SHOULD BE

`~.~.~.~.`

Main Cast :

Cho Kyuhyun (23th)

Lee Sungmin (22th)

Lee Donghae (25th)

Im Yoona (21th)

Support Cast :

Seiring berjalannya cerita

Other Cast :

Seiring berjalannya cerita

Disclaimer : Semua cast yang ada di dalam cerita milik Tuhan YME, Keluarga mereka dan diri mereka sendiri. Fanfic ini murni milik author. Tercetus dari khayalan aneh author sendiri. Jika ada kesamaan cerita maupun unsur apapun itu. Mohon dimaklumi. Terima kasih.

Genre : Romance, Hurt-comfort.

Theme : Family, M-Preg, Obsessive, Criminal, etc.

Rate : M

Summary : Sifat manusia memang susah di tebak, begitu dengan hati mereka. Terlalu cepat untuk beralih. Ketakutan yang membumbung tinggi membutakan sikap rasionalnya, hingga kalimat cinta yang seharusnya dipergunakan untuk melindungi, mengasihi dan membahagiakannya. Berubah menjadi kalimat bumerang untuk menyakitinya.

Warning : Banyak adegan kekerasan(maybe), BL, M-Preg, Alur Gaje, Cerita jelek tidak berstruktur, Judul gak nyambung, Tidak sesuai EYD, Membosankan, Typo(s), Update lemot, dll.

DONT LIKE! DONT BASH! DONT FLAME! DONT READ!

Happy Reading

SHOULD BE

`~.~.~.~.`

Chapter 1

"Huft, selesai." Seorang pria manis terlampau cantik tersenyum puas menatap hasil masakan paginya yang telah tertata rapi di meja makan.

Ia menepuk tangan dua kali, beranjak ke dapur hendak meletakkan apron pink yang sejak tadi menemaninya berkencan dengan berbagai bumbu dapur ke meja pantry.

Dalam diamnya, sosok wanita paruh baya berbalutkan pakaian pelayan khas dari Mansion mewah keluarga Lee mendekati Tuannya.

"Nyonya Lee, kenapa kembali menghidangkan semua masakan ini seorang diri. Saya merasa segan?" tanya sekaligus umpatan kegundahan hatinya akan sikap Tuannya.

Pria cantik yang terpanggil mengulas senyum hangat mendengar untaian tersebut. Ia kemudian berbalik, mengulurkan tangan mengusap bahu kanan sang pelayan.

"Kau seperti tidak mengenal diriku, Kang ahjuma. Aku memang sudah terbiasa seperti ini, bukan." Pria cantik itu tersenyum, salah satu tangannya meraih cangkir kopi dan meletakkannya ke meja makan.

"Memasak adalah hobiku. Aku merasa tidak direpotkan," lanjutnya.

Kang ahjuma yang berposisikan sebagai kepala maid di Mansion Lee tersenyum segan. Kepalanya mengangguk satu kali.

"Maafkan saya, Nyonya Lee. Saya mengkhawatirkan kondisi anda. Saya takut anda kelelahan karena sudah menyiapkan semua hidangan ini seorang diri."

Tawa renyah terlontar dari celah bibir plumnya. Tangan menumpu di meja, menyangga tubuh. Kepalanya menggeleng mendapati tingkah kepala maidnya.

"Aigo, Kang ahjuma. Bukankah aku sudah bilang, memasak adalah hobiku. Jadi, aku sama sekali tidak merasakan apapun dalam menjalankannya. Sudahlah, jangan terlalu mengkhawatirkan hal ini. Lagipula, suami dan putriku begitu menyukai masakanku. Mereka tidak akan mau makan jika bukan dari masakanku."

Bibir plum itu terpout lucu diakhir kalimat, ia sedikit mengutarakan keresahan hatinya. Kang ahjuma tersenyum, menatap keimutan istri dari Tuannya tersebut. Sepasang manik foxy membulat lucu, serentak menatap Kang ahjuma.

"Oh, jangan lagi memanggilku dengan sebutan nyonya, Kang ahjuma. Aish! Aku ini seorang pria. Ommona,"

Pria cantik itu menekan kening, kepalanya kembali menggeleng tak terima dengan sebutan yang acap kali terlontar. Sedang ia juga acap kali mengingatkan, tapi entah mengapa semua orang maupun pekerjanya senang sekali menyebutnya dengan panggilan, Nyonya.

Meski ia yang berstatus istri dan yang menjadi seorang ibu disini, tak patutlah mereka juga memanggilnya dengan sebutan Nyonya. Sungguh, sejujurnya ia begitu risih.

"Maaf, Tuan Sungmin. Namun, kerap kali Tuan Donghae mengintruksikan kepada kami untuk memanggil anda dengan sebutan Nyonya. Kami hanya menjalankan perintah."

Sungmin mengerjap dua kali, desisan jengah mengalun samar. Decakan pelan mengiringi kalimatnya.

"Ck. Dasar pria itu_." Omelan Sungmin mendadak sunyi ketika sepasang iris indahnya menatap jam dinding.

"Ommo! Aku harus segera membangunkan mereka, Kang ahjuma. Aku tinggal ne," ujar Sungmin sembari meniti anak tangga dengan tergesa.

Kang ahjuma hanya tersenyum, membungkuk hormat kemudian berlalu darisana.

.

.

Sungmin perlahan membuka pintu bercat putih tulang di depan tubuh. Menghela nafas sejenak saat mendapati sang putri masih bergelut nyaman di dalam balutan selimut pinknya.

Ia melangkah, memasuki kamar hangat bernuansa pink dan putih serta aroma stroberry yang semerbak di seluruh penjuru ruang kamar. Sungmin meletakkan pantatnya disisi ranjang bocah cilik berusia 5 tahun itu.

Tangannya terulur, mengusap lembut puncak kepala anaknya yang menyembul dari balik balutan selimut merah jambu.

"Minhyunnie, bangun nak. Sudah jam 6," tutur Sungmin lembut. Dengungan samar terdengar dari balik selimut.

Sungmin tersenyum, ia merunduk berbisik pelan di telinga sang putri. "Sayang, tidak baik telat di hari pertama masuk sekolah," peringat Sungmin yang sontak mendapat respon dari sang putri.

Sosok kecil di balik selimut, bergegas melempar selimutnya ke bawah, menampakkan raut cantik nan imutnya yang tengah merengut kesal.

"Mommy~Minhyun masih mengantuk," rengeknya manja sambil mengucak mata. Bibirnya terpout lucu dengan sepasang pipi mengembung bulat.

Sungmin terkekeh lalu meraih tubuh mungil Minhyun dan membawa tubuh tersebut kepangkuannya. "Apa ini? jelek sekali," canda Sungmin dengan jemari mencubit bibir yang masih terpout.

Minhyun beralih, menyandarkan kepalanya ke dada Sungmin. Sepasang kelopak matanya kembali tertutup. "Minhyun tidak sekolah dulu ne, Mom,"

Minhyun mendongak, menatap ibunya dengan pandangan berbinar meminta belas kasih layaknya seekor kucing yang tengah meminta makan pada majikannya. Sungmin mengerutkan kening, jemari lentiknya terangkat mencubit hidung mungil putrinya.

"Ya, kenapa putri Mommy menjadi seorang pemalas, eoh?!" omel Sungmin tak terima.

Minhyun merenggut, iris foxynya berbayang. "Mommy~~"

"Ani. Kau harus sekolah. Kajja, lekas mandi." Titah Sungmin mutlak membungkam rengekan Minhyun.

Dengan sigap Sungmin membawa tubuh Minhyun ke dalam kamar mandi menghiraukan rengutan imut sang anak. Ia meletakkan Minhyun disisi bathtub, beralih mencari peralatan mandi Minhyun yang terletak disamping wastafel.

"Sikat gigi sendiri, ne. Mommy harus membangunkan Daddy dulu, Arraseo." Tutur Sungmin usai memberikan sikat gigi yang sudah terbalutkan pasta gigi ke tangan Minhyun.

"Nanti Mommy kemari lagi, kan?" tanya Minhyun yang sepertinya tidak merelakan ibunya beranjak darisana.

Sungmin tersenyum, membungkukkan tubuh lantas mengecup kening Minhyun. "Mommy janji segera kembali. Hanya sebentar, eotte." Minhyun mengangguk, kelopak matanya mengerjap polos.

"Nee!" serunya senang, sebab ia telah mendapatkan jatahnya. Sebuah kecupan manis sang ibu di pagi hari yang akan menjadi penyemangat harinya.

Sungmin tertawa sambil mengacak puncak kepala Minhyun sebelum berlalu lenggang dari kamar mandi.

.

.

"Eoh, kau sudah rapi." Sungmin membulatkan mata, sedikit terkejut begitu mendapati sang suami tengah berusaha menyimpul dasinya di depan cermin rias.

Pria tampan berbalutkan kemeja biru muda menoleh, tersenyum hangat ketika mendapati sang istri diambang pintu.

