[REMAKE] Bittersweet Rain - Sandra Brown

.

.

.

Disclaimer: Cerita sepenuhnya milik Sandra Brown.

.

[ WARNING ]

DON'T LIKE, DON'T READ

NO BASHING! NO JUDGING!

.

.

HUNHAN – KAISOO – GS for UKE

FAMILY – DRAMA – HURT COMFORT – ROMANCE

.

.

.

[ BGM: Crush – Beautiful ]

(ost. goblin)

Previous chapter...

Terdorong perasaan peduli atas apa yang dilihatnya, Kyungsoo membungkuk.

"Jongin, Luhan tidak akan meninggal, bukan?"

"Tidak, tidak, pasti tidak," sahut Jongin, meyakinkan Kyungsoo dan mengelus-elus rambutnya. "Ia mungkin hanya lelah saja."

"Aku berharap begitu. Aku tidak ingin ada yang meninggal lagi sampai aku meninggal. Terutama kau," kata Kyungsoo sambil mendekap Jongin erat-erat. "Jangan meninggal, Jongin."

Jongin balas mendekap erat Kyungsoo. Ia merasakan napas istrinya yang lembut menyentuh kulitnya dan tahu Kyungsoo tertidur. Ditutupinya tubuh wanita itu dengan selimut lalu dipeluknya sekali lagi. Tetapi Jongin tidak bisa tidur. Pikirannya menerawang di kegelapan kamar, dahinya berkerut. Ia juga mengkhawatirkan Luhan. Apalagi mengingat apa yang baru saja disampaikan Kyungsoo padanya, perasaannya jadi makin khawatir.

.

.

.

Bittersweet Rain

Last chapter

.

.

.

Festival Musim Gugur ternyata diberkati— cuaca cerah. Acara pembukaan dilakukan di pagi hari yang ceria. Luhan memutuskan memakai setelan jas barunya. Udara akan agak dingin. Setelah. mengetuk pintu kamar Luhan perlahan, Minseok masuk membawa baki.

"Aku tidak suka mengganggumu. Kau harus tidur lebih banyak. Tapi aku tahu kau pasti jengkel padaku bila membiarkan kau tidur terus."

"Terima kasih, Minseok."

Di atas baki itu terhidang seteko teh, minuman yang dipilih Luhan belakangan ini ketimbang kopi, segelas jus jeruk, dan dua potong kue muffin.

"Aku tidak tidur. Hanya berbaring, bermalas-malasan."

"Itu pun baik untuk tubuh sekali-sekali. Terutama hari ini, yang akan banyak menguras tenagamu. Mau kupijat? Atau kusiapkan air mandi?"

"Aku sudah menyiapkan pakaian," kata Luhan, sambil duduk di kursi di samping meja tempat Minseok meletakkan baki. Luhan menuangkan teh ke cangkir. "Barangkali enak juga mandi pakai air panas. Udara di luar dingin."

Minseok ke kamar mandi, sambil terus mengoceh soal acara yang akan dilangsungkan akhir pekan ini. Luhan hampir tak mendengarkannya ketika menyeruput teh.

"Airnya sudah siap. Kenapa kau tidak memakan muffinnya?"

"Aku tidak lapar."

Setiap kali membayangkan berdiri di hadapan orang banyak untuk menerima penghargaan itu, Luhan langsung mulas. Andai ia melahap makanan dalam keadaan begitu, akan sangat berbahaya. Minseok mengamati Luhan yang bangkit dari duduk dan berjalan ke lemari untuk mengambil jubah mandi berbahan handuk. Di balik gaun tidurnya, Minseok melihat berat badan Luhan banyak berkurang. Tubuhnya yang dulu ramping kini hanya tinggal tulang dibalut kulit, menurut Minseok.

"Apakah ia akan hadir?" Minseok membungkuk, merapikan seprai tempat tidur Luhan.

"Siapa?"

Minseok memandang Luhan dengan sorot mata yang membuat Luhan merasa malu, membuatnya menunduk dan menjawab,

"Ah, entahlah."

Luhan masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya, menutup pembicaraan yang menyinggung soal Sehun. Sejam kemudian, saat Luhan menuruni tangga, Jongin bersiul. Kyungsoo bertepuk tangan. Wajah Minseok memancarkan ekspresi prihatin bercampur bangga.

"Wow, luar biasa!" puji Jongin.

Luhan tertawa dan ketiga orang yang memerhatikannya memandangnya dengan penuh kagum sambil berseru-seru. Luhan jarang sekali tertawa belakangan ini.

"Bagaimana kelihatannya?"

"Kau tampak cantik sekali, Lu," puji Kyungsoo bersemangat.

"Kau sangat cantik." Sambung Jongin

"Ia terlalu kurus," komentar Minseok sambil menarik bagian bahu gaun Luhan.

"Kurasa, kalau mereka ingin membicarakanku—mereka pasti akan melakukannya—aku akan membuat diriku jadi bahan pembicaraan. Di samping itu, aku mewakili warga kota terpilih kota ini. Aku harus mengenakan pakaian yang pantas."

