Author's Note : Hello minna~! Chapter 2 baru datang... selamat menikmati~

Terimakasih kepada reviewer yaitu : YaYoo117, aka-chan, gici love sasunaru, choikim1310, Aura57, michhazz, SayuriDaiseijou, Hazzalea Hazel, kyunauzunami, Ryuuki621, Hairulchan Ukeyaoiyadongers769, guest, arra fina, Vilan616, gyumin4ever, Classical Violin, sanaki chan, Habibah794, Yukayu Zuki, Furihata719, eka, D, Mikami, Leethakim, amura, Dodomppa, jeon nay, InmaGination, ppkarismac, Ichigo, Haku.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pairing : SasuNaru

Genre : Romance, Tragedy, Crime.

Rate : T-M

Warning : BL, Yaoi, Sho-ai, Typos, dll.

Ore No Mono

yukka-keehl

Chapter 2 : Memory

Naruto sangat ingin menggerutu saat dirinya diseret Sasuke. Tapi mulutnya hanya bisa bungkam. Sasuke juga tak mengeluarkan perkataan apapun. Dia bermuka lurus seperti biasa.

Naruto masuk ke mobil pribadi Sasuke, disusul Sasuke. Bingung harus berkata apa, tepatnya bertanya mulai darimana, Naruto hanya diam. Tentu banyak yang ingin dia tanyakan.

Naruto ingin sekali bertanya mengapa Sasuke melakukan hal ini. Jika memang Sasuke berniat menolong Naruto, maka Naruto akan sangat berterimakasih. Tapi jika dia hanya memanfaatkan Naruto, Naruto tidak masalah. Naruto tidak keberatan. Sungguh. Bahkan alasan itu lebih bisa diterima. Sebab justru akan aneh jika Sasuke melakukannya untuk menolong Naruto, bukan? Mereka sama sekali tidak terlalu kenal satu sama lain.

"Ano... aku akan dibawa kemana?" Tanya Naruto dengan ragu-ragu, dia mulai membuka suara tapi bingung harus bersikap seperti apa.

"Ke kediamanku." Jawab Sasuke singkat.

"Aku akan bekerja disana?"

"Hn." Jawab Sasuke yang dianggap Naruto sama dengan jawaban 'ya'.

"Digaji?"

"Hn."

"Berapa?"

"Tergantung pekerjaannya." Jawab Sasuke datar.

"Aku bisa buang sampah." Ujar Naruto dengan muka ceria seolah memberikan ide bagus.

"Itu enteng, gajinya sedikit."

"Aku bisa jadi pembantu rumah tangga."

"Aku sudah punya banyak, tak lagi diperlukan."

"Aku tidak bisa jadi koki."

"Aku tak mau mendengar apa yang tak kamu bisa."

Naruto menghela nafasnya berat. "Lalu apa yang kau butuhkan?"

"Ada pekerjaan dengan imbalan seratus ribu yen untuk satu hari." Jawab Sasuke.

Mata Naruto langsung berbinar. "Aku akan melakukannya! Pekerjaan seperti apa?"

"Kau harus tidur denganku."

"Ha?!" Naruto memandang Sasuke tidak percaya. Sasuke bahkan mengatakannya dengan ekspresi datar.

Sampai sang supir pribadi Sasuke pun terbatuk-batuk mendengar perkataan bosnya.

"Kau pikirkan saja, mau atau tidak." Kata Sasuke kalem tidak mempedulikan ekspresi kaget dari Naruto dan sang supir.

"Aku tidak mau." Kata Naruto. "Aku akan mencari pekerjaan lain."

"Terserah. Tapi karena aku telah membuatmu bebas dari hutang, kau harus menemaniku setiap waktu. Mematuhi perintahku."

"Yang benar saja..."

"Kalau tidak, aku bisa melakukan hal buruk padamu."

"Kalau begitu, aku sama saja tak bisa kerja di tempat lain."

"Tepat sekali."

"Heee..." Naruto benar-benar tidak percaya dengan apa yang terjadi.

Perjalanan pun dilalui dengan keheningan. Naruto membatu. Tubuhnya kaku, tak ada niat dari Naruto untuk menggerakannya. Mengapa semua orang selalu berniat untuk melakukan hal buruk padanya? Apakah hal buruknya Sasuke dan Kisame sama? Kisame bisa saja membunuhnya. Sasuke juga. Naruto bergidik, ia tidak ingin mati.

