meletakkan telapak tangannya di dahi Jaemin. Ia meringis kecil saat mendapati suhu tubuh putranya itu masih tinggi. "Kembalilah ke kamarmu, appa akan menemanimu sampai tertidur dan mengganti kompresmu"
Jaemin menggeleng. "Tolong katakan pada eomma untuk tidak memukul Haechan lagi" ucapnya pelan. "Haechan saudara kembarku.. Aku….. Aku bisa merasakan kesakitan dan kesedihannya" Jaemin menatap sang ayah dengan mata berkaca-kaca, berharap laki-laki itu akan mengabulkan keinginannya.
Jaemin terbatuk setelahnya, anak itu hampir terjatuh ke lantai kalau Yuta tidak segera menangkapnya. Yuta dengan cepat menggendong putra kesayangannya untuk kembali ke dalam kamar. Ia menyelimuti Jaemin dan segera menghubungi dokter pribadi keluarganya.
"Appa……." Panggil Jaemin. Ia berusaha bangun dari tempat tidur tapi tubuhnya terasa lemas sekali.
"Tidurlah, appa akan memanggil eommamu kemari." Yuta berkata mutlak. "Jangan memikirkan hal lain selain kesehatanmu. Arrachi?" tambahnya. Ia mengelus pipi Jaemin penuh sayang lalu beranjak keluar kamar.
Jaemin terdiam, bulir bening mengalir menuruni pipi tirusnya. Selalu seperti ini. Ia yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan.
'Apa yang harus kulakukan Tuhan………….'
HURT ME
Isakan itu masih menggema memenuhi kamar bernuansa biru muda. Di sudut sana, seorang anak laki-laki meringkuk menghadap tembok dengan punggung yang dipenuhi bekas lecutan berwarna merah.
CETAR
Haechan –anak laki-laki itu tersentak saat ikat pinggang kembali menyapa punggungnya. Ia menggigit bibir, rasa perih menjalar di seluruh tubuhnya. Ia menahan sekuat tenaga agar tidak mengeluarkan suara sekecil apapun. Ia sudah terlalu hafal, ibunya akan lebih kejam menghajarnya jika ia bersuara. Namun ia gagal, isakannya terdengar keras. Dan ibunya semakin bersemangat untuk membuatnya menderita lebih dari ini.
CEKLEK
Suara pintu terbuka. Yuta berjalan menghampiri laki-laki yang masih memegang ikat pinggang, setelah berada disampingnya, ia memeluk laki-laki cantik itu dari belakang.
"Ten…. Jaemin membutuhkanmu.. Demamnya tidak turun-turun daritadi"
Ten menjatuhkan ikat pinggang yang dipegangnya. Raut khawatir tercetak jelas di wajah putihnya. "Kenapa tidak memanggilku daritadi" katanya kesal. Ia melepaskan pelukan suaminya lalu berjalan dengan cepat keluar kamar.
Yuta menghela nafas, istrinya itu pasti marah padanya.
"Akh…"
Atensi laki-laki Jepang itu beralih pada suara rintihan dibelakangnya. Ia menoleh dan mendapati Haechan merangkak untuk mengambil kaos yang berada di dekat kakinya.
"Aboeji… Permisi… Aku ingin mengambil kaosku."
Rahang Yuta mengeras mendengar anak itu memanggilnya dengan sebutan aboeji. Haechan –saudara kembar tidak identik Jaemin. Sampai kapanpun, ia tidak akan pernah mengakuinya. Putranya hanya satu –Nakamoto Jaemin. Tidak ada yang lain.
"AKH!"
Haechan berteriak. Ayahnya menarik rambutnya begitu kuat, mendongakkan kepalanya ke belakang sebelum membenturkannya ke dinding di belakangnya. Haechan memejamkan mata, rasa pening kembali ia rasakan. Kepalanya sudah menghantam dinding entah untuk yang keberapa kali.
