Daun-daun berwarna kemerahan terlihat mendominasi sebagian besar pepohonan di kota Tokyo. Begitu indah apalagi dengan terlepasnya daun-daun itu dari rantingnya dan hembusan angin menerbangkannya begitu mudah. Bercampur dengan udara dingin yang menusuk menembus tulang. Membuat orang-orang yang baru saja selesai bekerja atau bersekolah, rasanya ingin segera sampai di rumah. Menyalakan penghangat ruangan dan beristirahat bersama keluarga atau setidaknya mereka bisa berendam dengan air hangat untuk melepas penat.

Hal-hal kecil seperti itu terkadang dapat membuat kita merasa lebih bersemangat. Namun hal-hal kecil juga dapat membuat perasaan maupun pikiran kita semakin kacau. Seperti yang dialami oleh seorang gadis cantik berambut merah muda panjang yang saat ini sedang duduk di salah satu kursi di dalam sebuah restoran mewah yang hangat—bertolak belakang dengan udara di luar.

Gadis cantik tersebut tampak sibuk dengan android nya tanpa mempedulikan seorang pemuda berambut pirang berantakan yang duduk di sebrang mejanya.

"Ehem!" pemuda berkulit tan itu mencoba menarik perhatian gadis pemilik kulit seputih salju yang mungkin akan turun beberapa hari lagi.

Gadis bernama Haruno Sakura itu pun menghentikan aktivitasnya dan menatap Sang Pemuda sejenak. "Ada apa? Aku sedang membahas tugas dengan teman. Jika tidak penting, jangan ganggu aku" sederet kata-kata ia ucapkan dengan nada ketus sebelum ia kembali disibukkan oleh android nya.

Sebuah perempatanpun muncul di dahi Sang Pemuda. Andai saja ini bukanlah permintaan dari orang tua tercintanya, ia tidak akan mau duduk dan makan di sini bersama dengan gadis menyebalkan yang bahkan tak mempedulikannya sejak tadi. Pemuda yang memiliki tiga garis tipis di setiap pipinya itu pun mengaduk-aduk makanannya—bosan. Padahal makanan di depannya ini cukup lezat.

Mendengar suara berisik dari teman makannya tersebut membuat Sakura mau tak mau kembali mengalihkan pandangannya ke arah pemuda di depannya. Ia tatap malas pemuda berambut pirang yang sampai saat ini masih mengaduk-aduk makanannya yang tinggal sedikit itu. Ia pun menghela nafas sebentar sebelum membuka mulutnya. "Tidak baik memainkan makananmu, Naruto" nasihatnya pada pemuda bernama Naruto itu. Atau lebih lengkapnya Namikaze Naruto.

"Cih! Apa baru sekarang kau memperhatikanku? Sejak tadi kau kemana Nona Haruno Yang Sangat Sibuk?" sindir Naruto tanpa melepaskan pandangannya dari makanan tak berdosa yang telah tak berbentuk karena dijadikan pelampiasan kebosanannya.

"Itu bukan salahku. Saat ini aku memang sedang sibuk dengan tugasku. Jika bukan karena orang tuaku yang memintanya, aku tidak akan datang kemari dan bertemu denganmu" ujar Sakura tak mau kalah.

Naruto pun mulai menatap manik emerald Sakura yang sialnya harus ia akui sangat indah itu. "Memangnya aku tidak terpaksa datang kemari? Sekarang ini seharusnya aku pergi bermain bersama teman-temanku"

Sakura memutar bola matanya bosan."Lalu kenapa harus kau setujui perjodohan itu?"

Perjodohan? Ya, perjodohan. Di zaman modern ini entah kenapa ke dua orang tuanya menjodohkannya dengan anak sahabat mereka. Mungkin karena melihat ia yang tak pernah dekat dengan laki-laki sehingga ke dua orang tuanya itu merasa khawatir terhadap masa depannya. Namun jika dipikirkan, sebenarnya masa depannya akan lebih mengkhawatirkan apabila ia benar-benar akan menikah dengan pemuda di depannya yang pada kenyataannya adalah seorang berandalan, tukang berkelahi, pembuat onar, playboy, dan gelar keburukan lainnya. Bagaimana ia bisa tahu? Jawabannya mudah. Mereka satu sekolah.

#

#

"37 Days"

#

#

Rate : T

Genre : Romance, Drama, School

Disclaimer Masashi Kishimoto

Warning! Absurd story, Story from me, Typo, Gaje, Mainstrem, etc

NO BASH!

NO SILENT READERS!

REVIEW PLEASE (^v^)

#

#

#

Summary :

37 hari. Hanya 37 hari yang dimiliki oleh pemuda bermanik sapphire—Namikaze Naruto—dan gadis bermanik emerald—Haruno Sakura—untuk membatalkan pertunangan yang akan terjadi setelah perjodohan yang mereka terima karena suatu alasan bodoh. Dengan perjanjian yang mereka buat bersama, mereka mulai menjalankan berbagai rencana untuk membatalkan pertunangan itu tanpa harus adanya pernyataan secara langsung yang hanya akan merugikan masing-masing pihak. Akankah rencana-rencana mereka berhasil?

