Di sebuah bar di kota Yokohama, Nakahara Chuuya meneguk wine sedikit demi sedikit, dan ia terlihat sangat elegan saat melakukannya. Seperti biasa, ia memakai topi kesukaannya dan mungkin ia tidak akan melepaskannya. Ia menyukai topi itu—bukan, tapi fanatik. Terlepas dari perkataan partnernya dulu kalau ia terlihat jelek saat memakainya.
Hari ini adalah hari santainya, hari tanpa misi. Terima kasih untuk Tuhan atas berkatnya, juga bos pedofil Port Mafia, Mori Ougi, atas kebaikannya. Tugasnya sebagai anggota eksekutif mafia memang merepotkan, ia nyaris tidak punya waktu luang. Namun hari ini, berterima kasih juga kepada Kouyou nee-san yang membujuk si Bos, ia bisa santai meminum anggurnya di bar ini. Walau sebenarnya masih banyak berkas-berkas yang harus dibereskannya nanti.
Awalnya ia ingin mengajak beberapa orang untuk ikut bersamanya, entah itu Hirotsu-san, Gin, Tachihanara, Higuchi atau Akutagawa. Namun ia teringat bahwa ia mengambil cuti ditengah-tengah mereka yang sedang bekerja. Tapi setidaknya ia bisa sendiri di sini, tenang dan damai, hanya ditemani bartender tua berumur setengah abad yang diperkirakan mempunyai istri serta anak-cucu. Ia bisa mengajak mereka lain kali saat semuanya benar-benar memliki waktu luang.
Suara pintu terbuka, bersamaan dengan bel yang berdenting nyaring karenanya. Suara langkah kaki terdengar jelas menapak lantai yang mengilat. Dan suara-suara itu berhenti tepat di samping Chuuya.
"Dari seluruh umat manusia di muka bumi ini, kenapa malah kau yang muncul di hadapanku?" Dazai Osamu, dengan kedua tangan yang diselipkan di kantong mantelnya, datang sendirian ke tempat ini. Wajahnya menunjukkan tanda tidak suka saat ia bertanya hal itu barusan.
"Cih! Harusnya aku yang bilang begitu," Chuuya dalam suasana hati yang tidak baik sekarang. Ia menghabiskan wine-nya dalam sekali teguk. Ia memang selalu dalam suasana hati yang buruk jika bersama Dazai.
"Sepertinya Tuhan mulai mengutukku," kata Dazai. Wajahnya menunjukkan bahwa ia kecewa dan pasrah, seakan ia benar-benar mendapatkan kutukan. Tentu saja, itu hanya dibuat-buat.
"Yah, itu benar." Merogoh kantongnya, Chuuya mengeluarkan beberapa uang dan menaruhnya di atas meja bar. Ia mengangguk pada sang bartender yang tersenyum, membenarkan posisi topinya, dan berdiri dan beranjak keluar. "Tapi tidak untuk waktu yang lama. Silakan nikmati waktumu, Detektif," tambahnya saat ia berjalan menuju pintu.
Dengan sigap, Dazai meraih lengannya dan memutar tubuhnya.
"Apa? Sekarang aku tidak mau berurusan denganmu!" kata Chuuya.
"Aku punya prediksi, kau tidak akan bisa kabur dariku."
"Kalau begitu akan kuhancurkan prediksimu itu!" Chuuya melepaskan tangannya dari Dazai dengan kasar, lalu kembali berjalan menuju pintu. Sekali lagi, Dazai menahannya.
"Setidaknya temani aku beberapa menit," katanya.
"Kupikir kau kecewa karena Tuhan mengutukmu berurusan denganku."
"Yah, tapi sebenarnya aku tidak percaya dengan kutukan." Dazai menarik bibirnya ke atas, membentuk lengkungan yang indah.
"Aku ingin mengajakmu makan malam." Akhirnya Dazai mengatakan maksudnya.
