[REMAKE] Bittersweet Rain - Sandra Brown

.

.

.

Disclaimer: Cerita sepenuhnya milik Sandra Brown.

.

[ WARNING ]

DON'T LIKE, DON'T READ

NO BASHING! NO JUDGING!

HUNHAN – KAISOO – GS for UKE

FAMILY – DRAMA – HURT COMFORT – ROMANCE

.

.

.

Bittersweet Rain

Chapter 1

.

.

.

"Anda yakin?" Dokter itu mengangguk muram.

Seragam operasinya yang berwarna hijau masih bersih. Ia tidak cukup lama berada di ruang operasi, tidak sampai membuatnya keringatan. "Maafkan saya, Nyonya Oh. Penyakitnya sudah menjalar ke mana-mana."

"Tak ada cara untuk menyembuhkannya?"

"Kecuali untuk mengurangi rasa sakitnya, tidak ada."

Si dokter menyentuh lengan Luhan dan melirik pria yang berdiri di samping wanita itu dengan penuh arti.

"Ia takkan mampu bertahan lama. Maksimal beberapa minggu."

"Ya, saya paham..."

Luhan menyeka matanya dengan tisu yang basah dan kusut. Iba hati si dokter melihat wanita itu. Ketika keluarga pasien menjadi histeris saat mendengar kondisi buruk si pasien, ia merasa mampu menenangkan mereka.

Namun sikap berani perempuan dihadapannya ini, yang penampilannya sangat feminin dan rapuh, ketika menerima kabar tadi membuatnya merasa seperti dokter yang belum berpengalaman dan canggung.

"Andai suami anda memeriksakannya lebih cepat, barangkali..."

Luhan menyunggingkan senyum getir, kehilangan harapan.

"Dia tidak mau. Sudah saya bujuk untuk memeriksakan perutnya yang tidak enak. Ia bersikeras itu hanya masalah pencernaan."

"Kita semua tahu Yunho keras kepala,"

Pria yang berdiri di samping Luhan menyela. Dengan lembut Kim Junmyeon menggenggamkan jari-jari Luhan di lengannya.

"Apakah ia boleh menjenguknya?" Tanya Junmyeon.

"Beberapa jam lagi," sahut si dokter. "Pengaruh obat biusnya baru akan hilang nanti sore. Bagaimana kalau Anda berdua pulang saja dulu dan beristirahat?" Luhan mengangguk.

Dibiarkannya Junmyeon, pengacara yang juga sahabatnya, menggandengnya menuju lift. Luhan merasa agak bingung, tapi tidak terkejut. Hidupnya tidak pernah berjalan mulus dan tanpa masalah.

Mengapa ia begitu berpegang pada harapan bahwa operasi besar Yunho hanya akan membuktikan suaminya itu cuma mengidap usus buntu?

"Kau tak apa-apa, kan?"

Junmyeon bertanya lembut ketika pintu lift menutup dan mereka aman dari tatapan menyelidik orang-orang di sekeliling mereka. Luhan menarik napas panjang.

"Sebaik yang mampu dirasakan perempuan yang mengetahui suaminya akan meninggal. Segera."

"Maafkan aku."

Luhan menatap Junmyeon dan tersenyum. Hati Junmyeon luluh. Senyum Luhan bagai minta maaf untuk kekurangan-kekurangan yang tak kasat mata, mampu menggugah perasaan pria maupun wanita.

"Aku kenal siapa dirimu, Junmyeon. Tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya aku punya sahabat seperti dirimu."

Mereka berjalan melintasi lobi rumah sakit yang baru direnovasi. Beberapa karyawan rumah sakit dan pengunjung sekilas melirik Luhan, tapi kemudian cepat-cepat membuang pandang.

Wajah-wajah yang dipalingkan itu dipenuhi rasa ingin tahu tetapi tetap penuh rasa hormat. Semua orang sudah tahu. Saat warga terpandang di kota sekecil Gyeongju sakit berat, beritanya akan tersebar cepat ke seluruh penjuru kota. Junmyeon menemani Luhan sampai ke mobil dan membukakan pintu untuknya.

Luhan masuk ke mobil tapi tidak langsung menghidupkan mesinnya. Ia duduk, pandangan matanya jauh ke depan, tenggelam dalam pikirannya, cemas dan sedih. Begitu banyak yang harus diurusnya.