DUAK
Lagi.
Yuta membenturkan dahi Haechan pada dinding. Cairan merah mengalir keluar dari hidung sang anak.
"Jangan memanggilku dengan sebutan itu kau sialan… Mengerti?"
Haechan mengangguk takut. Ia tak berani menatap mata sang ayah. Tubuhnya terkulai lemas saat Yuta melepasnya. Haechan kembali meringkuk, menekuk tubuhnya dalam posisi janin. Posisi anatomis manusia jika mereka sedang merasa tidak aman.
Air mata Haechan kembali mengalir, diusapnya darah yang masih keluar dari hidung. Ayahnya sudah keluar dari kamar, tinggal ia sendiri di dalam kamarnya.
Haechan menggigit bibir, ia tidak ingin menangis. Ia lelah menangis. Hatinya sudah lama terluka, bahkan sejak ia kecil. Harusnya ia tumbuh kuat, tidak menjadi anak laki-laki cengeng seperti ini.
"Haechan –ah…. Aboeji dan emmonim menyayangimu. Hiks….. Makanya mereka memarahimu." Haechan berkata pada dirinya sendiri. Ia mengusap air mata yang masih mengalir "Kau tidak boleh marah pada mereka… Kau yang salah karena mengajak Jaemin membeli es krim. Ini salahmu, bukan salah mereka"
Seburuk-buruknya perlakuan Ayah dan Ibunya, Haechan tetap menyayangi mereka. Ia yakin, suatu saat nanti akan ada hari dimana ia bisa merasakan pelukan sayang dari sang Ayah, ciuman di kening dari sang Ibu.
Haechan yakin itu. Tidak ada penderitaan yang bertahan selamanya. Tuhan tidak akan sekejam itu pada umatNya.
Haechan merangkak untuk mengambil kaosnya yang tergeletak di lantai dan segera memakainya. Ia menghembuskan nafas perlahan, tangisnya telah berhenti. Ia melirik jam weker yang ada di atas nakas lalu buru-buru berdiri, mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Ia sudah berjanji untuk mengajari Chenle bahasa Korea. Ia sudah terlambat lima menit, dan perjalanan kerumah Chenle membutuhkan waktu sekitar lima belas menit menggunakan bus. Chenle itu anak sahabat ayahnya –Kun Ahjussi dan Winwin Ahjussi.
Haechan tersenyum lega karena masih bisa mengejar bis terakhir. Ia berjalan sedikit terhuyung menuju bangku kosong di dalam bis. Kepalanya pusing lagi, hidungnya juga kembali mengeluarkan darah. Ia mengusapnya dengan cepat karena orang-orang di dalam bis mulai memperhatikannya.
"Apa kau tidak membawa jaket? Udara sedang dingin-dinginnya, kau bisa membeku. Pantas saja kau sampai mimisan." Seorang wanita tua menyodorkan sebuah jaket kearahnya. "Pakailah ini, kebetulan aku membawa dua jaket tadi. Kau tidak perlu mengembalikannya"
Haechan tersenyum lebar, betapa beruntungnya ia bertemu dengan orang baik seperti wanita tua itu. "Terimakasih banyak halmoeni, aku memang terburu-buru tadi sampai lupa membawa jaket" kata Haechan sembari memakai jaket dari wanita itu.
Rasa hangat segera menjalar setelah ia memakai jaket berwarna dongker itu, dan hal tersebut membuatnya mengantuk. Haechan menyenderkan kepala di kaca jendela bus. Ia memejamkan mata dan segera terlelap menuju mimpi.
Sebuah tepukan di bahu membuat Haechan terbangun. Ia mengerjapkan mata, mengumpulkan kesadarannya yang masih setengah.
"Nak, kau mau berhenti dimana? Ini sudah pemberhentian terakhir"
Haechan gelagapan, harusnya ia berhenti di pemberhentian pertama, tapi ia tertidur sampai kelewatan seperti ini.