"Kemari, sayang. Aku membutuhkan bantuanmu," pinta Donghae dengan nada nyaris frustasi. Sungmin menutup pintu kamar lalu melangkah menghampiri Donghae.

Ia berhenti tepat di hadapan Donghae, keningnya berkerut dengan sepasang foxy menatap iritasi pada simpulan tak layak di leher Donghae. Helaan nafas terlontar bersamaan dengan gelengan kepala maklum.

"Ya Tuhan. Sama sekali tidak bisa melakukannya sendiri, eoh," gusar Sungmin sambil menyimpul dasi Donghae.

Donghae terkekeh, jemari tegasnya meraih pipi Sungmin dan mencubitnya pelan. "Kau tahu itu dengan jelas, sayang. Aku tidak bisa melakukan apapun tanpa dirimu. Jadi, jangan pernah berniat sedetikpun dalam hidupmu tuk meninggalkanku." Tegas Donghae mutlak.

Sungmin menepuk kemeja Donghae sekilas, senyumnya terulas lembut. "Kau bisa mengunciku di kamar seumur hidup bila aku berniat pergi," kekeh Sungmin tak percaya dengan kalimatnya.

Donghae tersenyum samar, lengannya bergerak mengerat pinggul ramping sang istri. Mengeratnya kuat serta menekan tubuh Sungmin ke tubuhnya. Kening mereka bersatu, sahutan nafas terhisap bersama.

"Jangan mencoba membangunkan fantasy liarku, sayang. Memang aku akan selalu menguncimu dikamar, terlebih saat malam hari." Donghae meniup pelan bibir Sungmin.

Sungmin tertawa, sepasang tangan menekan dada Donghae. Mendorongnya menjauh. "Arraseo. Aku harus kembali ke kamar Minhyun."

Donghae meraih pergelangan tangan Sungmin, kembali menarik tubuh Sungmin mendekat. Sungmin berdecak pelan. "Hae-ah~~," rengek Sungmin berupaya melepaskan cengkraman Donghae.

Donghae tersenyum, ia merunduk menyamakan wajah mereka. "Morning kiss," bisiknya. Sungmin menghela nafas, iris foxynya berbinar pasrah mendapati kebiasaan wajib yang sudah tertulis paten sejak 2 tahun pernikahan mereka.

Cup.

"Sudah." Sungmin menjauhkan wajah, meninggalkan kerutan samar di kening Donghae. "Sayang, seperti itu sebuah ciuman?" protes Donghae tak puas.

Sungmin membulatkan iris foxynya. Sepasang alis tebalnya menyatu membuat rautnya nampak begitu menggemaskan. "Jika aku melakukannya lebih dari satu detik. Minhyun akan kembung di kamar mandi. Ish," ketus Sungmin sambil mendelik tajam.

Donghae terkekeh keras, sementara Sungmin bergegas pergi darisana menulikan pendengarannya dari panggilan sang suami beserta kekehan menyebalkannya.

Donghae menggelengkan kepala. "Aigoya. Aku semakin mencintaimu, Sungmin," lirihnya tulus. Iris kelamnya berbinar sendu, menyembunyikan asa semu tak terbaca.

.

.

Sungmin tersenyum puas menatap hasil kuncirannya di rambut Minhyun. Ia memiringkan kepala menatap wajah Minhyun dari samping. Ternyata putrinya masih menyimpan dendam kepadanya karena terlalu lama meninggalkan Minhyun di kamar mandi.

Sungmin memutar kursi Minhyun membawa wajah imut Minhyun menghadap sosoknya yang tengah berjongkok di bawah. Tangannya terulur membingkai wajah Minhyun.

"Sayang, bukankah Mommy sudah meminta maaf, heum," gumam Sungmin memelas. Minhyun mendengus, bibirnya mengerucut dengan sepasang lengan menyilang di dada.

Iris bulatnya menatap Sungmin sebal. "Mommy meninggalkan Minhyun lama sekali tadi." Kesal Minhyun mengutarakan gemuruh hatinya.

Sungmin menumpu lutut di lantai. Jemari lentiknya mengusap poni tebal Minhyun yang menutupi kening. Sekilas membenahi kuncir kuda putrinya sebelum mengecup lembut pipi kanan Minhyun.

"Arraseo. Sebagai permintaan maaf mommy. Bagaimana kalau sepulang sekolah kita makan ice cream?" rayu Sungmin riang.

Iris mengemaskan Minhyun kontan membulat senang ketika mendengar sebait kalimat tentang makanan favoritnya. "Jinja mommy!"

"Heum. Tentu saja." Anggukan kepala dari Sungmin membuat Minhyun turun dari kursinya. Secepat kilat meraih leher Sungmin sambil berteriak senang.

"Kyaaaa! Mommy jjang! Minhyun sayang mommy!" Sungmin melekukkan senyum lembut. Tangan kanan mengusap sayang punggung Minhyun. "Ne, mommy juga sangat menyayangi Minhyun."

"Sekarang kita pergi sarapan, ne. Daddy pasti sudah menunggu kita di meja makan," lanjut Sungmin yang langsung di respon anggukan semangat dari Minhyun.

Minhyun meraih tangan Sungmin, menarik tangan Sungmin terlampau semangat dalam iringan langkahnya meniti anak tangga menuju meja makan.

.

.

"Kau ikut ke sekolah, sayang?" tanya Donghae setelah menyeka bibir dengan lap bibir disamping piringnya.

Sungmin mengalihkan pandang sekilas, kemudian kembali berkutat dengan gelas susu Minhyun membantu gadis cilik itu meminum susunya.

"Ne. Ini hari pertama Minhyum masuk Star Kindergarten. Tentu saja, aku harus turut mengantarnya dan menunggu kepulangannya," jelas Sungmin sambil menyeka bibir Minhyun.

Donghae tersenyum. Tangan kanan terulur meraih jas biru gelapnya kemudian ia kenakan. "Arraseo. Ayo, pergi bersama." Pinta Donghae yang seketika menuai kerutan bingung di kening Sungmin.

"Tidak perlu, Hae-ah. Nanti kau terlambat. Bukankah tadi malam kau berkata kepadaku bila hari ini ada meeting. Terlebih, jalan kantormu dan sekolah Minhyun berlawanan," tolak Sungmin halus.

Donghae menggelengkan kepala. Ia berderap mendekat, mengusap puncak kepala Minhyun lalu mengangkat gadis kecil itu ke dalam gendongannya menuai kikikan senang Minhyun.

"Kita berangkat bersama, sayang. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum meeting dimulai."

"Tap_," protesan Sungmin reflek sunyi begitu kecupan cepat dari Donghae melayang ke bibirnya. "Aku tidak menerima penolakan. Ayo, pergi." Titah Donghae acuh menyembunyikan seringaiannya saat seulas rona samar di pipi Sungmin terbayang di mata.

Sungmin menggaruk pipi kanannya dengan gerakan kikuk. Roman wajahnya memerah malu mendengar kikikan lucu putrinya, meledek sikap malu-malunya. "Aish! Dasar. Pria itu brengsek sekali," kekeh Sungmin setengah kesal usai meraih tas Donghae yang sengaja ditinggalkan sang empu di meja makan.

.

.

"Daddy berangkat kerja, ne. Belajar yang rajin dan ingat jangan nakal. Daddy mencintaimu Lee Minhyun."

Donghae berjongkok menyamakan tinggi tubuhnya dengan tinggi Minhyun. Kecupan hangat ia layangkan di kening Minhyun bersama sebaris kalimat lembut penuh pesan tulus.

Lengan Minhyun terulur meraih leher Donghae, mendekatkan wajah mengecup pipi Donghae. "Arraseo Daddy. Minhyun juga mencintai Daddy!" seru Minhyun riang.

Donghae tersenyum, mengusap sekali lagi puncak kepala Minhyun sebelum bangkit beralih menatap Sungmin. Iris kelamnya menatap lembut iris foxy indah itu.

"Aku berangkat." Donghae mendekat mengecup lama kening Sungmin. "Ne, hati-hati." Seulas senyum lembut menambah semangat pagi Donghae. Ia mendesis gemas ingin sekali meraup bibir manis istrinya, namun ia sadar akan keberadaan mereka saat ini.

"Nanti aku jemput," tawar Donghae mengulur waktu. Entah mengapa ia ingin lebih berlama-lama dengan istri cantiknya meski jam terus berputar mendorong dirinya untuk lekas pergi darisana.

Sungmin menggeleng. "Aniya. Tidak perlu menjemput kami. Nanti sepulang sekolah aku dan Minhyun berniat mampir ke kedai ice cream terlebih dulu. Kami bisa menggunakan taksi. Tidak perlu cemas." Jelas Sungmin menenangkan.

"Baiklah. Jika terjadi sesuatu cepat hubungi aku." Pesan Donghae mutlak kemudian berlalu memasuki mobil mewahnya. Kaca mobil turun perlahan menampakkan wajah tampannya.