Dari mana ia harus mulai?

"Sehun harus diberitahu."

Nama itu menghunjam tubuh Luhan bak pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk. Nama tersebut seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya. Nama laki-laki itu menggemuruh di dalam benaknya. Perasaan sakit saat mendengar nama itu membuat Luhan merasa sekujur tubuhnya seperti lumpuh seketika.

"Luhan, kau dengar apa yang kukatakan? Aku bilang—"

"Ya, aku dengar."

"Sebelum masuk ke ruang operasi, Yunho memintaku segera menghubungi Sehun bila hasil pemeriksaan dokter tentang penyakitnya buruk."

Mata yang berwarna asap itu menatap si pengacara.

"Yunho memintamu menghubungi Sehun?"

"Ya. Ia dengan tegas memintaku menghubunginya."

"Aneh. Kukira permusuhan di antara mereka takkan pernah terdamaikan."

"Yunho sekarat, Luhan. Ia ingin melihat putranya sebelum meninggal."

"Mereka tak pernah berjumpa atau bicara satu sama lain selama dua belas tahun. Aku tak bisa memastikan apakah Sehun bersedia datang."

"Sehun pasti datang kalau tahu situasinya seperti ini."

Akankah ia datang ke sini? Oh, Tuhan, apakah laki-laki itu akan datang ke sini? Apakah ia akan bertemu Sehun kembali? Bagaimana perasaannya bila mereka benar-benar bertemu? Bagaimana rupanya sekarang?

Peristiwa itu sudah lama berlalu. Dua belas tahun yang lalu. Jari Luhan mencengkeram kemudi mobil Lincolnnya yang empuk. Telapak tangannya basah. Luhan merasa sekujur tubuhnya juga basah.

"Jangan terlalu mencemaskannya,"

Ujar Junmyeon, yang merasakan keresahan yang menyergap Luhan.

"...Karena kau tidak kenal Sehun, biar aku yang menelepon dan menyampaikan berita ini padanya."

Luhan tidak ingin mengoreksi pendapat Junmyeon yang mengganggapnya tidak mengenal Sehun. Bahwa mereka saling mengenal dengan baik merupakan rahasia selama dua belas tahun. Ia tidak ingin menyingkap rahasia itu saat ini. Ia malah menumpangkan tangannya di tangan Junmyeon yang diletakkan di jendela pintu mobilnya.

"Terima kasih untuk semuanya."

"Aku senang bisa menolongmu. Apa lagi yang bisa kubantu?"

Luhan menggeleng. Ia lega Junmyeon bersedia menelepon Sehun. Mana mungkin ia sanggup melakukan hal itu?

"Aku harus memberitahu Kyungsoo,"

Bola matanya yang keabu-abuan berkaca-kaca.

"...Menyampaikan berita seperti ini padanya bukan hal mudah."

"Kau yang paling mampu melakukannya."

Junmyeon mengelus tangan Luhan lalu melangkah mundur.

"Nanti sore kutelepon lagi. Bila perlu, aku bersedia mengantarmu kembali ke rumah sakit."

Luhan mengangguk, menyalakan mesin mobil, dan memasukkan gigi. Lalu lintas kota padat ketika ia melaju. Yunho, suaminya, dijadwalkan dioperasi pagi dini hari tadi.

Pria yang disayanginya, yang semula majikannya, kemudian menjadi suaminya, akan meninggal. Masa depannya, yang selama ini tampaknya aman, kembali akan mengalamai kekacauan.

Pernikahan Xi Luhan dengan Oh Yunho menjadi peristiwa yang paling hangat digosipkan di seluruh penjuru kota, karena pria yang menikahinya itu tiga puluh tahun lebih tua darinya. Mereka mengatakan putri keluarga Xi yang melarat berhasil menaikkan status sosial keluarganya, tinggal di Mansion Oh, naik mobil Lincoln baru dan mengilap, dan selalu berpakaian bagus.

Hebat!

Memangnya siapa dia? Seingat mereka, Luhan hanyalah gadis berpakaian lusuh yang bekerja di Gyeongju Lotte sepulang sekolah. Kini setelah menjadi nyonya Oh, istri orang terkaya di kota, ia berlagak benar.