Selama ini ia telah berusaha untuk hidup, dan telah banyak menyusahkan ayah angkatnya. Jika ia mati begitu saja tanpa bisa membuat ayah angkatnya bangga, ia akan mati penuh dengan penyesalan dan selanjutnya bergentayangan.

Waktu berjalan dengan cepat, ia sampai di kediaman Sasuke yang megah dengan rumah gaya eropa. Semua pelayannya berjajar menyambut kedatangan tuannya. Naruto merasa ada di negeri dongeng. Semua pelayan Sasuke berbaju rapi, beda dengan anak buahnya Kisame yang bajunya bebas dan badannya penuh dengan tato. Mungkin Sasuke adalah mafia kelas internasional, beda dengan Kisame yang hanya mafia jepang.

Setelah pintu mobil dibukakan salah satu pelayan, Sasuke dan Naruto keluar. Semua pelayan menunduk pada Sasuke.

"Dimana ayah?" Tanya Sasuke pada salah satu pelayan perempuan.

"Sudah tidur, Tuan Muda." Jawabnya dengan suara lembut.

"Begitu..." Kata Sasuke kecewa, padahal dia ingin segera melaporkan penjualan sahamnya.

Sang pelayan perempuan itu memberikan senyuman lalu menatap kearah Naruto. Bukan hanya dia saja yang menatap Naruto, tapi semua pelayan menatap kedatangan rambut pirang yang semobil bersama Tuan Muda.

"Bawa dia ke ruangan kosong di lantai dasar, bawakan dia juga makanan, mulai hari ini dia asistenku."

"Baik Tuan." Jawab seluruh pelayan bersamaan.

Naruto hanya bisa nyengir setelah diperkenalkan Sasuke. Ia sendiri memang menyadari kalau dia harus tinggal dekat dengan Sasuke. Tapi apa tidak masalah dia tinggal di rumah yang sama dengan Sasuke? Jika Kiba tahu, dia pasti akan marah.

Naruto dibawa ke ruangan kosong yang dimaksudkan, ruangan itu megah sekali, berbeda dengan apartemennya yang bobrok.

"Saya akan membawa makanan untuk anda." Kata si pelayan perempuan yang mengantar Naruto.

"Kau tak perlu menggunakan bahasa sopan padaku, kita akan jadi teman." Kata Naruto dengan senyuman.

Perempuan itu tersenyum lembut. "Perkenalkan, namaku Tenten."

"Perkenalkan juga namaku Naruto."

Mereka pun berjabat tangan.

"Aku sungguh tidak percaya Tuan Muda akan mengangkat seseorang untuk menjadi asisten pribadinya."

"Oh ya?"

"Dia tidak pernah percaya pada siapapun."

"Aku hanya sial saja..." keluh Naruto.

"Sial?" bingung Tenten.

"Ah, tidak apa-apa."

"Kalau begitu, aku ambilkan makanan untukmu dulu."

"Terimakasih."

Tenten pergi, Naruto pun menghepaskan dirinya di kasur yang empuk. Ruangan ini sudah lama kosong, tapi terawat, tak ada debu sama sekali. Pelayan disini semuanya berkualitas tinggi.

Setelah memberikan makanan untuk Naruto, Tenten pun pergi ke kamarnya yang ada di bawah tanah untuk tidur. Memang hanya seorang asisten saja yang bisa tidur di lantai dasar dengan fasilitas tinggi.

-00-00-00-

Pagi hari Naruto dibangunkan oleh alarm yang sengaja Sasuke pasang di sebelah tempat tidurnya. Naruto dipaksa bangun jam empat pagi. Di sebelah alarm ada sebuah kertas berisi schedule Naruto yang disusun oleh Sasuke. Naruto melempar kertas itu dengan kesal. Lalu hendak tidur kembali.

Sialnya otaknya kembali mengingat perkataan Sasuke.

Aku akan melakukan hal buruk padamu.

Naruto langsung bangun, kepalanya pening. Ia memungut kertas yang tadi ia lempar dengan desahan kesal.

