Sepi.

Gelap.

Kosong.

Kenapa semua menjadi terasa menyesakkan seperti ini. Hampa. Kosong. Sepi. Tidak ada apapun. Tidak ada siapapun.

Sendirian.

Sebenarnya apa yang baru saja terjadi, mengapa semua menjadi seperti ini, mengapa semua menjadi buram, abu-abu dan perlahan menghilang di pelupuk mata. Semuanya menghilang. Semuanya menjauh. Menjauh meninggalkannya. Meninggalkannya sendirian.

Sendirian.

Sendirian.

Sendi—dan bernafas!

Ya, bernafas! Mengapa ini terasa sesak, mengapa sulit sekali baginya untuk meraup udara, mengapa sulit sekali baginya untuk bernafas.

Sakit.

Ya, mengapa ini terasa sakit sekali, bahkan ia tidak mampu merasakan kedua kaki dan tangannya.

Mati rasa.

Sekali lagi sebenarnya apa yang terjadi?! Mengapa semuanya menjadi tidak jelas seperti ini, mengapa, mengapa semuanya mendadak pudar dan menghilang seperti ini?! Tidak! Jangan tinggalkan dia sendiri! Tidak! Jangan tenggelamkan dia seperti ini!

"Dokter, tekanan darah pasien!"

"Perhatikan detak jantungnya! Jangan sampai kehilangan dia!"

Ada apa? Mengapa mereka saling berteriak, mengapa mereka terlihat begitu ketakutan dan mengapa mereka terlihat begitu sibuk. Ada apa? Di sini begitu sepi, tapi mengapa terdengar ramai sekali, bunyi besi beradu, mesin menyala langkah kaki serta suara teriakan yang saling bersahut-sahutan.

Gelap.

Di sini semakin gelap. Tubuhnya hanya mengambang dan terapung tidak menentu. Hampa. Kosong. Udara yang dia hirup semakin menipis, sementara rasa sakit itu menjalar melewati tubuhnya menjalar memenuhi kepalanya.

"Dokter! Keadaan pasien semakin melemah!"

Semua bayangan itu tiba-tiba muncul, membaur menyatu dan melaju cepat melintasi kepalanya. Sakit. Sakit sekali. Ia ingin berteriak, namun apa daya, ia tidak bisa, ia ingin melepaskan semuanya namun, tetap sama ia tidak bisa. Begitu sesak, dan menyiksa.

"Dokter! Detak jantung pasien!"

"Aku paham! Siapkan Clear Area! Siapkan Defribillator!"

Semua memburam, semua perlahan menghilang. Gelap itu, kini semakin gelap, gelap itu kini mulai menenggelamkannya. Mencoba bernafas namun sia-sia, mencoba untuk bergerak keluar namun, dia tidak bisa.

"200 Joule! Siap? Satu, dua, SEKARANG!"

"Bagaimana?!"

"Tidak ada perubahan!"

"NAIK MENJADI 220 JOULE!"

"DAN, SEKARANG!"

"Dokter! Tetap tidak ada perubahan!"

Semua semakin samar, semua semakin menggelap. Dia tidak mampu mempertahankannya. Dia semakin terperosok masuk kedalam lubang itu. Memejamkan matanya, dia sudah tidak sanggup lagi, keadaan ini begitu menyakitkan. Keadaan ini begitu menyiksanya.

Dan di saat dia akan menyerah, di saat ia sudah mengawang jauh, suara itu berhasil menarik kembali kesadarannya. Suara yang begitu ia rindu dan begitu ia nantikan. Hanya tersenyum pedih, dan dia kembali memejamkan matanya.

"Selamat tinggal."

Bisiknya, dan dia benar-benar terjatuh dalam pusaran gelap itu.

.

.

.

.

"Aku mohon, bertahanlah, aku mohon tetaplah hidup. Luhan."

.

.

.

.

.

.

Saat hanya sekeping memori yang dia miliki, saat hanya ada sekeping kisah yang ia genggam.

Saat hanya ada sekeping hati yang ia hadapi, akankah perasaannya masih sama saat semua kepingan itu kembali menjadi satu, akankah cintanya masih sama saat semua kepingan itu kembali lagi utuh padanya, atau, itu semua hanya cinta sesaatnya saja, atau bahkan hanya bentuk pelampiasan ego kekanakannya saja?

Tapi bagaimana jika kepingan yang hilang itu telah mengubah seluruh hatinya, bagaimana jika kepingan yang hilang itu mulai membukakan hatinya dan bagaimana jika kepingan yang hilang itu kembali menyatukan kepingan hancurnya.

.

.

.

.

.

Piece of Love

.

.

.

Genre:

Romance, Drama, Hurt/Comfort

Warn;

Messing EYD, typo(s), OOC, GS!, Cerita Gaje de el el…

Rated:

M!

Cast:

Lu han

Oh Sehun

Pair;

Hunhan and other

.

Seorang berperawakan jangkung, berparas tampan mengenakan jas putih kebanggaannya memasuki ruangan yang sepi dan hanya berisi satu sosok wanita berambut cokelat pekat, bermata cokelat cemerlang dengan pipi berisi dihiasi bias-bias merah alami, berhidung bangir dan berbibir tipis yang nampak sedikit pasi—wanita itu tampak menatap jendela dengan sorot hampa, hanya terduduk dengan sandaran tumpukan bantal di belakang punggungnya, terdiam dan tampaknya begitu menikmati kesendiriannya.

"Bagaimana keadaanmu? Apa sudah lebih baik?"