Luhan memakai setelan warna krem yang terbuat dari wol. Blusnya abu-abu muda. Rambutnya dihias dengan jepitan yang warnanya hampir sama dengan setelan jasnya. Rambutnya disisir agak jatuh di dahi. Riasan wajahnya sederhana, untuk menyamarkan lingkaran hitam di bawah mata. Anting-anting mutiara menempel di telinganya. Stokingnya kuning gading muda. Ia mengenakan sepatu berhak rendah dari bahan suede warna kekuningan dan sarung tangan dengan warna senada.

"Kalian juga kelihatan keren,"

Puji Luhan ketika memerhatikan mereka dengan bangga. Kyungsoo memakai gaun warna biru muda, terkesan molek seperti boneka. Jongin memakai jas yang dikenakannya waktu pernikahan, dengan dasi kupu-kupu yang biasa dikenakan pada acara resmi. Minseok juga mengenakan gaun cantik.

"Mobil sudah menunggu,"

Kata Jongin, sambil menjulurkan tangan hendak menggandeng Kyungsoo.

"...Lady Kyungsoo, Lady Luhan."

Jongin berbalik dan Luhan menggandeng tangan Jongin yang satu lagi.

"...Bibi, ayo," ajak Jongin, dan mereka pun pergi meninggalkan Mansion.

.

.

.

.

Auditorium penuh sesak. Tak pernah gedung itu sepadat hari ini, bahkan saat latihan football sekalipun. Luhan duduk di podium, diapit anggota-anggota keluarganya dan Minseok, yang dipaksanya menemaninya. Luhan merasa gugup dan mual.

Sekilas ia melempar pandang ke arah hadirin. Yang dilihatnya hanyalah lautan wajah yang memandangnya penuh rasa ingin tahu. Luhan mengalihkan pandangan ke tangannya yang berada di pangkuannya, ia melihat telapak tangannya mengilap karena keringat. Jika memakai sarung tangan, tangannya akan kepanasan meskipun udara saat ini dingin.

Ia berusaha menekan rasa mual yang sudah sampai di tenggorokannya. Ia menyesal tadi mengikat pita di lehernya terlalu ketat. Perutnya berbunyi. Kenapa tadi ia tidak makan kue muffin dulu? Andai tadi ia memakannya, mungkin ia sudah memuntahkannya sekarang. Tetapi sekalipun tidak, ia merasa ingin muntah. Ia akan mempermalukan dirinya sendiri di hadapan seluruh penduduk kota.

Kenapa panas sekali udara di sini? Kulitnya terasa lengket. Ia melihat sekelilingnya. Tak ada yang kelihatan resah. Jongin dan Kyungsoo berbisik-bisik. Minseok bertemu teman gerejanya dan asyik mengobrol. Walikota, melanggar aturan dilarang merokok di dalam gedung, mengisap cerutu sambil berbicara dengan suara keras pada hakim wilayah. Bau asap cerutunya membuat perut Luhan makin seperti teraduk-aduk.

"Well, kita bisa mulai sekarang. Aku sudah khawatir kau tidak bisa datang, nak. Bagaimana kabarmu, Sehun?"

Luhan menelan ludah. Ia bemapas dengan mulut, berusaha menekan rasa mual. Sekujur tubuhnya sesaat terasa dingin, sesaat kemudian panas. Telinganya serasa terbakar. Ia mendengar Sehun menyapa orang-orang di sekelilingnya. Dengan ekor matanya, Luhan melihat Minseok menghampiri Sehun dengan tergesa-gesa. Sehun menghentikan ocehan Minseok dengan mendaratkan ciuman di pipinya. Minseok tampak terkesima, wajahnya merah padam bak gadis remaja, kemudian ia memeluk Sehun. Kyungsoo melompat dari kursi dan berlari menghampirinya. Jongin pun berdiri lalu kedua laki-laki itu berjabat tangan.

Kemudian ia melihat pria yang mengenakan celana cokelat itu melangkah ke arahnya. Ia berdiri tepat di hadapannya. Luhan dapat merasakan gelombang panas dan energi yang terpancar keluar dari tubuh Sehun. Karena seluruh mata penduduk kota tertuju ke arah mereka, Luhan hanya tersenyum kecil dan mengangkat kepala sedikit ketika memandang Sehun.

"Halo, Sehun."

Sehun menatapnya dan tampak hanya sesaat berhasil menyembunyikan perasaan terkejutnya. Ia melihat lingkaran hitam di mata Luhan. Pipinya tirus. Mukanya pucat. Luhan kelihatan seperti orang yang tak pernah tidur dan makan. Tetapi ia kelihatan tetap cantik. Sehun harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk meredam perasaan ingin mendekap Luhan erat-erat.

Dua bulan terakhir ini ia sangat tersiksa. Bisa dibilang menit-menit yang dilaluinya penuh kepedihan, karena ia tidak bisa mengerjakan apa-apa, kecuali memikirkan Luhan, merindukannya. Persetan dengan temperamennya. Persetan dengan keangkuhannya. Sehun marah gara-gara dua pemabuk di tempat minum bicara sembarangan. Ia memuntahkan frustrasinya pada Luhan. Kali ini Luhan membalas tindakannya. Sikap itu mengejutkan Sehun dan membuatnya makin marah. Terutama karena apa yang dikatakan Luhan benar-benar tepat mengenai sasaran. Yunho tidak dapat disalahkan lagi. Ia sendiri yang menciptakan penderitan ini bagi dirinya, bagi Luhan.