Sebenarnya, Luhan menghindari warga kota karena tidak tahan melihat cara mereka memandang dirinya, pandangan yang dirasanya penuh prasangka.

.

.

.

.

Luhan menghentikan mobil di halaman berbatu-batu yang dibentuk melingkar di depan rumah. Sejenak ia berusaha menenangkan pikiran dan mengumpulkan seluruh kekuatan yang mungkin dibutuhkannya beberapa jam lagi.

Petang ini takkan menjadi petang yang menyenangkan. Ruang depan menjadi terasa remang-remang setelah sinar matahari yang membutakan di luar.

Tangga besar meliuk naik dengan anggun menuju lantai dua, empat kamar tidur. Udara di dalam rumah sejuk, tempat berlindung dari udara musim panas yang lembap. Luhan melepas jas, menyangkutkannya pada gantungan mantel, lalu menarik blus sutra yang lengket di punggungnya yang basah.

"Well, Bagaimana kabarnya?"

Pengurus rumah tangga, Minseok, yang bekerja di rumah itu sejak mendiang istri Yunho, Kim Jaejoong, berdiri di ambang pintu melengkung di ruang makan. Sambil berjalan dari dapur yang letaknya berseberangan dengan ruangan itu, ia mengeringkan tangannya yang terampil, kasar, dan besar dengan handuk tipis. Perlahan Luhan menghampirinya lalu memeluknya. Lengan pengurus rumah tangga yang gemuk itu balas mendekap tubuh Luhan yang ramping.

"Buruk?" tanyanya lembut sambil mengelus-elus punggung Luhan.

"Yang terburuk. Kanker. Dia takkan pulang ke rumah lagi."

Dada Minseok yang besar bergetar karena menahan tangis. Kedua perempuan itu saling menghibur. Minseok tidak suka pada Yunho, meskipun ia sudah bekerja pada pria itu lebih dari tiga puluh tahun.

Kesedihan yang dirasakannya terutama ditujukan pada orang-orang yang ditinggalkan Yunho, termasuk jandanya yang masih muda dihadapannya.

Semula Minseok mencurigai dan menolak kedatangan nyonya baru di Mansion Oh. Tetapi ketika melihat Luhan tidak mengubah tatanan rumah sama sekali, tetap membiarkannya sebagaimana ketika almarhumah Jaejoong masih hidup, mulailah ia menyukai Luhan. Luhan tidak bisa berbuat apa-apa bahwa ia berasal dari keluarga miskin, tetapi Minseok tidak ingin berprasangka padanya gara-gara asalmuasal keluarganya. Apalagi Luhan menunjukkan sikap penuh kasih sayang dan lembut terhadap Kyungsoo. Itu sudah cukup bagi Minseok untuk menganggap Luhan punya hati malaikat.

"Bibi? Luhan? Ada apa?"

Keduanya berbalik dan melihat Kyungsoo berdiri di anak tangga bawah. Dalam usia dua puluh dua tahun, putri Yunho itu kelihatan masih seperti gadis remaja saja. Rambutnya yang cokelat dibelah tengah dan tergerai lurus ke bawah. Rambut itu membingkai wajahnya yang lembut. Kulitnya seputih porselen. Matanya besar dan berwarna cokelat, dengan bulu mata yang panjang. Tubuhnya berkembang sejalan perkembangan pikirannya. Kyungsoo bak kuntum bunga yang belum mekar sepenuhnya. Lekuk tubuh perempuannya mulai tampak, tetapi takkan pernah sempurna. Seperti pikirannya yang berhenti tumbuh, begitu pun tubuhnya. Kyungsoo takkan pernah berubah seiring berlalunya waktu.

"Operasi Daddy sudah selesai? Ia akan pulang hari ini?"

"Selamat pagi, Kyungsoo,"

Sapa Luhan sambil menghampiri anak tirinya, yang lima tahun lebih muda darinya itu. Digandengnya lengan gadis itu.

"...Mau menemaniku jalan-jalan di luar? Udara cerah hari ini."

"Mau. Tapi kenapa Bibi menangis?"

Minseok tampak tengah menyeka mata dengan kain handuk.

"Ia sedih."

"Kenapa?"

Luhan menarik tubuh gadis muda itu ke arah pintu depan dan menggandengnya menuju ke teras.

"Karena Daddy. Sakitnya parah, Kyung."