Dahi Cuuya berkerut, mencoba mencerna apa yang dimaksud lelaki kurang waras ini. Ia tahu, kata "makan malam" yang diucapkan Dazai bukanlah makan malam yang biasa. Ia pernah mendengarnya dan mengetahuinya, namun saat itu 4 tahun yang lalu. Ia sudah lupa akan hal berpikir, menghidupkan kembali memori lama yang tersimpan di otaknya. Lalu, ia teringat. Oh, sialan.
"Di mimpi burukmu, Tuan Detektif." Chuuya menolaknya—oh, tentu saja—dengan nada penekanan pada kata "Detektif", mengingatkan profesi Dazai sekarang.
Seakan Dazai tidak mengetahuinya.
"Aku berani bertaruh, di mimpi burukmu juga," balas Dazai. Senyumnya kini tampak nakal.
"Mati saja kau!"
"Jadi, bagaimana?"
"Apanya?"
"Soal makan malam."
Chuuya ingat dengan sangat apa yang dimaksud "makan malam" itu. "Makan malam" maksudnya adalah sesuatu yang lebih dari itu. Kouyou-nee san—dan bos Mori—menyebutnya "kencan panas". Terakhir kali mereka melakukannya adalah di sofa pendek di ruangan pribadi Dazai saat pria itu masih menjadi anggota eksekutif Port Mafia.
"Aku mulai berpikir kalau menghabiskan malam ini di apartemen tanpamu adalah ide yang lebih baik." Tentu saja Chuuya tidak akan melakukannya, karena masih banyak lembaran-lembaran pekerjaan yang menunggunya. Tapi itu memang ide yang terbaik. Ia tahu, ia tidak akan bisa menang melawan Dazai—secara kemampuan khusus atau kecerdasan—walau ia ingin.
Dazai menarik tubuhnya mendekat hingga tubuh mereka hampir menempel satu sama lain. Dengan keterkejutan, tanpa sengaja Chuuya meletakkan tangannya di depan dada Dazai yang bidang.
Chuuya tidak bisa menahan hawa panas di belakang lehernya yang mulai merambati ke seluruh wajahnya. Jantungnya berdegup kencang yang tidak ia tahu penyebabnya. Tubuhnya semakin mendekat, hingga dagunya menyentuh dada bidang lawan bicaranya. Dazai memandangnya dengan tatapan yang dimaksudkan untuk memotong besi. Aroma parfum yang ia pakai tercium dengan jelas, hembusan napas yang lambat terasa di kulitnya. Kedua hal itu mengingatkan Chuuya akan memori terlarang mereka yang ia coba lupakan.
"Ehem."
Suara dehaman sang bartender menyelamatkan Chuuya. Dazai melepaskan tubuhnya, bersamaan dengan Chuuya yang menarik diri. "Ini bukan ide yang bagus, kau tahu." Chuuya membenarkan topinya, berbalik badan dan segera keluar dari pintu.
Langkahnya begitu cepat saat ia menyadari senja sudah tiba. Wajahnya masih panas, terima kasih untuk Dazai sialan itu. Rasanya memalukan ia harus mengingat kejadian tadi. Oh, ayolah. Bar itu tempat umum, walaupun tempat tadi sunyi dan hampir tidak ada orang. Chuuya merasa Dazai lupa kalau ia mudah teringat akan hal-hal seperti itu. Sedetik kemudian, ia mulai bersumpah tidak akan mengingat hal itu lagi dan segera membunuh Dazai secepatnya.
Chuuya berbelok, sengaja mengambil jalan yang sunyi dan gelap, sebuah jalan sempit yang dibuat oleh 2 gedung yang hampir berdekatan dan nyaris berdempetan. Dahinya terdapat perempatan saat ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia berhenti dan berbalik badan, mendapatkan sosok Dazai yang sedari tadi mengikutinya.
"Jangan ikuti aku, dasar gila!" teriak Chuuya. Ia melampiaskan kemarahannya yang terpendam sekali lagi. "Maniak bunuh diri! Hidung belang! Tempat pembuangan perban! Mati sana!"
Setelah berteriak seperti orang stress, Chuuya kembali berbalik badan dan melangkah dengan dongkol. Sialnya, Dazai membalas kata-katanya, membuatnya kembali berhenti melangkah.