Ia pergi tanpa pamit.

Pria dewasa macam apa yang berperilaku demikian?

Pria yang tengah jatuh cinta?

"Halo, Lu. Kau tampak cantik sekali,"

Padahal yang ingin dilakukan Sehun adalah merangkul wanita itu, meminta maaf, menuntut sebagai miliknya, dan tidak ingin siapa pun ada di antara mereka. Sehun duduk di sebelah Luhan. Ujung celananya menyentuh kaki Luhan, dengan hati-hati Luhan menggeser kakinya. Sehun melihat Luhan dengan sadar menarik ujung roknya ketika duduk kaku di panggung. Oh, Tuhan, perempuan ini begitu mempesona. Ia masih kelihatan seperti gadis remaja yang dikenalnya di hutan, gadis kecil putri keluarga Xi, yang berjuang mati-matian untuk mendapat pengakuan status. Sehun merasa sesak karena memendam cintanya pada Luhan. Ingin ia berteriak pada wanita itu,

"Kenapa kau pedulikan pendapat orang-orang tentang dirimu? Statusmu jauh di atas orang-orang itu."

Yang mengejutkannya kemudian adalah kenyataan bahwa dirinya tidak berbeda dengan Luhan. Kerinduannya pada Luhan jauh lebih besar ketimbang memikirkan masa depannya. Namun saat ini ia harus menerima kenyataan ia harus jauh dari Luhan demi menjaga reputasinya di mata orang banyak. Luhan pernah menjadi istri ayahnya.

Sehun menoleh ke arah Luhan seketika, membuat Luhan terkejut karena ia pun tengah menatapnya. Mereka bertemu pandang. Diamatinya setiap bagian wajah Luhan. Direkamnya setiap detail yang ada. Di matanya, Luhan masih secantik saat pertama kali ia mengenalnya. Bahkan kini seribu kali lebih mencintainya dibandingkan musim panas dua belas tahun yang lalu. Dan Sehun yakin, dengan cintanya yang buta, kalaupun ia tidak tahu bagaimana situasi pernikahan Luhan dengan ayahnya, ia tetap mendambakannya. Ia mencintai Luhan lebih daripada siapa pun, lebih daripada opini masyarakat yang menganggap cintanya tidak masuk akal, lebih daripada keinginannya menantang ayahnya, lebih daripada apa pun, ia sangat mencintai Luhan.

"Maka kini kami mohon nyonya Oh Yunho, untuk naik ke podium."

Mata Sehun tertuju ke mikrofon yang ditinggalkan Walikota, yang memanggil Luhan. Ia tidak mendengarkan pidatonya yang berbunga-bunga. Jelas Luhan pun tidak mendengarkannya. Ketika para hadirin bertepuk tangan meriah, Luhan kelihatan terkejut. Sehun melihat Luhan berusaha menenangkan hati dan bangkit dari duduk dengan anggun. Ia meletakkan tas dan sarung tangannya di kursi, kemudian berjalan ke podium dengan gaya seorang ratu.

Senyum yang diberikannya kepada Walikota sangat manis dan para hadirin tampak menyukainya. Sehun mengamati wajah setiap orang. Kau tak perlu cemas. Mereka menerima dirimu. Luhan menerima penghargaan dengan tangan yang satu dan tangan yang lain menjabat tangan Walikota. Pria itu bergeser, menyerahkan mikrofon pada Luhan.

"Andai masih hidup, Yunho pasti akan sangat bangga menerima penghargaan ini. Saya dan seluruh keluarga menerima atas namanya dan mengucapkan terima kasih."

Tak ada basa-basi dalam pidato Luhan yang singkat. Apa yang dikatakan Luhan adalah yang sebenarnya. Ia tidak mengulang pujian yang tadi diucapkan Walikota tentang Yunho. Ia hanya menerima penghargaan itu mewakili Yunho. Ia memberi orang-orang ini apa yang mereka inginkan, pahlawan yang mereka tunjuk hari ini.

Kemudian mata Sehun beralih kepada Luhan. Mukanya pucat seputih benda antik yang disimpan dalam lemari pajangan di Mansion. Luhan berhenti sejenak dan memejamkan mata, seperti berjuang keras untuk bernapas dan menjaga keseimbangan tubuh. Ia maju selangkah lagi dan terjerembap. Walikota berhasil menyambar sikunya dan memanggil-manggil namanya. Sehun melompat dari kursi. Luhan melihat ke arahnya, mengerjap-ngerjapkan mata seperti hendak memfokuskan pandangan pada Sehun.

Kemudian perlahan-lahan matanya terpejam, lututnya menekuk lemas, dan ia pingsan di lantai. Riuh rendah suara orang-orang terkejut melihat hal itu dan bangkit dari duduk. Kyungsoo menjerit dan mencengkeram lengan Jongin. Minseok berteriak,

"Oh, Tuhan!" sambil meletakkan tangan di dadanya yang besar.

Mereka yang dekat dengan Luhan berlari menghampirinya, mengangkatnya dari panggung. Sehun, dipenuhi perasaan cemas yang amat sangat, menyeruak di antara orang-orang yang berkerumun, meminta mereka menjauh.

"Tolong, minggir, minggir. Cepat—minggir! minggir!"