"Aku tahu. Ia selalu mengeluh sakit perut."

"Kata dokter, perutnya tidak bisa disembuhkan lagi."

Mereka berjalan menyusuri rerumputan taman yang terawat rapi. Dua minggu sekali, setiap musim, didatangkan sekelompok tukang kebun untuk merapikan taman di Mansion Oh. Kyungsoo memetik sekuntum bunga daisy dari rumpunnya yang tumbuh di dekat jalan setapak batu yang penuh lumut.

"Daddy kena kanker?"

Terkadang kecerdasan gadis ini mengejutkan mereka.

"Ya, benar,"

Sahut Luhan. Ia tidak ingin menutup-nutupi keadaan ayahnya. Itu tindakan yang keji.

"Aku banyak mendengar soal kanker di televisi,"

Katanya sambil menghentikan langkah dan menatap Luhan. Kedua perempuan yang hampir sama tinggi itu saling memandang.

"...Daddy bisa meninggal karena kanker."

Luhan mengangguk. "Ia memang akan meninggal, Kyung. Kata dokter, ia bisa meninggal dalam waktu seminggu atau lebih."

Bola mata yang cokelat itu tetap tak berkaca-kaca. Kyungsoo mendekatkan bunga daisy ke hidungnya dan menciumnya. Kemudian ia menoleh pada Luhan lagi.

"Ia akan ke surga, kan?"

"Ya, pasti."

"Kalau begitu Daddy akan bersama Mommy. Sudah lama Mom berada di sana. Pasti senang berjumpa dengannya. Dan aku masih tetap punya kau, Bibi, dan Jongin."

Kyungsoo melirik ke arah kandang kuda.

"Dan Sehun oppa. Dia selalu mengirimiku surat setiap minggu. Katanya ia selalu menyayangi dan merawatku. Apakah oppa akan melakukannya?"

"Tentu saja." Luhan mengatupkan bibir, menahan tangis.

Akankah Sehun menepati janjinya? Bahkan terhadap adik perempuannya?

"Tetapi mengapa dia tidak mau tinggal bersama kita?" tanya Kyungsoo.

"Mungkin ia akan segera pulang."

Luhan tidak ingin memberitahu Kyungsoo bahwa tidak lama lagi Sehun memang akan tiba di rumah sampai ia melihat sendiri. Kyungsoo jadi tenang.

"Jongin menungguku. Kuda betinanya melahirkan semalam. Ayo kita lihat."

Diraihnya tangan Luhan, lalu ditariknya menuju kandang kuda. Luhan iri melihat kegembiraan Kyungsoo dan berharap ia pun bisa menerima kematian Yunho dengan pikiran sesederhana putrinya itu.

.

.

.

.

Udara di kandang kuda hangat, berbaur dengan bau kuda, kulit, dan jerami yang tajam.

"Jongin!" panggil Kyungsoo riang.

"Di sini," jawab suara bernada rendah.

Kim Jongin bekerja sebagai manajer kandang kuda keluarga Oh. Mengembangbiakkan kuda-kuda keturunan murni termasuk salah satu kesukaan Yunho.

Jongin muncul dari lorong salah satu kandang kuda. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi sangat tegap. Wajahnya persegi dan kasar, tetapi terkadang terpancar ekspresi yang melembutkan kekasarannya.

"Jongin, kami ingin melihat anak kuda itu," kata Kyungsoo terengah-engah.

"Di sana."

Jongin menoleh ke arah kandang kuda yang baru ditinggalkannya. Kyungsoo masuk ke dalam kandang kuda. Jongin menatap Luhan dengan pandangan bertanya.

"Kanker," ujar Luhan menjawab pertanyaan Jongin yang tak terucap. "Tinggal menunggu waktu."

Jongin menyumpah pelan sambil memandang perempuan muda yang berlutut di tumpukan jerami yang sedang mengelus-elus anak kuda.

"Kau sudah memberitahunya?"

"Ya. Ia bisa menerimanya lebih baik daripada kita semua."

Jongin menggangguk dan tersenyum sendu pada Luhan.

"Ya. Pasti."

"Oh, Jongin. Anak kuda betina ini cantik sekali ya?"

Jongin menepuk bahu Luhan dengan penuh kesadaran, kemudian masuk ke dalam kandang. Luhan mengikutinya, dan mengawasinya saat pria itu dengan gerakan kaku berlutut di sebelah Kyungsoo.