"Mafia mungil!"
"SIAPA YANG KAU PANGGIL MUNGIL?!"
Dazai tertawa, lalu melangkah dan menyejajarkan posisinya dengan Chuuya. "Tapi kau memang mungil, Chuuya. Tidak berubah sama sekali semenjak aku keluar dari Port Mafia."
"Aku pasti akan membunuhmu! PASTI!"
Menegakkan tubuhnya, Dazai menepuk-nepuk kepala Chuuya yang tertutupi topi. Lalu ia mendekatkan tubuh Chuuya sekali lagi dan mencium bibirnya dengan hangat.
Oh, tidak.
Chuuya mencoba menarik diri, namun Dazai memeluknya, membuat mereka semakin mendekat satu sama lain. Saat itu pula, ketika kehangatan menyerang darahnya, Chuuya menghembuskan napas ke dalam mulutnya. Bibirnya terbuka di bawah bibir Dazai.
Ciuman itu tidak kasar, namun juga tidak bisa dikategorikan sebagai ciuman yang lembut. Dazai menyelipkan lidahnya di antara gigi-gigi Chuuya, menekan bibirnya yang lembut, lidahnya berputar di dalam mulutnya. Di antara ciuman itu, Chuuya tanpa sengaja mengingat kenangan erotis mereka. Di sebuah ruangan yang tidak terlalu ia ingat, di mana Dazai berada di atasnya bertelanjang dada, masih tampak seksi walau sebagian dari tubuhnya diperban. Rambut coklat tua yang pendek menyentuh wajahnya dan senyuman menggoda yang penuh dengan arti erotis membuatnya menjadi tak sabaran.
Dazai Osamu, entah bagaimana ia melakukannya, selalu bisa membuatnya terangsang, gelombang gairah yang melanda seperti badai, tapi ia bukan tipe yang sadis. Di dalam pikirannya, ia melihat Dazai menyingkirkan rambutnya dari wajahnya, mencium kelopak matanya, menurunkan pinggangnya saat ia memasukkan dirinya. Desahan, napas yang cepat dan tidak teratur, suara berdenyit dari tempat tidur atau apapun yang ada di sana menjadi saksi bisu mereka. Aroma parfum, pengharum ruangan, keringat, angin malam dan bercinta mereka bercampur aduk di udara dan menguar ke seluruh ruangan. Seprai putih yang semula rapih menjadi kusut tak beraturan. Kakinya membelit pinggang Dazai, melengkungkan tubuhnya saat gelombang kenikmatan pertama mencapai dirinya. Dazai, yang sudah mencapai batasnya, memaksa masuk lebih dalam, membuat Chuuya mengeluarkan suara yang tidak dikenalinya sebagai suaranya sendiri, dan meremas seprai kusut itu erat-erat. Mengingat itu semua membuat Chuuya bersandar pada Dazai.
Namun logika menyadarkannya, membuatnya menarik diri dengan kasar. Napasnya tak beraturan saat ia mengelap mulutnya sendiri, seakan cara itu bisa menghapus jejak yang Dazai buat di sana.
"Apa yang kau lakukan?! Kau benar-benar ingin kubunuh, ya?!" Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Ya, bunuh saja aku. Borgol dan siksa aku," balas Dazai dengan raut wajah mengejek. Kata-katanya mengandung arti yang berbeda dari yang diucapkannya.
Chuuya mengepalkan tangannya, bersiap-siap memukul Dazai. Namun, jari-jari kokoh Dazai melingkupinya, menghentikan niatnya, mengecup dahinya dan meletakkan dahinya di dahi Chuuya yang tertutup poni panjang.
"Percuma, Chuuya. Aku tahu apa yang tadi kau pikirkan," bisiknya.
"HAH?! A-a-apa?!" Tentu saja, Chuuya merasa tertangkap basah. Ia menjadi kikuk dalam sekejap.