#

#

#

CHAPTER 1

#

#

Flashback On [2 Hari Sebelum Perjodohan]

[Kediaman Haruno]

Acara makan malam keluarga kecil Haruno tampak seperti biasanya. Penuh dengan kegiatan saling bertukar cerita tentang aktivitas yang dilakukan seharian ini hingga candaan-candaan tidak bermutu. Tapi harus Sakura akui bahwa acara makan malam keluarganya adalah acara yang selalu ia rindukan saat di sekolah.

Setiap hari ia selalu tak sabar menanti datangnya malam dan menikmati acara makan malam keluarganya yang dipenuhi oleh kehangatan. Namun sepertinya acara makan malam hari ini tidak akan sehangat biasanya. Semenyenangkan biasanya.

"Sakura, ada yang ingin kami sampaikan padamu" ujar ibunya—Haruno Mebuki—membuka sebuah topik baru.

Sakura pun menatap Mebuki dengan tatapan 'ada apa?' sementara mulutnya sibuk mengunyah makanan buatan Mebuki.

Mebuki menatap Haruno Kizashi—ayah Sakura—penuh arti yang dibalas dengan sebuah anggukan oleh Kizashi. "Jadi begini, Tou-san dan Kaa-san mu sudah setuju untuk menjodohkanmu dengan anak sahabat kami" tutur Kizashi.

"Uhuk!Uhuk!" Sakura sangat terkejut sampai tersedak ketika mendengarnya. Beruntung ia tak memiliki penyakit jantung. Jika saja ia punya, ia yakin kalau ia pasti sekarang akan dilarikan ke rumah sakit karena terkena serangan jantung mendadak. Berlebihan? Bagaimana tidak?! Bayangkan saja. Ia dijodohkan! Umurnya baru akan menginjak 17 tahun sekitar 4 bulan lagi. Tapi ia sudah akan dijodohkan?! Lalu bagaimana dengan sekolahnya?

"Tenang saja, Sayang. Kau masih bisa bersekolah seperti biasa. Tidak akan ada yang berubah" timpal Mebuki seolah-olah dapat membaca pikiran Sakura. Tapi jika ia memang bisa membaca pikiran Sakura, harusnya ia akan membatalkan perjodohan itu sekarang juga.

"Pemuda yang akan dijodohkan denganmu itu satu sekolah denganmu" ucap Kizashi memancing rasa penasaran Sakura.

"Siapa?"

"Namikaze Naruto. Putra Namikaze Minato dan Namikaze Kushina"

DEG!

Sakura bersyukur ia benar-benar tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Jika saja ia memilikinya, sekarang ia pasti telah mengalami serangan jantung kedua. Ia tak akan dilarikan ke rumah sakit lagi, melainkan langsung ke makam!

Kenapa? Apa ia tahu pemuda yang akan dijodohkannya itu? Ya, tentu saja. Siapa, sih, yang tidak tahu Namikaze Naruto? Sang pembuat masalah di sekolahnya. Digilai banyak gadis karena ketampanannya. Orang kelewat istimewa seperti dirinya pastilah terkenal di sekolahnya. Maka dari itu Sakura mengetahuinya. Terlebih mereka pernah satu kelas saat kelas X dan pernah satu SMP. Jelas ini membuat Sakura tak hanya mengetahuinya, melainkan mengenalnya!

Dan jika melihat masa lalu, maka ia akan melihat sederet masalah yang pernah Naruto perbuat. Tak jarang masalah itu ada yang melibatkan dirinya. Ingat, ia pernah sekelas dengan pemuda itu.

Sakura pun memijat pelipisnya pelan. Ia bingung harus bagaimana sekarang. Masa depannya sedang berada di ujung tanduk!

"Bagaimana, Sakura? Apa kau menyetujuinya?" sebuah pertanyaan yang diluncurkan Mebuki . Ia bimbang.

"Orang tua Naruto adalah sahabat kami sejak SMA. Jadi kami bisa memastikan kalau kau akan baik-baik saja. Bahkan akan hidup bahagia. Mereka sangat baik dan terpercaya" tutur Kizashi semakin membuat Sakura merasa tertekan.

"Aku percaya kalau kedua orang tuanya adalah orang yang baik. Tapi anaknya aku tidak bisa percaya kalau dia orang yang ba—..."

"Kaa-san tidak sabar melihatmu bisa dekat dengan seorang laki-laki. Apalagi itu putra sahabat Kaa-san. Membayangkannya saja membuat Kaa-san merasa sangat bahagia" Mebuki menyela perkataan Sakura yang terlalu pelan tadi.

"Kau berkata sesuatu, Sakura?" tanya Kizashi yang sempat melihat mulut anaknya bergumam tidak jelas.

Sakura pun segera menggelengkan kepalanya dan tersenyum tulus. Kini ekspresinya telah kembali melembut—tak seperti sebelumnya."Tidak ada. Aku hanya ingin mengatakan kalau aku setuju dengan perjodohan ini" ujarnya yang langsung membuat mata Mebuki berkaca-kaca. Mebuki pun langsung memeluk Sakura tanpa mempedulikan beberapa makanan yang masih tersaji di atas meja.

"Kaa-san sangat senang. Arigatou, Sakura"

"Aku senang jika Kaa-san dan Tou-san senang" Sakura membalas pelukan Mebuki. Masih dengan senyum tulus di wajahnya.

"Kau tidak terpaksa, kan, Sayang?" tanya Kizashi memastikan dan Sakura menggeleng pelan.