"Ia cantik sekali, kan? Dan induknya kelihatan sangat bangga pada anaknya."

Jongin mengelus surai kuda betina itu, tetapi matanya tetap tertuju pada Kyungsoo. Luhan terus memerhatikannya, ketika Jongin menjulurkan tangan untuk mengambil jerami yang menempel di rambut Kyungsoo, jari-jarinya mengelus pipi Kyungsoo yang sangat halus. Kyungsoo menatap Jongin dan mereka saling tersenyum.

Sejenak Luhan tertegun menyaksikan kemesraan di antara kedua orang itu. Apakah mereka saling mengasihi?

Luhan bingung mendapati kenyataan ini. ia bersikap taktis dan berniat meninggalkan tempat itu, tetapi Jongin melihatnya.

"Nyonya Oh, bila ada yang bisa saya lakukan..." Jongin tak melanjutkan kata-katanya.

"Terima kasih, Jongin. Untuk sementara ini lakukan saja apa yang menjadi tugasmu seperti biasa."

"Baik, nyonya."

Jongin tahu, Luhan lah yang menolongnya bisa menjadi karyawan Yunho. Wanita itu masih menjadi seorang karyawan Yunho ketika Jongin melamar pekerjaan sebagai manajer kandang kuda.

Luhan merenungkan semua itu ketika kembali ke rumah. Jongin dan Kyungsoo saling mencintai. Ia menggeleng, tersenyum, saat memasuki serambi. Telepon berdering, secara otomatis ia mengangkatnya sebelum Minseok. "Halo?"

"Luhan, ini Junmyeon."

"Ya?"

"Aku sudah bicara dengan Sehun. Ia akan datang secepatnya, mungkin malam ini. Banyak hal yang harus diselesaikan petang ini, banyak orang yang harus diberitahu. Yunho tidak punya sanak saudara kecuali putra dan putrinya, karena itu masalah kerabat tak perlu dipikirkan."

Setelah itu Luhan berbagi tugas dengan Junmyeon untuk menghubungi kerabat Yunho lewat telepon.

"Minseok, tolong segera siapkan kamar untuk Sehun. Dia akan datang malam ini."

Mendengar berita itu, pengurus rumah tangga tersebut tampak seperti ingin menangis.

"Oh ya Tuhan. Aku sudah lama berdoa agar anakku yang satu itu mau pulang. Ibunya di surga pasti menari-nari hari ini. Pasti ia senang sekali. Yang dibutuhkan kamar itu hanya seprai baru. Aku selalu membersihkannya, kalau-kalau suatu hari ia kembali menempatinya. Aku ingin sekali segera berjumpa dengannya."

Saat makan malam, Luhan memberitahu Kyungsoo tentang kabar kepulangan Sehun. Gadis itu melompat dari kursi, menyambar tangan Minseok, dan menari-nari mengelilingi ruangan.

"Ia memang berjanji suatu hari akan pulang. Sekarang oppa pulang. Aku ingin memberitahu Jongin."

Kyungsoo langsung lari keluar lewat pintu belakang menuju kandang kuda, ke tempat tinggal Jongin.

"Gadis itu akan mempermalukan dirinya sendiri bila ia tidak membiarkan pemuda itu sendirian."

Luhan tersenyum penuh arti. "Aku tidak berpendapat begitu."

Minseok menengadah dan menaikkan alis karena penasaran, tetapi Luhan tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengambil gelas es teh lalu berjalan ke teras depan.

.

.

.

Waktu duduk di kursi goyang bercat putih, Luhan menyandarkan kepala pada bantalan kursi bersarung kain kembang-kembang dan memejamkan mata. Inilah saat yang paling disukainya ketika menghuni Mansion, waktu hari menjelang malam, ketika sinar lampu di dalam rumah menyelinap ke luar dari celah-celah jendela, yang kelihatan seperti kemilau permata.

Setelah lama beristirahat, Luhan membuka mata. Ketika itulah ia melihat pria tersebut. Dia berdiri tak bergerak di bawah dahan pohon ek yang menjulur. Jantung Luhan seperti berhenti berdetak dan pandangannya kabur. Luhan tidak tahu apakah sosok pria itu sungguhan atau hanya ilusi. Kepalanya pening, dicengkeramnya gelas es teh erat-erat supaya tidak lolos dari cengkeraman jemarinya yang kaku dan dingin.