Senyum lebar serta lambaian tangan Donghae berikan begitu mobil bergerak pelan meninggalkan halaman sekolah. Sungmin dan Minhyun melakukan hal serupa.

Sungmin mengalihkan pandang, merunduk menatap Minhyun. "Cha, waktunya masuk kelas!" seru Sungmin sambil menarik Minhyun berderap memasuki gedung sekolah.

Senda gurau serta perbincangan ringan mengiringi langkah mereka hingga Minhyun melepaskan genggaman tangan Sungmin dan melangkah masuk ke dalam kelas dengan lambaian tangan dan senyum lebar di wajah cantiknya.

Binar foxynya meredup seiring lenyapnya tubuh Minhyun di balik pintu kelas. Berkaca hendak menyeruak keluar. Sungmin menengadah menahan linang air matanya.

"Mommy akan selalu berusaha membahagiakanmu, Minhyunnie. Meskipun seumur hidupmu tidak pernah mengetahui siapa ayah kandungmu." Jemari Sungmin bergerak menekan sudut matanya.

Sesak dalam hatinya membumbung tinggi menyelimuti kehangatan yang terjadi beberapa menit lalu. "Lebih baik melupakannya sayang. Lagipula, Donghae sudah lebih dari cukup untuk menjadi ayahmu. Dia tulus mencintaimu."

Sungmin merunduk, menggigit kuat bibir bawahnya. Tak mungkin ia terisak disini. Sungmin lebih dari sekadar sadar akan keberadaannya saat ini. "Dia sangat tulus mencintai kita, Minhyunnie. Meskipun dia tahu hingga saat ini hatiku belum sepenuhnya menjadi miliknya. Tapi, dia menerimanya. Dia tetap menunggu."

Sungmin berbalik melangkah pelan menghampiri kursi tunggu yang berjajar rapi di sepanjang halaman depan Star Kindergarten. Hembusan angin membelai lembut balutan kemeja soft pinknya.

Sungmin menyamankan pantatnya di salah satu kursi kosong yang sepi. Tangan kanan terangkat, sementara jemari tangan kiri meraba jemari manis kanannya. Mengusap lembut cincin emas putih bertahtahkan batu saphire.

"Terima kasih, Hae-ah. Terima kasih. Maafkan aku. Maaf, jika sampai hari ini aku belum bisa menyerahkan seluruh hatiku kepadamu. Maaf," lirih Sungmin beriringan dengan gemuruh angin yang berhembus semakin keras.

Menerbangkan setiap bulir air mata yang terjatuh melinangi pipi halusnya.

*Should Be*

"Terima kasih atas kesediaan anda menghadiri rapat kali ini, Presdir Lee. Semoga kerjasama ini berjalan dengan lancar."

Donghae bangkit dari kursinya. Ia tersenyum ramah kemudian meraih uluran tangan pria paruh baya didepannya. Partner kerja barunya dari perusahaan King corp.

"Nde, Direktur Hwang. Semoga kerjasama kali ini membuahkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya," timpal Donghae sopan.

Ia merundukkan kepala sekilas merespon sapaan hormat dari Direktur Hwang yang hendak melangkah pergi dari ruang rapat. Helaan nafas panjang terlempar dari bibir Donghae. Donghae meluruskan tangan ke atas, tubuhnya serasa remuk dan bibirnya pegal.

Sejak dua jam yang lalu ia terus mengoceh didepan para partner kerjanya dengan seulas senyum ramah. Jemari panjangnya mengusap dagu, memijatnya pelan.

Pintu ruang meeting terbuka menampilkan seorang wanita cantik yang menjabat sebagai sekretarisnya. Wanita bername tag Soo hyujin itu melangkah konstan menghampiri atasannya di kursi kebesarannya.

"Apalagi sekarang?" tanya Donghae malas. Sepasang matanya terpejam, sedang tubuhnya menyandar penuh pada sandaran kursi.

Hyujin berdehem sejenak, ia meletakkan tiga map berbeda warna ke atas meja. "Dua pertemuan lagi, Presdir. Pertama, pertemuan dengan investor asing dari Rusia di Hotel Santinous Class jam 2 siang nanti. Dan yang kedua, pertemuan dengan investor China, Tuan Koung Lie jam 6 sore di Restaurant seafood Gangnam."

Hyujin menutup notanya setelah mencoret berberapa bait kalimat yang telah terlempar dari bibirnya. Donghae membuka mata, menatap dingin Hyujin yang berdiri tepat disamping kursinya.

"Baik. Pergilah." Tukasnya datar yang direspon dengan tubuh merunduk hormat lantas pergi meninggalkan ruang rapat.

Donghae beranjak dari kursinya sembari meraih tiga map berbeda warna yang tergeletak manis di meja. Iris kelamnya berputar malas, tugasnya semakin bertambah.

"Hahh." Hela panjang mengiringi tangan yang menelusup ke salah satu saku celana bahan miliknya. Jemarinya bergerak lincah di layar touchscreen selebar 4 inchi itu.

Dengung panjang khas nada sambung menyapa telinga. Donghae meraih kenop pintu tepat suara seseorang menyapa indera pendengaran. Seulas senyum hangat sontak terukir di wajah tampannya.

"Nado, sayang." Balas Donghae lembut.

"Ne, Hae-ah. Mengapa menghubungiku?"

Donghae menyandarkan punggung di dinding koridor kantornya. Kepalanya mengangguk sekilas menerima sapaan hormat dari karyawannya yang tidak sengaja melintas di tempatnya berdiri.

"Kenapa, heum? Tidak bolehkah aku menghubungi istriku sendiri?"

"Aish. Tidak seperti itu. Aku pikir perbincangan ini akan mengganggu kesibukanmu. Kau sedang meeting, bukan?"

"Aku sudah menyelesaikannya, sayang. Sejak 15 menit yang lalu."

Dengungan samar terdengar dari sebrang. Donghae tahu, Sungmin kehabisan kata-kata. Ia kemudian berinisiatif melayangkan sebuah pertanyaan.

"Benar, tidak ingin ku jemput?" tawar Donghae memastikan.

"Ne, tidak perlu. Aku sudah menjelaskannya tadi,"

Kepala Donghae bergerak mengangguk samar. "Kau masih di sekolah?"

"Ne,"

Iris kelam Donghae meredup. "Aku merindukanmu," ujarnya ambigu. Kekehan ringan terdengar dari sebrang telepon.

"Jangan menggombal. Masih terhitung 4 jam sejak perpisahan kita tadi pagi,"

"Aku serius. Aku merindukanmu. Hahh...hari ini sangat melelahkan, jika kau tahu. Aku membutuhkan senyumanmu," adu Donghae dengan iris kelam yang semakin mengabur.

Bibirnya sedikit bergetar menahan buncahan hangat serta sesak yang entah mengapa mengobrak-abrik pertahanannya.

"Aku tahu, kau banyak menyimpan fotoku di ponselmu. Mengapa bisa se-rapuh ini, heum? Sesuatu telah terjadi," Nada suara Sungmin melembut. Terbesit perasaan cemas disana yang menuai gemuruh hati Donghae semakin bertambah.

"Entahlah, mungkin karena aku terlalu takut kehilanganmu. Aku sangat mencintaimu, Sungmin."

Hening. Perkataan Donghae membungkam bibir Sungmin. Pria cantik itu termangu di tempatnya. Iris foxynya meredup, berbinar penuh rasa sesal.

"Hae-ah..."

"Aku mencintaimu." Donghae menggigit ujung bibirnya, menahan nafas mendengar dengung samar di sebrang telepon. Sungmin terdiam, tak membalas.

"Sungmin, aku mencintaimu," ujarnya sekali lagi. Berbagai bait kalimat penuh harap terlantun samar di dalam hati.

"Ne. Aku tahu, terima kasih," bisik Sungmin pelan. Seraut nada penuh rasa bersalah mengulas senyum pedih di wajah Donghae.

"Gwaenchanha," lirih Donghae menenangkan.

"Arraseo, aku tutup ne. Sebentar lagi kelas Minhyun selesai. Kau juga harus kembali bekerja. Jaga kesehatan, jangan lupa makan siang," tutur Sungmin penuh perhatian, berupaya mencairkan romansa pedih beberapa menit lalu.

"Ne, kau juga sayang." Tangan Donghae melunglai, turun dengan hentak kasar disamping tubuhnya. Matanya sedikit berkaca, ia bergegegas memejamkan mata sejenak. Menahan buncahan pedih yang membayangi matanya.

"Sudah 5 tahun lamanya, Lee Sungmin. Berapa lama lagi aku harus menunggu hatimu, heum?"

Donghae menengadahkan kepala, menatap langit-langit kantornya. Suara derap langkah tegas menyentak kegelapan Donghae. Ia bergegas menegakkan tubuh, membenahi jas biru gelapnya serta raut kacaunya.

"Ternyata kau disini."