"Aku tahu kalau kalian selalu ingin yang terbaik untukku. Dan mungkin ini yang terbaik untukku" ujar Sakura yang langsung dibalas dengan sebuah usapan lembut di puncak kepalanya dan senyuman bahagia dari ayahnya. Sakura selalu senang dengan senyum kedua orang tuanya. Ia rela melakukan apapun demi senyum itu.

Namun, jujur. Kali ini tak sepenuhnya ia ingin memenuhi keinginan orang tuanya. Ia telah memikirkan suatu rencana cerdik—licik. Entah kenapa, ia berpikir kalau Naruto mungkin akan menolak perjodohan ini. Sebab ia adalah tipe anak yang tidak suka terikat.

Jadi, tanpa Sakura harus menyakiti hati kedua orang tuanya karena menolak perjodohan ini, perjodohan ini tetap akan dibatalkan. Dan nantinya ia akan datang bagai malaikat untuk menghibir kedua orang tuanya. Oh, tanpa sadar sadar Sakura sudah tersenyum seperti orang gila ketika memikirkannya. Kemana Sakura yang biasanya? Sudahlah, ia tak peduli. Ia kini hanya berharap kalau rencana cerdik—licik—nya itu berhasil.

[Kediaman Namikaze]

"Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan denganku?" Tanya seorang pemuda berambut pirang—sebut saja Naruto—tanpa melepaskan pandangannya dari TV besar yang terletak tak jauh dari sofa yang kini tengah ia duduki.

Seorang wanita cantik berambut merah pun datang dengan sebuah nampan yang di atasnya terdapat 3 cangkir teh yang tampaknya masih panas—terlihat dari asap yang mengepul keluar. Tak lupa sepiring kue ikut berada di atas nampan di antara cangkir-cangkir. Sedangkan seorang pria yang juga berambut pirang sama seperti Naruto tengah menatap penuh cinta wanita itu. Naruto yang melihat pemandangan ini hanya dapat bernostalgia. Andai keluarganya bisa terasa sehangat ini sepanjang waktu. Begitulah kira-kira yang ia pikirkan.

"Apa kau sudah tak sabar mendengarnya, Naruto?" goda wanita berambut merah yang merupakan ibu Naruto—Namikaze Kushina—mengembalikan kesadaran Naruto.

Naruto pun memutar bola matanya malas. "Ayolah, Kaa-chan. Kaa-chan yang tiba-tiba menelfonku dan memintaku untuk datang ke rumah secepatnya. Kata Kaa-chan ada hal penting yang harus kita bicarakan. Sekarang aku sudah datang dan Kaa-chan malah berkata seperti itu" cicit Naruto yang membuat senyum di wajah Kushina maupun suaminya atau ayah Naruto—Namikaze Minato—mengembang.

"Yang ingin Kaa-chan dan Tou-chanmu bicarakan padamu memanglah hal yang penting, Naruto" ujar Kushina sambil meletakan nampan yang ia pegang ke atas meja yang teletak di antara TV dan sofa.

Minato pun segera mengambil secangkir teh yang baru saja istirnya sajikan. "Kau pasti akan sangat terkejut, Naruto" tuturnya tanpa mengalihkan pandangannya dari cangkir teh yang sekarang sedang ia pegang.

Naruto menghembuskan nafasnya perlahan. Ia mencoba bersabar. "Tou-chan, Kaa-chan, jika kalian tak kunjung bicara, aku akan pergi kembali ke apartemenku" ujar Naruto sambil memijit pelipisnya pelan.

"Apa begitu caramu bersikap kepada orang tuamu, Naruto?" Tanya Kushina sambil berkacak pinggang dan menatap Naruto tajam—membuat Naruto hanya dapat menelan ludahnya perlahan.

"Naruto, kami mungkin mengizinkanmu untuk tinggal di apartemenmu sendiri sesuai keinginanmu. Namun itu bukan berarti kau melupakan rumahmu yang sesungguhnya dan juga kami. Sekali-kali berkunjunglah tanpa harus kami telfon sebelumnya" nasihat Minato panjang lebar sambil menyesap tehnya sedikit demi sedikit.

Naruto yang tak ingin berdebat panjang dengan kedua orang tuanya pun mengalah. "Baiklah. Aku akan menginap di rumah malam ini. Tapi tolong katakan sekarang juga apa yang ingin kalian bicarakan denganku". Naruto tak lagi peduli bagaimana perasaannya nanti ketika pagi hari mendapati kedua orang tuanya telah pergi untuk bekerja. Karena jauh dalam lubuk hatinya, ia juga merindukan rumahnya. Terlebih malam ini suasana rumahnya begitu hangat. Membuatnya tak ingin segera kembali ke apartemennya yang sepi dan dingin karena sekarang musim dingin.

Senyum lebar pun tercetak jelas di wajah Kushina maupun Minato. Mereka senang akhrinya Naruto mau bermalam di rumahnya sendiri setelah berbulan-bulan ia tak pernah berkunjung kemari. "Nah, begitu" Minato mengacak pelan rambut putranya yang duduk di sampingnya itu.

Naruto yang mendapat perlakuan seperti itu dari ayahnya hanya dapat memasang wajah cemberut. Ia tak suka ada seseorang yang mengacak rambutnya bagai anak kecil. Membuat rambut pirangnya berantakan. Walau sebelumnya rambut pirang itu telah berantakan. Tapi tetap saja ia merasa kesal. "Cepatlah katakan apa yang ingin kalian bicarakan denganku. Aku sudah termakan rasa penasaran" pintanya dengan nada malas.

