Grimoire

Genre: Fantasy, Supernatural

Pairing: Levi and Mikasa Ackerman with Eren Jaeger and Annie Leonhart

Disclaimer: Hajime Isayama

WARNING: OOC, AU, alur gak jelas, dan lain-lain


Selagi aku membalasnya dengan senyum wajar, Annie memanggilku dari luar.

"Mikasa, apa kau mau kuantar pulang sekarang? Sebelum hujannya makin deras dan kita akan terjebak macet di kota."

Langkah kakinya yang sigap kian terdengar di telingaku, aku segera membuka pintu kamar sebelum dia yang melakukannya. Beruntung Levi tidak selonjoran bodoh di atas ranjang, melainkan duduk mengecek catatan lamaku di atas meja nakas. Dia juga berhasil menemukan tulisan tanganku di atas meja itu yang kugurat menggunakan pensil. Aku berani sumpah Levi malah tersenyum menyindir selama sedetik di sana.

"Ya, tentu," aku membalas tanpa pikir panjang. Sebelum aku sempat berkata-kata lagi, Levi menyambar pundakku dari belakang, setengah menempelkan kepalanya ke telingaku. Sudah lama aku tidak merasakan Levi pernah menyentuh kulitku lagi, dan walaupun aku punya hasrat paling gila untuk menelusurkan satu jariku di sepanjang tulang lehernya yang menggoda, aku masih punya kewarasan untuk tidak melakukan itu di depan mata kakakku.

"Ah, soal itu, Annie, bisakah kalau aku saja yang mengantarnya pulang? Barangkali kau mau lebih santai-santai dengan Eren sambil minum cokelat panas?"

Tawa rendah bermelodi lolos dari bibir manis Annie, dan pada kesempatan itu, aku menampik pundak sehingga dagu Levi terantuk cukup keras. Dia merintih. Aku hanya harus melakukannya karena merasakan pipi Levi lama-lama di dekatku bisa membuat hormon mengambil alih.

"Eren sudah pulang. Terima kasih untuk perhatianmu, Levi, tapi aku rasa aku sudah berjanji kepadamu, benar 'kan?" Annie beralih kepadaku, tersenyum. Dan aku lebih suka menyebutnya sebagai senyum-apel-beracun.

Mau tidak mau aku menjawab. "Ya, Annie akan mengantarku pulang hari ini. Kau bisa istirahat, Levi."

Lelaki itu memutar bola mata. "Sialan, Annie, kau tahu kalau aku baru bertemu dengannya sekitar, setengah jam."

Annie hanya mengerutkan hidung dengan nakal. Betapa aku ingat kalau itu termasuk salah satu kebiasaannya setiap kami bermain petak umpet di belakang halaman dengan sepupu-sepupu kami, Annie bisa menang mudah, lalu dia akan berkacak pinggang dan menyanyikan kalimat favoritnya, Aku baru saja menang.

Aku menyetel kontak mata dan berharap akan menyampaikan pesan, sesuatu seperti "sampai nanti", Levi membalasnya dengan anggukkan kepala. Kami juga hanya berpelukan sebentar, aku membiarkan Levi mengecup pipiku tanpa tedeng aling-aling, kemudian kami benar-benar harus berhenti untuk melihat satu sama lain. Giliran ibu memelukku ketika kami sudah di depan pintu keluar, sambil berkata penuh arti, "Hati-hati."

"Aku lihat hubunganmu berjalan baik dengan Levi."

Aku mendongak dari layar ponselku yang menyilaukan di dalam mobil Levi. Annie meminjamnya untuk mengantarku pulang hari ini. "Aku tidak ingat pernah menceritakan apa-apa padamu."

Sambil menyetir, Annie masih mampu mengangkat bahunya dalam kedikan kecil. Lengannya yang ramping begitu mudah membelokkan setir, terakhir aku coba, aku malah merusak pot tanaman seseorang. "Lima bulan adalah waktu yang lumayan berat untuk tidak berbagi rindu dengan kekasihmu."

Aku menemukan gagasan bahwa mendengus adalah hal terakhir yang paling bagus untuk dilakukan sekarang, lalu memutuskan untuk melihat keluar kaca mobil. Air hujan yang lumer membuat anak sungai di kaca sehingga bayangan wajahku terhapus olehnya dengan keji. Aku juga mendapat bayangan kalau air-air ini tengah berjuang keras untuk menerobos masuk. Ini bukan jenis hujan manis di mana kau bakal mau meluangkan waktu seperti selamanya untuk menonton butiran-butiran air itu memukul lembut jendela. Lebih disukai ribuan air yang mengamuk.

"Bagaimana keadaan ibu?" aku mengambil subjek baru. "Terakhir aku periksa dia dalam kondisi yang wajar. Tapi, kau tahulah…" Aku membiarkan kalimatku tertelan kembali.

Annie memutar kemudi saat memasuki jalan utama. "Aku sudah meminta maaf kepadanya soal pertunangan ini—walaupun aku tahu ini sangat terlambat. Ibu menerimanya. Kami sempat melewati bagian saling merangkul, dan setelah itu, baik aku maupun ibu merasa lebih baik."

"Lega mendengarnya," jawabku, membayangkan kembali wajah sumringah ibu yang baru kembali dari dapur—dan kenyataan bahwa wajah itu bukan sekadar topeng yang digunakan sehari-hari. Aku juga tidak heran bagaimana ibu bisa langsung memaafkan Annie begitu saja, terakhir aku periksa, ibu tidak sepenuhnya menyesali perbuatan kakakku.

Pada dasarnya Annie tidak benar-benar dekat dengan ibu sejak kami kecil, sebagian besar waktu dihabiskannya dengan ayah. Karena itu, setelah pusat keluarga kami memutuskan untuk angkat kaki, hubungan kami retak seperti bagian luar kulit telur, apalagi ketika aku dan Annie sama-sama beranjak dewasa. Hal-hal sulit bisa terjadi di mana saja, betapa aku selalu mengulang kalimat itu di benakku akhir-akhir ini, lantaran aku juga menemukannya di salah satu buku yang pernah kubaca di perpustakaan sekolah. Sesuatu seperti masalah kehidupan yang lazim buat setiap manusia. Dalam konteks ini, kehidupan penyihirku juga berlaku.

Kami tiba di depan gedung asrama. Aku mendongak, langitnya muram dan seakan bisa runtuh kapan saja menimpa kepala kami.