Akhirnya Sehun berhasil berada di dekat Luhan. Ia berlutut dan memegangi tangan Luhan. Tangan itu terkulai dalam genggamannya.

"Lu, Luhan! Tolong panggilkan dokter. Luhan, Sayang. Oh Tuhan, Luhan, bicaralah padaku!"

Sehun meloloskan ikatan pita blus Luhan, dan membuka beberapa kancingnya. Dilepaskannya jas Luhan, yang menyebabkan masalah. Dilepasnya topi di kepala wanita itu, lalu dilemparkannya. Rambutnya yang hitam digerai. Dengan gerak tangan terlatih, sigap, lagi cekatan, Sehun memukul-mukul pipi Luhan. Kelopak mata wanita itu bergerak-gerak. Sehun mendesah lega.

"Istirahatlah, Sayang. Ada apa? Kenapa? Tidak, tidak usah bicara. Dokter sudah dipanggil."

"Sehun," bisik Luhan sambil tersenyum. "Sehun."

"Kau pingsan, Sayang."

Dengan lemah Luhan mengangkat tangan dan mengelus pipi Sehun, membelai rambutnya. Orang-orang yang berkerumun di sekeliling mereka serentak menaikkan alis. Terdengar seseorang bergumam,

"Wah, bukan main."

"Kau akan segera sembuh. Pasti. Aku yakin."

Sehun mengangkat tangan Luhan dan meletakkannya di bibir, lalu menekan telapak tangannya. Diangkatnya tubuh Luhan ke pangkuannya, hingga Luhan tidak terbaring di lantai lagi.

"Dokter akan segera kemari."

"Aku tak perlu dokter."

"Tidak usah banyak bicara. Kau baru saja pingsan. Karena terlalu gembira, makanya kau pingsan. Kau akan..."

"Aku hamil, Sehun."

Kata-kata Luhan yang perlahan itu menghentikan semburan kata-kata yang hendak meluncur keluar dari bibir Sehun. Ia menatap Luhan tanpa berkata-kata. Luhan tertawa kecil melihat wajah Sehun yang terkesima.

"Itulah penyebabnya. Aku akan punya anak."

Luhan menatap orang-orang yang berkerumun karena ingin tahu. Para penggosip menyimak informasi tersebut dengan sangat antusias, yang menyingkap gosip yang mereka dengar berbulan-bulan belakangan ini. Mereka inilah yang dulu menganggap Luhan dan keluarganya rendahan. Kepada mereka inilah Luhan berusaha menanamkan reputasinya, berjuang mendapatkan pengakuan.

Kini baru Luhan menyadari, bertahun-tahun ia membuang waktu untuk memperjuangkan hal yang ternyata tak bermakna. Matanya kembali tertuju pada Sehun. Menatap mata keemasan itu, yang selalu menatapnya dengan mesra, kasih, hasrat dan cinta. Disentuhkannya pipinya ke pipi Sehun, dan berkata,

"Aku akan punya anak darimu, Sehun."

Beautiful my love

Beautiful your heart

It's beautiful life, beautiful day

(lyrics: crush - beautiful)

Mata Sehun berbinar-binar. Sambil mempererat dekapannya pada Luhan, ia menunduk dan mendekatkan bibir ke telinga Luhan.

"Aku mencintaimu," bisik Sehun. "Aku Mencintaimu."

Kemudian, secepat angin, Sehun menekuk kaki, menggendong tubuh kekasihnya itu.

"Tolong beri kami jalan. Anda dengar, ia bilang ia hamil. Aku akan membawanya pulang. Walikota, tolong matikan cerutu anda. Asap itu membuat saya mual, padahal saya si calon ayah, bagaimana dengan calon ibu ini? Bibi, tolong ambilkan barang-barang Luhan di sana, di kursinya. Jongin, tolong bawa mobil ke sini. Kyungsoo, kau tidak apa-apa, kan? Itu baru adikku yang manis."

Beberapa saat lamanya Sehun memberi perintah, sementara Luhan bersandar di dadanya dengan nyaman. Sehun menyeruak di antara orang banyak, meyakinkan setiap orang bahwa Luhan baik-baik saja, bahwa Luhan pingsan karena luapan emosi kegembiraan, hawa panas bangunan, dan sarapan yang kurang.

"Saya akan membawanya pulang sekarang untuk memberinya makan dan menidurkannya. Saudara-saudara, silakan teruskan acara dan selamat bersenang-senang. Luhan akan baik-baik saja. Saya tahu, ibu yang sedang hamil memang sering mengalami hal ini."

Sehun tersenyum pada Luhan, dan seluruh warga kota menyaksikan mereka meninggalkan gedung. Luhan melingkarkan tangannya di leher Sehun.

.

.

.

.

It's beautiful life, beautiful day

I'll be your side, i'll stand behind you, i'll always protect you

You can lean on me

Your tears, your smile, we can do it together

(lyrics: crush - beautiful)

.

.

.

.

"Sudah bangun?" Sehun memiringkan tubuh dan memberikan ciuman manis di dahi Luhan.

"Dari tadi kau di sini?" Luhan tertidur dengan tangan yang digenggam Sehun.

"Setiap detik."

"Berapa lama aku tidur?" Luhan menggeliat.