Kushina pun tersenyum lembut dan duduk di samping Minato. Sedangkan Minato terlihat menatap istrinya terlebih dahulu—seolah-olah meminta persetujuan. Sedangkan Kushina menanggapinya dengan sebuah anggukan tanpa melepas senyum lembutnya yang membuat dirinya semakin cantik. Kemudian Minato mengecilkan volume TV agar suaranya dapat terdengar jelas oleh Naruto.

"Jadi begini Naruto," mendadak nada biacara Minato yang sebelumnya penuh canda menjadi serius. Seserius tatapannya pada Naruto sekarang. Naruto pun langsung memasang telinganya dan mendengarkan baik-baik setiap perkataan yang akan Minato keluarkan setelah ini.

Minato masih menatap Naruto serius. "Sebenarnya, kami telah menjodohkanmu dengan putri sahabat kami" tutur Minato dengan nada penuh kehati-hatian.

"Oh, jadi hanya itu yang ingin kalian bicarakan"tutur Naruto santai sambil mengambil tehnya dan mulai menyesapnya perlahan-lahan—karena masih panas.

1 detik…

2 detik…

3 detik….

BYURRR!

Naruto yang baru saja tersadar dengan arti perkataan Minato pun segera menyemburkan tehnya yang baru saja ia minum. Beruntung, ia menyemburkannya ke depan—bukan ke arah Minato yang duduk di sampingnya. "Tu-tunggu dulu. Ta-tadi Tou-chan be-berkata kalau kalian be-berdua telah me-menjodohkanku?" Naruto mencoba memastikannya. Siapa tahu telinganya sedang tidak beres, bukan?

Tapi nasib sial bagi Naruto. Karena ternyata apa yang dikatakan oleh ayahnya itu merupakan benar, fakta, dan kenyataan yang sesungguhnya—terlihat dari ayahnya yang mengangguk mantap menanggapi pertanyaan Naruto. Dan ia pun bertambah yakin setelah mendengar penegasan ulang ibunya. "Ya, kami berdua telah menjodohkanmu dengan putri sahabat kami. Tenang saja, putrinya itu manis, lembut, baik hati, dan cerdas"

Oh, bukan itu yang ingin ia dengar dari bibir ibunya. Walau ia sedikit senang karena paling tidak ia tidaklah dijodohkan dengan seorang gadis buruk rupa yang aneh, tapi tetap saja ini merupakan berita yang bahkan dapat membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia baru berumur 17 tahun lebih dari 1 bulan yang lalu dan kini ia akan dijodohkan? Bagaimana dengan kehidupannya yang sangat menyenangkan dengan semua teman-temannya, musuh-musuhnya, dan juga gadis-gadis cantik yang mengililinginya?

"Kalian hanya bercanda, kan?" Naruto masih tak percaya dan mencoba mengelabui dirinya sendiri.

Minato maupun Kushina menggelengkan kepala mereka ketika mendengar pertanyaan Naruto. "Kami merasa bersalah padamu, Naruto. Kami tak bisa memberimu kasih sayang dan perhatian yang cukup padamu hingga kau tumbuh menjadi pemuda yang kurang kasih sayang dan perhatian" tutur Kushina.

"Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menjodohkanmu dengan putri sahabat kami. Semua ini kami lakukan dengan harapan bahwa gadis tersebut dapat memberimu kasih sayang dan perhatian yang selama ini tidak bisa kami berikan padamu. Dan juga kami berharap gadis itu mampu memberikan kebahagian padamu" lanjut Minato yang membuat Naruto seakan-akan lupa cara bernafas.

"A-apa-apaan semua ini? Apakah aku terlihat tidak bahagia?"

"Kau tak perlu menyembunyikan hal itu, Naruto. Sebagai orang tuamu, kami tahu kalau kamu tak bahagia karena kami" jawab Kushina dengan tatapan merasa bersalah.

Naruto pun tak bisa apa-apa ketika mendengarnya. Karena apa yang Kushina katakana itu bukanlah sebuah kesalahan maupun kebohongan. Ia memanglah tidak bahagia karena kedua orang tuanya. Lebih tepatnya karena kesibukkan kedua orang tuanya yang menyebabkan dirinya kekurangan kasih sayang dan juga perhatian. Yang menyebabkannya menjadi pemuda berandalan seperti sekarang. Namun semua itu bukan berarti ia harus dijodohkan seperti ini.

Dia itu adalah remaja yang mendambakan kebebasan tanpa ada yang mengekang atau mengikatnya bagai hewan peliharaan. Jika ia dijodohkan, maka ia tidak akan bisa sebebas sekarang. Ia mungkin akan merasa terikat atau terkekang nantinya dan ia tak suka itu. Ini semua membuatnya ingin sekali mengajukan protes keras terhadap kedua orang tuanya. Namun ketika melihat tatapan penuh harapan yang orang tuanya itu berikan padanya, membuatnya hanya dapat menghembuskan nafas pasrah.

"Siapa?"

"Ha?" kedua orang tuanya tampak bingung dengan pertanyaan Naruto yang begitu tiba-tiba.

"Siapa gadis yang ingin kalian jodohkan denganku?"