"Pastikan kau tidak datang terlambat, lalu jangan membuatku malu dengan hanya mengenakan kaus, jins belel, dan sneaker usangmu itu." Annie menukas ketika aku nyaris membuka pintu mobil. Sambil mencoba tersenyum dan bukannya bakalan melempar dengan sindiran-sindiran hebatku, aku membalas, "Kalau aku tidak lupa."

Aku segera membuka pintu dan berlari ke lobi gedung, melihat sekali lagi kakakku yang berkendara pulang menerobos hujan.

(*)(*)(*)

Sasha mengerang sambil mengempaskan tubuhnya di atas ranjang, begitu keras sampai-sampai aku harus merelakan waktuku buat melirik dari atas buku fisika. Tabloid dan/atau majalah-majalah borjuis berserakan di atas perutnya.

Pada awalnya aku memutuskan untuk tidak menggubris karena aku sudah tahu kalau Sasha sedang lapar alat rias hari ini—yang sejak awal tidak pernah menarik hatiku. Tapi, pelajaran fisika agaknya membuatku jenuh, jadi aku juga perlu mencari teman mengobrol. Aku praktis bertanya setengah hati, "Ada apa?"

"Aku kehilangan benda itu," jawabnya pada langit-langit, meraup kembali salah satu tabloid di samping rambut keunguannya yang menjalar seperti sulur laba-laba. Kata-kata "kehilangan" menonjok telak bagian dasar perutku.

"Kehilangan apa?"

"Salah satu eyeliner warna perak yang ini. Mereka bilang stoknya sudah habis." Sasha menunjukkanku alat rias yang dia inginkan, aku mengangkat alis prihatin.

"Kenapa kau pernah berpikir akan membutuhkan benda itu?"

"Kencan, barangkali?" dia menyentakkan napas tiba-tiba.

Perlu tiga detik sampai mendengus berubah jadi tawa. "Itu konyol. Siapa yang mau kau ajak keluar? Lelaki botak dari kelas sebelah itu?"

Sasha menjilat bibirnya cepat seperti kucing. "Bagaimana kalau supirmu?"

Aku sempat menganga dalam waktu singkat, tetapi Sasha berhasil merekam seluruhnya dalam kepalanya. Sekarang gilirannya untuk tertawa terpingkal-pingkal dan aku harus berusaha melakukan apa saja untuk tidak membiarkan wajahku kelihatan merah merona lagi. Lalu, seolah-olah seseorang tahu aku butuh pengalih perhatian, ponselku membunyikan dering marah. Ketika Sasha mendengus dan kembali pada tabloidnya, aku melihat nama ibuku di layar. Adalah hal yang bertele-tele setiap aku mengangkat telepon darinya—maksudku, ketika aku pertama kali memilih tinggal di asrama, pertanyaannya tidak jauh-jauh amat dari 'Apa kau baik-baik saja?' atau 'Bagaimana teman sekamarmu?' seolah-olah aku berada di alam liar dan bukannya berjuang untuk selamat dalam kehidupan sosialku. Dia melakukan itu berkali-kali sampai-sampai aku harus menahan diriku dari mengertakkan geraham setiap menjawab panggilan darinya.

Toh, tidak pernah ada salahnya juga mengangkat telepon dari ibu, barangkali sekarang dia punya wahyu gembira kalau Annie sudah praktis memajukan tanggal pernikahannya.

"Mikasa, kau ada di mana?"

Butuh waktu selamanya untuk mencerna kalimat mendadak itu perlahan. Suara ibu berupa—semampu yang dapat kutafsirkan—kumpulan dari cemas dan takut, tapi aku harap bukan gabungan dari keduanya. Aku melirik Sasha. "Ah, di kamarku."

Aku mendengar ibuku mendesah letih di ujung sana. "Annie pergi ke kota lagi. Katanya dia ingin mencarimu."

Ponselku mulai memanas di telinga, sayangnya aku terlalu malas untuk bangkit dari posisi ini untuk mengambil earphone. "Uh-huh," sahutku enggan, "Annie memang seharusnya di kota untuk menjaga butiknya atau seseorang akan mengambil barang-barangnya dengan cara yang tidak halus," ujarku, entah bagaimana merasakan kalau aku seperti menjelaskan soal ini kepada bocah SD. Ibuku memang agak kolot, dan walaupun tidak seperti biasanya, aku tetap mencoba untuk menganggap semuanya statis.

"Tidak, Mikasa, sebelum ini dia bilang baru meliburkan tokonya. Dia jadi agak aneh akhir-akhir ini," ibuku tidak bisa lebih khawatir lagi. Aku memakai waktu ini untuk tertawa menyindir.

"Pepatah bijaksana mengatakan kalau orang-orang jadi agak gila saat mendekati pernikahan mereka."

Aku menangkap gerakan Sasha yang menyentakkan kepalanya ke arahku lewat ekor mata, mulutnya menganga. Aku membuat gerakan sama tanpa suara untuk menahan seluruh pertanyaannya setelah aku beres berbicara dengan ibuku di telepon.

"Bukan begitu, Mikasa," tepis ibuku, sudah kedengaran lelah, "dengar, pokoknya kalau kau bertemu dengan kakakmu di sana, katakan untuk segera pulang. Sejak awal ini bukan karena dia tidak menghabiskan supnya."

"Toh, supnya memang tidak enak," gumamku kepada diri sendiri, tidak berpikir panjang apakah ibuku bakal mampu mendengarnya atau tidak. Setelah itu aku cepat-cepat memutuskan sambungan.

"Kakakmu akan menikah?" tanya teman sekamarku, masih sempat-sempatnya tercengang. "Wow, kapan peristiwa bahagia itu?"

"Minggu ini," jawabku seadanya sembari melempar ponselku ke atas ranjang. Aku mengintip keluar lewat jendela dari lantai tiga. Tidak ada kehadiran wanita pirang yang kukenal. "Kurasa."

"Selamat, kalau begitu."

Aku mengangguk, membuat putaran terhadap pensil di jemariku, menelengkan kepala ke arah jalan raya sekali lagi seolah-olah ada orang yang sibuk memanggil namaku. Untuk sejenak aku memikirkan betapa hari ini bisa menjadi lebih buruk, dengan pesanan yang belum tuntas. Sekarang Annie entah keluyuran di mana dan aku diminta untuk mencarinya seolah-olah dia kabur dari rumah dan tersesat. Aku bisa saja meminjam kata Levi dan menyanyikannya di dalam benakku; Ini hari yang buruk.

