Disklaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto. Tidak ada keuntungan apa pun dalam pembuatan fanfiksi ini.

Peringatan: Light-Romance/Drama; SasuHina seperti biasa. Canon Setting.


GOING HOME

[Bab II]

Sampel untuk History of SasuHina: Pulang

oleh Kentang Jamur[Eternal Dream Chowz dan Kenzeira]


Perang ninja ketiga sudah usai beberapa saat yang lalu. Mugen tsukuyomi sudah dilepas. Kaguya sudah tiada. Namun ada pertarungan yang masih tersisa.

"Menyerah sajalah dan biarkan aku membunuhmu!"

"Tidak, aku yang akan mengalahkanmu!"

Pekatnya darah bercampur bau tanah terasa anyir. Suara pertemuan kunai dan katana menimbulkan bunyi nyaring lalu terhempas. Keduanya lanjut saling memberikan tinju dan tendangan. Tetap saja masih belum ada yang menyerah. Bocah kuning bekerja sama dengan rubah berekor sembilan, melawan pemuda klan Uchiha. Keduanya mengumpulkan cakra, menabrakkannya tepat di tengah.

Cahaya keunguan meledak di langit. Para ninja yang tak berani mendekat takjub menatap.

Seusai serangan, keduanya jatuh menurut pada gaya gravitasi. Mendarat dengan punggung mereka. Rasanya menyakitkan. Tak diketahui siapa menang dan siapa kalah.

Dua orang jatuh menabrak tanah, bernapas cepat, kelelahan dan terluka. Uzumaki Naruto memejamkan mata. Kelelahan. Kehabisan energi. Sasuke sama, hanya saja ia tidak memasang senyum tolol layaknya yang dilakukan si pirang itu. Ia terlalu lelah untuk menarik sudut bibirnya, pun bukan kebiasaannya untuk memamerkan senyum. Bodoh rasanya membahas itu di tanah peperangan.

Ah, sial.

Keadaannya sulit. Naruto menyerang lengannya. Bertarung dengan Naruto setelah mereka baru saja mengalahkan Kaguya Otsutsuki membuatnya lengah. Lengannya putus dan si bodoh itu tergeletak di sampingnya, pingsan entah kehabisan energi. Sasuke tidak terlalu peduli. Manusia bodoh itu masih punya tujuan hidup, sedangkan Sasuke? Entahlah.

"Jangan bergerak, kau bisa mati kehabisan darah."

"..."

Sasuke mendengus mendengar ucapan Naruto. Ia sudah pernah mengalami yang lebih parah dari ini. Wajah lebam membuat Sasuke kesulitan membalas dengan sarkasme, jadi ia diam saja.

Naruto masih bicara banyak di sampingnya, Sasuke kesulitan mendengar, hanya menyimak perkataan Naruto mengenai teman dan sahabat. Sasuke diam saja, apa yang dikatakan Naruto memang benar. Dan yang menganggapnya teman memang hanya si bocah kuning keras kepala itu. Sasuke menghargai itu.

Sasuke menjulurkan tangannya yang utuh, menggapai ke atas, seolah bisa meremukkan bulan yang bersinar terang di atas sana. Ia memejamkan mata sekali lagi. Ia kembali ke pihak Konoha. Sasuke tidak pernah memikirkan ia akan kembali ke desa yang membuat keluarganya terbunuh. Sasuke tidak mendambakan hidup di desa yang dipenuhi rahasia keji itu. Ia menyesali dirinya harus terlahir di Konoha.

Ini semua adalah rangkaian ironi. Berakhir baik atau buruk, Sasuke tak bisa menilai dengan keadaannya sekarang.

Sasuke membunuh Itachi, sisa keluarga satu-satunya. Balas dendam apa? Ia malah membunuh anggota keluarganya yang tersisa. Ia tidak bisa mengembalikan semuanya seperti dulu. Balas dendam yang ia inginkan berbuah penyesalan besar. Dan hal ini menggelikan. Perintah para tetua desa kepada Itachi untuk membunuh semua yang bermarga Uchiha, menyisakan dirinya yang penuh dendam dan terperangkap dalam kebohongan besar yang terungkap setelah Itachi mati.

Dan sekarang apa? Sasuke membantu pihak Konoha dalam perang. Sasuke tidak mengerti mengapa ia melakukannya. Demi siapa? Itachi kah? Atau demi membersihkan nama keluarganya sendiri? Ia tidak tahu. Jelas ia tidak akan mendapat apa pun dari jerih payahnya ini. Mengandalkan Naruto untuk mendukungnya tidak menjamin ia akan bisa kembali ke Konoha secara baik-baik.