Jam empat pagi bangun dan mandi, jam lima pagi datang ke kamar Sasuke. Jam-jam selanjutnya kosong dengan catatan menyesuaikan jadwal kuliah, mungkin disanalah saatnya Naruto harus menaati semua perintah Sasuke. Naruto kesal sekali, dia baru saja tidur dan harus bangun sepagi ini. Andai saja dia bisa tidur delapan jam dalam waktu empat jam...

Naruto dengan lelah menuju kamar mandi yang ada di kamarnya. Ternyata dia menemukan satu setel baju ganti disana. Ukurannya pas di badan Naruto. Bagaimana Sasuke tahu ukuran bajunya? Memilih untuk tidak mempedulikannya, Naruto menenggelamkan dirinya di jacuzzi.

Andai saja hidupnya tanpa ancaman, ia bisa menikmati semua jamuan dari Sasuke dengan gembira. Kamar gratis, makanan gratis, tak perlu bayar listrik ataupun air. Tapi tetap saja Naruto butuh uang, meskipun dia terjamin hidup, tapi di dunia modern ini, uang sangat penting. Namun sayangnya hanya ada satu cara untuk mendapatkan uang dari Sasuke, yaitu kalian tahu sendiri.

Naruto selesai mandi, ternyata saking nyamannya, empat puluh lima menit sudah berlalu. Menyiapkan dirinya, Naruto keluar dari kamarnya menuju kamar Sasuke.

Naruto tak mengetahui letak kamar Sasuke, ia pun bertanya kepada maid yang kebetulan sedang membersihkan lorong depan kamarnya. Karena dua menit lagi jam lima pas, Naruto terburu-buru.

"Shit." Umpat Naruto pelan, sadar dia sedang ada di mana.

Sialnya dia lupa penjelasan maid tadi. Antara pintu ketiga atau kedua. Kemungkinan lima puluh persen. Naruto memilih pada instingnya. Padahal instingnya tak begitu kuat, malah sangat lemah. Naruto berjampi-jampi semoga tebakannya benar. Ia lupa mengetuk pintu, langsung membuka pintu kedua dengan lebar.

Mata Naruto melotot, mulutnya menganga. Mukanya horor sekali. Ia kaget dengan apa yang dia lihat.

Seorang wanita telanjang berambut merah sedang mengendarai laki-laki yang ada di bawahnya. Dalam sedetik wanita itu berhenti, menoleh ke asal suara, mukanya langsung berubah menjadi kaget dan merah. Laki-laki yang mirip Sasuke pun menoleh kepada Naruto.

Hening.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Maafkan aku atas kelancanganku!" Naruto langsung membungkuk, lalu menutup pintu dengan cepat.

Dengan cepat pula ia memasuki kamar ketiga, takut dimarahi orang yang tadi ia ganggu. Sasuke yang sedang duduk di kasur memandang kedatangan Naruto dengan bingung.

"Kau sudah terlambat..."

"Siapa orang sebelah kamarmu?" tanya Naruto.

"Kakakku, namanya Itachi."

"Astaga... aku bisa mati." Wajah Naruto menjadi semakin jelek, dia ketakutan sekali.

"Kenapa memangnya?"

"Aku memergoki dia sedang berhubungan dengan wanita."

Sasuke mendengus. "Sudah biasa, tenang saja, dia tidak akan melakukan apapun padamu, paling hanya bertanya-tanya siapa kamu."

"Begitu ya..." Naruto mulai mengatur nafasnya, jantungnya mulai tenang. Hatinya ikut lega.

"Ya... kakakku orang baik, hanya saja sifat playboy-nya tak bisa diobati, sampai ayahku pusing."

"Ayahmu pasti stress sekali punya anak yang satu pecinta wanita dan yang satu homoseks."

"Aku bukan homoseks."

"Kau mengajakku tidur."

"Aku hanya menawarimu." Elak Sasuke.

"Apapun itu, tapi aku kan laki-laki."

"Aku tahu, tapi hanya kamu laki-laki yang aku tawari tidur."

"Hee..." Naruto mendekati Sasuke. "Apa aku begitu gantengnya sampai kau melihatku di setiap waktu ketika di kampus?"

Naruto pun berkaca di kamar Sasuke, menggerak-gerakkan kepalanya untuk melihat semua sudut wajahnya. Memang ganteng.