"Omong-omong, sebentar lagi ulang tahun Christa. Kita bakal diundang ke rumahnya."

"Benarkah?" tanyaku, melompat dari atas ranjang serta melirik kalender. Angka 15 yang sudah dilingkari spidol sharpie merah menjumpai mataku. "Aku harus beli kado," gumamku lebih kepada diri sendiri, mengingat ketika ulang tahunku bulan Februari kemarin, Christa membelikanku kaus manis yang pantas dikenakan ke mana dan kapan saja. Tapi, aku tidak membawanya ikut bersamaku, pakaian itu masih ada di lemari rumah.

Kebetulan matahari masih menggantung di langit dan bukannya awan hitam celaka seperti kemarin. "Aku harus keluar, kau tahu, mencari hadiah di toko konsinyasi," ujarku kepada Sasha, berjalan keluar setelah meraih tas tangan di atas meja riasku, bahkan aku tidak perlu repot-repot mengecek ke dalamnya.

Aku baru saja bergegas kira-kira sepuluh meter dari asrama sampai aku melihat sosok jangkung Bertholt mencoba mengejar kerumunan yang akan menyeberang di simpang tiga. Dengan putus asa aku menyadari kalau bersembunyi sudah terlalu terlambat. Dia menoleh perlahan—seolah-olah aku baru memanggil namanya dari jauh—dan saat matanya berserobok denganku, pemuda itu tersenyum.

Alih-alih membalas senyumnya, aku mendapati kakiku berjalan mendekat dan segera menyambar. "Ah, sungguh sebuah kebetulan melihatmu di sini."

Bertholt tersenyum kikuk, masih membawa-bawa map di tangannya. Dia mengenakan sweater warna hitam yang tidak berlengan. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya ramah.

Aku berusaha mengabaikan sekeras mungkin kesempatan di mana Bertholt bisa bertanya apa saja yang memberikan efek seperti serangan jantung. "Aku, eh, baru mau pergi ke toko untuk belanja," jawabku, sesederhana itu saja sambil berusaha sekeras mungkin tampak wajar. Kepalaku dengan terburu-buru mencari alasan bagus jika Bertholt sampai bertanya soal benda pusakanya.

Keheningan semacam ini masih dapat diatasi oleh klakson-klakson mobil yang seolah tidak pernah berhenti setiap detiknya.

"Apa kau sudah berhasil dengan… proyek itu?"

Aku tidak sanggup melihat ke dalam matanya, sehingga yang kulakukan adalah tertawa getir sambil memandangi aspal di depan sepatu sneaker tumpulku.

Aku meneguk ludah. "Maafkan aku, sebenarnya aku sedang mencoba, tapi…" orang yang kucari ini sedang ada di penjara. Aku mengangkat wajah terhadap tubuh jangkungnya. Aku separuh menyangka dia bisa dengan mudah menyentuh langit hanya dengan merentangkan kedua lengannya tinggi-tinggi. "Kunci apa ini? Apakah semacam benda pusaka keluarga?"

Bertholt tampak berpikir. Aku baru sadar kalau dia menggantungkan kacamata perseginya di kerah sweater. Rupanya kunci ini dulu dimiliki oleh salah satu keluarga penyihir yang kuat, terlalu kuat imbuhnya. Bukan untuk membuka atau menggembok pintu, kunci ini jelas-jelas punya fungsi yang berbeda—seperti apa yang dikatakan Bertholt tentang mengunci dan melepaskan sihir seseorang dan dapat disimpan dalam peti seperti harta karun bajak laut. Entah bagaimana benda itu hilang di tahun 30-an. Orang-orang diperintahkan untuk mencarinya, tetapi benda itu hilang begitu saja. Dan, selama bertahun-tahun yang melumpuhkan juga, orang-orang itu yang kupikir punya hubungan dengan penyihir, masih mengabadikan kunci tersebut dalam sebuah kertas sebagai salah satu legenda.

Sambil lalu aku tanya untuk apa Bertholt menginginkannya, dia hanya menjawab setengah misterius. "Aku ingin mengoleksinya. Kau tahu, benda-benda dari zaman 30-an, dan segala artefak-artefaknya yang pernah kupelajari sebagai studi paling menarik."

Dia jelas-jelas memahami buku sejarahnya dengan baik. "Oh," kataku pura-pura gembira juga. "Arkeologis dan sebangsanya. Aku barangkali bisa mengusahakan untuk lebih cepat mencarinya."

Bertholt cuma mengangguk. Kemudian kami berpindah ke topik-topik yang ringan. "Sebuah hal yang lucu bisa bertemu kakak beradik Leonhart pada jam yang sama. Tapi, aku tidak bisa bilang kondisinya dalam keadaan bagus."

"Apa?"

"Aku baru bertemu kakakmu juga. Katanya dia sedang dalam perjalanan untuk mencarimu di sini. Apa… apa kau tidak melihatnya?"

Aku mengerjap kesekian kali dan membutuhkan waktu yang banyak untuk benar-benar sadar pada kenyataan. "Tidak. Ibuku memang sudah bilang kalau Annie bakalan ke kota, tapi dia belum mengunjungi atau menghubungiku sama sekali. Kau ingat dia ada di mana?"

"Ya," Bertholt menjawab agak skeptis. "Aku rasa dia belum terlalu jauh."

Sebelum kami akan sama-sama bergegas mencari Annie, sesuatu menyadarkanku. "Tunggu, kau tidak sedang sibuk, 'kan? Aku tidak mau jadi penghambatmu hanya karena kau membantuku mencari kakakku sendiri."

"Tidak, tidak sama sekali. Aku senang kalau bisa membantumu, Mikasa."

Leherku mendadak menegang kala namaku tergulung perlahan di lidahnya seperti melodi yang menetes ke permukaan air setipis es, berbahaya. Di atas semuanya entah bagaimana aku berpikir kalau nada intens semacam itu menyerupai tinta beracun di tenggorokan. Tidak dapat disanggah lagi kalau sebagian bulu lenganku meremang membentuk peringatan.

Aku membiarkannya menuntunku.

(*)(*)(*)

Bertholt sudah menarikku sejauh ini untuk tiba di pusat perpustakaan kota, di mana yang dia katakan berkali-kali kalau dia melihat Annie di sekitar sini. Dengan gaun warna hitam dan sepatuh hak merah yang dipakainya kemarin saat belanja gaun, berjalan-jalan seperti orang linglung tanpa kiblat. Annie barangkali terlalu tegang untuk bisa tidur mengingat jadwal pernikahannya di depan mata.