Setelah menengar pertanyaan yang lebih jelas dari Naruto, sebuah senyum lembut pun tercetak jelas di wajah tampan Minato. "Gadis itu satu sekolah denganmu saat kau SMP dulu dan satu SMA dengamu sekarang. Kalau tidak salah, ia juga pernah satu kelas denganmu saat kelas X" jawab Minato yang membuat Naruto penasaran.

"Siapa na—…" belum sempat Naruto bertanya mengenai nama gadis tersebut, Kushina telah mendahuluinya—menjawab pertanyaannya.

"Haruno Sakura, putri dari Haruno Kizashi dan Haruno Mebuki"

Seketika itu juga rasanya ia ingin mengguyur kepalanya dengan secangkir teh yang masih setia berada di tangan kanannya. Mungkin reaksinya tidak akan seperti ini apabila ia tak mengenal gadis itu. Namun kenyataannya ia mengenal gadis itu. Karena beberapa kali mereka pernah berada dalam sebuah perdebatan kecil yang tidak berguna dan tidak penting yang berujung pada sebuah masalah.

Ia mengenal Haruno Sakura. Gadis cerdas yang selalu meraih peringkat pertama untuk satu angkatan. Gadis dengan kehidupan membosankan yang terlalu serius dalam menghadapi setiap hal. Bahkan sepertinya ia tak pernah melihat gadis berambut merah muda itu dekat dengan seorang pemuda. Padahal ia akui gadis tersebut memiliki paras yang cukup cantik dan juga manis untuk menarik perhatian banyak pemuda. Buktinya cukup banyak pemuda yang mengaguminya dalam diam. Mungkin gadis tersebut tak menyadarinya, tapi orang disekelilingnya tentu menyadarinya. Termasuk dirinya—Naruto.

Dan ia akan dijodohkan dengan Sakura? Gadis yang tak pernah cocok dengannya? Mungkin setiap hari akan ada perang nantinya. Tapi karena dia tak ingin berdebat banyak di malam hari yang melelahkan dengan kedua orang tuanya yang sangat berharap banyak pada jawabannya ini pun, ia dengan sangat amat terpaksa hanya dapat menerimanya.

Lagipula entah kenapa ia merasa kalau Sakura mungkin tak akan menerima perjodohan ini, mengingat gadis itu yang sepertinya tak menyukai dirinya—Naruto—yang suka berulah dan berbuat onar di sekolah. Jadi ia tak perlu repot-repot berdebat dengan kedua orang tuanya untuk menolak perjodohan ini. Karena perdebatan itu hanya akan melahirkan kerugian yang mungkin cukup besar bagi dirinya dan juga ia percaya bahwa perjodohan ini nantinya akan batal sendiri.

"Bagaimana, Naruto? Apa kau menyetujuinya?" Tanya Minato.

Sebelum menjawab, Naruto menghembuskan nafasnya perlahan—mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau keputusannya ini merupakan hal yang benar. "Baiklah, aku menerimanya".

Dan setelah itu terdengar teriakan gembira—memekan telinga—dari Kushina yang langsung memeluk Naruto. Membuat pemuda itu sampai kesulitan bernafas. Sedangkan Minato hanya tersenyum lebar dan mengacak rambut pemuda itu. Semua itu sukses membuat Naruto memasang wajah cemberutnya karena kedua orang tuanya yang memberinya dua perlakuan yang amat ia tidak sukai.

Flashback Off

..o..

..o0..

..o0o..

..o0o..o0o..o0o..o0o..[37 Days]..o0o..o0o..o0o..o0o..

[Hari ke-1 Setelah Perjodohan]

Suasana hening menyelimuti sepasang remaja yang saling memberikan tatapan tidak percaya setelah masing-masing dari mereka saling bercerita alasan mengapa mereka menerima perjodohan ini. Entah kenapa, setelah semuanya menjadi jelas mengenai alasan perjodohan ini tetap 'berjalan', mereka rasanya ingin mengulang waktu dan menarik jawaban mereka.

Bahkan Sakura merasa sangat menyesal telah percaya kalau Naruto akan menolak perjodohan ini. Seharusnya ia tahu kalau Naruto itu baka. Sedangkan Naruto tak kalah bedanya dengan Sakura. Ia juga sangat menyesal telah mempercayai Sakura yang jelas-jelas merupakan tipe gadis yang menuruti keinginan orang tuanya.

Tapi jika mereka memikirkan itu semua baik-baik, rasanya mereka juga ingin tertawa sekeras-kerasnya sekarang. Karena ini sangatlah memalukan. Perjodohan mereka telah diputuskan hanya karena kesalahpahaman dalam pemikiran mereka yang terlalu merasa kalau mereka saling memahami karakter satu sama lain. Dan jangan lupakan tentang pertunangan mereka yang tidak lama lagi akan dilaksanakan. Sekitar satu bulan dari sekarang yaitu pada malam pergantian tahun. Mungkin dalam satu bulan itu mereka bisa membatalkan perjodohan ini hingga pertunangan tak perlu dilaksanakan. Namun sayangnya mereka telah terlanjur menerimanya dan mereka tak mungkin bisa mengatakan untuk membatalkan semuanya.

Merasa jika menyesal tak ada gunanya, Sakura pun hanya dapat menghembuskan nafasnya pasrah dan mulai memakan makanannya yang sebelumnya ia biarkan begitu saja. Mungkin ini untuk mengalihkan pikirannya yang mulai terserang stress. "Bagaimana kalau kita saling bekerjasama untuk membuat perjodohan ini dibatalkan tanpa kita harus mengatakannya secara terang-terangan?" usul bodoh Naruto yang langsung menarik perhatian Sakura.