"Aku turun disini saja. Terimakasih sudah membangunkanku"
Haechan berjalan tak tentu arah. Bodohnya ia lupa bertanya darah mana ini. Trotoar pertokoan nampak dipenuhi manusia. Ia berjalan pelan sambil melihat kanan-kiri, sesekali bersinggungan bahu dengan orang-orang yang lalu lalang.
"Ughhh…."
Haechan memegang kepalanya yang berdenyut-denyut. Pusing itu kembali lagi, ia mengerjapkan mata saat bayangan hitam perlahan-lahan mulai berkumpul. Haechan memohon dalam hati supaya tetap sadar, setidaknya sampai ia bisa menemukan telepon umum untuk menghubungi Kun Ahjussi.
Namun sepertinya permintaannya tidak terkabul, tubuhnya terasa lemas. Kepalanya terasa berputar-putar. Keringat dingin mengalir menuruni pelipisnya. Haechan berjalan dengan kekuatannya yang tersisa.
BRAK
Seseorang menabraknya bahunya begitu keras, membuatnya terhyung kesamping. Lalu setelahnya hanya gelap yang ia rasakan.
"Yatuhan….. Apa kau baik-baik saja?"
Dooyoung panik. Ia memang sedang buru-buru tadi sehingga tidak begitu memperhatikan jalanan. Ia tidak tahu kalau ia bisa menyakiti seseorang hanya dengan bersentuhan bahu.
Ia semakin panik saat melihat seorang anak laki-laki tergeletak di trotoar tak bergerak. Beberapa orang berhenti untuk melihat namun tak membantunya. Dooyoung mengeram, ia berteriak
"Bantu aku membawanya ke mobilku!"
HURT ME
Taeil menutup pintu dengan pelan. Kamar rawat rumah sakit itu tampak hening. Detakan jarum jam terdengar nyaring. Laki-laki itu menghela nafas, dilihatnya Dooyoung masih sama seperti sebelum ia meninggalkannya. Duduk menunggui seseorang yang tertidur begitu tenang diatas ranjang rawat.
"Hey, kenapa masih disini. Kau pasti belum makan?"
Taeil mengusap lengan Dooyoung lembut karena tak mendapat balasan dari istrinya itu.
"Kau tahu hyung… Jantungku rasanya seperti akan meledak. Kupikir, dia adalah jawaban yang selama ini kunanti" ucap Dooyoung
Dooyoung menatap Taeil dengan mata berbinar. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini, juga sesakit ini. Saat pertama kali ia menggendong anak laki-laki itu, sesuatu dalam dadanya seperti meletup. Ketika ia menyentuh wajah penuh lebam itu, tangannya bergetar. Bukan karena takut, melainkan sensasi bahagia dan sakit yang muncul bersamaan.
Perasaan itu muncul begitu saja, begitu ingin melindungi, menyayangi. Entahlah, Dooyoung tak pernah merasakan hal ini sebelumnya.
Taeil tersenyum maklum. Ia mampu menangkap maksud dari ucapan istrinya itu. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa, ia juga tidak ingin memberikan harapan palsu untuk laki-laki terkasihnya itu. Anak itu pasti memiliki keluarga sendiri, ia tidak bisa seenaknya mengangkatnya sebagai keluarga jika tidak ingin bermasalah dengan hukum.
"Eungh…."
Lenguhan pelan terdengar, menghentikan percakapan suami istri itu.
Jantung Dooyoung berdetak keras saat mata yang tadinya tertutup itu mengerjap pelan. Ia menahan nafas ketika netra itu terbuka dan menampilkan iris hitam yang berkilat–
Penuh luka.
Sesuatu dalam dadanya seperti tersengat listrik, seperti ikut merasakan luka di balik mata yang menatapnya kosong itu.
"A…. Ampun……."
Kata pertama yang keluar dari mulut anak laki-laki itu membuat Taeil maupun Dooyoung mengernyit.