Aku memandangi seberang jalan, dengan harapan kecil akan menangkap sosok wanita yang memenuhi semua syarat itu, namun aku tidak dapat menyangkal fakta bahwa hanya wajah-wajah asing yang kutemukan. Aku sudah bersiap-siap merogoh ponsel dari saku depanku sampai Bertholt mengguncang lenganku, mengatakan kalau kakakku berdiri mematung di sana—dekat lampu trotoar seperti menunggu taksi. Aku mendongak. Annie benar-benar ada di sana, memeluk tubuhnya sendiri seperti bocah kedinginan, dan seolah telah berjalan bermil-mil jauhnya, mendadak kakakku terkulai—tampaknya akan pingsan.

Tanpa bisa menghentikan diriku, aku bergegas keluar trotoar, menyeruak, "Annie!"


Tanpa pikir panjang aku menyeberangi jalan raya tanpa mengecek kendaraan yang masuk ke jalur, dan saat ada bus kota melaju secepat kereta, Bertholt menarik kencang pergelangan tanganku sehingga aku nyaris tergelincir di atas sepatuku sendiri. Klakson marahnya masih berdengung-dengung memukul isi kepalaku, dan selama satu detik yang melumpuhkan, aku mendapat bayangan kalau Annie bisa kapan saja menghilang dari jarak pandangku yang sempit setelah bus kota menutupi tubuhnya.

Tapi, yang aku lihat berikutnya adalah pemandangan kakakku yang mulai dikerubungi orang-orang seperti burung gagak dengan wajah seputar cemas.

Aku tiba di seberang sejurus kemudian, meraih kedua siku Annie yang licin karena telapak tanganku banjir keringat. "Annie," aku memanggil, suaraku terlalu serak untuk mampu menyadarkannya. Annie membuka matanya yang tadi setengah terkatup. Aku ingat bibir berlapis lipgloss pink-nya saat malam pesta pertunangan, yang sekarang tengah terbuka ingin mengatakan sesuatu.

"Apa itu kau, Mikasa?"

Aku menelan bulat-bulat kepanikan bahwa kakakku terlihat seperti apa saja kecuali sehat. Dia bergumam tak jelas.

"Ya, ini aku Mikasa. Ini aku."

Bertholt ikut membantuku saat menarik Annie bangkit, wanita itu tidak menganggapnya ada ketika matanya hanya menyelam dalam ke arahku. Aku melirik pasangan mata yang menonton kami seperti khawatir, satu per satu dari mereka mulai menyingkir dan kembali ke jalanannya. Kemudian aku bisa mendengar Annie berbisik, "Kunci itu, Mikasa."

Aku tercenung. "Kunci apa?"

Sekarang giliran Annie yang mencengkeram kuat-kuat lenganku. Kuku-kukunya yang tajam menggali ke dalam kulitku sampai tak sadar kalau aku baru saja mengernyit sakit. Aku menggeliat dan menyerukan namanya sekali lagi, tapi kakakku hanya diam seperti wayang.

"Berikan kunci itu sekarang." Bahkan jika memungkinkan, Annie kedengaran merengek. Aku juga bisa merasakan sebagian tubuh Bertholt menegang di sampingku.

"Apa-apaan kau, Annie? Kunci apa?" aku berbisik tajam, melihat balik matanya yang tidak fokus. Terkadang dia melirik ke atas, seperti mencoba mencari kunci itu di antara gumpalan awan di langit, kemudian menatap orang-orang yang lewat di sampingnya seperti monster lapar. Meskipun demikian, iris birunya tak pernah pudar.

Bertholt mungkin hanya akan merepotkan dirinya sendiri. Sebelum itu terjadi, aku terpaksa mengusirnya dengan lembut. Dia menawarkan sekali lagi dan melemparkan pertanyaan seperti, "Apa kau yakin? Aku bisa memanggilkan taksi dari sini." Dan, ketika Annie mulai memberontak seperti bayi cengeng, sebongkah kengerian menghantam selaput di dalam tubuhku.

"Aku… aku bisa mengatasinya sendiri," jawabku, dan aku benci ketika suaraku gemetar, bahkan tidak yakin dengan apa yang kuucapkan sendiri. Bertholt berpikir sejenak, tapi dia masih menawarkan bantuannya untuk menggiring Annie keluar dari trotoar, menyandarkannya di dinding bangunan yang terlindung dari sengatan matahari. Setelah itu dia benar-benar pergi meninggalkan kami.

Keringat mengalir lewat tengkuk, merembes ke dalam punggung bajuku yang praktis bermandikan keringat, tapi aku tidak punya waktu untuk mengelapnya dengan kedua tangan gemetar menggenggam ponsel—seolah-olah tanganku tidak punya tenaga lagi dan ponselku bakalan jatuh menghantam aspal kasar. Aku cemas jika Annie akan melarikan diri seperti kelinci liar dan aku tidak mampu menjangkaunya. Aku menunggu dengan tidak sabar. Angkat, kumohon angkat.

"Halo?"

"Aku memerlukanmu."

Ada jeda sejenak. "Wow, aku tidak tahu kalau kau bakal merindukanku secepat itu, Mikasa, tapi kau tahu kalau aku masih punya jam kantor."

Suara Levi seluruhnya merangkul isi kepalaku, tapi aku sama sekali tidak bisa tersenyum. "Tidak, dengar—"

Kalimatku terpotong secepat kilat ketika Levi menggeram, jenis geraman yang dipakainya hanya di kantor. "Tunggu, tahan di sana."

Aku menahan diriku dari berseru dengan menggigit bibir bawahku sesegera mungkin, terlalu keras, sehingga indra pengecapku mampu merasakan rasa amis dari sobekan kecil di bibirku. Samar-samar aku mampu menangkap suara Levi dalam aksen yang murka, benar-benar suara asli yang dia ciptakan tanpa pernah aku dengar sebelumnya. "Aku memberikanmu satu hal, satu hal untuk dikerjakan, dan kau mengabaikannya begitu saja?" Rentetan caci-maki menyusul berikutnya.

Aku melirik Annie di sampingku, takut-takut jika dia raib dari sana, dari jarak pandangku. Tapi kakakku hanya menatap kosong jalan raya, tubuhnya seolah bak wadah tanpa jiwa. Aku ingin bertanya apa yang terjadi dengannya, tapi seluruh niat itu berhenti.