"Beberapa jam. Tidak terlalu lama. Aku malah ingin kau tetap di ranjang sampai beberapa hari lagi." Mata Luhan membelalak.

"Hanya tidur?"

"Salah satunya," jawab Sehun penuh arti dan mendekap Luhan erat-erat.

Sejenak ia membenamkan wajah di leher Luhan yang wangi serta lembut, kemudian ia mengangkat kepala untuk menciumnya. Bibir Sehun menyentuh bibir Luhan dengan lembut. Dengan lidahnya ia menelusuri garis bibir Luhan. Ketika bibir Luhan agak membuka, lidahnya segera dimasukkan ke mulut kekasihnya itu.

Luhan melingkarkan tangan di leher Sehun, dan menarik tubuh pria itu lebih rapat ke tubuhnya. Sehun tak kuasa menahan desakan yang sejak beberapa jam yang lalu ditahannya karena takut membahayakan Luhan. Ia berbaring di samping wanita itu di ranjang, dan memeluk tubuh Luhan yang hangat dan masih mengantuk. Bibir mereka saling melumat. Tak henti-hentinya mereka tersenyum. Tetapi akhirnya Sehun menatap Luhan dengan wajah serius.

"Tadinya kapan kau akan memberitahuku soal bayi ini, Lu?"

Sehun masih berpakaian lengkap, tetapi kancing kemejanya sudah dibuka. Luhan menyelipkan tangannya ke balik kemeja, mengelus dadanya yang bidang.

"Setelah akhir pekan ini. Bila kau tidak hadir pada acara Festival Musim Gugur ini, aku akan meneleponmu."

"Begitukah?"

"Bila tidak, Minseok yang akan menelepon."

"Ia tahu?"

"Kurasa ia curiga. Dan Jongin. Mereka memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi aku merasa mereka selalu memperhatikanku."

"Bukan aku curiga, tapi aku merasa ada yang tidak beres. Berat badanmu berkurang terus." Tangan Sehun yang diletakkan di rusuk pindah ke paha.

"Kata dokterku aku normal saja. Aku memang kurang nafsu makan. Sedikit saja aku makan, selalu keluar lagi."

"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Aku tak tahu apa aku harus memukulmu atau menciummu."

"Menciumku." Sehun mengabulkan permintaan Luhan. Sehun mengelus perut wanita itu.

"Ada anakku di dalam sana. Oh Tuhan, mukjizat yang sangat indah,"

Kata Sehun sambil memeluk Luhan. Sekali lagi diciumnya Luhan dengan lembut dan hasrat menggelora. Tangan Sehun menyelinap ke payudaranya. Ia hanya menyisakan pakaian dalam ketika membuka pakaian wanita itu dan menyuruhnya segera berbaring di ranjang begitu mereka tiba di rumah. Bahan sutra itu terasa hangat karena pancaran panas dari tubuh Luhan. Sehun menyentuh payudara Luhan, melepas bra berenda yang menutupinya. Diciuminya bagian itu.

"Luhan, maukah kau menikah denganku?"

It's beautiful life, beautiful day

The day i loved you so badly

I don't want to lose you

The world resemble the memories with you

They remained in me

(lyrics: crush - beautiful)

Luhan tersentak. Bibir Sehun dengan panas terus beraksi.

"Bagaimana bisa aku menolak? Kau memintanya dengan begitu manis."

Sehun menindih tubuh Luhan dan memegangi wajahnya dengan dua tangan.

"Aku ingin kau tahu sesuatu, yang tidak kusadari sampai hari ini." Matanya tajam menatap Luhan. "Andaipun kau benar-benar menjadi istri daddy, aku akan tetap mencintaimu dan menginginkanmu seperti sekarang ini."

Sehun melihat mata Luhan berkaca-kaca. Ia juga melihat air mata menitik jatuh di pipinya.

"Aku mencintaimu."

Luhan memegang kepala Sehun dan menekannya ke bawah, minta dicium.

"Ya, aku mau menikah denganmu."

"Secepatnya?" desak Sehun. "Baru empat bulan daddy meninggal. Orang-orang akan menggunjingkan kita."

Luhan menggeraikan rambutnya di bantal dan tertawa.

"Setelah peristiwa pagi ini, kekhawatiran seperti itu tak perlu lagi." Luhan mengelus perutnya dengan penuh kasih sayang. "Kurasa lebih cepat lebih baik."

"Minggu ini?"

"Besok," bisik Luhan, dan Sehun tersenyum.

"Apa yang ingin kita lakukan setelah kita menikah? Di mana kita akan tinggal?"

"Di sini, di Mansion. Aku harus bolak-balik, ke Tokyo dan ke sini untuk bisnisku."

"Aku ikut bersamamu."

"Tidak takut naik pesawat denganku?"

"Aku tidak pernah takut melakukan apa pun bersamamu." Pernyataan itu mendorong Sehun kembali mendaratkan ciumannya.

"Sementara kita tinggal di sini, apa yang akan kita lakukan, pindah tempat tidur setiap beberapa malam?" goda Sehun. "Bagaimana kalau kita memakai ranjangmu saja, dan kamar ini kita jadikan kamar anak kita?"

Sehun memandang ke sekeliling kamar, kemudian kembali menatap Luhan dengan penuh kemesraan.