Sakura pun berpikir sejenak sebelum akhirnya ia menatap serius Naruto dengan manik emerald nya yang seindah rerumputan hijau segar di pagi hari. "Aku kagum kau bisa memikirkan ide yang cukup bagus dengan otakmu yang baka itu" tutur Sakura dengan nada sinis yang membuat Naruto hanya dapat sweatdrop.

"Itu pujian atau ejekan?"

"Terserah kau mau menganggapnya apa. Yang pasti, kita memang harus mulai bekerjasama untuk membatalkan perjodohan bodoh ini. Walau sebenarnya…" Sakura menggantungkan kalimatnya, membuat Naruto penasaran dan mulai memasang telinganya baik-baik agar dapat mendengar kelanjutan perkataan Sakura dengan jelas.

"…aku tidak sudi harus bekerjasama dengan seorang berandalan sekolah seperti dirimu" lanjut Sakura yang langsung membuat jantung Naruto seolah-olah merasa tertikam oleh sebuah pedang tajam yang Sakura hunuskan padanya.

"Ck!" Naruto pun berdecak kesal menanggapi perkataan Sakura.

"Dengar, ya, memang aku sudi bekerjasama dengan orang membosankan seperti dirimu?" Naruto balik menyerang Sakura. Membuat sebuah perempatan muncul di dahi lebar gadis itu.

"Dasar tukang berkelahi!" ejek Sakura yang tetap tak mau kalah.

Dan Naruto sama ambisiusnya dengan Sakura. "Dahi lebar!"

"Pembuat onar!"

"Kutu buku!"

"Rambut kuning!"

"Rambut gulali!"

"Kumis kucing!"

"Culun!"

"Playboy!"

"Oh, mungkinkah kau salah satu penggemarku?" Tanya Naruto dengan senyum keren—licik—nya.

Sebagai jawaban dari pertanyaan Naruto, Sakura melemparkan buku tulis yang ia bawa ke arah muka Naruto dan tepat mengenai hidung pemuda berambut pirang tersebut. Membuat Naruto mengeluh kesakitan. "Ittai!"

Naruto tak menyangka kalau Sakura ternyata memiliki tenaga yang cukup besar hingga dapat membuat ujung hidungnya memerah dan berdenyut menyakitkan. Sedangkan Sakura sendiri sekarang sedang mencoba mengatur nafasnya untuk menahan amarahnya yang siap meledak kapanpun bagai bom. Lihat! Belum apa-apa saja mereka sudah berdebat hingga membuat Sakura kesal dan berujung luka kecil pada hidung Naruto. Lalu bagaimana jika nantinya mereka jadi ditunangkan lalu menikah? Oh, mungkin rumah mereka setiap hari nanti bagaikan arena pertempuran.

"Jangan terlalu percaya diri!" nasihat Sakura dengan nada sarkastik sambil menghabiskan makanannya. Begitu pula dengan Naruto. Dan terdengarlah melodi indah dari peralatan makan yang saling bergesekkan juga bersaut-sautan. Menemani acara makan malam mereka berdua.

Setelah semua makanan yang mereka pesan habis bersih tak tersisa, suasana kembali hening. Sebab tak ada lagi suara peralatan makan yang saling bergesekkan maupun bersaut-sautan. Merasa suasana ini tak begitu mengenakan bagi Sakura, ia pun berdehem kecil untuk memulai pembicaraan. "Ehem!"

Naruto yang sedang sibuk memainkan sebuah sedotan pun mengalihkan perhatiannya pada Sakura. "Hm? Ada apa?" tanyanya.

Sakura pun mengeluarkan sebuah buku bersampul biru langit dengan lukisan ranting lengkap dengan bunga sakura sebagai hiasannya. Ia buka buku itu dan mulai mencari halaman yang masih kosong. Setelah ia menemukannya, ia buka tempat pensilnya dan mengambil sebuah bulpoin. Naruto pun hanya dapat menatap dengan salah satu alis terangkat—bingung.

Sakura yang menyadari bahwa ekspresi kebingungan telah menyelimuti wajah Naruto, segera membuka mulutnya untuk menjelaskan segalanya. "Bagaimana jika kita membuat sebuah perjanjian yang menguntungkan bagi kita berdua?" saran Sakura yang tentunya menarik bagi Naruto.

"Ide yang bagus. Ternyata tidak sia-sia juga kau menjadi gadis membosankan yang hanya mementingkan pendidikan" Naruto merasa bangga mengatakan hal tersebut. Karena ini merupakan balasan atas apa yang Sakura katakan sebelumnya.

Sakura pun hanya dapat mendengus kesal ketika mendengar hal tersebut. Karena Naruto berhasil membalik kata-katanya—dengan cara yang berbeda—dan sekarang dialah yang tidak tahu apakah Naruto sedang berniat memujinya atau mengejeknya. Namun ia berusaha untuk mengabaikannya dan tak terlalu memikirkannya. Ia pun menggerakan bulpoinnya itu untuk mulai menulis sebuah pembukaan pada surat perjanjian tersebut. Sedangkan Naruto dengan tenang memperhatikan Sakura. Ia gunakan tangan kanannya untuk menopang kepalanya.