Levi kembali lagi. Suaranya sudah normal. "Jadi, eh, kau memerlukanku untuk mengerjakan PR sekolah atau sesuatu semacam itu?"

"Tidak," jawabku, terlalu nyaring, "aku memerlukanmu untuk mengantarku pulang ke rumah."

"Dan kau pikir asrama itu buruk."

"Annie… ada sesuatu yang tidak beres dengannya," aku tidak menggubris dan suaraku yang berupa bisikan ini pecah menjadi potongan-potongan yang akan merajam tenggorokanku. "Aku akan menjelaskannya nanti. Kumohon, cepatlah."

"Katakan di mana kau berada."

(*)(*)(*)

Aku melirik lewat spion tengah untuk kesekian kalinya. Annie masih duduk dengan kaku di jok belakang, memelintir cincin di jari telunjuknya lagi dan lagi. Kami sempat melewati bagian paling terburuk untuk membujuknya masuk ke dalam mobil. Annie menolak dan bersikeras akan diam di sini jika dia tidak mendapatkan kuncinya saat itu juga. Levi dan aku bersusah payah memberi bujukan manis bahwa kunci yang dia inginkan ada di rumah dan kami akan segera mengantarkannya sekarang. Jika aku tidak salah lihat, pipinya terlihat lebih cekung serta kantung mata timbul di permukaan wajahnya seperti ibuku.

"Mikasa, kau punya kuncinya, 'kan?"

Dan ini sudah yang keseratus kali kakakku meracaukan kunci imajinernya.

Aku menoleh dari jok depan. "Annie, kita akan pulang, oke? Ibu punya ratusan kunci kamar dan kau bisa pilih satu yang kau suka."

Levi bergidik di sampingku. "Kunci apa yang sedang kalian bicarakan sebenarnya?"

Aku melesakkan tubuh lebih dalam ke jok kulit mobil Levi. Satu-satunya kunci yang pernah terlintas di kepalaku adalah kunci dengan hiasan batu-batu rubi itu, tapi aku rasa bukan kunci yang dicari Annie. Lagi pula, itu pesanan milik Bertholt. "Aku tidak tahu. Aku baru saja menemukan Annie dalam keadaan seperti ini. Ibuku bilang ada yang salah dengannya kemarin."

Saat mobil sudah melaju ke putaran yang membawa kami keluar dari Kota New York, aku bisa mendengar Annie terisak seperti desauan angin.

"Dia sudah memercayaiku, dia ingin aku mengambil benda itu segera. Aku tidak bisa—aku tidak bisa mengecewakannya—"kemudian di sini aku melirik matanya berkilat tajam ke arahku, seperti bukan Annie yang pernah kukenal—"kau harus menyerahkan kuncinya sekarang, Mikasa!"

Kakakku menjerit dan, tanpa peringatan, menghantamkan kepalan tangannya ke sandaran kepala tempat dudukku. Aku terguncang ke depan, beruntung sabuk pengaman menahanku dari membentur dasbor.

"Berengsek—apa yang—"

Levi berseru dan di saat yang bersamaan segera menepi. Aku memejamkan mata dengan keras, mencoba meraba-raba bagian belakang kepalaku yang terbentur benda keras. Annie memekik lebih gila-gilaan di dalam mobil—membentur-bentur kaca serta dengan susah payah mencoba membuka kenop pintu mobil yang dikunci rapat. Jemarinya mencakar jok, di telingaku kedengaran seperti tikus yang mengorek-ngorek dinding kayu. Lampu sein berdetik tidak wajar di dalam mobil.

"Mikasa, hei, kau tidak apa-apa?" Aku merasakan Levi menggenggam pundakku. Suaranya terburu-buru dan cemas, tapi aku menghiraukannya. Di atas semua itu Annie perlu ditenangkan. Aku beralih untuk mencondongkan tubuh.

"Annie, tenang, kau akan mendapatkan benda ini—kuncimu—saat kita tiba di rumah nanti. Kumohon, tunggulah sebentar."

Kakakku melirik setengah hati dengan matanya yang kosong. Bibirnya terlihat pucat, terlepas dari seberapa keras dia sudah berusaha untuk memoleskan lipgloss lengket pada bibirnya, dan napasnya terengah tak beraturan. "Benarkah?" tanyanya kemudian, memastikan.

Aku mencoba tersenyum—walaupun rahangku kaku—sambil menyenggol Levi pula, tapi dia hanya melempar pandangan merengut lewat kaca spion seolah-olah kakakku adalah makhluk sinting.

"Ya, Annie, aku sungguh-sungguh," balasku, menjulurkan lengan untuk meremas tangannya yang barangkali dingin. Secepat dia memalingkan wajah dariku, secepat itu pula dia menarik tangannya seakan aku bakal merantainya atau apalah. Aku mendesah.

"Ayo," bisikku ke arah Levi.

"Apanya?" Dia memutar bola mata, tampak enggan untuk menancap gas dan jari-jemarinya hanya berkeletak di atas setir dengan cemas. Awalnya pelan, lama-lama menjadi cepat tidak wajar.

Aku meninjunya keras.

"Levi, apa kau tidak mengerti situasi ini?"

"Ya, tentu aku mengerti," Levi balas berseru, matanya melotot tapi dia tidak benar-benar murka seperti yang aku curi dengar di telepon. "Kau mau aku menyetir dengan perasaan was-was kalau Annie bakal menonjok kepalamu lagi? Kali ini dia bisa saja membanting setir ke arah truk."

"Aku mau kau untuk menyetir pulang," aku berusaha berbicara tegas, namun suara yang keluar seperti kucing kehausan. "Ibuku… dia takut terjadi sesuatu pada Annie, dan sekarang aku tahu kenapa."

Kata-kata itu berhasil membungkam mulutnya dan kami jadi sama-sama bisu. Aku melirik Annie lagi lewat ekor mataku, dia tengah memandang cincin peraknya sedemikian rupa, sampai-sampai aku dapat bayangan gila kalau kakakku sedang bertanya-tanya dari mana dia mendapatkan benda itu. Sebelum mesin berderu, aku melepas sabuk pengaman kemudian melompat ke belakang jok untuk duduk di samping Annie. Dia bahkan tidak berkutik atau mengangkat alisnya.

"Mikasa," Levi memperingatkan, suaranya rendah, "dia bisa melukaimu."