"Bukan karena ganteng, tapi karena saking bodohnya kamu membuat mataku tertarik."

"He, aku tidak bodoh!" Bantah Naruto. "Tapi ternyata kau banyak bicara juga ya."

"Kau membuatku banyak bicara, Dobe!"

"Aku bukan Dobe! Aku anak pintar, IPK-ku tinggi. Tapi soal membuatmu banyak bicara, itu prestasi bagiku." Lalu Naruto tertawa.

"Tidak ada yang lucu kurasa..." Kata Sasuke dengan nada bosan.

Kemudian terdengar suara ketukan pintu, Naruto kaget dan berhenti tertawa.

"Mungkin kakakmu datang." Bisik Naruto, tidak tahu kalau kamar Sasuke adalah ruangan kedap suara.

Sasuke mengangguk, ia berpikiran sama. Sasuke kemudian hendak membuka pintu, tidak mempedulikan protesan dari Naruto. Naruto yang bingung harus sembunyi dimana akhirnya memilih untuk sembunyi di belakang tubuh Sasuke yang tentu saja adalah ide buruk.

"Karin pergi dengan marah-marah gara-gara ada seseorang yang masuk kamarku begitu saja." Kata Itachi setelah Sasuke membukakan pintu. Mata Itachi kemudian menggerling ke balik punggung adiknya, dia bisa melihatnya dengan jelas orang yang menganggunya ada di sana.

"Maaf soal itu kak, kau seharusnya mengunci pintunya." Ucap Sasuke.

"Wajahnya terlihat baru, siapa dia?" Tanya Itachi dengan mata yang terpaku pada si rambut pirang.

Sasuke menarik tangan Naruto untuk maju ke depan. "Dia asistenku."

Naruto mencoba tersenyum walaupun dia masih merasa takut. "Maafkan aku soal kejadian tadi."

Itachi melihat Naruto dari atas sampai bawah dengan cermat. Matanya yang berwarna sapphire sangat indah, kulitnya yang kecoklatan terlihat eksotis. Itachi tanpa sadar menjilat bibirnya sendiri.

Itachi mendekati Naruto, melihat Naruto sambil berkeliling, untuk melihat keelokan tubuh Naruto tertutama bagian pantatnya. Naruto hanya bisa ketakutan saat Itachi melakukan itu.

"Oh Tuhan, aku rela menjadi gay jika partnernya kamu!" Teriak Itachi yang langsung mendapat tinjuan mentah dari Sasuke tepat di perut.

"Jangan sentuh Naruto. Dia milikku. Kau sebaiknya mengingatnya dengan baik." Ancam Sasuke pada kakaknya sendiri.

Itachi merasa mual akibat tinjuan Sasuke. Ia lalu tertawa. "Whaa, baru kali ini kulihat kau terobsesi dengan seseorang, adikku manis."

"Pergilah, kak. Urusi wanita-wanita jalangmu itu."

"Baiklah, adikku sayang..." Ucap Itachi sebelum meninggalkan kamar Sasuke.

Sasuke mendesis dengan kesal setelah mengetahui kakaknya mengincar Naruto. Ia pikir itu tak akan pernah terjadi, tapi yang ada kenyataannya berbeda.

"Kakakmu menakutkan." Kata Naruto, badannya sudah merinding.

"Jangan pedulikan dia, kalau bisa menjauhlah dari dia."

"Tanpa kau suruh pun, akan kulakukan."

"Baguslah, jadi sekarang mari kita berdiskusi jadwal."

Mendengar itu, Naruto menghela nafas berat, ia pun mengikuti Sasuke dan duduk di sofa yang ada di kamar.

"Tugasmu sebenarnya tidak banyak." Kata Sasuke. "Kau hanya perlu menuruti perintahku saja."

"Tapi itulah yang merepotkan."

Sasuke memilih untuk tidak mengindahkan Naruto dan melanjutkan penjelasannya. "Kau bisa bebas ketika aku kuliah, tapi jangan melakukan hal yang bisa membuatku marah."

"Sepertinya banyak sekali hal yang membuatmu marah." Mengingat Sasuke baru saja memukul kakaknya dengan keras.