Lontaran baritone datar dari seorang pria tampan berbalutkan jas berwarna abu serta celana bahan sewarna jas yang dia kenakan membulatkan iris kelam Donghae.

Donghae mengerjap dua kali sedetik sebelum suara kekehan ringan terlempar dari bibirnya.

"Ya Tuhan, Kyuhyun. Kau.." Donghae berderap menghampiri Kyuhyun. Tangan kanan terlempar menepuk bahu Kyuhyun berulang kali.

"Oh Man. Kapan kau datang?" tanya Donghae terlewat senang.

Bagaimana tidak senang bila sahabat sepermainannya tiba-tiba datang berkunjung setelah 5 tahun menghilang tanpa kabar, tanpa bertukar informasi ke negara sebrang. Negara Paman Sam, Amerika. Kyuhyun menghela nafas jengah, tangan kiri terangkat menyentak tepukan Donghae yang tak kunjung berhenti.

"Ck. Aku pikir kau sudah berkeluarga. Mengapa masih bertingkah kekanakan?" Kyuhyun berkata sarkas tanpa tandang aling menghentikan tindakan Donghae.

Iris kelam Donghae berputar malas. Ia mundur selangkah, tangan kanan menelusup ke dalam saku celana. "Dan kau tetap menyebalkan seperti biasa," ucap Donghae datar.

Kyuhyun mengangkat bahu, lekuk miring sekilas terlihat di wajah tampannya. "Sikapku dari lahir." Ujarnya acuh.

Donghae berdecak pelan. Matanya melirik sejenak pada lingkar arloji di pergelangan tangan kiri. "Masih ada waktu dua jam lagi sebelum jam makan siang. Kau ingin berkunjung ke ruanganku sejenak." Donghae berkata tanpa menatap Kyuhyun.

Ia tengah berkutat dengan tombol lift. Pintu lift perlahan terbuka, Donghae melangkah masuk begitu dengan Kyuhyun. Tanpa berucap Donghae menyimpulkan jika Kyuhyun menerima tawaran tidak langsungnya.

"Kau tidak datang waktu itu." Donghae menyandarkan punggung di dinding lift. Kyuhyun melirik Donghae sekilas. "Pernikahanmu?" tanya Kyuhyun memperjelas meski ia sudah mengetahui arah pertanyaan Donghae.

"Hn." Donghae mengangguk satu kali. Kyuhyun merunduk menatap jemari tangan yang menyibukkan diri berkutat dengan kancing jas. "Aku sibuk." Kyuhyun menguak jasnya, sepasang tangannya menelusup ke dalam saku celana.

"Perusahaan disana dalam masa genting. Jika kau tahu." Kening Donghae berkerut samar. Suara 'Ting' pelan dari dinding lift mengalihkan mata mereka ke arah pintu lift. Tak sampai sedetik, pintu lift terbuka.

Mereka melangkah beriringan. Donghae memukul lengan Kyuhyun pelan. "Bagaimana aku bisa tahu? Bila kenyataannya kau seolah menghilang dari muka bumi sejak 5 tahun silam. Sama sekali tidak pernah membalas emailku serta kartu undangan dariku. Kau sama sekali tidak bergeming." Donghae menjelaskan dengan nada sedikit jengkel.

Mengingat kembali bagaimana menyebalkannya teman sepermainannya ini. Sama sekali tidak memperdulikan perasaannya disaat setiap puluhan email yang selalu ia kirim di sela waktu senggangnya sama sekali tak terbalas.

Orbs tajam Kyuhyun sekilas meredup, menampakkkan asa masa lalu yang tersembunyi rapat selama 5 tahun silam. Tidak satupun terungkap meski di hadapan sahabat baiknya sekalipun.

"Aku sibuk. Perusahaan disana berada diambang kebangkrutan. Begitu menyita waktuku hingga tidak ada waktu senggang untuk membalas emailmu."

"Ah, sudahlah," putus Donghae menghentikan topik pembicaraan begitu mendapati nada datar Kyuhyun terselip nada enggan di setiap bait kalimatnya. Menyimpulkan kepada dirinya sendiri jika pria tampan itu terpaksa mengutarakan penjelasannya.

"Duduklah," pinta Donghae sembari berderap ke meja kerjanya. Meraih telepon kantor setelah menombol satu angka disana.

"Ya. Persiapkan 2 cangkir kopi lalu antarkan ke ruanganku, sekarang." Donghae meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya.

Berbalik, menyamankan pantat di salah satu single sofa berwarna hitam. Bersampingan dengan Kyuhyun yang menyamankan tubuh di sofa panjang. "Pasanganmu, benar seorang pria?" Kyuhyun mengalihkan pandang, menatap Donghae setelah menyusuri ruangan kerja pemuda tampan itu.

Donghae tersenyum simpul. Ia menyilangkan kaki, sepasang tangan saling bertaut. Lengan menumpu di lengan sofa. "Kau kira aku berdusta kepadamu."

Bahu Kyuhyun terangkat acuh. Tubuhnya mundur perlahan, menyandarkan punggung pada badan sofa. "Tidak juga." Pintu ruangan Donghae terbuka begitu suara Donghae terlantun mempersilahkan sang pengetuk pintu untuk masuk.

Seorang office boy melangkah sopan sambil merunduk hormat disepanjang kegiatannya menempatkan dua cangkir di meja. Kembali menundukkan kepala meminta ijin berbalik pergi.

"Kau tidak merasa terganggu. Maksudku, kau tidak terganggu dengan penyimpangan seksualku, bukan?" tanya Donghae dengan nada ragu.

Kyuhyun tersenyum miring, tangannya terulur meraih cangkir kopi berwarna putih porselen yang tertata di meja. Kepulan samar mengaburkan aroma harum dari kopi menyerbak masuk melalui celah hidung Kyuhyun.

"Kau tentunya tidak melupakan kisah percintaanku 5 tahun lalu, Lee Donghae." Kyuhyun menatap Donghae datar, kemudian menyeduh anggun kopinya dan kembali meletakkan cangkir kopi beserta tatakannya ke meja.

Donghae terkekeh pelan. Ia meraih cangkir kopinya. Melakukan hal yang serupa lalu kembali melanjutkan kekehannya. "Ya Tuhan. Jangan bilang kedatanganmu kemari bukan untuk bertemu denganku, melainkan mencari pujaan hatimu 5 tahun silam," cibir Donghae yakin begitu mendapati raut wajah Kyuhyun yang tanpa langsung mengiyakan cibirannya.

"Hn. Aku tidak perlu mengulangnya lagi." Kembali nada acuh tak acuh Kyuhyun dentangkan. Donghae mendesis jengah. "Kau sama sekali tidak berubah." Donghae menghela nafas panjang.

Iris kelamnya menerobos ke depan, menerawang jauh. Mengais kata per kata yang menyelubungi hati serta pikirannya. "Aku pikir, dia sudah melupakanmu," celetuk Donghae tanpa sadar.

Kata per kata itu keluar dengan sendirinya. Kyuhyun memejamkan matanya sesaat. "Aku tidak peduli," jawab Kyuhyun acuh.

Donghae berdecak keras. Ia menegakkan tubuh, memaku wajah Kyuhyun dengan sorot serius. "Kau memang brengsek. Bagaimana jika dia sudah berkeluarga?"

Kyuhyun terdiam, perlahan kelopak matanya terbuka menampilkan sepasang iris tajam yang berkabut semu. Hati Kyuhyun bergejolak, berupaya mengelak perkataan Donghae yang memang besar kemungkinan akan kebenarannya.

Melihat Kyuhyun tetap bungkam, Donghae kembali membuka bibir. "Melihat kenyataan kau tidak pernah membalas emailku. Aku berpikir jika hal tersebut juga kau lakukan kepada kekasihmu. Terlebih berita tentang pertunanganmu waktu itu. Sungguh, dia pasti sangat membencimu."

Kening Donghae berkerut menyerukan kekesalannya melalui raut wajahnya. Nada bicaranya menenang, namun sorot serta air mukanya tidak dapat ia sembunyikan. Donghae menggeleng pelan, tak mengerti dengan jalan pikiran Kyuhyun. Mengapa begitu mudah mempermainkan hati seseorang bila nyatanya dia begitu mencintainya? Dasar pria aneh sekaligus brengsek.

Kyuhyun menghela nafas panjang. Orbs tajamnya memaku mata Donghae dengan semu absurd. "Kau tidak mengerti biduk permasalahannya. Jadi, berhenti menghakimiku." Tidak ada intonasi marah disana, tetap datar. Tetapi, sudah lebih dari cukup untuk membungkam amarah Donghae.