Luhan—sosok wanita itu, menoleh, ia memperhatikan sang dokter yang dibantu oleh perawatnya memeriksa beberapa bagian tubuhnya dan mengecek keadaannya.

Luhan hanya mengangguk. Ia kemudian menatap dokter itu. "Dokter, berapa lama aku tidur? Dan kapankah aku bisa pulang?"

"kau tidur untuk waktu sekitar satu minggu."

Luhan terkesiap. Ia menatap dokter dengan tubuh tinggi itu dengan mata membulat.

"Satu minggu?" Tanya Luhan.

"Ya, tujuh hari."

"Lalu kapan aku bisa pulang?" tanya Luhan tergesa.

Chanyeol—dokter berperawakan tinggi itu hanya mengernyit heran. "Kau baru saja mengalami masa kritis hampir empat hari dan baru sadarkan diri pagi ini, dan kau sudah memaksa ingin pulang? Agassi, seharusnya tanpa ku beritahu sekalipun kau sudah tahu apa jawabannya."

"Tapi aku harus pulang! Aku tidak boleh melewatkan hari ini! Dan dokter harusnya mengerti itu!"

"Dengar Agassi—"

"Luhan! namaku Luhan! bukan Agassi, paham?!"

"Baiklah Luhan-ah, kau tidak bisa pulang hari ini. Keadaanmu yang tidak memperbolehkannya, kau boleh pulang bila keadaanmu sudah membaik."

"Tapi aku baik-baik saja, tuan dokter yang terhormat. Aku hanya ingin pulang, ada suatu hal yang harus aku lakukan."

"Kau tidak bisa. Maafkan aku. Dan, ya! Ada suatu hal yang ingin aku tanyakan padamu, mengenai identitasmu juga tentang keluarga atau kerabatmu, aku belum memberitahukan perihal keadaanmu karena kami tidak dapat menemukan apapun tentangmu. Jadi bolehkah aku memulainya sekarang?" Tanya Chanyeol.

"Tentu." Balas Luhan malas.

"Jadi, siapa namamu?"

"Lu Han."

"Umurmu?"

"Enam belas." Jawab Luhan asal.

Chanyeol menyipitkan matanya, memandangi Luhan dari ujung kepala sampai bawah. "benarkah?" Tanyanya sedikit sangsi.

Luhan menatap Chanyeol sengit. "Apa Dokter tidak percaya padaku?"

"Aku percaya." Balasnya singkat.

"Apa kau masih sekolah?"

"Apa itu ada dalam daftar pertanyaan?" Tanya Luhan.

Chanyeol hanya menghela nafas kasar. "Ada. Kau bisa lihat jika kau tidak percaya." Tunjuk Chanyeol jengkel pada rekam medis yang sedang dipegangnya.

"Ya, aku masih."

"Di mana?"

Chanyeol menghela nafas pelan mencoba menekan emosinya, ia hanya tersenyum manis saat melihat bocah di hadapannya memincingkan matanya tajam.

"Ini untuk pemenuhan identitas diri. Jadi jawab saja apa yang aku tanyakan supaya bisa lebih cepat. Aku tidak hanya mengurusi satu pasien sepertimu, ingat."

Luhan mlirik pelan, menarik nafas dan kembali menjawab. "Sapphire Senior High School." Jawab Luhan datar.

"Benarkah?"

Luhan memincingkan matanya kepada Chanyeol tajam. "Lalu aku harus menjawab apa?" Jengkel Luhan.

"Tidak," Jawab Chanyeol kalem. "Hanya saja sekolah itu sudah tidak ada semenjak empat tahun yang lalu, dan bukankah Sapphire Senior High School kini bergabung dengan Seoul Internasional High School, dan namanyapun ikut berubah. Jadi tidak ada namanya Sapphire Senior High School saat ini."

"Jangan bercanda! Lalu selama ini aku sekolah dimana? Jelas-jelas baru minggu kemarin aku melaksanakan ujian akhir semester."

"Tunggu dulu, sepertinya ada sesuatu yang aneh terjadi padamu."

Luhan mengernyitkan alisnya heran. Aneh? Memangnya dia kenapa?

"Tunggu sebentar, aku akan panggilkan rekanku sebentar."

Luhan hanya menggedikan bahunya acuh. Ia lalu memadangi nampan yang baru saja perawat bawakan untuknya. Ah, memang apa pedulinya.

.

.

.

.

Sehun memijit pelipisnya pelan, hari-hari ini terasa menjadi lebih berat untuk ia jalani, terlebih, setelah dirinya menangani satu pasien yang tidak pernah diduganya. Ia menghela nafas panjang, menyandarkan punggungnya dan memejamkan matanya, mencoba untuk mencari ketenangan lebih.

Sehun menaikan alisnya saat mendengar suara pintu diketuk dengan tergesa. "Masuk." Ucap Sehun datar. "Ada perlu apa. Dr. Park ada yang bisa aku bantu?" Tanya Sehun dengan wajah masamnya.

Chanyeol menghela nafas panjang. Sepertinya ia sedang terkena sial. Mengapa hari ini begitu terasa menyebalkan. Pertama pasien bocah yang mengesalkan, kedua dokter muka tembok yang sedang dalam mood terburuknya.

Menghela nafas dan Chanyeol membuka suara. "Dr. Oh, ini mengenai pasien kamar 1047 yang kita tangani kemarin."

Sehun memincingkan matanya tajam. "Kenapa lagi?" Tanyanya jengah. "Bukankah keadaanya sudah stabil. Tidak bisakah kau menanganinya seorang diri?!"