Untuk apa ini semua, ia tak paham lagi. Segala pemikiran melintas di kepalanya. Seakan kehilangan akal. Yang ia tahu hanya menyerang siapa saja yang menghalangi jalannya. ia menyesal sekarang dan ia tahu semuanya tidak berguna lagi. Ah, sungguh menyedihkan.

Sasuke masih sadar. Matanya menyorot langit, gelap. Awan bergumpal-gumpal dengan warna keunguan, menutupi bulan dengan kegelapan seolah mengejeknya, tak ada cahaya yang akan kembali padanya. Ia hanya akan ditelan kegelapan lalu mati sebagai orang jahat. Sederhana sekali. Dan itu pantas ia terima.

Karena sampai akhir, ia akan menjadi antagonis.

Naruto tergeletak tak sadarkan diri. Menilai dari napasnya yang beraturan, Sasuke yakin Naruto tertidur. Ia menghela napas, sekali lagi melirik sahabat bodohnya.

Pemuda itu beringsut, dengan tenaganya yang tersisa, menyeret kakinya. Pergi menjauh. Ia tetap tak tahan berada di sini. Bukan berarti ia akan tinggal di sini sesuai keinginan Naruto. Ia tidak bisa, dan ia tidak berniat. Ia pergi, tak lagi menatap ke belakang. Ia lelah dan ia tidak ingin berada di sini. Sasuke tak heran ketika beberapa saat kemudian para ninja berlarian ke arah Naruto, panik dan beramai-ramai mengelilinginya, menatap Godaime mengobati lengan Naruto yang keadaanya sama dengan Sasuke.

Tak ada yang menyadari dia pergi, ia pun tak butuh seseorang merengek kepadanya agar ia berhenti melarikan diri. Punggungnya terasa dingin, anyir dari tangannya yang berdarah tidak lagi dipedulikan, ia hanya melangkah tanpa arah. Darah menitik mewarnai kepergiannya. Kosong dan tak bermakna.

Ia sudah pergi agak jauh. Gumamannya terdengar, "Aku akan pergi dan melihat dunia luar."

...


"Hinata, kau baik-baik saja?!" Kiba berteriak di kejauhan, ia berada di punggung Akamaru. Shino ada di dekatnya. Gadis berambut ungu mengangguk cepat kepada teman satu timnya. Ia melambaikan tangan.

"Aku baik-baik saja, aku akan mengobati yang terluka."

"Hati-hati, Hinata. Jangan pergi terlalu jauh!"

Hinata mengangguk sekali lagi. Gadis itu berbalik badan, pergi ke direksi lain.

Hinata terbatuk-batuk, tenaganya tak lagi tersisa banyak. Ia butuh waktu untuk pulih. Berkat cakra sang bocah rubah, ia bisa bertahan lebih lama. Hinata bergegas, berlari. Ia menggunakan byakugan sesekali. Ia mengehela napas, menjaga kesadarannya. Ia harus menemukan pemuda itu. Bocah rubah si penyelamat desa sudah dinyatakan sadar oleh Tsunade. Sakura dan teman-teman lain menemaninya.

Hinata beberapa kali terhenti untuk menyelamatkan rekan yang terluka, namun ia tak bisa berlama-lama. Hinata beberapa kali menyusuri lokasinya dengan byakugan, tidak mendapat secercah jawaban. Ia menggigit bibir.

Hanya pemuda itu yang lenyap.

Beberapa orang diperintahkan untuk mencarinya. Uchiha Sasuke. Ninja pelarian Konoha itu tak terlihat di manapun juga. Seusai pertarungan sengit dengan Naruto, ia pergi entah ke mana. Orang-orang baru berani mendekat beberapa waktu kemudian setelah tidak ada lagi tanda-tanda pertarungan. Dan Sasuke menghilang.

Tapi mengetahui kondisi para ninja yang juga kelelahan akibat perang, mereka tak akan bisa menemukannya secepat itu. Hinata tidak bisa menutup mata dan membiarkannya begitu saja. Hinata tidak bisa meninggalkannya. Ia harus menemukannya. Byakugan kembali diaktifkan. Gadis itu kembali mencari. Kesusahan. Namun ia tidak menyerah.

Ia tidak datang untuk menyerah.


.

Aku tidak memiliki rumah untuk pulang.

.


Seperti mimpi—ataukah bayangan-bayangan menyenangkan itu merupakan kepingan masa lalu, terlintas tak menentu, menghantam diri yang sudah tak lagi memiliki asa untuk hidup sebagai mana mestinya; menjadi ninja dan hidup sebagai ninja. Tapi harapan yang terdengar sederhana itu mendadak saja terasa begitu jauh, jauh, jauh sekali (ah, bukan, bukan mendadak, sedari dulu ia memang tak pernah memikirkan apa dan bagaimana hidupnya sehabis menuntaskan dendam).