"Hahh...Arraseo. Tapi, setidaknya berilah dia kabar. Jangan tiba-tiba menghilang bagai di telan bumi seperti ini. Dia pasti sangat terluka. Apalagi ditambah dengan berita pertunanganmu waktu itu. Oke, bukan bermaksud ikut campur. Ya, meski aku belum tahu bagaimana sosoknya dan siapa namanya,"

"Tapi, aku begitu yakin jika dia pria yang baik hingga mampu membuatmu jatuh cinta sampai seperti ini. Seharusnya kau menjelaskannya terlebih dulu kepadanya biduk permasalahannya sebelum meninggalkannya ke Amerika, Cho Kyuhyun. Dengan begitu dia tidak akan terluka dan mungkin akan tetap menunggumu walau selama 5 tahun berlalu."

Penjelasan panjang Donghae membuka pikiran Kyuhyun. Ia pun tengah merutuki kebodohannya waktu itu. Bagaimana bisa dirinya sekonyol itu? Begitu mengkhawatirkan kondisi kekasihnya tanpa memikirkan perasaan sang terkasih terlebih dulu.

Seharusnya waktu itu ia tidak mudah termakan dengan ancaman Ayahnya. Seharusnya waktu itu ia memikirkan dulu dampak dan akibat dari keputusannya. Seharusnya waktu itu ia membicarakan permasalahan ini dengan kekasihnya. Seharusnya, dan seharusnya ia tidak pernah meninggalkan kekasihnya.

Bila sudah seperti ini, apa yang harus ia lakukan?

Kyuhyun mengurut kening, mendadak pening menyerang saat pikirannya melanglang buana ke kejadian 5 tahun silam. Hela panjang terhempas melalui celah bibir, menghentikan sejenak topik pembicaraan mereka.

"Setidaknya aku akan berusaha." Kyuhyun menyandarkan punggung, mendongak menatap langit-langit ruangan Donghae. "Meski kecil kemungkinannya. Aku tidak peduli."

Ultimatum Kyuhyun menuai hela pasrah dari Donghae. Mengerti akan tabiat keras sahabatnya, Donghae memutuskan untuk mengangguk.

*Should Be*

Jemari Kyuhyun menyusuri badan kemudi, sama sekali tidak menghiraukan seorang wanita cantik yang sejak tadi mengoceh ringan disamping kursinya. Sepasang iris tajam sedikit kecokelatan memandang lurus ke depan. Meneliti setiap deret mobil yang terparkir rapi.

"Apakah mengacuhkanku terasa begitu menyenangkan untukmu?" Sang wanita berujar kesal.

Kening halus yang terbalut make up tipis berlipat jelas, mengekspresikan gemuruh kesalnya akan sikap Kyuhyun yang acap kali mengacuhkan dirinya. Tidak hanya satu kali, dua kali. Tetapi, berulang kali.

Alih-alih mengalihkan pandang demi menenangkan sang wanita. Kyuhyun justru menekan tombol kunci. Suara 'klik' pelan menjadi pertanda bagi si wanita untuk tidak berdiam diri lebih lama di dalam mobil Kyuhyun.

"Aku ada urusan. Waktuku sangat berharga untuk sekadar mendengarkan ocehan tidak jelasmu." Datar dan begitu menusuk tanpa memandang sang lawan bicara.

Wanita cantik bernama lengkap Im Yoona tersenyum pahit. Terlalu sering mendengar kalimat kasar dari tunangannya membuat lubang di hati tak kasat mata semakin melebar dan berdarah.

"Tidak bisakah kau_," Yoona meneguk ludah lamat. "Membuka hatimu sedikit saja untukku," lanjutnya parau, menahan getar bibir.

Kyuhyun menarik nafas dalam lalu di hempaskannya keluar. "Aku tidak perlu mengulangnya dua kali. Kau sudah mengetahui alasanku." Kini Kyuhyun memandang Yoona. Menatap datar wajah Yoona yang bersemu merah menahan tangis.

"Aku tahu. Tapi, tidakkah hatimu tergerak sedikit saja untukku. Waktu 5 tahun. Tidakkah lebih dari cukup_."

"100 tahun, 1000 tahun hingga 1 juta tahun kemudian. Itu tidak akan cukup untuk mengubah hatiku. Jangan terlalu berharap. Pertunangan ini hanya sebuah kontrak semata demi melindungi hidup kekasihku. Tidak lebih."

Yoona terisak, ia tak sanggup menahan gemuruh hatinya yang kian mendesak kacau. Tumpah, melebur menjadi satu dengan sakit hati yang terpendam selama 5 tahun silam.

"Bodoh sekali! Setelah kau meninggalkannya begitu saja. Akankah dia masih mengingatmu! Kumohon sadarlah! Dia bukanlah pria bodoh yang akan terus menunggu sang kekasih yang hilang entah kemana setelah berkhianat! Ak_."

"Berhenti mengahakimiku!" Kyuhyun menajamkan tatapannya. "Keluar." Titahnya tandas.

Namun Yoona tak bergeming, ia justru tersenyum miring. "Kau ketakutan. Ya, tentu saja. Sebab, apa yang aku katakan benar adanya?" Kyuhyun terdiam, mengalihkan pandang ke kanan.

Yoona meraih pintu mobil, kaki kiri turun terlebih dulu, menyisakan separuh tubuhnya di mobil Kyuhyun. "Aku tidak menyerah akan dirimu. Namun, aku juga tergiur dengan kisah cintamu. Kita lihat saja nanti."

Yoona menutup pintu mobil Kyuhyun. Sedetik kemudian, mobil mewah berwarna hitam pekat itu berlalu dengan kecepatan angin. Menerbangkan sebagian helaian pirang Yoona.

"Aku tidak akan menyerah, Cho Kyuhyun. Tidak akan." Tatapan Yoona menajam seiring lenyapnya mobil Kyuhyun di belokan basement. Genggaman tangan pada tali tas berwarna silver menguat. Menunjukkan tekadnya.

*Should Be*

"Apa agendamu hari ini, sayang?" Donghae melipat korannya dan meletakkannya ke meja begitu bayang Sungmin melintas disamping tubuhnya.

"Belanja." Sungmin meletakkan panci soup yang masih mengepul panas ke tengah meja. Tangan kanan terulur membuka tutup panci, meraih sendok kayu kemudian mengaduk soup tersebut secara hati-hati.

"Persediaan makanan dan juga kebutuhan rumah tangga mulai menipis. Lagipula ini memang sudah akhir bulan." Sungmin beralih menatap Donghae. Keningnya berkerut samar ketika mendapati pancaran mata Donghae.

"Ada apa?" Donghae menyilangkan lengan. Mencondongkan tubuh, memaku wajah Sungmin. "Kenapa tidak kau serahkan saja kepada maid, sayang?"

Kepala Sungmin menggeleng. "Tidak mungkin. Bagaimana kalau mereka salah membeli barang? Bisa terbuang percuma bukan."

"Kau bisa membuat catatan, sayang. Serahkan saja catatanmu kepada Kang ahjuma. Bukankah dia yang paling mengerti tentang seleramu."

Sungmin kembali menggeleng. Tepakan langkah kecil dari arah tangga mengalihkan fokus mereka, mendorong suku kata yang hendak terlontar dari bibir Sungmin.

"Selamat pagi~Mommy~Daddy~!" seruan riang Minhyun menuai tawa ramah dari Sungmin dan Donghae. "Selamat pagi, tuan putri," sahut Donghae gemas sambil membawa tubuh Minhyun ke dalam pangkuannya.

Minhyun terkikik senang, ia menoleh mengecup pipi Donghae. "Mommy, apakah Minhyun sudah terlihat cantik?" tanya Minhyun lucu sambil mengerjap polos ke arah Sungmin.

Sungmin tertawa, kepalanya menggeleng maklum akan tingkah narsis putrinya. "Kau selalu tampak cantik, sayang." Sungmin berjalan mendekat, merunduk mengusap pipi Minhyun.

Minhyun tertawa lebar. Sepasang lengan bergerak meraih leher Sungmin. "Arra, Minhyun sudah siap. Ayo, pergi sekarang Mommy!" rengek Minhyun penuh semangat.

Bibir Sungmin tergerak, melekuk lembut. "Kita sarapan dulu ne," kata Sungmin sembari mengecup kening Minhyun.

"Ehm," Minhyun mengangguk patuh. Ia lalu bergerak turun dari pangkuan Donghae. Menyamankan pantat di kursi tengah, disisi Donghae dan Sungmin.

"Inikah alasan penolakanmu, sayang." Pernyataan terlontar setelah bungkam beberapa menit, menikmati interaksi hangat antar ibu dan anak.

Sungmin meletakkan mangkuk Minhyun seusai menuang soup ke dalamnya. "Inilah alasannya." Sungmin tersenyum. Donghae menggelengkan kepala. "Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi?" desis Donghae gemas.

Sungmin mengusap tengkuk, semburat merah tipis menghiasi pipi. "Hehe...tentu saja kau harus menebaknya sendiri," cengir Sungmin sambil menyentak tubuh ke belakang, menghindari cubitan gemas Donghae di pipinya.

"Aish. Dasar kau ini." Donghae menarik tangannya, kembali menyilangkannya ke meja. "Baik, aku antar," tawar Donghae.