"Hei, tenanglah. Aku hanya memintamu untuk memastikannya. Sebenarnya ada apa denganmu Oh Sehun. Sudah cukup aku dibuat kesal oleh bocah itu, kau jangan menambahnya dengan tingkah anehmu lagi." Chanyeol menggeram kesal. Ada apa dengan hari ini? Mengapa semua orang nampak menyebalkan sekali baginya. Tidak dengan bocah itu, tidak dengan si albino muka tembok. Semuanya sama saja.

Sehun berdiri dan menghela nafas. "Hn." Balasnya singkat. Melangkah pergi, meninggalkan Chanyeol yang menghela nafas frustasi merutuki hari beruntungnya.

.

.

.

.

"Ayolah Suster! Ijinkan aku pergi, aku hanya sebentar! Kenapa kau begitu menyebalkan!" Teriak Luhan kesal. Sementara itu sang perawat hanya menghela nafas pelan, mencoba untuk lebih bersabar.

"Tidak bisa Luhan-ssi, kau tidak bisa keluar."

"Ayolahh~~~ Aku mohon! Hari ini hari terpenting dalam hidupku! Aku tidak bisa melewatkannya! Kenapa kau sulit sekali untuk mengerti aku!" Teriak Luhan lagi. "Aku hanya perlu keluar sekarang! Hari ini! Siang ini! Setelahnya kau bebas untuk menahanku, selama sebulanpun aku tidak peduli, hanya saja ijinkan aku keluar sebentarr sajaaaa…."

Perawat itu tampaknya mulai menimbang-nimbang. "Memang, apa yang akan kau lakukan siang ini?"

"Aku harus melihat pacarku di pertunjukan music klasiknya. Aku sudah berjanji padanya. Jadi bisakah aku pergi?" Luhan menatap perawat itu dengan mata bulat besar berbinar-binar miliknya.

"Tidak. Kau tidak bisa. " jawab perawat itu dengan memasang wajah datar terbaiknya, dasar bocah labil, rutuknya dalam hati.

"YAK! KENAPA KAU MENYEBALKAN SEKALI!" Luhan menjerit kencang dengan wajah memerah padam.

"Ya sebenarnya ada apa ini?!" Chanyeol dan Sehun yang baru memasuki ruangan hanya meringis pelan mendengar suara cempreng yang melengking tajam tadi. "Kau, kenapa kau berteriak. Bisakah kau menjaga ketenangan sedikit?!" Lanjut Chanyeol lagi, dengan suara yang meninggi. Ia sudah cukup lelah hari ini, ia juga cukup kesal dengan hari sialnya ini dan kesabarannya cukup menipis mendapati keributan di hadapannya.

"Salah sendiri, mengapa dia tidak mengijinkanku pergi." Luhan menunjuk perawat itu dan mulai berteriak kesal. "Tidakah dokter tahu, hari ini adalah hari penting bagiku! Hari ini aku harus pergi mendatangi—Sehunnie?"

Chanyeol megerjap pelan. "Apa?" tanya Chanyeol. "Kau bilang apa?'

Luhan tak menghiraukan Chanyeol. Ia hanya menatap Sehun. Mencoba meraih tangan Sehun dan memeluk tangannya. "Sehunnie, mengapa di sini?" Tanya Luhan dengan suara manisnya.

Chanyeol yang melihat itu hanya mengedutkan bibirnya, dasar muka dua! "Tentu saja dia di sini? Kau pikir di mana lagi?" Sahut Chanyeol.

Luhan melotot kearah Chanyeol. "Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya pada Sehunnieku~~" Luhan menatap tajam Chanyeol lalu tersenyum begitu manis kepada Sehun sambil menggesek gesekkan wajahnya.

"Lepas!" Desis Sehun dingin.

Luhan mengerjap. Ia menatap Sehun dengan mata berkaca-kaca.

"Kau benar Dr. Park. Sepertinya ada masalah dengan kepalanya."

"Sehunnie, mengapa kau seperti itu?" Luhan menunduk dengan bibir bergetar. "Mengapa kau jahat padaku hiks!"

Sehun menghembuskan nafasnya kasar.

"Sehun, aku memang agak sedikit kesal padanya. Tapi aku tidak sampai hati bila membuatnya menangis seperti itu. Eoh, Dokter Oh kejam sekali." Ejek Chanyeol dengan muka menyebalkannya.

"Diam kau Park!" Bentak Sehun kesal. "Dan kau," Tunjuk Sehun Pada Luhan. "Berhenti menangis seperti bocah. Sebaiknya kau hubungi kekasihmu untuk segera mengurusimu."

"Aku kan kekasihmu! Mengapa Sehunnie tidak ingat padaku!"

"Aku bukan!" tekan Sehun tajam.

"Sehunnie kenapa kejam sekali padaku huwweee.."

Sehun berdecak kesal. "Bisakah kau diam?!"

Luhan menunduk dengan tangan saling tertaut erat. "Sehunnie jahat hiks.." Cicit Luhan pelan.

"Siapa namamu?" Tanya Sehun dingin.

"Sehunnie kenapa? Kau tanya seperti itu? Kau tidak mengenaliku lagi huwwwee—"

"Hanya jawab, dan jangan menangis."

"Lu- Luhan.." Cicit Luhan pelan, sambil berusaha untuk tidak terisak.

"Umur?"

"Sehunnie kenapa bertanya seperti itu, aku Luhan! Luhannie mu! Kau lupa padaku? Apa kau marah karena aku tidak datang pada pertunjukanmu? kau—kenapa Sehunnie jahat pa—"

"Hanya jawab dan jangan menangis, bisa?" Tanya Sehun tajam.

"Bi- bisa.. hiks.. "

"Jadi berapa?"