Dendam yang lantas membawa luka pada dirinya sendiri; penyelasan. Perasaan sesal yang tak lelah membuntuti diri. Sasuke merasa tidak pantas menjalani hidup bahkan jika itu sangat sederhana. Ia merasa luka di tangannya yang putus semakin menyakitkan. Chakra habis tak bersisa. Ia tidak mampu melangkah lebih jauh lagi.


.

Pulanglah ke mana hatimu berada, Sasuke-kun.

.


Hatiku?

Di mana hatiku berada, aku bertanya-tanya.

Barangkali lenyap bersama kematian Ayah dan Ibu.

(Sasuke terisak)

Dan kakak.


.

Aku tidak keberatan menjadi alasan kau pulang.

.


Siapa?

Sejak pertarungan dahsyat melawan Naruto, Sasuke tampaknya sudah terbiasa melihat cahaya—begitu terang, silau sekali, cahaya kebaikan dan semangat membara dari pemuda yang tak lelah menginginkannya pulang ke Konoha. Kemudian, ia melihat dirinya sendiri. Hitam. Gelap. Sasuke adalah personifikasi dendam dan kesepian, kesedihan tak ada ujung yang bahkan semakin bertambah setelah dendam dituntaskan. Perasaan sepi semakin merajai diri, membuatnya sadar bahwa di dunia ini, ia cuma sendiri.

Satu-satunya Uchiha. Klan terkuat sepanjang masa. Ironisnya, klan itu kini tidak memiliki harapan.

Tapi, tiba-tiba saja, ia merasakan ada cahaya lain, menelusup pelan-pelan, membawa kedamaian, ketenangan, perasaan hangat seperti latihan melempar kunai bersama Itachi, seperti ketika ayahnya memuji dan ibunya mengelus puncak kepala. Sasuke tidak ingin bangun. Sepertinya saat ini ia tengah mendekati ajal, bersiap-siap menyusul. Uchiha akan lenyap dari muka bumi seakan tak pernah ada. Namun, cahaya lain tersebut justru membuatnya membuka mata.

Cahaya itu tidak begitu terang, tidak juga menyilaukan. Cahaya itu sedikit redup tapi lembut. Seperti seorang perempuan yang ditemuinya di Negara Hujan.

"Jangan bergerak dulu, aku sedang mengobatimu."

Sasuke teringat sesuatu.


.

"Aku tidak tahu apa yang membawamu ke Desa Hujan, tapi jangan kau ulangi lagi ketololanmu. Tidak akan ada yang mau menyelamatkan perempuan lemah sepertimu."

"Tapi kau menyelamatkanku."

.


Sekarang, giliran aku yang diselamatkan olehmu. Begitukah, Hinata?

Kau akan memanen apa yang kau tanam. Entah kenapa sekarang Sasuke memercayai itu. Ia membalaskan dendam membabi-buta, menyalahkan, menyerang tanpa ampun tanpa mau mendengarkan penjelasan apa-apa. Kini ia terluka karena hal tersebut, luka yang akan terus membekas seumur hidupnya, menghantui diri. Namun, ketika ia melihat ke sisi lain, ia jadi menyadari sesuatu; ia pernah menyelamatkan perempuan itu, sekarang, giliran perempuan itu yang menyelamatkannya. Sasuke telah memanen apa yang ia tanam.

Cahaya hangat dan menenangkan; Hyuuga Hinata.

Pantaskah aku menerima kebaikan hati perempuan ini?

Sasuke memandang Hinata dalam diam. Hinata fokus mengobati luka pada organ dalamnya.

Aku ingin pulang rasanya.

Sasuke menertawakan pemikiran konyolnya. Hinata memandang heran, lantas rona merah muda menghiasi kedua pipi.

"Kau seharusnya tidak melakukan itu. Pertarungan dengan Naruto-kun. Perang telah usai dan kalian bisa berdamai."

"Semudah itu?"

"Semudah itu."

"Lalu, apakah aku bisa pulang?"

Hinata terdiam. Sasuke menunggu jawaban.


.

Ke mana aku harus pulang?

Apakah pergi dan melihat dunia luar adalah pilihan terbaik?

.


"Kau bisa pulang, tentu saja."

Sasuke kembali memandang Hinata, hendak mempertanyakan ke mana ia harus pulang. Tapi, hanya dengan memandang, Sasuke langsung tahu ke mana ia harus pulang; ke tempat cahaya hangat dan menenangkan itu. Dia; yang terluka tapi tetap berusaha mengobatinya. Dia; yang tidak tahu akar permasalahan hidupnya namun tetap berusaha untuk membuatnya pulang.