Ketika memperhatikan Sakura yang sedang sibuk menulis, tanpa sadar Naruto telah hanyut dalam kekagumannya pada paras elok Sakura. Rambut merah muda panjang yang terurai sempurna, bergerak anggun bersamaan dengan geraknya tangan Sang Pemilik yang sedang sibuk menulis. Dahi yang lebar namun tampak manis. Alis yang memiliki warna sama dengan rambutnya itu tampak membentuk garis yang indah. Bulu mata panjang nan lentik terlihat sedikit menutupi manik emerald jernih dan menyejukkan yang tetap fokus pada tulisannya. Hidung mancung itu sangat serasi dengan bentuk wajahnya.

Oh, jangan lupakan bibir ranum mungil yang terkadang mengeja apa yang sedang ditulis oleh Sang Pemilik. Semakin Naruto hanyut dalam kekagumannya pada paras elok Sakura, semakin pula ia menyadari kalau gadis yang duduk di depannya ini memanglah sangat cantik dan juga manis. Bahkan ia sampai melamun dan tak mendengar panggilan dari gadis tersebut.

"Oy, Naruto!" panggil Sakura yang merasa aneh—jijik—dengan ekspresi wajah Naruto saat ini.

"Baka Naruto!"

"Na-Ru-To!" Sakura mengibas-kibaskan tangannya di depan wajah Naruto sambil berharap Naruto segera tersadar.

Tak berhasil, Sakura pun mendekatkan wajahnya ke depan wajah Naruto dan mulai membuka mulutnya, "NARUTO!"—berteriak.

"H-ha? A-apa? A-ada apa?" Naruto yang ditarik paksa dari lamunannya pun mendadak menjadi linglung. Namun ketika ia menatap lurus ke depan, seketika itu juga manik sapphire jernihya bertatapan langsung dengan emerald Sakura yang tak kalah jernih. Naruto pun segera menyadari bahwa wajahnya kini hanya berjarak beberapa cm saja dari wajah Sakura. Tentu ini membuat wajahnya langsung memerah dan ia pun segera memundurkan wajahnya lalu memalingkannya—agar Sakura tak menyadari seberapa merah wajahnya saat ini. Sungguh memalukan.

Ternyata tak hanya Naruto yang wajahnya telah semerah kepiting rebus, melainkan juga Sakura. Hal ini tentunya membuat atmosfer di sekitar mereka berdua menjadi panas. Sakura yang tak tahan dengan ini semua pun segera berdehem lagi untuk menetralkan dirinya dan kembali membuka pembicaraan. "Ehem!"

"Ba-bagaimana jika perjanjian yang pertama adalah dilarang ikut campur urusan pribadi masing-masing pihak?" usul Sakura yang mulai bersikap biasa lagi—walau semburat merah masih tersisa di pipinya.

Naruto tak jauh berbeda dengan Sakura. Dia pun hanya dapat mengangguk setuju dan bertanya, "La-lalu yang kedua?"

Setelah Sakura menuliskan perjanjian pertama yang telah disepakati berdua, Sakura kembali berpikir untuk menjawab pertanyaan Naruto. "Hmm… Masing-masing pihak bebas berhubungan atau menjalin ikatan dengan siapapun. Apa kau setuju?"

"Pastinya. Karena seperti yang kau ketahui, aku dikelilingi banyak gadis. Sulit untuk tidak menjalin hubungan atau ikatan dengan mereka" tutur Naruto begitu percaya diri. Membuat Sakura merasa mual seketika itu juga. Namun ia tahan dan lebih memilih untuk segera menulis perjanjian yang kedua.

"Lalu untuk perjanjian yang ketiga, kita harus saling bekerjasama untuk membatalkan perjodohan ini" Sakura tak perlu meminta persetujuan Naruto mengenai hal ini. Karena Naruto sendirilah yang mengusulkan ini sebelumnya.

Sakura kembali berpikir lagi. "Oh iya! Yang keempat, kita tidak boleh memberi tahu siapapun mengenai perjodohan kita"

"Itu yang paling penting!" Naruto tampak sangat setuju dan Sakura pun kembali menuliskannya.

"Yang kelima…hmmm…" Sakura mulai berpikir lagi. Namun kali ini ia tak kunjung mendapatkan sebuah ide. Sedangkan Naruto dengan santai menikmati minumannya yang belum habis.

"Hey! Bukannya membantuku berpikir kau malah asyik sendiri dengan minumanmu" omel Sakura. Naruto pun menyudahi acara minumnya dan ikut berpikir. Hingga sebuah pemikiran bodoh terlintas di pikirannya.

"Aku tahu perjanjian yang kelima" ungkap Naruto.

Sakura menatap penuh rasa penasaran pada Naruto—tak berniat menyela. Ia ingin tahu apa isi perjanjian yang kelima itu. "Bagaimana jika perjanjian yang kelima itu, Haruno Sakura harus selalu membuatkan bekal makan siang bagi Namikaze Naruto?" usul Naruto dengan nada cerianya hingga tanpa sadari sebuah tempat pensil telah melayang ke arahnya. Namun tak seperti kasus pelemparan buku tulis tadi, kini tempat pensil itu tak berhasil mengenai wajah tampan Naruto. Sebab Naruto berhasil menangkap tempat pensil itu sebelum sempat menimpa wajahnya.

"Wooo, kenapa? Bukankah itu perjanjian yang sangat bagus?" sebuah senyum keren—licik—terpasang di wajah tampan Naruto. Membuat Sakura hanya dapat menggeram kesal.