"Andai mom masih hidup, ia pasti sangat bahagia." Bibir mereka kembali saling melumat. "Aku tidak bosan-bosan menciummu. Oh, Tuhan, aku sangat merindukanmu."

Sehun menggenggam tangan Luhan yang diletakkan di perut bagian bawahnya. Gelora seperti merembes masuk ke perut lalu menuju paha Luhan, seperti mentega yang meleleh. Sambil menciumi leher Sehun, Luhan bergumam,

"Sehun, buka pakaianmu."

"Brengsek!" maki Sehun dan duduk. Pipinya memerah, dan jantungnya berdebar cepat. "Aku tidak bisa melakukannya sekarang. Kita harus menunda reuni kita. Aku sudah bilang pada Bibi akan mengajakmu turun makan malam begitu kau bangun."

"Oh, astaga!" Luhan menyibakkan selimut dan menurunkan kaki dari ranjang. "Baru aku ingat. Kita akan kedatangan tamu saat makan malam."

"Tamu? Siapa?"

"Kejutan. Tolong ambilkan pakaianku."

Luhan segera beranjak ke meja rias, mengambil sikat dan merapikan rambutnya.

"Apakah aku kelihatan seperti habis...Kau tahu maksudku."

Dengan cemas Luhan memerhatikan wajahnya di cermin ketika ia menepukkan bedak di bibirnya yang habis diciumi. Sehun memberinya gaun dari bahan wol, pilihan yang diambilnya dari lemari. Dipeluknya Luhan dari belakang, tangannya menggenggam payudara kekasihnya. Jari-jarinya beraksi.

"Hm-mm. Kau kelihatan seperti habis...kau tahu."

Sehun membenamkan wajah di leher Luhan, tepat di belakang telinga, dan menciumi bagian yang sensitif itu. Sambil mengerang, Luhan menarik napas,

"Sehun, aku tidak akan siap bila kau tidak berhenti."

"Aku siap."

Sehun menekankan kejantanannya ke bokong Luhan.

"Aku sudah siap sejak beberapa jam yang lalu. Kau tahu betapa cantiknya dirimu ketika sedang tidur?"

"Kau tahu apa yang kumaksud. Siap untuk makan malam."

"Oh, makan malam. Sial."

Sehun pura-pura menarik napas, menarik tangannya dan menjauh dari Luhan. Setelah tenang, mereka turun untuk bergabung dengan Jongin dan Kyungsoo di teras. Tanpa bertanya, Jongin menuangkan minuman bourbon campur air untuk Sehun yang mendudukkan Luhan di sofa dengan sangat hati-hati.

"Terima kasih," kata Sehun sambil menerima gelas minuman.

Ia menatap adik iparnya dan tersenyum. Andai masih ada keraguan dalam hati Sehun tentang pernikahan Kyungsoo, yang ia perlu ia lakukan hanya memandang mereka. Kebahagiaan terpancar di wajah Kyungsoo seperti lampu mercusuar yang memancarkan sinar terang benderang di lautan pada malam hari. Kedua pria itu makin saling mengenal dan saling menyukai. Ketika bel rumah berbunyi, Luhan, membuat Sehun cemas, melompat dan lari ke teras.

"Aku yang buka. Nikmati saja minuman kalian."

"Bagaimana ia menyuruhku menikmati minuman sementara ia melompat-lompat seperti kelinci?' tanya Sehun. "Ia seharusnya berhati-hati selama beberapa bulan pertama ini, bukan?"

"Aku rasanya tidak percaya Luhan akan punya anak," kata Kyungsoo kepada kakak laki-lakinya.

"Yang aku tidak percaya adalah aku orang yang terakhir mengetahui hal itu," sahut Sehun sambil menatap Jongin dengan tatapan menyelidik. "Mengapa kau tidak meneleponku dan memberi isyarat?"

Jongin mengangkat bahu tanpa rasa bersalah.

"Itu bukan kewajibanku."

Sehun mengernyit. Ia ingin mengatakan sesuatu tetapi terdiam karena kemunculan Luhan di ambang pintu.

"Sehun, ada yang ingin bertemu denganmu."

Gadis remaja itu menatap ke sekeliling ruangan yang asing baginya dengan sorot mata gugup. Ia menggigit-gigit bibir. Yang membuat Luhan lega, ia tidak memoles bibirnya dengan lipstik mencolok. Ia juga tidak memakai anting-anting berbentuk jepitan kertas di telinga, dan tata riasnya tidak semencolok waktu itu. Pakaiannya sederhana. Rambutnya masih memakai jeli, tetapi disisir ke belakang seperti model.

"Nyonya Oh bilang aku boleh datang ke sini," kata Hanna defensif, sambil menoleh ke arah Luhan. "Aku sudah bilang padanya mungkin kau tidak ingat aku lagi, tetapi ia bilang kau tetap ingat, jadi..."

Luhan melihat perubahan air muka Sehun, dari heran, terkejut, lalu gembira. Ia menggumamkan nama gadis remaja itu, mengulanginya, makin lama makin keras. Sehun merentangkan tangan ketika berada di dekatnya. Tetapi ia tidak ingin membuat gadis remaja tersebut takut. Sesaat ia berhenti dengan tangan tetap direntangkan. Luhan mengamati Hanna, yang datang ke Mansion naik taksi. Ia melihat bibir gadis remaja itu bergetar, matanya berkaca-kaca. Hanna berusaha keras menahan air matanya agar tidak menitik, tetapi gagal. Sisa ketegarannya tak bertahan lagi, ia lari menghambur ke dalam pelukan Sehun, menggosok-gosokkan wajah di dada Sehun dan memeluk pinggang pria itu.