Pria tersebut bergerak menjauh dari dahan pohon dengan gerakan seperti harimau dan dalam diam, makin lama makin dekat sampai akhirnya ia tiba di anak tangga batu yang menuju teras. Ia hanya salah satu dari banyak bayangan yang ada, tetapi siluet maskulinnya jelas terlihat ketika ia berdiri dengan kaki terbuka lebar.

Secara fisik, waktu tampaknya bermurah hati padanya. Ia tidak lebih kurus daripada saat pertama kali Luhan berjumpa dengannya. Kegelapan malam menyembunyikan wajah pria itu dari pandangannya, tetapi Luhan dapat melihat kilatan giginya yang putih ketika ia mulai tersenyum. Senyumnya ramah, sebagaimana juga nada bicaranya.

"Well, kalau tidak salah, kau Xi Luhan."

Ia meletakkan sebelah kakinya di anak tangga dan membungkukkan badan, satu tangan bertopang di lutut. Ia menatap Luhan, sinar lampu dari pintu utama menerpa wajahnya. Dada Luhan terasa sesak oleh perasaan sakit... dan cinta.

"Ya, tapi sekarang sudah menjadi Oh, bukan?"

Wajah itu! Wajah yang selalu muncul dalam mimpi-mimpi dan khayalannya. Wajah paling memesona yang pernah dilihatnya. Rambut hitam menggambarkan keliaran jiwanya dengan helai-helainya yang tak bisa dikendalikan. Sorot matanya yang memikat Luhan sejak pertama kali melihatnya, menggugah perasaannya lagi. Terakhir kali ia berjumpa pria itu, mata tersebut penuh gairah.

Besok...sayangku. Di sini. Di tempat kita ini.

Oh, Tuhan, Luhan, cium aku lagi.

Kemudian keesokan harinya...

ia tidak muncul, dan selamanya.

"Lucu,"

Komentarnya dengan nada yang membuat Luhan berpikir sebaliknya,

"...Kita menyandang nama keluarga yang sama."

Tak ada tanggapan untuk yang satu itu. Ingin rasanya Luhan berteriak bahwa mereka bisa memakai nama keluarga yang sama beberapa tahun yang lalu andai pria itu bukan penipu, andai ia tidak mengkhianatinya. Ada beberapa hal yang lebih baik tidak diungkapkan.

"Aku tidak melihat mobilmu."

"Aku terbang, mendarat, dan berjalan kaki kesini."

Landasan pacu kira-kira satu setengah kilometer jauhnya.

"Oh. Mengapa?"

"Mungkin karena ingin tahu bagaimana sambutan yang akan kuterima."

"Ini kan rumahmu, Sehun."

"Yeah, tentu rumahku."

Luhan membasahi bibir dengan lidah dan berharap punya keberanian untuk tetap menghadapinya. Ia takut kakinya tak mampu menopang tubuhnya.

"Kau tidak menanyakan kabar ayahmu."

"Junmyeon sudah memberitahu."

"Kalau begitu kau tahu ia sekarat."

"Ya. Dan ia ingin bertemu denganku. Rupanya keajaiban tak pernah lenyap."

Komentarnya yang menyakitkan itu membuat Luhan bangkit dari duduk tanpa berpikir dua kali.

"Ia sakit keras, Sehun. Yunho bukan seperti yang kau kenal dulu."

"Andai masih tersisa satu tarikan napas dalam tubuhnya pun, ia persis seperti yang aku ingat."

"Aku tak mau berdebat denganmu tentang hal itu."

"Aku bukan berdebat."

"Dan aku takkan membiarkan kau mengecewakannya atau Kyungsoo atau Minseok. Mereka ingin bertemu denganmu."

"Kau tidak akan membiarkan? Astaga, kau betul-betul menganggap dirimu nyonya rumah ini, ya?"

"Tolonglah, Sehun. Beberapa minggu ke depan segalanya akan cukup sulit tanpa..."

"Aku tahu, aku tahu,"

Tarikan napas panjangnya terdengar sampai ke tempat Luhan berdiri tegang di teras, tangannya mengepal erat. Ia meletakkan gelas es teh di pagar teras karena takut menjatuhkannya.