"Mana sudi aku membuatkan bekal makan siang untuk berandalan sekolah, tukang berkelahi, pembuat onar, dan playboy" ejek Sakura sinis. Sedangkan Naruto hanya tertawa kecil melihat kemarahan Sakura. Entah kenapa ia merasa kalau kemarahan Sakura itu lucu di matanya.

"Lebih baik jika perjanjian kelima adalah beberapa ketentuan. Seperti jika dalam keadaan yang sangat mendesak atau darurat perjanjian ini tidak berlaku dan jika ada salah satu pihak yang melanggar perjanjian ini, maka pihak lainnya berhak memberikan hukuman sesuai keinginannya. Bagaimana menurutmu?" Sakura mulai tenang.

"Ya, ya, semua perjanjian yang kau buat itu sangat bagus" ujar Naruto malas sambil kembali meminum minumannya hingga habis. Hal ini cukup membuat Sakura kesal, namun ia berusaha untuk menahannya dan mulai kembali menggerakan bulpoinnya untuk menulis perjanjian kelima dan juga penutup.

Tak berapa lama kemudian Sakura menyerahkan surat perjanjian beserta bulpoin tersebut kepada Naruto. "Tanda tangan di sini!" perintah Sakura dan Naruto menurutinya dengan senang hati tanpa perlu membacanya kembali. Setelah Naruto selesai menandatangani surat perjanjian tersebut, kini giliran Sakura yang tanda tangan. Lalu ia merapikan semua peralatan tulisnya—termasuk buku tulis dan tempat pensil yang ia lempar pada Naruto—ke dalam tasnya dan berdiri.

"Setelah aku membuat salinannya, aku akan memberimu satu. Jadi kita sama-sama memegang surat perjanjiannya" ujar Sakura sambil menatap Naruto serius. Sedangkan Naruto yang ditatap terlihat bermain-main sendiri dan tak mempedulikannya.

"Karena sudah malam, aku mau pulang sekarang. Arigatou atas makan malam dan kerjasamanya" pamit Sakura sambil sedikit membungkukkan badannya sebelum akhirnya ia melangkahkan kaki jenjangnya pergi menjauhi meja yang tadi ia gunakan untuk makan malam bersama dengan Naruto. Namun langkahnya harus terhenti ketika Naruto memanggil namanya.

"Sakura!"

Tanpa berniat untuk berbalik, Sakura tetap diam menunggu perkataan yang ingin disampaikan oleh Naruto. Sama halnya dengan Sakura, Naruto pun tak ingin berbalik dan menatap Sakura yang berada tak jauh di belakang tempat duduknya. Namun ia tetap membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Walau lebih tepatnya ini disebut bertanya, "Sebenarnya ada beberapa hal yang tak kumengerti dari dirimu. Seperti, apa kau tak bosan dengan kehidupanmu yang sangat membosankan itu?". Pertanyaan itu meluncur begitu mulusnya dari bibir Naruto.

"Itu bukan urusanmu. Lagipula, ingatlah perjanjian pertama" jawab Sakura dingin.

"Atau kau ingin aku memberimu hukaman seperti perjanjian kelima?" tanya Sakura dengan sebuah seringai di wajahnya yang tentu tidak Naruto lihat.

Mendengar pertanyaan Sakura membuat Naruto mendengus kesal. "Jadi perjanjiannya sudah dimulai?" Naruto memastikan.

"Ya, perjanjiannya sudah dimulai sejak kau dan aku menandatangani surat perjanjian itu" jawab Sakura sambil kembali melangkah pergi meninggalkan Naruto yang kini tengah menyeringai.

"Ternyata ini tak seburuk yang aku kira"

..o..

..o0..

..o0o..

..o0o..o0o..o0o..o0o..[ To be continue ]..o0o..o0o..o0o..o0o..

Yeeee! Akhirnya Shizu kembali dengan ceritta baru!

Shizu sudah merencanakan ff ini jauh-jauh hari. Namun Shizu tak pernah punya waktu untuk menuliskannya. Hingga akhirnya libur semester pun dimulai! Shizu memiliki banyak waktu luang untuk menuliskan cerita ini. Walaupun ada kalanya Shizu menggunakan waktu luang yang Shizu miliki untuk menonton berbagai film dan anime karena Shizu sudah cukup tertinggal. *Tehee* :p

Tapi Shizu senang pada readers semua yang masih setia menunggu setiap cerita yang akan Shizu upload. Arigatou Gozaimasu! #menundukkan badan 90º

Semoga kalian semua menyukai ff baru Shizu ini dan terus mengikutinya hingga akhir cerita.

Oh iya! Shizu memiliki satu ff baru lagi yang ingin Shizu upload. Tapi sebelumnya, Shizu ingin meminta saran dari kalian. Menurut kalian, lebih baik Shizu upload setelah ini atau menunggu sampai ff ini tamat? Shizu tunggu saran dari kalian, ok?

Sepertinya cukup sampai di sini saja corat-coret dari Shizu. Sekali lagi, Shizu ucapkan arigatou untuk kalian semua yang selalu menyemangati Shizu. *menangis terharu* Dan gomennasai karena Shizu sudah hiatus cukup lama. Jangan lupa untuk REVIEW.Komentar, saran, dan kritik akan Shizu terima dengan senang hati.

..o0o..o0o..[Arigatou]..o0o..o0o..