"Setelah kuliahku selesai, temani aku kemana pun aku pergi, termasuk menemui yakuza yang akan bertransaksi denganku."

"Yang benar saja..."

"Aku sangat sibuk, hanya punya waktu empat jam untuk tidur. Kau pun bersiaplah untuk itu."

"Ha... apakah semua mafia seperti ini?" Tanya Naruto tak percaya.

"Aku bukan mafia, aku pembisnis."

"Mana ada... lagipula kakakmu itu tidak bekerja apa?"

"Ah, dia tidak mau, dia ingin bersenang-senang saja. Makanya ayahku mempercayakan bisnisnya kepadaku."

"He... kau repot sekali."

"Makanya aku meminta bantuanmu."

"Baiklah..."

-00-00-00-

Jam tujuh tiga puluh pagi Naruto sudah ada di kampusnya padahal jadwal kuliahnya jam sepuluh. Itu karena jadwal Sasuke masuk kuliah jam delapan pagi. Terpaksalah Naruto mengikuti jadwal Sasuke.

Ketika mereka datang bersamaan ke kampus, yang terjadi adalah kehebohan. Para wanita protes kenapa Naruto mengikuti Sasuke terus, pandangan mereka kepada Sasuke jadi sedikit terhalang wajah bodoh Naruto. Kehebohan itu berhenti ketika Sasuke memasuki ruangan kuliahnya.

Naruto kini berada di kantin, ia melirik kedai ramen langganannya. Sebenarnya uangnya masih tersisa untuk membeli tiga mangkuk ramen. Tapi ia memilih untuk tidak membelinya, sebab uang jaga-jaga haruslah ada. Lagipula tadi ia makan banyak sekali, hidangan di rumah Sasuke super mewah dengan daging ini dan itu, tak lupa dessertnya. Sayangnya tidak ada ramen.

Waktu dilalui dengan dia bengong di kantin. Tak sadar beberapa temannya melambaikan tangan untuk menyapanya dari kejauhan.

"Tumben kau datang pagi, Naruto." Tiba-tiba seseorang menyindirnya, orang itu Kiba.

"Ya..." Jawab Naruto bosan.

"Kudengar kau datang bersama Sasuke."

"Betul."

"Bagaimana bisa? Bukankah sudah kuingatkan untuk menjauh darinya...?" Tanya Kiba dengan wajah penasaran dan kesal.

"Terlambat, Kiba... Kisame menjualku padanya, dan aku harus bekerja padanya."

"Astaga...!" wajah Kiba kaget.

"Tanpa bayaran."

"Ya Tuhan...!"

"Jangan ceritakan ini pada Ayahku ya?" Pinta Naruto.

"Lalu kau mau bagaimana?"

"Aku tidak tahu."

"Ya ampun... Uchiha itu memang jahat."

Naruto mengangguk menyetujui. Dia sendiri tidak menyangka akan ada dalam jeratan Uchiha.

"Ngomong-ngomong, kau sudah kerjakan tugas besar aplikasimu?"

"Belum selesai, lagipula laptopku masih ada di apartemen, sedangkan kemarin aku tidur di rumah Sasuke."

"Ha? Kau tidur disana?"

"Ya, karena aku bekerja pada Sasuke meskipun-tak-dibayar, aku harus tinggal disana."

"Jadi kau tak bawa buku apapun?"

"Buku kosong saja untuk catatan."

Kiba menghela nafas berat, simpati pada nasib Naruto yang super sial. Kiba menepuk-nepuk bahu Naruto mencoba untuk sedikit menenangkan sahabatnya yang dilanda stress.

Kiba pun duduk di depan Naruto. Perkuliahan dimulai tiga puluh menit lagi, tapi tak perlu buru-buru.

"Kau seharusnya mencari cinta, ini malah sibuk dengan urusan mafia."

"Aku tahu... tapi mau bagaimana lagi."

"Aku tidak bisa tinggal diam, Naruto. Aku bisa saja memberitahu Iruka-san."

Mata Naruto menyipit. "Jangan pernah lakukan itu, Kiba! Aku tak mau menyeret Ayahku ke dalam masalahku."

"Tapi-"

"Jangan lakukan atau aku akan sangat membencimu!" Ancam Naruto.

Kiba pun terdiam.