"Jangan bodoh," ujarku, tak lebih dari berbisik, dan seberapa keras aku berjuang untuk menghapusnya, perasaan itu memang benar-benar menghantui. "Annie adalah kakakku, dia tidak mungkin menyakitiku."

Levi tampaknya menyerah untuk berargumen lagi karena kakinya segera menginjak gas dengan beringas. Barangkali akibat kejadian barusan, Levi menjadi tidak sabar untuk segera melintas di jalan utama sehingga dia tidak mendapati mobil sedan lainnya menyalip seperti setan dan hampir menabrak sisi kanan kami. Klakson dari kedua mobil pun beradu pantang mati, jantungku masih bertalu-talu untuk mampu mendengar Levi melemparkan serentetan kata kasar keluar lewat jendelanya. Aku menoleh ke arah Annie.

Matanya menerawang entah ke mana.

(*)(*)(*)

Setengah jam habis dalam perjalanan menuju rumah, keluar dari kota. Kakakku memang tidak "menyerang" atau apa, namun hal itu tidak menghentikan Levi dari melirik setiap detiknya pada kaca spion ke belakang jok. Lama-kelamaan aku merasa risih. Dan, ketika aku berkomat-kamit sesuatu seperti, "Bisakah kau fokus menyetir?", Levi balas dengan nada komat-kamit yang sama, "Siapa pun tidak cukup bodoh untuk mau diserang mendadak dari belakang."

Aku menarik diriku keluar dari kekakuan yang sesungguhnya sampai aku tidak sadar kalau tubuhku baru saja merenggang lega. Dekat teras, aku menemukan satu mobil perak sudah menunggu dengan nyaman. Aku tidak perlu bertanya-tanya milik siapa itu.

Annie ikut keluar beberapa detik kemudian, celingak-celinguk mengedarkan kepalanya ke halaman rumah kami seolah-olah dia baru dijebloskan ke hutan belantara. Alisnya menegang menjadi sebuah raut wajah yang keliru. Tepat saat itu pintu terbuka—barangkali setelah mendengar deru mesin mobil yang masuk ke halaman—dan orang-orang mulai berhamburan keluar. Aku melihat ibuku yang pertama kali muncul, bergegas tertatih-tatih ke arah Annie sembari mencoba untuk tidak terantuk hiasan batu yang menyembul di atas jalan setapak. Kemudian, dia mencoba merangkul Annie sebanyak apa pun yang dia bisa lakukan. Dua sepupuku yang lain ikut muncul berturut-turut—Armin dan Jean.

Lalu, orang terakhir yang praktis membuatku mesti menelan kembali cairan lambungku, Eren tampak di ambang pintu. Wajahnya tak dapat disangkal panik, dan aku juga bisa membayangkan kalau dia sudah menunggu berjam-jam lamanya, tidak sabar sambil berjalan mondar-mandir di atas lantai. Menggigit habis kukunya.

Levi baru bergabung setelah beberapa detik memilih untuk merenung di dalam mobil hitamnya, dan terakhir kali aku lihat dia sedang memeriksa pintu kendaraannya yang barangkali lecet atau apa. Dia berdiri di sampingku sekarang.

"Apa mereka akan melakukan sesuatu?" Levi bertanya, mengamati lekat-lekat Annie yang kelihatan berjuang untuk lepas dari pelukan ibu. Aku meneguk ludah lalu beralih memandang Eren. Pemuda berambut hitam kecokelatan itu tengah mencoba berbicara dengan tunangannya yang bertingkah seperti bayi ngambek. Annie hanya merengek lagi dan lagi.

"Kita tidak bisa membiarkannya tahu. Tidak… tidak sekarang."

Aku mendengar ibuku terisak, "Oh, Annie" berulang kali sampai aku bisa melihat dari sini kalau wajah ibuku jauh lebih kusut dan tua dari yang pernah kubayangkan. Aku merasakan perasaan ngilu yang tiba-tiba, dan menyadari bahwa selama ini yang kulakukan hanya melihatnya menangis.

Saat itu Annie telah menemukan jalannya untuk melihat kami—tepatnya ke arahku. Bahunya terguncang sampai dia berhasil lepas. Aku hanya diam melihatnya datang mendekatiku, kemudian yang aku lihat berikutnya adalah bahu Eren yang sudah berhasil menyelipkan diri di antara kami. Annie berhenti dan segera menarik dirinya menjauh, seolah-olah tunangannya itu adalah bakteri beracun. Dia barangkali sudah mengantisipasi keadaan ini kalau-kalau mereka akan mengekangnya.

"Annie," Eren berkata lembut, memaksakan setiap cinta dan keputusasaan tertarik keluar dari ujung lidahnya. Di saat yang bersamaan, kakakku tidak pernah membalas penuh sukacita seperti yang biasa dia lakukan. Alih-alih, wanita berambut pirang itu menunjuk terang-terangan ke depan hidungku. "Aku harus bicara dengannya, Eren. Jangan, kau jangan pernah menghalangiku."

Barangkali ini adalah kesan buruk pertama bagi Eren karena wajahnya benar-benar berubah drastis—pupilnya mengecil. Selama ini kakakku tidak mungkin berkata sesuatu sepedas itu, atau setidaknya, dia akan mencoba menahan kata-kata itu keluar dari benaknya dan hanya akan melemparnya kepadaku seorang. Aku hapal persis bagaimana harus menanggapinya dengan sindiran yang pasti sampai-sampai dia memberiku tatapan tidak tahan.

"Apa yang—"

"Dia menginginkan buku itu. Kumohon, Eren, kau tidak akan mengerti," kakakku merengek lagi, berayun untuk meloloskan diri dari tunangannya yang berdiri bak tembok kokoh. Dia siapa? Memang ada yang salah dalam diri Annie, tapi dia tidak mungkin meracau. Dia jelas-jelas masih mengenali kami. Annie menginginkan sebuah kunci yang aku bahkan tidak tahu untuk apa.

Tubuh Levi menegang saat Annie berhasil tiba di depanku. Terlepas dari kenyataan kalau aku jauh lebih tinggi darinya, hal itu tetap mampu menyurutkan keberanianku terhadap mata Annie yang menyala garang.

"Kuncinya," bibirnya berucap dengan kering, sambil membuat gerakan tidak sabar dengan menengadahkan telapak tangan. Aku menarik napas tegang.

"Aku tidak tahu apa yang kau maksud, Annie."

Aku tidak benar-benar menyimak bagaimana selanjutnya. Rupanya Annie tidak puas dengan jawabanku. Yang aku ingat tangannya telah melayang menampar pipiku. Keras.