"Apanya?" Luhan memiringkan kepalanya menatap Sehun dengan heran.

Sehun menggeram, ia menatap Luhan tajam. "Umurmu."

Luhan menunduk sambil terisak ia mencoba menjawab. "E- enam belas hiks.."

"Sudah kuduga." Sahut sehun.

"Apanya Dr. Oh, apa yang kau temukan. " Tanya Chanyeol.

"Dia mengalami kehilangan ingatan. Aku akan melakukan CT-scan untuk memastikannya."

"Sehunnie ada apa? Memangnya aku kenapa? Dan kenapa juga kau bisa ada di sini, bukankah hari ini adalah pertunjukan untuk perlombaan music klasikmu?"

"Dengar Luhan-ssi, kau mengalami benturan cukup hebat di kepalamu, dan mungkin kau mengalami hilang ingatan, atau bisa ku bilang amnesia, dimana sebagian memorimu hilang dan hanya menyisakan memori lama."

Sehun berbalik melangkah keluar pintu ruangan sambil berbicara dengan cukup lantang. "Aku akan kembali sepuluh menit lagi, dan satu lagi." Dia berhenti tepat di depan pintu dan melirik di balik bahunya. "Jangan panggil aku dengan nama menggelikan itu. Paham?!"

Luhan terkesiap, ia hanya menunduk kecil mendengar suara Sehun yang mengintimidasi tajam. "Pa- paham." Cicit Luhan dengan suara bergetar menahan tangisnya. Luhan lalu mendongak memperhantikan pintu yang berdebam halus meninggalkan dirinya sendirian.

Ya, hanya sendirian.

Senderian dengan rasa bingungnya.

.

.

.

Baekhyun menyeruput mienya dengan penuh semangat, ia menatap sosok di hadapannya dengan tatapan penuh menuntut. "Do Kyungsoo! Bisakah kau jelaskan padaku perihal hubungan mu dengan model hitam yang sok itu?!"

Kyungsoo hanya tergagap, menunduk kecil sambil menggapai jus yang ada di hadapannya.

"Aku—aku, kau tahukan jauh sebelum Jongin debut aku sudah dekat dengannya, dan Jongin juga sudah ada menemaniku sedari dulu, jadi itu bukan hal baru."

"Tapi kenapa kau tidak pernah bilang-bilang padaku?!" Jerit Baekhyun kesal.

"Baek~~ Ku mohonnn… itu karena—emm karena, sejak kepulangan ku dari Kanada hubunganku agak sedikit merenggang dengannya, jadi sebab itulah aku tidak banyak bicara padamu. Jadi, ku mohon Byun Baekhyun, maafkan aku, ya ya yayaaaa?" Kyungsoo menatap Baekhyun dengan mata bulat yang berbinar-binar miliknya.

"Matamu urrhh.." Baekhyun sedikit mengerang melihat binaran mata yang menurutnya berbahaya itu.

"Makanya maafkan aku!"

"Nde! Baiklah! Baiklah! Aku memaafkanmu! Tapi tetap saja aku masih kesal." Baekhyun kembali cemberut. "Jika saja Yeolliku tidak bercerita mengenai si Kkamjong itu, aku mungkin tidak akan pernah tahu sampai sekarang."

Kyungsoo hanya menyengir. "Maafkan aku nde? Bbuing.. bbuing~~"

"Hentikan itu Do Kyungsoo!" Erang Baekhyun kesal.

Bukannya berhenti, Kyungsoo malah tertawa keras. "Kau menggemaskan sekali sih Byun Baekhyun~~" Goda Kyungsoo.

"Kau menyebalkan!" Ucap Baekhyun kesal.

"Hehehe." Cengir Kyungsoo dengan tampang tidak berdosa miliknya.

"Ah iya Kyung! Bukankah kau akan mengenalkan temanmu padaku? Tapi mana, apa kau tak mau mengenalkannya?" Baekhyun menyeruput minumannya dan kembali mengerutkan alisnya. "Apa karena aku cerewet ya?" Tanya Baekhyun sedih.

"Tidak, tidak! Bukan seperti itu." Jelas Kyungsoo. "Hanya saja—"

"Hanya apa?! Apa aku menyebalkan, makannya kau tidak mau mengenalkan temanmu padaku."

Kyungsoo menggeram pelan. "Setidaknya biarkan aku menyelesaikan ucapanku, Byun Baekhyun." Alis Kyungsoo berkedut menahan kekesalannya.

"Oh, hehehe baiklah, lanjutkan."

Kyungsoo menghela nafasnya. "Sebenarnya, aku sendiri pun belum bertemu dengan dirinya."

"Bagaimana mungkin?" Tanya Baekhyun. "Apa dia tidak menghubungimu?"

"Itu dia masalahnya. Temanku menghubungiku sebelum penerbangannya, dia bilang mungkin akan tiba di Korea sekitar jam empat sore. Tapi sampai seminggu kemudian, aku belum bertemu dengannya."

"Kau tidak mencoba untuk menghubunginya lagi?"

"Aku sudah Baek, tapi dia tidak bisa dihubungi."

"Apa kau sudah menelfon keluarganya mungkin?"

Kyungsoo kembali menggeleng. "Itu dia, aku mengenalnya hanya sebatas teman kuliah. aku tidak sampai mengenal dengan keluaraganya, lagipula dia agak tertutup."

"Lalu bagaimana jika seperti itu? apa dia orang Kanada?"