.

.

.

.

"Ia tidak terlalu buruk."

Mereka ada di kamar tidur Luhan, berganti pakaian hendak tidur.

"Sama sekali tidak. Hanya salah didik. Perlu diperbaiki. Aku tidak yakin ia pernah mendapat pendidikan. Seharusnya kau lihat ia ketika aku berkenalan dengannya. Ia kelihatan seperti wajah yang ada di film-film horor."

"Sudah berapa lama kalian bersahabat?" Sehun duduk di ranjang sambil membuka sepatu dan kaus kaki.

"Beberapa minggu. Kami berjumpa dua kali di kota untuk minum choco bubble tea. Aku mengundangnya ke sini malam ini untuk makan malam dengan kemungkinan kau masih di sini." Luhan membalikkan badan. "Aku gembira kau masih di sini," katanya lembut.

"Aku juga," jawab Sehun. "Kau memberiku alasan lagi untuk mencintaimu. Terima kasih, Lu."

"Terima kasih kembali." Letupan emosi yang memenuhi hatinya membuat suara Luhan parau seperti suara Sehun.

"Kau lihat air mukanya ketika kita mengajaknya ke pekan raya besok? Kurang ajar sekali Irene itu. Aku yakin ia tidak pernah membawa anak itu ke mana-mana."

"Kau memberi pengaruh baik padanya."

"Tidak sebanding dengan kebaikanmu. Aku ingin kita bersamanya sesering mungkin."

"Aku juga begitu. Tapi kau yakin ingin pergi ke pekan raya itu besok?"

"Kenapa tidak?" tanya Sehun, sambil melepas celana. Luhan menatap cermin dan dengan malas-malasan menepis rambutnya ke belakang.

"Seluruh warga kota akan ada di sana. Setelah peristiwa hari ini..."

Luhan tidak sempat menyelesaikan perkataannya. Sehun datang ke belakangnya, membalik tubuhnya, dan menciuminya. Akhirnya ia mengangkat kepala.

"Aku akan membawamu berkeliling di Pekan Raya. Kita akan menyapa setiap orang yang kita temui. Dan aku akan mengatakan kepada setiap orang, siapa pun yang ingin tahu dan tidak ingin tahu, betapa aku sangat mencintaimu dan tidak sabar untuk melihat anakku."

Luhan meletakkan dahinya di dada Sehun. "Aku sangat mencintaimu. Kau sangat baik."

"Kau juga sangat baik," bisik Sehun, sambil menjauhkan tubuhnya dengan lembut.

Matanya menatap seluruh tubuh Luhan penuh hasrat. Baju tidur yang menampakkan lekuk tubuh Luhan sangat menggairahkannya, menonjolkan payudara, pangkal pahanya.

"Kau cantik sekali, Lu."

Sehun mengelus seluruh tubuh Luhan yang terbalut satin, lalu perlahan-lahan menurunkannya dengan gerakan tangan yang piawai. Payudara Luhan bereaksi ketika jemari Sehun terus bergerak. Punggung tangannya mengelus pahanya, membuat Luhan menggelinjang. Luhan tahu, sebentar lagi ia akan lupa diri.

"Sehun, tunggu."

Tangan Sehun terentang, ibu jarinya mengelus-elus.

"Aku...aku punya sesuatu untuk kuberikan padamu."

"Aku juga punya sesuatu yang ingin kuberikan padamu,"

Gumam Sehun sambil membenamkan kepala. Lidahnya ikut beraksi, sementara ibu jarinya meraba-raba dan menemukan yang dicari.

"Apakah pemberianmu bisa menunggu?"

"Aku...aku kira...bisa."

"Aku tidak," kata Sehun sambil mengambil tangan Luhan dan meletakkannya di kejantanannya.

Sehun mengaitkan jarinya pada celana dalam Luhan dan menariknya ke bawah sehingga Luhan bisa melepaskannya. Luhan berdiri di hadapan Sehun dalam keadaan telanjang bulat. Sehun menggendongnya ke ranjang. Luhan berbaring, Sehun membuka celana dalamnya dan menindihkan tubuhnya yang juga tanpa selembar pakaian pun di atas tubuh Luhan. Ia berlutut di antara paha Luhan.

"Aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu, Lu. Dulu aku mengumpat datangnya hari baru. Karena aku terbangun dengan pikiran melayang padamu, mencari dirimu, memikirkan apa yang kaulakukan, kauinginkan, ingin sekali melihat wajahmu. Kini aku menantikan datangnya hari baru, karena aku bangun tidur untuk mencintaimu dan tahu kau pun mencintaiku."

Sehun menyentuh perut Luhan dengan bibirnya. Ia yakin bayinya tidur dengan aman di dalam perut perempuan yang sangat dicintainya itu. Luhan meletakkan tangannya di kepala laki-laki yang dicintainya dengan takjub karena ternyata hidup menganugerahkan kebahagiaan sedemikian rupa. Hasrat dan cinta saling bertaut, menerpa tubuh Luhan seperti angin sepoi-sepoi. Dengan tangan yang masih mengelus payudara Luhan, Sehun menunduk, mencium tubuh Luhan. Ia tidak ingin menahan diri lebih lama lagi, ia ingin memberikan segalanya.