"Sial—" Levi bergegas maju secepat kilat untuk menarik mundur kakakku. Eren sudah berada di sisi kanan Annie, menahannya dari meronta-ronta dan menjerit. Mata cokelat ibuku membeliak, menutup mulutnya agar suaranya tidak pecah menjadi histeris. Rambut emas kakakku yang biasa disanggul sekarang sudah tersibak membentuk ombak kusut. Aku mengerjap sekali. Menelusurkan jari ke pipiku yang perih karena goresan dari cincin Annie.

"Tidak! Singkirkan tangan kalian!"

Levi dan Eren sama-sama menggeram hanya untuk menyeret Annie ke depan pintu, berusaha menjauhkannya dariku. Keadaan menjadi semakin celaka ketika sepupuku, Jean, turun tangan—barangkali tenaga Annie sudah kelewat wajar untuk dikekang dengan tenaga dua pria. Semuanya menyerukan nama kakakku, mengikatnya seperti maniak dan mencoba membawanya masuk ke dalam rumah. Hanya Armin yang masih diam, memegang bahu ibuku yang sewaktu-waktu bisa jatuh pingsan. Ketidakpercayaan terlukis di matanya.

Aku berlari menghampiri saat tubuh Annie melemah pada anak tangga pertama. Pupilnya meluncur ke belakang kepala, dan detik itu pula segala teriakan murka berubah hening. Eren segera menangkap tubuh Annie yang ambruk di kedua lengan, membawanya duduk di undakan tangga, serta-merta merengkuh tubuh kecil dan pucat itu. Levi terengah seraya mengernyitkan dahi, dia menengok kepadaku.

"Aku baik-baik saja, aku baik-baik saja," kataku, terbenam dalam pundaknya ketika Levi merangkulkan lengannya ke belakang tubuhku erat. Aku bisa melihat segalanya dari sini. Eren merunduk, menyentuhkan keningnya pada pipi Annie. Hanya untuk sejenak.

Aku menarik napas, melirik ibuku sembunyi-sembunyi.

Air mata mengalir di pipinya.

(*)(*)(*)

"Sejak kapan Annie seperti ini?"

Aku membiarkan Levi mengusap-usap bahuku berulang kali. Ibuku duduk berseberangan dengan Armin dan Jean di kedua sisinya, meremas gumpalan tisu yang menggunung. Eren segera membopong Annie menuju kamar setelah kejadian tersebut, sampai sekarang dia belum keluar. Ibuku bilang dia sudah memberi minum Annie ramuan untuk mengistirahatkan tubuhnya, dia tidak akan sadar untuk 30 jam ke depan.

"Kemarin, ketika dia baru pulang dari mengantarmu. Aku sempat mendengar Annie meraung aneh di kamarnya tengah malam. Dia kelihatan meringis dalam tidur, berkali-kali bergeser di atas ranjangnya." Ibuku tidak dapat menahan diri lagi, suaranya gemetar. "Lalu saat itu aku tahu kalau dia tidak sakit."

"Apa kalau begitu?"

"Mantra," Jean menjawab pertanyaanku sigap, matanya tetap terpaku pada jarinya yang saling bertautan. Mengingat kalau dia satu-satunya sepupuku yang pernah tinggal di asrama juga, Jean sangat mahir untuk menyurutkan kekhawatiran ibuku yang tidak pernah reda setiap detiknya. "Annie berada di bawah pengaruh mantra berat."

"Itu sangat menjelaskan kenapa dia meracau tentang kunci," gumamku pelan. Beralih kepada ibuku, aku mampu mendengar diriku bertanya, "Apa Ibu tidak bisa memberinya ramuan untuk melepas mantra itu?"

"Percayalah, Mikasa, ibu telah mencoba semuanya," suaranya lirih, "Mantra itu bukan milik sembarangan penyihir. Dan kalaupun itu benar milik mereka…"

Aku dan Armin saling menatap ketika kalimat ibuku lenyap, membuka lebih banyak pintu tanpa ada jawaban di sana. Aku menarik napas. "Ibu dengar sendiri Annie bicara soal kunci dan sebuah buku. Apa—apa maksudnya itu? Dia terus memaksaku untuk memberikan kunci yang bahkan tidak aku tahu tempatnya. Dan untuk apa."

Ibu terdiam sejenak. Selagi Armin menyodorkan teh chamomile hangat, kunci yang berada dalam ilustrasi itu berenang-renang ke dalam kepalaku. Satu-satunya kunci mencurigakan yang berhubungan dengan penyihir dan segalanya. Mungkin memang kunci dari Berholdt. Mungkin…

"Kunci…"

Ibuku mendongak sebelum menjawab, memberiku wajah bingung. "Tidak, tolong lanjutkan," cetusku.

Sejurus kemudian ibu menceritakan kembali bagaimana Annie menyimpan kekuatannya dalam sebuah buku tapi dia tidak memberitahu tempatnya, seolah-olah dia ada di sana waktu malam pesta pertunangan, merekam pembicaraanku dan Annie yang berlangsung di lantai dua seperti piringan hitam. Memang, itu memang benar. Sampai sekarang aku tidak pernah berkesempatan untuk bertanya karena selain Annie kelihatan menghindariku, aku khawatir bakal melukainya. Aku mengerjap ketika mendapati bagaimana ini akan berakhir.

"Di mana kalau begitu?"

"Di dalam salah satu gambarmu—gadis rambut merah yang mendekap buku."

Aku melotot. Selama ini aku selalu mengesampingkan gambar itu, berpikir dalam benak kalau itu hanya gambar biasa yang nantinya akan terlupakan, disimpan bertumpuk-tumpuk dalam kardus setelah Ruang Galeri-ku cukup padat untuk ditempati lagi. Aku tidak heran lagi kenapa saat itu Annie tiba-tiba datang menghampiri, cukup pandai untuk menemukanku menggambar di atas meja makan, mendekatkan kepalanya ke atas gambarku yang masih setengah jadi sambil berkata terang-terangan, "Aku suka yang ini. Sungguh memesona."

Bukannya gambar itu sudah jadi target buat menyimpan harta.

Tapi kemudian, aku tidak ingat persis bagaimana kakakku bisa menyembunyikan kekuatan sihirnya ke dalam gambar dua dimensi—maksudku, dia bisa melakukannya. Aku tahu waktu itu aku belum memajang gambarnya di dalam Ruang Galeri, melainkan menyelipkannya di dalam buku catatanku selama berhari-hari.