-00-00-00-

Satu minggu berlalu.

Naruto kurang tidur. Uang habis terpakai dalam sekejap untuk keperluan kuliah. Hari-hari menemui yakuza sangat melelahkan, untungnya tidak ada transaksi yang bermasalah. Lagipula memang tidak setiap hari ada transaksi dengan yakuza, dalam satu minggu paling hanya tiga sampai empat transaksi.

Naruto sekarang bingung harus bayar apartemennya dengan apa. Si Ibu pemilik apartemen mulai meneleponi dia, dan Naruto berkali-kali harus minta maaf dan minta kelonggaran waktu. Meskipun memang sekarang ia tinggal di rumah Sasuke, tapi ia benar-benar tidak mau semua barangnya dipindahkan ke rumah Sasuke. Terlebih lagi ayah angkatnya sering menemui Naruto ke apartemennya, jika ia tahu Naruto dan barang-barangnya tidak ada disana, maka akan gawat jadinya.

"Kenapa kau bengong saja, Naruto?" Tanya Tenten.

Naruto tersadar dengan lamunannya. Ia memutar kepalanya, melihat Tenten yang membawakan makanan untuknya.

"Ah, aku hanya sedang banyak pikiran."

"Itu pasti karena kau belum makan." Dengus Tenten. "Ini makanan untukmu, aku berikan porsi yang lebih dari biasanya."

"Terimakasih." Naruto berdiri dan membantu Tenten meletakkan makanan itu di meja.

"Kau sebaiknya cepat istirahat, Naruto. Wajahmu jelek sekali karena kecapekan."

"Kau benar... bekerja disini membuat wajahku jelek, semoga saja Sasuke membenci wajahku dan memecatku. Tapi kalau bisa aku ingin kabur saja, tak usah menunggu dipecat."

"Kau ini, baru saja satu minggu bekerja."

"Tapi lelah sekali."

"Semangat ya." Tenten memberikan senyum. "Sekarang aku harus ke ruangan Fugaku-sama."

"Selama seminggu aku bekerja disini, aku tak pernah tahu wajahnya."

"Dia pucat sekali, wajahnya lebih mirip Itachi-sama dibanding Sasuke-sama."

"Begitu... kenapa aku jadi penasaran ya..."

Tenten melirik Naruto dan berpikir sejenak. "Jika kau penasaran, bagaimana kau saja yang mengantarkan makanan kepada Fugaku-sama?"

Naruto diam sejenak lalu mengangguk.

"Kalau begitu, ikut aku!" Ajak Tenten.

.

.

Naruto dipaksa untuk memakai seragam butler jika ingin mengantar makanan kepada Fugaku. Tenten dengan senang hati mendandani Naruto secakep mungkin. Tentunya tidak butuh waktu lama untuk berdandan karena Naruto laki-laki dan Tenten sudah sangat ahli.

Naruto siap. Makanan sudah berada di tangannya. Fugaku tak banyak makan jika malam hari, katanya tidak baik untuk kesehatan karena dia sudah mulai tua. Maka dari itu makanan yang Naruto bawa hanya makanan sehat dengan porsi yang tak banyak.

Menarik nafas dalam-dalam, Naruto mengetuk pintu kamar Fugaku.

"Makan malam anda, Tuan." Ucap Naruto.

"Masuk." Jawab suara dari dalam kamar.

Hati Naruto berdebar-debar. Entahlah. Mungkin karena dia sebentar lagi akan bertemu dengan pemilik bisnis terbesar di jepang?

Naruto membuka pintu, melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Sosok itu ada disana, sedang membaca dokumen-dokumen di atas mejanya. Mata Fugaku melirik Naruto. Melihat wajah itu, Naruto tanpa sadar melotot kaget, tangannya bergetar hingga membuat makanan yang dia bawa bersuara dan hampir jatuh.

Naruto mengenal wajah itu, wajah dari sepuluh tahun yang lalu.

Memori itu masuk kedalam pikiran Naruto untuk diputar kembali. Memori yang tidak manis. Bahkan sangat pahit. Menghantuinya tiap malam tanpa kenal lelah.

Ya, dia, orang yang telah merenggut nyawa kedua orangtuanya.

To Be Continue

Foot's Note : Mind to review?