"Aku juga dibuat pusing olehnya Baek, kau pikir bagaimana perasaanmu saat temanmu akan pergi berlibur sekaligus mengunjungimu, tapi sampai satu minggu kedepan tidak ada kabar sama sekali, padahal satu jam sebelum penerbangan dia dengan jelas menyuruhku bersiap-siap karena mungkin sebentar lagi dia akan segera sampai, tapi sampai sekarang aku belum mendapatkan kabar sama sekali." Kyungsoo menarik nafas panjang dan kembali menyeruput minumannya. "Dan, dia bukan. Dia keturunan China."

"Ohh seperti itu.." Baekhyun mengangguk paham. "Lalu bagaimana, apa kau sudah menghubungi pihak maskapai, atau mungkin pihak hotel tempatnya menginap."

Kyungsoo menggeleng. "Belum. Dan aku juga tidak tahu, di mana dia akan tinggal."

"Kau coba saja hubungi pihak maskapai penerbangannya, tanyakan mengenai penerbangan yang dilakukan oleh temanmu dan tanyakan apakah temanmu benar melakukan penerbangannya atau membatalkannya. Bukan apa-apa Kyung, aku hanya takut terjadi sesuatu hal dengan temanmu itu."

"Baiklah Baek, tapi kau bantu aku yaaa?" Pinta Kyungsoo dengan wajah memelasnya.

Baekhyun hanya mendengus sebal.

"Ayolah Baek! Tolong aku nde? Nde nde ndeee?"

"Baiklah! Baiklah! Berhenti menatapku seperti itu!"

"Hehehe, terimakasih Baek! Kau memang Sahabat baikku!" Seru Kyungsoo senang.

Baekhyun hanya memutarkan bola matanya malas. "Dasar." Dengusnya geli. "Untung kau temanku."

.

.

.

"Dokter, Sehunnie mana? Mengapa dia tidak pernah kelihatan lagi? Apa dia membenciku? Tapi salahku apa?" Luhan menunduk, mencoba untuk tidak menangis. Chanyeol yang melihat itu hanya tersenyum tipis.

"Tidak. Mungkin Dr. Oh sedang sibuk, makanya ia belum sempat menemuimu lagi."

"Tapi kenapa?" Cicit Luhan pelan. "Aku salah apa?"

"Kenapa Sehunnie jahat padaku hiksss.. Dokter! Kau apakan Sehunnieku?! Kenapa dia jadi galak, padaku!" Teriak Luhan kesal. Chanyeol hanya meringis pelan mendengar suara yang memekakan telinganya itu.

Menggeram pelan, dan mengatur nafasnya mencoba untuk lebih tenang, mencoba untuk mempertahankan emosinya, ia lalu menatap Luhan dan tersenyum manis. "Mana aku tau. Itu urusanmu dengan Sehunniemu, jangan bawa-bawa aku!"

Luhan menatap Chanyeol dengan pandangan memelas dan mata berkaca-kaca. "Jahat hiks.."

"Huwweeee Sehunnieeee.. Dokter telinga lebar ini jahat padakuuu!"

Chanyeol memijit pelipisnya. Ia sungguh dibuat pusing oleh kelakuan bocah ini.

"jangan menangis, jangan menangis arra? aku akan panggilkan Dr. Oh untukmu. Tapi jangan menangis dan jangan buat aku pusing lagi!"

"Jangan membohongiku?!" Luhan menatap Chanyeol dengan mata menyipit tajam.

"Aku tidak!" Sebal Chanyeol. "Diamlah, dan jangan menangis."

Luhan mengangguk kecil. Menatap Chanyeol tajam lalu tersenyum manis. "Jangan lama-lama ne?"

Chanyeol melangkah keluar kamar rawat Luhan dengan menggerutu pelan. "Dia yang terkena masalah, kenapa aku yang harus repot. Menyebalkan!"

.

.

.

.

Luhan terduduk di ranjangnya. Ia menatap jendela dengan kosong. Hari ini seharusnya dia pulang, tapi kenapa hatinya terasa sedih. Kenapa selama dirawat dirinya hanya sendirian, tidak ada yang datang menjenguknya, tidak ada yang datang melihatnya tidak ada yang menanyakan keadaannya—ya kecuali untuk beberapa perawat dan dokter yang memeriksanya, sementara sisanya, tidak ada. Tidak ada sama sekali. tidak keluarganya, tidak Mama dan Babanya juga, tidak dengan teman-temannya juga tidak dengan Sehunnienya. Padahal, dia mengalami luka yang cukup serius, dia hampir kehilangan nyawanya, tapi, tetap tidak ada yang peduli padanya.

Pintu terbuka, dan Luhan menoleh. Ia melihat Chanyeol masuk keruangannya.

"Kau akan pulang. Kau senang?" Tanya Chanyeol.

Luhan hanya diam, ia menatap sekelilingnya.

"Sehunnie mana?" Tanya Luhan pada Chanyeol. "Dia tidak datang?" Tanya Luhan lagi.

"Maafkan aku." Ucap Chanyeol pelan, sedikit banyaknya ia merasa kasihan juga pada gadis di depannya.

"Dr. Park." Chanyeol mengernyit pelan, ia melihat heran gadis di depannya. Tumben sekali orang di depannya ini mau memanggil namanya dengan benar.

"Aku menyedihkan, ya?" Tanya Luhan getir.

"Aku hampir meregang nyawa, tapi tidak ada yang peduli padaku. Tidak keluargaku, tidak juga dia." Luhan mendongak, mencoba menghalau air mata yang melesak keluar. "Aku bahkan agak sedikit sangsi jika mereka mau melihat mayatku jika aku mati nanti."