Dia; Hyuuga Hinata.


.

.

.

Hinata tidak pernah membayangkan, tidak bahkan satu kali, bahwa akan ada satu episode dalam hidupnya yang menjemukan berubah begitu menyenangkan; setiap hari, setiap waktu, menanti seseorang kembali—mengetuk pintu, kadang-kadang bahkan menerobos begitu saja lantas membangunkannya melalui ciuman lembut di kening, dan kalimat yang tampaknya terdengar sederhana namun memiliki arti yang sungguh dalam.

Tadaima.

Kemudian ia akan memberikan jawaban, jawaban yang lalu membuat sosok itu mengulas senyum tipis (tipis saja, tapi tipis ataupun tidak, tetaplah senyum—senyum yang merepresentasikan kebahagiaan). Selepas dikecup, Hinata akan menangkup wajah lelaki itu, membalas kecupan di kening, lantas memberikan jawaban sebagaimana mestinya.

Okaerinasai, Sasuke-kun.

Hal yang demikian sederhana itu mula-mula sulit untuk dilalui. Banyak hal yang harus dihadapi; dosa-dosa Sasuke atas kematian Danzou serta pengkhianatan yang dilakukannya, terlampau banyak untuk dimaafkan begitu saja. Sasuke diasingkan, tidak diterima di lima negara besar selama lebih dari lima tahun. Lelaki itu memutuskan untuk mengembara, menanam benih-benih kebaikan di setiap jalan yang ditapakinya, menjadikan kebaikan itu sebagai tanda bukti bahwa Sasuke telah berubah. Tidak lagi kejam, tidak lagi jahat, tidak lagi dipenuhi dendam (meski perasaan sepi tetap tidak berubah).

Selepas masa pengasingan berakhir, Sasuke enggan kembali. Tampaknya mengembara sudah menjadi bagian dari dirinya, menjadi salah-satu cara terbaik menuntaskan dosa-dosanya di masa lalu. Tapi kehangatan dan senyum Hinata tidak mau lenyap. Sasuke barangkali tidak akan pernah pulang andai kata Hinata tidak ada di sana, di Konoha. Sasuke juga tidak akan pulang andai kata dia tidak berjumpa dengan perempuan itu di Negara Hujan, membuka topik pembicaraan mengenai ke mana Sasuke bakal pulang dan berakhir di medan perang; saling menyembuhkan luka.

Hinata tidak menyangka Sasuke akan benar-benar kembali—pulang. Sungguh pulang pada dirinya, bukan sekadar pada Konoha beserta rekan-rekan di Tim Seven. Sasuke pulang untuk Hinata, bukan untuk Naruto yang mana selama ini selalu mengejar Sasuke agar kembali ke Konoha, bukan pula untuk Sakura yang selama ini mencintai Sasuke. Sasuke pulang hanya untuk Hinata.

Tidak ada yang mengira, tidak pula Shino dan Kiba, kawan sejawat yang tahu Hinata diam-diam mencintai Naruto. Tapi perasaan manusia itu mudah dibalik. Seperti juga pernikahan tak terduga antara Rock Lee dan Sakura (serta Naruto dan Karin, yang belakangan ini diketahui sama-sama memiliki marga Uzumaki). Kini, Hinata diam-diam selalu menanti kepulangan Sasuke (yang meski telah resmi pulang ke Konoha, namun tetap tak mampu melepaskan kebiasaan mengelana).

"Aku mungkin tidak akan sering kembali, tapi aku cuma mau kembali karena kau, Hinata."

Kalimat yang terdengar egois, namun Hinata dengan senang hati menanti. Kemudian, di tahun kesepuluh setelah perang dunia ninja berakhir, Sasuke dan Hinata akhirnya meresmikan hubungan melalui pernikahan sakral. Setelah menikah, Sasuke sesekali tetap mengembara. Namun ketika Hinata mengandung, Sasuke tidak lagi mengembara. Lelaki itu lebih sering di rumah, melakukan tugas-tugas yang diberikan hokage dan selalu pulang sebelum larut malam.

Seperti malam ini; ketika Hinata terbangun karena kecupan Sasuke, dan ketika Sasuke tersenyum ketika Hinata membalas kecupannya.[]


{end}

10:48 PM – 22 February 2017

A/N: Halo semuanya, ini chapter kedua sekaligus terakhir dari fanfiksi Going Home yaa~~~ Semoga suka. Maaf lama karena kami punya kesibukan masing-masing jadi waktunya agak susah klop untuk menyelesaikan sesegera mungkin. Terima kasih bagi yang sudah berpartisipasi pada event ini ya, kami mengucapkan terima kasih.

Semoga berkenan meninggalkan cinta berupa review ;)