"Maaf… Maafkan aku…."
Dooyoung terkejut saat anak itu mencabut paksa infus yang terpasang di pergelangan tangannya. Darah mengucur deras membasahi pakaian rumah sakit serta ranjang rawat.
"Kumohon jangan pukul aku lagi…."
"A… aku janji akan belajar lebih rajin… Hiks….."
Anak laki-laki itu turun dari ranjang rawat, berjalan terhuyung-hyung seperti orang linglung. Bibirnya menyunggingkan senyum saat menemukan tumpukan majalah diatas meja yang memang tersedia di ruang rawat VIP itu.
Dooyoung berjalan mendekat. Hatinya sakit melihat tubuh ringkih itu menangis sesenggukan sambil membuka kasar halaman per halaman majalah itu. Ia tidak tahu apa yang dilakukan anak itu sebenarnya.
"Hei…. Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Dooyoung lembut
Anak itu –Haechan tersentak saat Dooyoung berada beberapa langkah darinya. Tubuhnya gemetar hebat, air mata membasahi wajahnya yang sangat pucat. Ia meringkuk diatas lantai.
"Maaf… Hiks… Aku akan belajar lebih giat emmonim. Maaf.. Jangan pukul lagi.."
Dooyoung mengerti maksud dari anak itu sekarang. Ia sedang belajar. Dooyoung tahu mungkin saja anak itu masih tidak sadar sepenuhnya, jadi ia bertindak seperti ini –diluar kesadarannya. Tapi hal apa yang membuat anak tersebut sampai memohon seperti itu.
Taeil ikut mendekat. Ia bermaksud untuk memeluk anak itu karena jujur saja, laki-laki itu tidak tega. Namun hal tersebut membuat anak laki-laki itu semakin ketakutan.
"Maaf… Maaf aboji…." Haechan beringsut menjauh. Matanya bergerak gelisah "Maaf karena aku hanya bisa memenangkan lomba menyanyi" Ia mengambil sebuah vas yang terletak di atas meja lalu kembali duduk bersimpuh di lantai.
"Ini…. Hiks…. Piala ini untuk aboji… Hiks…. Maaf jangan pukul Haechan lagi"
Air mata mengalir deras membasahi pipi Dooyoung. Anak itu bernama Haechan –sedang menyodorkan vas bunga itu pada Taeil, menganggapnya sebuah piala penghargaan. Darah menetes membasahi lantai, beberapa tertinggal di wajah manis itu karena Haechan berusaha menghapus air matanya.
"Haechan –ah…. Tenanglah…. " Lirih Dooyoung. "Eomma tidak akan menyakitimu." Tambahnya. Ia berjalan semakin mendekat, menatap mata kosong yang dipenuhi air mata itu penuh sayang. Ia tersenyum saat anak laki-laki itu menjatuhkan vas bunga yang dipegangnya dan bergerak mendekat ke arahnya.
"Emmonim….. Maaf karena tidak bisa sepintar Jaemin"
Dooyoung menggeleng. Ia tidak tahu siapa itu Jaemin dan dia tidak peduli. Keduanya mendekat, dan ketika mereka hanya berjarak beberapa centi. Haechan berhenti, seperti ragu untuk mendekat karena takut mendapat penolakan.
Maka Dooyoung yang akan menghapus segala keraguan itu. Dengan penuh kelembutan ia memeluk tubuh yang bergetar hebat itu dan memberikan kehangatan padanya. Dikecupnya puncak surai kecoklatan itu penuh sayang, berkali-kali hingga tubuh itu berhenti gemetar.
Air mata Dooyoung semakin deras mengalir saat anak itu mengucapkan kalimat yang membuat hatinya sakit bukan main.
"Maafkan aku karena telah terlahir di dunia ini, emmonim…."
Detik itu juga, Dooyoung berjanji untuk melindung Haechan dengan nyawanya.