"Yah, sebenarnya aku juga memikirkan hal yang sama." Dazai menganggukkan kepalanya, setuju dengan kalimatnya barusan. Sikap Dazai terlalu tenang di tengah-tengah kekhawatiran Chuuya. "Dan seperti yang kukatakan tadi, kau tidak akan bisa kabur dariku. Prediksiku selalu tepat."
Tuhan, tolong selamatkan aku, doa Chuuya dalam hati.
"Jadi, apa yang kau inginkan dariku?" tanya Chuuya, mencoba menghilangkan rasa gugupnya.
"Apa yang kuinginkan? Sudah jelas, bukan?" bisik Dazai sekali lagi, bisikannya terasa menggoda di telinga Chuuya. "Yang kuinginkan adalah kau. Untuk malam ini."
"Karena itu kau mengajakku makan malam?"
"Ya."
"Karena itu juga kau barusan..."
"Aku sudah meminta izin pada Mori-san untuk menculikmu malam ini."
Chuuya benar-benar tidak bisa menghentikan hawa panas yang merambati wajahnya, tidak ketika ada Dazai yang mencoba menggodanya dan berhasil. Dan ia tidak bisa menolak kata-katanya. Dazai menarik kepalanya dan menatap Chuuya tepat di mata. "Aku punya Chardonnay atau Shiraze," katanya.
"Terserah kau saja," Chuuya pasrah.
"Aku senang mendengarnya."
Dengan lembut, Dazai kembali mencium mantan partnernya yang pendek—bukan, kurang tinggi—itu. Ciuman itu tak lebih dari sekedar kecupan biasa. Chuuya menutup mata, merasakan betapa lembutnya ciuman itu juga sedikit getaran geli di dalam tubuhnya.
"Kau tahu? Apa yang dibenci tidak bisa dibenci selamanya," kata Dazai setelah melepaskan kecupan itu. Ia tersenyum sehingga wajahnya yang tampan menjadi semakin tampan. "Dan aku tidak selalu membencimu."
Tiba-tiba Chuuya ambruk di depan dadanya. Dazai membelalakkan matanya begitu mendengar kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan Chuuya. Namun, sekarang Chuuya sudah menyerah pada api gairah yang berdiam di dirinya selama 4 tahun terakhir.
"Karena itulah, cepatlah! Dasar bodoh!" Chuuya mengucapkan itu dengan nada kesal dan tidak sabaran. Ekspresi wajahnya sekarang mungkin bisa membuat seluruh lelaki dengan pangkat seme siap menerkamnya.
Dazai tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya diam, menggendong Chuuya dengan gaya bridal style dan membawanya ke kamar apartemennya di asrama Agensi Detektif.
"Kurasa aku akan memainkan 10 ronde malam ini."
"APA?!"
Mari berdoa untuk keselamatan Nakahara Chuuya
INGAT
Bungou Stray Dogs from Asagiri Kafka dan Harukawa35
This Fanfic by Me
Soukoku(Dazai x Chuuya)
Rated M (bagi yang belom cukup umur jangan dibaca, mimisan bukan tanggung jawab gue :v)
This fanfic full some AU, TYPO, OOC, or anything
A/N: Yak,, inilah ff setelah profil ini dipermak karena insiden "kejutan ultah" yang bkin gue shock :v. jadi gini, katanya *temen gue* dia ngerjain gue pake ffnya dihapus segala, terus diganti ama dujin gitu. baru aja sih, tanggal 5 januari ini, tapi kan gue ultah 5 mei :v
jadilah profil ini kehapus semua ama dia :v. lalu, gue memutuskan diremake saja ulang, mumpung gue udah balik dari kubur-bukan, maksud gue bangkit dari write and art block :v *iya, gue suka ngegambar ama nulis juga*, dia juga udah minta maaf, dan semuanya berjalan lancar :v
jadi maaf u_u sekali lagi maaf karena ffnya terhapus :(
Btw ff ini baru chap 1 ya, chap 2 mungkin besok atau lusa :v dan mungkin mulai sekarang, judul dan semacamnya akan berada dibawah, setiap chap pertama *biargreget* :v
akhir kata... makasih telah pengertian (apaan)
Sayonara~