"Bahkan Sehunniepun tidak mau menemuiku, tidak mau bicara padaku." Luhan menunduk dan menutupi wajahnya. "Aku salah apa?" Ucapnya parau, tenggerokannya tercekat sementara matanya memanas.

Chanyeol menggaruk tengkuknya, ia tersenyum kaku tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia hanya mengusap-ngusap punggung Luhan kaku. "Sudah sudah, jangan menangis.. apa kau tidak sadar sedari awal kau dirawat sampai sekarang aku yang selalu memeriksamu, dan aku juga yang selalu mendengarkan ocehan anehmu?"

"Tapi kau bukan Sehunnie.." Cicit Luhan.

Chanyeol membuang nafasnya kesal. "Terserah kau."

"Terimakasih.." Bisik Luhan pelan.

"Hah, apa?"

Luhan menggeram. "Terimakasih!" Ucap Luhan sebal. "Dan, maafkan aku sudah merepotkanmu."

"Hahaha… tak apa. kapan lagi aku mendapatkan pasien aneh sepertimu."

"okeh.. okeh.. maafkan aku." Chanyeol berusaha menghentikan tawanya saat Luhan menatap tajam dirinya. "Jadi, kau pulang sekarang?"

"Ya."

"Kau pulang dengan siapa?"

Luhan menggeleng. "Aku tidak tahu."

Chanyeol terlihat berpikir-pikir. "Tunggu sebentar, aku akan coba bujuk Sehunniemu, siapa tahu dia bisa mengantarkanmu."

Luhan mengangguk-ngangguk senang. "Nde! Bujuk dia ne Dokter Park yang tampannn~~" Luhan mengedip-ngedipkan matanya genit. Sementara Chanyeol hanya memasang wajah datarnya, berlalu dari ruangan rawat Luhan sambil menggurutu, meninggalkan Luhan yang saat ini tertawa-tawa gila.

"Dasar Yeoja gila!"

.

.

.

.

Sehun tahu hari ini adalah hari di mana Luhan keluar dari kamar rawat inapnya, sedikit banyaknya ia merasa senang mengetahui bahwa gadis itu sudah kembali pulih. Tapi satu sisi hatinya merasa tidak rela bila ia harus melepas sosoknya lagi. Bukan perkara mudah bagi sehun untuk tetap diam memasang wajah tembok miliknya, bukan perkara mudah bagi Sehun untuk tetap bersikap dingin pada sosoknya. Pikirnya bagaimana perasaan Sehun saat tim medis membawa Luhan menuju Unit Gawat Draurat dengan keadaan mengenasakan, bagaimana persaan Sehun saat ia hampir kehilangan sosoknya. Sungguh! Dia benar-benar ingin menenggelamkan dirinya saat mendapati sosok itu meregang nyawa tepat di depan wajahnya.

Bertahun-tahun Sehun mencoba melepaskan bayangan sosok itu, bertahun-tahun Sehun mencoba melupakannya, dan di saat perlahan dia bisa menghapus bayangan sosoknya dan saat perlahan-lahan ia mulai menata kembali hidupnya menata kembali hatinya, bangkit dari keterpurukannya—sosok itu kembali. Sialan!

Sosok itu kembali, dalam waktu yang tidak diharapkan. Sosok itu kembali dalam keadaan yang tak pernah dibayangkannya. Dan dengan mudahnya dia—tersenyum bodoh padanya. Sehun membenci senyum itu, senyum yang membuat dia terjatuh berkali-kali, senyum yang membuat dirinya rela memberikan seluruh hatinya, senyum yang membuat lubang kekosongan besar dalam hidupnya. Oh, sepertinya Tuhan senang sekali mempermainkan takdirnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan kembali menjatuhkannya.

"Aku menyedihkan, ya?" Sehun hanya mendengus pelan mendengar suara yang terdengar sok dipaksakan dengan nada getir yang kentara. Ya, kau menyedihkan.

"Aku hampir meregang nyawa, tapi tidak ada yang peduli padaku. Tidak keluargaku, tidak juga dia." Ya, memang tidak ada yang peduli padamu. Kau hanya tidak tahu saja betapa terkesannya aku saat melihat kau hampir tewas dengan mengenaskan tepat di depan kepalaku, kau hanya tidak tahu saja betapa aku hampir gila saat aku hampir kehilanganmu. Kau memang menyebalkan, dan sayangnya aku tidak bisa membebncimu.

Sehun menyandarkan tubuhnya pada sisi tembok, memejamkan matanya mencoba menenangkan hatinya yang bergolak samar. Mendengar obrolan konyol Luhan dengan rekan kerjanya—Park Chanyeol. "Tapi kau bukan Sehunnie.." Sehun hanya tersenyum geli, Seperti dia peduli saja padaku, dengusnya dalam hati. Sehun kembali memejamkan matanya, mendegar gadis itu terisak pelan, merajuk dan tertawa-tawa gila. Oh, betapa ia rindu sosok itu, betapa ia ingin memeluknya, dan betapa ia ingin kembali melupakan suara yang nyaris membuatnya gila.

Sehun menegakkan tubuhnya, berjalan menjauhi pintu saat Chanyeol akan keluar dengan wajah memerah padam menahan kesal. Sehun hanya tertawa kecil membayangkannya.

"Hei, Oh sehun!" Chanyeol memanggilnya, tidak keras, namun cukup membuat beberapa orang yang berada di koridor melirikan matanya dan menaruh rasa penasaran. Dasar Park si mulut lebar, umpat Sehun dalam hati. Sehun hanya tersenyum tenang, memasang wajah tembok miliknya dan menatap Chanyeol dengan tatapan datar nan dingin serta mengintimidasi.