Dan, Annie berhasil menemukannya entah bagaimana.

Lengkap sudah potongan teka-teki yang menyesatkan ini. Aku menarik kalung di leherku tergesa-gesa. Kunci kuningan memantulkan sedikit cahaya keemasannya kepadaku. Annie menginginkan kunci ini untuk mengambil buku sihirnya—bukan kunci dalam ilustrasi. Dan, skenario terburuknya, dia "diperalat" seseorang untuk menyerahkan buku sihirnya. "Kalau begitu, siapa dia yang dibicarakan Annie?"

Ibu menatapku sedemikian rupa, manik cokelatnya beralih untuk melihat kunci di leherku.

"Kami masih belum dapat petunjuk soal itu," Armin menukas. Sebagai salah satu anggota keluarga besar kami, Armin mampu mengingat setiap kata dari buku yang dibacanya—seperti kaktus yang menyimpan air untuk cadangan. Lalu, bertahun-tahun kemudian dia mampu mendeklamasikan halaman demi halaman, tak ada huruf yang ketinggalan. Kakakku pernah menyerah mendengarkan pidato Armin tentang ensiklopedia mamalia yang baru habis dibacanya hari itu, sampai-sampai kami semua harus berlari pulang dan meninggalkan Armin kecil sendirian.

"Tunggu sebentar," kataku. Levi melepaskan tangannya, membiarkanku bergegas pergi ke lantai dua. Ruang Galeri. Setelah membuka pintunya, aku beralih pada kertas-kertas yang digantung, mencari di setiap sudut karena aku sempat lupa di mana meletakkannya.

"Jadi ini ruang rahasiamu."

Aku terlonjak. Saking terburu-buru mencari, aku sampai tidak sadar kalau Levi berhasil membuntuti. Dia berada di sini sekarang, melongokkan kepala ke dalam Ruang Galeri. Tidak penting lagi untuk mengetahui siapa yang masuk, aku berusaha tidak menggubrisnya dan mencari lagi di antara gambar dua dimensi milikku.

Levi tampaknya tengah menggunakan waktu ini untuk memindai karyaku, sampai dia berhenti dan berkata penuh takjub, "Tidak. Mungkin."

Saat aku berbalik, pemuda itu sedang mengamati gambarku, lebih tepatnya Levi memandang balik dirinya di dalam ilustrasi. Jantungku sempat bertalu-talu sampai rasanya semaput, tersipu malu, tapi aku berusaha menyembunyikannya sebelum Levi melihat.

"Lumayan," katanya, menggaruk-garuk pangkal dagu. Tapi ini Levi, dia bahkan tidak mengerti seni seperti kakakku, aku ragu untuk menerimanya lapang dada. "Kau menyukaiku karena dahiku yang lebar. Apa seperti itu aku kelihatannya?" Levi mengukur panjang keningnya dengan jengkal tangan. Aku mengembuskan napas tegang.

"Bagaimana dengan gambar yang di sana?" tanyaku, menunjuk cermin berdebu tepat di sudut ruangan. Aku tidak tahu kalau gudang ini dulunya punya cermin yang digantung di dinding. Ibu menutupnya dengan sehelai kain beledu warna hijau tua. Aku yang dulu sering datang ke ruangan ini malam-malam. Dengan pencahayaan yang separuh redup, kain hijau tua itu selalu membentuk wajah seseorang yang seolah-olah terjebak di dalamnya setiap aku melirik tidak sengaja. Jadi, ketika aku beranjak lima belas tahun, aku mengajukan protes kalau lebih baik cermin itu dibiarkan apa adanya.

Levi mengernyitkan alis pada bayangannya sendiri yang nyaris tertutup debu kotor. "Serius, Mikasa, jika kau memang sudah mengembangkan kemampuan sihirmu untuk menggambar mahir di cermin atau apalah, kau tidak perlu menambahkan aksesoris bodoh itu di seluruh tubuhku."

Aku memutar bola mata, sedikit gemas sebetulnya. "Itu namanya "cermin berdebu", idiot."

Aku hampir selesai menyisir seluruh ruangan ketika gambar itu masuk ke dalam jarak pandangku. Tanpa tedeng aling-aling aku meraihnya, melepas jepitan di atas kertas itu, dan mulai mempelajarinya. Aku menelusuri jari di atas ilustrasi tersebut—layaknya kertas biasa, aku tidak merasakan ada yang salah dengan gambar ini. Aku bisa merasakan kehadiran Levi di belakangku, memanjangkan lehernya untuk mencoba intipan kecil kepada seorang gadis merah.

"Bukunya…"

"Benar," kataku, "Annie menyimpannya di sini, di dalam buku ini. Dan… dia menginginkannya kembali?" Suaraku tak lebih dari bisikan tak bernyawa ketika aku mengatakannya.

Kembali ke aula keluarga, aku hanya melihat Armin dan ibu di sana. Tehnya sudah mendingin di atas meja. Aku menyerahkannya kepada ibu. Jarinya yang panjang dan kurus menerima kertas tersebut. Matanya mungkin sedang meneliti, tetapi kelihatan kosong tanpa dasar. Aku tidak sempat bertanya-tanya apa yang dipikirkannya saat itu.

"Benar," dia bergumam dengan kering. "Kita… kita harus menjauhkan benda ini dari kakakmu atau kemungkinan terburuknya," ibuku meneguk ludah, "Grimoire akan jatuh ke tangan yang salah."

To Be Continued


Review Reply:

Guest : Halo, maaf sebelumnya kalau ini keliatan seperti fanfic terjemahan karena memang gaya menulis saya yang demikian adanya. Silakan cek review2 pada fic saya yang sebelumnya, gak cuma satu author/readers yang komentar tentang gaya menulis saya, kok. Tapi, untuk ide cerita ini saya garap sendiri. Sekali lagi maaf jika gaya penulisan saya justru menimbulkan kesan ambigu untuk bisa memahami fic ini. Terima kasih untuk Review nya :D

Elfendashear : Ahhhh, terima kasihh. Akhir2 ini fanfic RivaMika memang jadi agak surut :") Terima kasih untuk Review nya :D

Halo! Maaf sekali kalo ceritanya tanggung banget, saya terpaksa harus potong di situ karena gak kerasa kalau sudah 16 page (saya biasanya sampe 14 atau 15 saja)

Seperti biasa, saran dan kritik saya tunggu di kotak Review! Have a nice day/night :D