"Ani. Park ahjussi yang akan mengantar kami. Lebih baik kau bergegas. Waktumu kurang 30 menit lagi." Tegas Sungmin dengan mata memandang jam.

Donghae melirik jam sekilas, lalu berdecak. "Sayang, bukankah aku seorang atasan. Telat sedikit tak masalah, bukan."

"No. No, justru karena kau seorang atasan. Seharusnya kau memberikan contoh yang baik untuk karyawanmu." Sungmin menyipitkan mata sadis ketika mendapati penolakan Donghae.

Hela panjang terlempar menandakan bahwa dirinya menyerah, pada akhirnya mematuhi titah sang istri. Ia meraih tissue, mengusap bibir Minhyun. Dan pagi itu sarapan keluarga Lee kembali disemai dengan senda gurau hangat yang membayangi kebahagiaan mereka.

Terlihat utuh meski terdapat lubang besar yang menganga di sekitar mereka. Lubang yang suatu saat nanti akan menenggelamkan mereka.

.

.

"Mommy! Ice cream!" teriak Minhyun terlampau semangat hingga sebagian dari pengunjung supermarket menoleh ke arah mereka.

Sungmin menganggukkan kepala, tersenyum meminta maaf atas keributan kecil yang dibuat putrinya. Mereka turut tersenyum, memaklumi tingkah Minhyun. Sungmin mengusap puncak kepala Minhyun.

"Sayang, pelan-pelan. Jangan berteriak seperti itu. Tidak sopan, arra." Peringat Sungmin.

Minhyun meremas tangan Sungmin, ia membulatkan mata. "Mianhae Mommy. Minhyun janji tidak akan mengulanginya lagi, ne," rayu Minhyun sambil merengkuh perut Sungmin, membujuk ibunya agar tidak marah.

Sungmin terkekeh, kembali mengusap puncak kepala Minhyun. "Ne, sayang. Mommy terima maaf Minhyun." Sungmin membingkai wajah Minhyun, merunduk mengecup ujung hidung Minhyun.

"Yeay! Minhyun sayang Mommy." Masih tersenyum, menggenggam tangan Minhyun dengan tangan kanan mendorong trolly. "Mommy, ice cream," rengek Minhyun dengan tangan menarik-narik ujung mantel Sungmin.

"Ne, sayang. Ambil sendiri ne. Box ice cream ada di ujung kanan sana, setelah itu bergegas kemari. Jangan keluyuran. Arra," pesan Sungmin. "Siap Mom!" Sahut Minhyun dengan gestur hormat sebelum melangkah menjauh.

Lagi, Sungmin tersenyum.

.

.

Mata Kyuhyun mengedar datar, menatap jajaran ice cream di salah satu stand minuman di dalam supermarket. Tepakan langkah ringannya terhenti ketika orbs tajamnya mendapati satu cup ice cream yang begitu familiar untuknya.

Bisikan halus terdengar di telinga, menyentak kesadarannya ke 5 tahun silam. Sebuah flashback samar yang membuahkan senyuman kecut di bibir.

Bruk.

"Ah." Pekikan kecil khas balita mengalihkan ingatan Kyuhyun. Ia merunduk, menatap puncak kepala seorang gadis cilik yang tengah menunduk menatap ujung jas merahnya yang ternodai cream ice cream.

Perlahan kepala itu bergerak, menengadah menatap Kyuhyun.

DEG

'Mata itu." Kyuhyun mundur setapak. Tatapannya intens memaku wajah polos si gadis cilik.

"Mianhae paman. Minhyun tidak sengaja. Hiks...jangan memarahi Minhyun." Minhyun mengucak mata, mengusap aliran air mata yang melinang dengan sendirinya. Melinang akibat rasa takutnya akan kesalahannya.

Tatapan Kyuhyun melunak, tanpa ia sadari menghangat. Tangan kanan meraih sapu tangan di balik saku celana bahannya. Berjongkok di hadapan Minhyun sambil meraih tangan Minhyun yang sibuk mengucak mata.

"Gwaenchanha." Kyuhyun tersenyum sembari menyapukan sapu tangan birunya ke wajah Minhyun. Matanya beralih menatap jajaran ice cream.

"Pilih sesukamu. Anggap sebagai penerimaan maaf."

Iris foxy Minhyun membulat, terkejut. Tentu saja. Ia segera beralih menatap satu per satu jajaran ice cream di dalam lemari es. Lekuk merekah terbayang di wajah imutnya.

"Jinjayo. Sesukaku!" tandas Minhyun nyaris terpekik. Kyuhyun mengangguk satu kali. Terang saja, Minhyun langsung bergegas mengais langkah menuju tabung ice cream. Menginvasi cup-cup ice cream yang menarik hati.

Sementara Minhyun disibukkan dengan berbagai macam ice ceram, Kyuhyun justru sibuk memandang tubuh mungil Minhyun berlari lincah kesana-kemari. Entah mengapa? Perasaannya tergerak.

*Should Be*

Tangan Sungmin mengusap sayang kepala Minhyun. Wajah polos putrinya yang tengah bergulat di alam mimpi tak mampu menarik Sungmin ke alam sadarnya. Pikirannya melanglang buana sejak percakapannya dengan Minhyun di mobil, dalam perjalanan pulang mereka dari supermarket.

Slap

"Mommy, tadi Minhyun menabrak seorang paman tampan. Ya, tampan. Tampan sekali seperti pangeran dari negeri dongeng yang sering Mommy ceritakan kepada Minhyun."

"Paman tampan baik sekali Mommy. Meskipun Minhyun sudah membuat bajunya kotor. Paman tampan malah membelikan seluruh ice cream ini untuk Minhyun~"

"Waktu itu Minhyun takut sekali, Mom. Minhyun takut dimarahi paman tampan. Tapi, tidak jadi. Paman tampan baik sekali Mommy. Minhyun ingin bertemu lagi dengan paman tampan."

Slap

"Hahh." Sungmin menghela nafas. "Mengapa hatiku mendadak resah?" Tangan Sungmin terangkat, menyentuh dada. Jantungnya bertalu tenang, tetapi batinnya bergerumuh.

"Sebenarnya siapa yang kau temui, sayang?" Foxy Sungmin memandang lurus wajah Minhyun. "Baru pertama kali bertemu. Tapi, mengapa tampak dekat?" Sungmin mengulum bibir bawahnya.

Perasaannya semakin bergejolak tak menentu. Gerakan tangannya berhenti. Merunduk, mengecup kening Minhyun. "Sebaik apapun paman tampan itu. Tetap saja, jangan terlalu mengharapkannya ne. Bagaimanapun juga dia hanya orang asing."

'Ya, hanya orang asing,' rafalnya dalam hati. Berusaha menenangkan gemuruh hatinya yang kian berkemelut tidak tentu.

*Should Be*

Sungmin memandang kikuk suasana glamor yang teruntai disepanjang ballroom mewah di salah satu hotel ternama di Gangnam. Meski kerap kali menemani Donghae dalam acara bergengsi macam ini, tetap saja sikap dasarnya turut serta.

Tampak tidak nyaman dengan kemewahan yang tercetak jelas di setiap balutan kain yang dikenakan para undangan. Terlihat elegant, tentu saja. Namun, bukan itu masalahnya. Mereka tampak angkuh layaknya kaum borjuis. Mementingkan diri sendiri dan tidak peduli dengan keadaan sekitar.

Sungmin menggelengkan kepala kemudian memilih melempar pandang ke bawah, menatap Minhyun. "Ingin sesuatu?" tawar Sungmin yang langsung diangguki Minhyun.

Rupanya sejak tadi Minhyun tengah menahan keinginannya begitu mendapati ibunya sedang berbincang dengan teman ayahnya, meski nyatanya Sungmin hanya berdiam diri sejak tadi. Tidak menghiraukan pembicaraan mereka karena tidak memahami alur perbincangan mereka yang sebagaian besar bergulir tentang bisnis.

"Hae, aku ke meja sebrang sebentar ne. Minhyun ingin kue," bisik Sungmin di sela kesibukan Donghae.

Donghae mengalihkan pandang, ia mengangguk. "Arraseo. Jangan terlalu jauh, tetap dalam pandanganku," pesan Donghae yang dibalas dengan putaran mata malas Sungmin.

Donghae tersenyum menerima respon Sungmin. Matanya tak beralih dari tubuh Sungmin dan Minhyun hingga seorang pria tampan berperawakan atletis menepuk bahunya.

"Yo Man. Lama tidak berjumpa!"

Donghae tersentak, tubuhnya sedikit condong ke belakang. Sedetik selanjutnya, tawa renyah mengiringi uluran tangan Donghae.

"Yaa! Siwon! Ommona! Lama tidak berjumpa kawan." Mereka saling berjabat tangan, beriringan dengan tawa renyah yang membahana.

"Hahaha...kau merindukanku, eoh." Alis tebal Siwon bergerak naik-turun, tampak begitu konyol. Donghae semakin terbahak. "Tidak. Tidak. Aku merindukan sifat anehmu," canda Donghae.