"Dr. Park. Ada yang bisa ku bantu?" Sehun memasang senyum manisnya, membuat Chanyeol sedikit bergidik ngeri.

"Ah tidak. Tapi ini tentang pasien kamar 104—"

"Aku sibuk. Tidakah kau bisa melihat itu." Potong Sehun.

"Dengar, hari ini dia keluar dari rawat inapnya dan—"

"Dan apa hubungannya denganku?" potongnya lagi. "Dia pulih,dan kita sudah tidak memiliki wewenang apapun untuk mencampuri urusan pribadinya."

"Bisakah kau membiarkan aku menyelesaikan kalimatku?!" tanya Chanyeol jengkel. "Aku hanya ingin bilang ia kebingungan untuk pulang, tidak ada satupun kerabat atau apapun itu yang dikenalnya kecuali kau! Kau juga Dr. Oh, bukankah kau yang menyelesaikan administrasinya juga kau yang mengambil alih sebagai walinya, dan, itu artinya kau harus bertanggung jawab padanya. Setidaknya, antarkan dia pulang, pastikan dia sampai dengan selamat. Kau tidak kasihan padanya?"

"Jika kau merasa kasihan, kenapa tidak kau saja yang mengantarnya?" tanya Sehun sinis.

"Aku, akan." Jawab Chanyeol. "Tapi aku tidak bisa."

"Kenapa?" Tanya Sehun mengejek.

"Hei, jadwalku padat! Dan bukankah hari ini adalah hari liburmu? Sok sibuk sekali." Cibir Chanyeol. "Dengar ya, kau memiliki waktu senggang—jangan berpura-pura sibuk, dia mengenalmu dan kau mengenal—"

"Aku tidak!" Tegas Sehun.

Chanyeol hanya memutar bola matanya sebal. "Terserah kau—tapi yang pasti, diantara jajaran pegawai, staff, ketua dan lain-lain, yang bekerja di sini, kau lah yang paling memiliki potensi untuk mengantarkan dia dengan selamat. Jadi mau tidak mau, suka ataupun tidak, kau harus mengantarnya pulang! Aku tidak mau tahu, iya, atau aku akan laporkan ini pada ketua, tentu, dengan bumbu-bumbu manis untuk membuatnya terlihat epik dramatik."

"Sialan." Desis Sehun kesal.

"itu adalah nama tengah ku Oh Sehun." Chanyeol tersenyum senang, dan segara mengambil langkah seribu sebelum ia habis dikuliti oleh Dokter tampan berkulit pucat bermuka tembok dan berhati dingin dan sebelum sosok itu mengeluarkan tanduknya juga membuat hari esoknya terdengar suram.

.

.

.

.

"Jadi, Sehunnie, akan mengantarku pulang?!" Luhan bertanya dengan mata berbinar-binar senang.

"Hn." Sahut Sehun tidak terlalu jelas. "Sehunnie?! Kau memang Sehunnie kesayangan ku! Kyaaa… aku tidak menyangka Sehunnie akan setampan ini bila sudah dewasa! Kau tampannn~~ juga tampannn.. Kyaaa!" Luhan berteriak-teriak heboh.

"Bisakah kau diam?!" Sehun menatap tajam pada Luhan. "Hariku sudah sulit, bisakah kau tidak memperburuknya?"

Luhan mengangguk kecil, dan menundukkan kepalanya.

"Mana?" Tanya Sehun dingin.

"Hah, apanya?"

Sehun hanya memutar bola matanya malas. "Tas mu. Mana tas mu?"

"Aku tidak ada." Luhan menggeleng. "Aku tidak punya apapun." Jawabnya kecil sambil menunduk.

Sehun hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Dan pergi melangkah, berhenti lalu berbalik mengangkat suara. "Kau akan pergi, atau hanya akan diam seperti itu?"

Luhan terkesiap, ia mendongak dan tergagap kecil, sebelum akhirnya bangkit berdiri dan menghampiri Sehun, sambil memegang ujung kemeja Sehun takut-takut.

Sehun hanya melirik kecil lewat bahunya, ia melihat Luhan yang berdiri di belakangnya dengan wajah yang menunduk takut, mendengus kecil, dan mulai melangkah dengan Luhan yang mengekorinya.

.

.

.

.

"Turun." Sehun menghentikan mobilnya, dan menatap Luhan datar.

"Tapi Sehunnie, apa kau tidak mau mengantarku sampai ke depan gerbang?"

"Tidak." Jawabnya singkat.

"Tapi Sehunniee… ini kan masih jauh! Ayolah antarkan aku! Antarkan aku nde.. nde ndeee~~"

"Berhenti merengek. Kau tinggal turun dan berjalan masuk, apakah itu sulit?"

"Tapi aku tidak berani. Itu gelap sekali." Luhan menatap Sehun dengan mata memelas. "Ayolah Sehunniee.. antarkan akuuu! Sehunnie apa tidak kasihan padaku?"

Sehun melirik sebentar, menghembuskan nafasnya kasar dan kembali terdiam. "Tidak." Jawabnya datar.

"Sehunnie… ayolahhh.. antarkan aku sampai dalam nde? Apa kau tidak kasihan padaku, apa kau tidak khawatir padaku?"

"Hanya turun dan pergi melangkah. Semua akan selesai."

"Sehunnie…" rengek Luhan. tapi Sehun masih keukeuh dengan wajah datarnya membuat luhan akhirnya menyerah. "Baiklah…" Ucap luhan sedih. "Aku akan turun, tapi apa benar sehunnie tidak mau mengantarku ke dalam sana?"

"Tidak."