"Tidak akan melukai bayinya?"

Sehun menaikkan tubuhnya ke atas tubuh Luhan dan menyatukan diri mereka.

"Ya."

Sehun menguasai Luhan dengan perasaan yang meluap-luap, penuh cinta dan kasih sayang. Pinggulnya bergerak berirama. Luhan mendekap Sehun erat erat. Mereka saling memberi dan menerima sebagai ungkapan cinta mereka yang membara. Setelah mencapai puncak, mereka menikmatinya bersamaan, bersama berpacu meraih puncak surga dunia sambil berpelukan. Beberapa saat kemudian, selagi mengeringkan tubuh sesudah mandi, Luhan berkata,

"Kau tidak memberiku kesempatan untuk memberikan hadiahku padamu."

"Maksudmu, mau tambah lagi?"

Sambil menggoda Sehun menepuk bokong Luhan yang naik ke ranjang.

"Aku tidak mampu memberikan yang lebih istimewa daripada apa yang barusan kuberikan padamu."

"Ini serius."

Luhan beranjak ke lemari antik dan membuka lacinya. Dari dalam laci ia mengeluarkan gulungan kertas. Diberikannya gulungan kertas itu kepada Sehun, lalu ia berdiri di jendela, membelakangi Sehun. Bulan purnama memancarkan sinar keperakan di permukaan rumput yang terhampar luas. Sungai yang berkelok-kelok di antara pepohonan di kejauhan tampak seperti pita yang berkilauan. Luhan sangat mencintai tempat ini. Tetapi ia jauh lebih mencintai laki-laki yang menempati rumah ini.

Luhan mendengar suara gemeresik kertas. Ia tahu Sehun sedang membaca tulisan yang berisi keputusan Mansion dialihkan menjadi miliknya. Suara langkah kaki Sehun yang mendekati Luhan diredam ketebalan permadani di sekelilingnya.

"Aku tidak bisa menerima ini, Lu. Mansion ini milikmu."

Luhan berbalik menghadap Sehun.

"Tidak pernah akan menjadi milikku, Sehun. Rumah ini akan menjadi milikmu. Itulah sebabnya aku sangat mencintai tempat ini. Tanpa kau di dalamnya, rumah ini tidak punya arti apa-apa. Kaulah detak jantungnya. Sebagaimana arti dirimu bagiku."

Luhan mendekati Sehun dan meletakkan tangannya di dada pria itu.

"Karena cintaku padamu, aku memberikan apa yang kurasa sangat kucintai di dunia ini. Cintailah aku, tinggalkan keangkuhan dirimu, cintai aku apa adanya."

Sehun menatap Luhan beberapa saat, kemudian menatap kertas di tangannya. Digulungnya kertas itu dengan hati-hati, dan disimpannya di lemari.

"Aku terima dengan satu syarat. Bahwa kau bersedia tinggal di Mansion ini bersamaku seumur hidupmu. Kau berjanji kita akan selalu saling mencintai di sini dan punya anak di sini. Kita tidak akan pernah membiarkan kepedihan hidup yang pernah menimpa diri kita terjadi lagi."

Luhan tersenyum bahagia.

"Aku berjanji."

Sehun menciumnya sebagai tanda sumpah setia. Kemudian ia memeluk Luhan dan menggendongnya kembali ke tempat tidur mereka.

.

.

.

Sorrowful life, sorrowful day

I can't win over sadness

So don't leave me, i won't live just in your memories

It's beautiful life

(lyrics: crush - beautiful)

.

.

.

TAMAT

.

.

.

3 Januari 2017

Ceritanya sudah end, akhirnya hunhan hidup bersama dan akan menikah, hidup bahagia dengan si buah hati mereka nantinya, uuuuh.

Makasih Feyaliaz307 untuk sarannya, jujur aja aku sekarang udah gak nonton drakor lagi, hhe. Pas kamu bilang gitu aku langsung download, dan akhirnya aku masukin juga di chapter ini ^^

Makasih juga temen – teman yang udah baca sampe end, dan review ^o^

.

Nb: rencananya aku mau bikin ff baru (bukan remake), jadi kalau aku udah mantap, bakal aku post nantinya, jadi... sampai ketemu di ff selanjutnya.

See Ya!

.

For the last interaction in this ff!

review juseyo~

\^o^/

HAPPY FRIDAY

LUHAN's DAY

.

Thankyou:

Adelia548 , FeFebz , hunhannie1220 , Eci95 , lightflower22 , Feyaliaz307 , , Eka Rizki 988 , Arifahohse , ohjasminxiaolu , Adella520 , hunhan5201 , HH.947 , Park RinHyun-Uchiha , Dini695 , MeriskaLu , rly , Guest: , BlackDeer07 , pinkeury , Fyhunhan77 , DeeroH , auliaMRQ , Feyaliaz307 , Hannie222 , nisaramaidah28 , misslah , Ita Daiki , Selenia Oh , yixingcom , leon

.

.

.

with love, pichaa