"Aku sudah menduganya." Lagi, mereka tertawa.

"Aku tidak melihat dua makhluk imut itu?" Mata tajam Siwon bergelirya ke sekitar tubuh Donghae. "Tentu saja aku sembunyikan."

"Woo...posesif sekali. Takut diambil orang, heum," goda Siwon seiring dengan senyum jahilnya. Donghae mengangkat bahu, tangan menyusup di saku celana bahannya.

"Tidak juga. Hanya melindunginya dari feromon aneh yang kau sebarkan."

"Aish. Secara tidak langsung kau menuduhku penyebar virus gila," sungut Siwon berpura marah. Donghae melirik Siwon sekilas, ia mengulum bibir, berupaya menahan senyum atas raut wajah Siwon. Terlihat konyol.

"Bagaimana bisa?" Siwon serta Donghae serempak mengalihkan pandang ke sumber suara datar. Si pria datar melirik mereka acuh tak acuh. "Bagaimana bisa si bodoh ini berada disini?" tunjuk si pria datar sembarangan.

Siwon sontak menegakkan tubuh, menampik jari si pria datar menjauh. "Yakk...brengsek sekali. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Bagaimana bisa sifatmu se-brengsek ini, Cho Kyuhyun!" tekan Siwon jengkel.

Kyuhyun menyelipkan tangan ke dalam saku celana bahannya. "Sikapku dari lahir." Siwon menganga lebar mendengar jawaban konyol Kyuhyun, sementara Donghae bersikap biasa. Sudah terlalu sering mendapati jawaban asal macam itu dari bibir pria Cho.

"Dia benar-benar brengsek," putus Siwon sambil menggelengkan kepala. "Hah, seluruh duniapun sudah tahu," sambung Donghae. Kyuhyun tersenyum miring, matanya mengedar menatap sekitar.

"Haruskah menghadiri acara ini. Membosankan." Datar, tetap datar. Tidak ada satupun ekspresi yang tergurat disana, meski beberapa wanita cantik berbalutkan kain rendah mengedip genit ke arahnya.

"Aku curiga kepadamu, Kyu." Tiba-tiba Siwon melontarkan kalimat ambigu. "Apa maksudmu?" Bukan Kyuhyun sang pemberi pertanyaan, melainkan Donghae. Jangan harap Kyuhyun akan memberikan untaian pertanyaan, karena baginya itu hanya membuang-buang waktu saja. Sangat tidak penting.

"Begitu banyak wanita cantik. Tapi, kau sama sekali tidak tergerak. Jangan-jangan kau mengalami difusi seksual?" simpul Siwon sekenanya. Donghae terkejut, ia termakan simpulan aneh Siwon. Namun tidak dengan Kyuhyun, tetap pada posisi. Bungkam dan menatap malas dua rekannya.

"Jangan asal menyimpulakan, Choi Siwon. Tentu saja Kyuhyun tidak tergerak. Kau lupa dengan orientasi seksualnya, eoh."

"Oke. Oke, tidak dengan wanita. Tetapi, bagaimana dengan pria. Lihat disekitarmu, ada beberapa pria cantik di sebelah sana. Tapi, tetap saja Kyuhyun tidak tergerak."

Jawaban Siwon membungkam Donghae. Ia melempar pandang menatap Kyuhyun, menatap intens seakan meneliti sang sahabat sebelum bertepuk tangan sekali. "Kyuhyun memang tidak akan tergerak untuk siapapun itu, karena hatinya telah terpaku kepada sang kekasih 5 tahun silamnya."

"Ah, Im Yoona. Model papan atas itu. Kau mulai jatuh ke dalam pesonanya, eoh. Ya Tuhan, aku kira kau akan terus menentang permintaan ayahmu," pekik Siwon tidak percaya, melancong jauh dari perkataan Donghae.

Donghae menepuk kening keras, sementara Kyuhyun menghela nafas jengah. "Kau_"

"Sudah lupakan. Kalian membuat kepalaku semakin pening." Hardik Kyuhyun cepat memotong geraman Donghae.

Keadaan mendadak sunyi, suara getar ponsel mengacaukan roman tenang yang sempat tercipta. Kyuhyun berbalik setelah meraih ponsel dari saku jas dalam. Melangkah dua tapak ke depan.

"Hae_oh, Choi Siwon." Sapaan Sungmin seketika melelehkan atmosfir yang melingkupi tiga pria tampan itu, menghangatkannya kembali. Siwon tersenyum lebar, ia mengulurkan tangan.

"Lama tidak berjumpa, Min-ah. Ck. Kau semakin manis saja," decak Siwon tanpa melepas tautan tangan mereka. Donghae yang mendapati perilaku bar-bar Siwon bergegas menyentak tangan Sungmin dari genggaman tangan Siwon.

"Cari mangsa lain. Berani menyentuh Sungmin, aku pastikan besok kau hanya tinggal nama," desis Donghae tajam menuai gestur menyerah dari Siwon. "Keep calm man. Aku hanya bercanda. Seperti kau tidak tahu diriku saja," cengir Siwon labil.

Sungmin tersenyum, iris foxynya bergulir menatap punggung lebar seorang pria disamping Siwon yang membelakangi mereka. Belum sempat ia bertanya kepada Donghae, suara Minhyun menyentak hatinya.

"Mommy, itu paman tampan." Tunjuk Minhyun dengan bibir belepotan cream kue. Sungmin mengikuti arahan Minhyun yang terlempar ke tempat seorang pria ber jas merah gelap. Pria yang membelakangi mereka.

"Ne, sa_Ommo. Mengapa sampai belepotan seperti ini, heum?" Sungmin terpekik pelan.

Matanya sibuk bergulir mencari tissue, ia mendapatkannya. Alih-alih berjalan ke meja disisi kanan, ia tertahan dengan sapu tangan Donghae. Sungmin meraih sapu tangan Donghae kemudian berkutat dengan wajah Minhyun.

Siwon tersenyum begitu dengan Donghae. "Putri kalian sangat menggemaskan. Kau beruntung sekali." Siwon menepuk bahu Donghae meyalurkan rasa kagumnya. Bibir Donghae tertarik, ia melempar pandang ke arah Sungmin.

"Ya, aku memang sangat beruntung." Usai berucap Donghae melirik Kyuhyun yang masih berkutat dengan ponselnya dan kini ia berbalik menghadap mereka.

"Kyu_."

"Paman tampan!" Belum sempat mengutarakan niatnya, pekikan Minhyun melesat dengan cepat mengembalikan niat Donghae ke dalam bibirnya.

Kyuhyun mendongak, begitu dengan Sungmin. Seolah dunia berhenti berputar. Terpaku tidak dapat bergerak, mati rasa tidak merasakan apapun. Ponsel di tangan Kyuhyun jatuh ke lantai beriringan dengan sapu tangan Donghae yang terlepas dari genggaman tangan kanan Sungmin.

Iris kembar mereka saling terpaut, begitu kosong tapi memancarkan beribu makna penuh arti. Sungmin tersadar lebih dulu, ia reflek mundur selangkah. Tautan lengan di tubuh Minhyun menguat saat gadis cilik itu hendak berlari ke arah Kyuhyun.

Ketakutan dan perasaan gelisah yang beberapa hari ini merajam hari-harinya, tumpah meruah menjadi satu. Berubah kacau tidak terbentuk. Asa yang absurd, tetapi begitu menyesakkan. Sungmin mengalihkan pandang, menggigit sudut bibir menahan bulir bening di pelupuk mata.

'Apakah ini permainan takdir? Sempurna sekali.' Sungmin terkekeh dalam hati. Jantungnya berdetak cepat, sisi gelap batinnya menangis pilu.

"Minhyunnie, mengenal paman itu?" Donghae mengambil alih. Ia merasakannya, tetapi tidak mampu menyimpulkan. Yang ia tahu, gelagat Sungmin dan Kyuhyun tampak gusar. Donghae menurunkan pandang, menatap sapu tangannya dan ponsel Kyuhyun yang menapak lantai.

Minhyun mengangguk antusias. "Ne Daddy. Paman tampan baik sekali. Paman tampan_."

"Sudah malam." Setelah beberapa detik nyaris kehilangan pertahanannya, Sungmin berhasil mendapatkan kembali suaranya. Ia beralih menatap Donghae. "Kau tetaplah disini. Aku dan Minhyun akan pulang lebih dulu. Udara malam tidak baik bagi kesehatannya."

Tetap menatap Donghae, sengaja menghindari tatapan Kyuhyun yang terus tertuju kepadanya. Donghae terdiam menatap Sungmin, menilik sekilas roman tersembunyi istrinya kemudian mengangkat tangan, menilik arloji yang melingkar di pergelangan kirinya.