Mendengar jawaban itu Luhan hanya menghela nafas dan dengan berat hati turun dari mobil Sehun. "Sehunnie, terimakasih sudah mau mengantarku. Aku pergi dulu, sampai jumpa lagi~~" Luhan melambaikan tangannya dan tersenyum manis pada Oh Sehun.

"Hn." Jawab Sehun masih dengan tatapan datarnya, sementara Luhan yang melihat itu hanya menghela nafas pendek, lalu kembali melemparkan senyum manisnya pada Oh sehun dan berbalik melangkah.

Luhan berjalan menyusuri jalanan yang tampak lenggang, untuk sampai kerumahnya setidaknya ia harus berjalan kira-kira limabelas sampai duapuluh menit. Luhan memperhatikan sekitarnya, terlalu banyak hal yang berubah pikirnya, sebelumnya Luhan ingat tempat ini sangatlah ramai banyak orang yang berlalu lalang untuk berjalan-jalan ataupun sekedar untuk duduk berdiam di area taman, tapi sekarang, sepi. Begitu sepi.

Dokter Park bilang, seharusnya ia berumur duapuluh empat tahun, dan itu artinya memori delapan tahun miliknya telah hilang.

Luhan mengawang pelan, delapan tahun? Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat, pasti begitu banyak hal yang terjadi selama delapan tahun belakang ini. Tapi demi tuhan, ia bahkan tidak merasakan apapun, baginya kemarin ia hanya pulang sekolah, berjalan-jalan menyusuri taman kota dan pergi menonton bersama teman-temannya, dan sekarang apa? Dia kehilangan ingatan katanya? Apakah itu sejenis lelucon, ataukah itu sejenis shock therapy untuk mengikis akalnya? Hah, sepertinya iya!

Dan mengapa Oh Sehun begitu dingin padanya, bahkan masih segar dalam ingatan Luhan saat Sehun memeluknya, bahkan menciumnya! Memeluk hangat dirinya, mengecup pelan bibirnya dan berbisik menggetarkan hatinya sambil berkata, aku akan tetap di sisimu, apapun yang terjadi, kau hidupku, dan aku takan mampu bila harus kehilangan diriku, kau adalah segalanya, sungguh aku mencintaimu, sangat.

Lalu kini apa? Apa yang terjadi?

Luhan mengehembuskan nafasnya pelan, ia sungguh dibuat pusing dengan hal ini, ini memusingkan ini membingungkan, jadi persetan dengan delapan tahunnya, baginya Oh Sehun adalah Oh Sehunnya, kekasihnya, orang yang begitu menyayanginya. Dia dan sehun memang terpaut jarak dua tahun—dengan dia yang lebih muda dari Sehun, mereka saling mengenal sedari kecil, saling melindungi dan saling menyayangi. Dan mereka saling berjanji untuk tetap ada, untuk tetap bersama.

Tapi kini kenapa? Kenapa Oh Sehun berubah padanya?

"Menyebalkan!" Erang Luhan kesal. Ia kembali melangkah, matanya menatap keadaan sekitar dengan heran, kenapa begitu gelap sekali, pikirnya saat melihat pagar rumahnya yang menjulang tinggi. Ia tetap berjalan sampai akhirnya tiba di depan pintu gerbang rumahnya Luhan sontak membatu, terdiam lalu menutup mulutnya tidak percaya atas apa yang dilihatnya, air mata tanpa bisa dicegah turun melesak melewati pipinya.

Ada apa?

Ada apa?

Mengapa seperti ini?

Tidak!

Apa yang terjadi?

Rumah yang diingatnya begitu hangat besar dan menyenangkan kenapa menjadi seperti ini? Di balik pagar, dan diantara gelapnya malam bisa Luhan lihat betapa menyedihkannya rumah miliknya, pekarangan yang dulu Luhan ingat begitu bersih dengan taman dan air mancur, kini dipenuhi rumput-rumput liar setinggi ilalang yang hampir memenuhi pekarangannya. Bangunan yang Luhan ingat begitu kokoh megah dan besar, kini hanya bersisa puing-puing yang menyedihkan.

Luhan menatap pagar yang dikunci dengan rantai dan gembok, ia mencoba mengintip, melongokkan kepalanya untuk melihat lebih jelas. Luhan kembali menangis, ia terduduk lemas di depan pagar dan kembali terisak kencang. Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa seperti ini?! Kembali menangis keras, Luhan memeluk lututnya dan menyembunyikan wajahnya.

Apa yang sebenarnya terjadi, di mana Mama dan Babanya, bagaimana kabar mereka, apakah mereka baik-baik saja. Atau, apakah mereka sudah tidak ada? Luhan kembali terisak kencang, ia mengingat bagaimana sosok ibu yang selalu memeluknya hangat yang selalu tersenyum padanya dan selalu mengomelinya, ia juga teringat sosok Babanya yang tersenyum lembut padanya, dan apakah ia harus kehilangan mereka? Tidak! Luhan menggeleng kencang, tidak! Tidak akan!

Dan kini, Luhan hanya sendirian, di depan rumahnya yang kosong dan hanya bersisa puing-puing, sendirian di tengah malam yang dingin tanpa mengenal siapapun tanpa tahu apapun, kebingungan dan hanya sendirian.

Lalu, kemanakah ia harus pulang?

.

.

.

.

TBC

.

.

.

Halo lagiii...

Saya balik lagi hehehe

So gimana? Lanjutkah? Ato hapus?

Kalo saya sih lanjut, wong udah terlanjur nulis kekekeke.

Oke! Sampe ketemu di chapter depan.

Bubaiiiii~~~