"...Aku juga tidak sabar hendak bertemu mereka,"

Kata Sehun dan melirik ke arah kandang kuda.

"...Aku lihat Kyungsoo keluar dari rumah itu beberapa saat yang lalu, tetapi aku tidak ingin muncul tiba-tiba dalam gelap dan mengejutkannya. Aku mengingatnya sebagai gadis kecil. Tak kusangka ia sudah dewasa sekarang."

Ingatan akan Kyungsoo dan Jongin yang berlutut di tumpukan jerami di kandang kuda, jari-jari Jongin mengelus pipi Kyungsoo, melintas di benak Luhan. Ia tidak tahu apa pendapat Sehun bila tahu hubungan asmara adik perempuannya itu. Ia jadi resah menerka-nerka.

"Kyungsoo perempuan dewasa sekarang."

Luhan merasakan tatapan mata Sehun pada dirinya, menelusuri, menganalisis, menilai. Tubuhnya seperti dilumuri brendi yang menyentuh setiap inci.

"Dan kau," katanya lembut. "Kau juga perempuan dewasa sekarang, bukan, Luhan? Perempuan dewasa."

Luhan sama sekali tidak berubah. Kecantikan gadis lima belas tahun yang dikenalnya kini mendewasa. Ia berharap bertemu Luhan yang gendut, kumal, kusut, berambut kusam, dan berpaha besar.

Ternyata ia masih ramping, dengan pinggang yang seolah akan patah bila ditiup angin. Dadanya berisi dan lembut, namun tetap tegak, bulat, dan mengundang.

Sialan! Seberapa sering ayahnya menyentuhnya?

Sehun menaiki anak tangga perlahan-lahan, seperti pemangsa yang kelaparan tetapi hendak menyiksa korban sebelum melahapnya. Matanya yang keemasan, berkilat dalam kegelapan, nanar menatap Luhan. Senyum lebar di bibirnya menyiratkan pemahaman yang licik, seakan pria itu tahu apa yang ada dalam benak Luhan yang ingin dilupakannya, bagaimana bibir pria itu menyentuh bibirnya, lehernya, dadanya. Luhan berbalik.

"Aku panggilkan Minseok. Mungkin ia..."

Tangan Sehun menyambar pinggang Luhan, membuat langkahnya terhenti. Ia memaksa Luhan menghadap ke arahnya

"Tunggu sebentar," katanya tenang. "Setelah dua belas tahun, tidakkah kau merasa kita bisa saling menyapa dengan lebih akrab?"

Tangannya yang bebas menyentuh tengkuk Luhan dan mendorong wajah wanita itu ke wajahnya.

"...Ingat, kita sekarang keluarga," bisiknya dengan nada mengejek.

Kemudian bibirnya mencium bibir Luhan, kasar dan penuh kemarahan. Diciuminya bibir Luhan dengan liar, seakan hendak menghukumnya karena malam-malam ketika ia memikirkan Luhan, Luhan-nya yang polos, yang berbagi tempat tidur, tubuhnya, dengan ayahnya. Luhan memberi tinju ke dada pria itu. Terdengar suara mengerang keras. Lututnya lemas. Ia berusaha memberontak. Ia memberontak lebih keras.

Luhan ingin memeluk laki-laki itu, mendekapnya erat, merasakan kembali getaran yang pernah dirasakannya ketika berada dalam pelukannya. Tetapi ini bukanlah pelukan, ini penghinaan. Luhan bergulat sekuat tenaga untuk membebaskan bibirnya.

Ketika Luhan berhasil melepaskan diri, Sehun memasukkan tangan ke saku celana jinsnya dan tersenyum mengejek penuh kemenangan melihat ekspresi marah dan bibir merah Luhan.

"Halo, Mom," dengus Sehun.

.

.

.

5 Januari 2017

Hai~ sudah adakah yang baca novel ini? Aku bawa versi HunHan lagi nih, hhe.

Bagaimana? Pada minat baca kah? Kebetulan dan sejujurnya aku juga belum ngeremake chapter selanjutnya. Kalau banyak yang tertarik aku lanjut, hhihi. Atau kalian bisa baca langsung novel aslinya aja, karena menurutku ceritanya keren dan recommended banget buat dibaca.

See Ya!

.

.

.

with love, pichaa