"Kita pulang bersama. Acara intinya sudah selesai. Tapi, sebelum itu. Perkenalkan dulu sahabat karibku yang sering aku ceritakan kepadamu, sayang. Dia Cho Kyuhyun," seru Donghae menghiraukan gemuruh curiga yang mendadak menyelubungi sanubarinya.

Sungmin tiba-tiba pening, penglihatannya mengabur. Telinganya berdengung, seolah tuli. Semua terjadi di luar kendali. Belum usai ia menata hatinya, badai kembali datang. Berupaya kembali merobohkan pertahanannya.

Akan tetapi, demi menyembunyikan kenyataan yang ada. Sungmin mulai bersandiwara, mengulurkan tangan dengan tatapan asing. "Lee Sungmin, pendamping hidup Lee Donghae."

Tatapan Kyuhyun menggelap, sudut bibirnya tertarik kecut. Mengesampingkan emosi yang menggebu di dalam hati, Kyuhyun sejenak mengikuti alur permaianan Sungmin.

Ia meraih uluran tangan Sungmin. "Cho Kyuhyun. Sahabat Lee Donghae, suami anda Lee Sungmin-sshi." Sungmin meremang, terlebih pada genggaman tangan Kyuhyun yang kian menguat.

Berulangkali menyentak, tetap tidak terlepas. Foxynya menajam, tetapi Kyuhyun menghiraukan. Sekali lagi menghentak lebih kasar dan akhirnya terlepas.

"Mommy, pipis," adu Minhyun menghentikan gerak kaki Sungmin yang hendak berlalu pergi. Kepalanya mengangguk. "Hae-ah, aku ke toilet sebentar," izin Sungmin cepat. Seusai menerima anggukan dari Donghae, Sungmin bergegas pergi.

Tanpa sadar menghela nafas lega begitu berhasil menjauh dari pria Cho.

Kyuhyun tak melepas pandangannya dari Sungmin dan Minhyun. Seulas niat menyapa pikirannya.

"Aku ke toilet," susul Kyuhyun kemudian bergegas pergi tanpa menunggu jawaban dari dua rekannya.

.

Sungmin menyandar di pintu bilik toilet yang di tempati Minhyun, bayangan betapa kacaunya dirinya saat ini terpantul di kaca wastafel. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan gerumuh serta detak jantungnya.

Tak menyadari kedatangan seseorang dan berakhir terlonjak kaget ketika sebuah lengan mengukung tubuhnya.

"Berpura tidak mengenaliku, heum." Sungmin terkesiap, alunan datar itu menyerebak masuk mematikan saraf tubuhnya. Mendapati Sungmin bungkam, Kyuhyun maju selangkah, semakin menghimpit tubuh Sungmin ke pintu.

"Memang aku tidak mengenalmu." Sergah Sungmin sarkas. Tangannya menapak dada Kyuhyun, mendorongnya kasar. Ia mulai memberontak dan Kyuhyun dengan lihai membekuk berontakan Sungmin, seakan telah hafal di luar kepala cara melumpuhkan seorang Lee Sungmin.

Kyuhyun tersenyum miring, ujung hidung menyentuh surai Sungmin. Harum candu semerbak menggelapkan Kyuhyun. "Sungmin_."

"Mommy!" teriakan Minhyun dari balik bilik menghentikan untaian Kyuhyun. Sungmin menghempas tautan tangan mereka, kemudian berbalik setelah mendorong tubuh Kyuhyun menjauh. Tanpa sedetikpun menatap Kyuhyun.

"Ya, sayang sudah selesai." Sungmin menguak pintu bilik, berderap menghampiri Minhyun kemudian membungkukkan tubuh. Membenahi celana Minhyun.

Kyuhyun terdiam, hanya sepasang orbs yang menatap gerak-gerik dua pasang ibu dan anak itu. Salah satu tangannya mengepal saat menilik jemari lentik Sungmin. Sebuah lingkar cincin membungkam bibir Kyuhyun.

Ia berdecak, mengumpat dalam hati.

"Sekarang kita pulang." Sungmin meraih tangan Minhyun. Menarik tubuh kecil sang putri menjauhi bilik toilet.

"Paman tampan!" seru Minhyun riang ketika mendapati tubuh Kyuhyun disamping bilik toilet, roman wajah tercetak begitu riang.

Namun mendadak lenyap saat Sungmin melontarkan ultimatumnya. "Jangan berbicara dengan orang asing. Bukankah Mommy sudah berulang kali berpesan kepadamu, heum."

Minhyun menunduk, ia meremas tangan Sungmin. "Mianhae Mom. Tapi, paman tampan orang baik Mommy. Kemarin paman tampan membelikan Minhyun ice cream."

Sungmin menghela nafas, tangannya bergerak membawa tubuh Minhyun menjauhi Kyuhyun. "Sebaik apapun orangnya. Dia tetaplah orang asing, arraseo." Foxy Sungmin mengedar bersibobrok dengan orbs tajam Kyuhyun.

Kyuhyun menggelengkan kepala, ia bergerak menghampiri Sungmin. "Kau berusaha merubah diri. Menciptakan jati diri baru di dalam jiwamu." Pernyataan Kyuhyun menuai lekuk samar di bibir Sungmin.

"Tentu saja. Bukankah setiap orang bisa berubah seiring berjalannya waktu, Kyuhyun-sshi." Kyuhyun menahan diri, tangan yang terkepal terlempar meraih pergelangan tangan Sungmin.

Tatapannya menajam, menelisik binar jernih yang membutakan mata batinnya. Sebuah binar polos yang mampu membuatnya terjatuh ke dalam pesonanya.

"Aku mengenal dirimu lebih dari dirimu sendiri, Lee Sungmin. Kau tampak memaksakan diri."

"Semua sudah berubah." Sungmin menghentak genggaman Kyuhyun. Binar foxy menyendu, berkaca. "Semua sudah berubah sejak 5 tahun silam." Sungmin mengangkat tangan, menunjukkan lingkaran cincin yang kembali merombak hati Kyuhyun.

"Aku sudah terikat, sejak 2 tahun lalu. Lee Donghae pria yang baik, dia mampu membuatku dan Minhyun bahagia. Ya, keluarga kami sangat bahagia. Maka dari itu menjauhlah. Ingat batasanmu sebagai sahabat baik Donghae." Tutur Sungmin tegas, menyembunyikan deru pedih di balik hati.

Kyuhyun masih berusaha menahan diri, ia mengingat keberadaan Minhyun. Iris tajamnya beralih menatap Minhyun. "Maaf, sepertinya aku tidak bisa mewujudkan permintaanmu, dear."

Mata Sungmin membulat, terkejut menerima perlakuan kurang ajar Kyuhyun secara tiba-tiba. Mendadak kosong saat rasa hangat bergelenyar memenuhi bibirnya.

"Aku tidak akan menyerah dan aku tidak peduli dengan statusmu saat ini. Seharusnya kau hanya untukku. Karena hatimu tidak akan pernah berpaling meski terpaut 5 tahun silam." Kyuhyun memiringkan kepala, berbisik pelan tepat di telinga Sungmin sembari menyapukan tangan kanan ke pinggang Sungmin.

Tangan kiri yang menutup mata Minhyun bergerak menjauh seiring dengan langkah kakinya menguak lantai toilet, berlalu meninggalkan Sungmin. "Ah, bibirmu tidak pernah berubah, dear. Tetap lembut dan manis." Komentar Kyuhyun diambang pintu toilet sebelum melenyapkan diri.

Sungmin termangu, tubuhnya bergetar. Menggigil samar, seolah tuli. Ia menghiraukan panggilan Minhyun. Ciuman Kyuhyun yang terbilang singkat, mampu melumpuhkan saraf-saraf tubuhnya.

Tak mampu dipungkiri, ia hampir terhanyut. Sungmin melemas begitu kilauan cincin emas menyilaukan sinar semunya.

'Donghae, Donghae, Donghae,' rafal Sungmin dalam hati. Genggaman tangan di tangan Minhyun menguat. Sungmin berusaha menahan diri, menyadarkan dirinya dari belenggu masa lalu yang sebagian besar masih menaungi hatinya hingga saat ini.

Membuat dirinya tak mampu menyemai perasaan Donghae di dalam hatinya.

TBC

(Next Chapter)

"Ya, disaat aku memperkenalkan Kyuhyun kepadamu,"

"Kalian sebelumnya sudah saling kenal?"

"Aku juga mencintaimu,"

"Sungguh sebuah keluarga yang tampak harmonis. Manis sekali."

"Sebuah permintaan yang sangat konyol, dear."

"Dulu kau bisa meninggalkanku. Dan seharusnya sekarang kau dapat melakukannya kembali, Cho Kyuhyun."

"Untuk apa bersusah payah mencari nomor kontak keluargaku bila kenyataannya aku lebih membutuhkan kehadiranmu ketimbang kehadiran mereka, dear."

"Kau sungguh beruntung?"

"Dan seharusnya keberuntungan itu hanya menjadi milikku seorang."

"Menjauh dariku!"

"Aku tidak akan melepaskanmu."