Tsunade sibuk mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di atas meja saat kedua mata berbalut kacamata itu menatap serius dua lembar kertas di hadapannya. Sudah berkali-kali ia membaca hasil yang didapatkannya dari tes Naruto, dan hasilnya mengatakan, jika Naruto merupakan sosok yang selama ini belum pernah ditemui oleh Tsunade. Sang beta—Tsunade—berhenti sejenak untuk menatap kertas itu. Fokusnya kini teralihkan pada sepasang manusia yang memiliki hak penuh atas Naruto.

Kushina menatap sekeliling dengan resah. Ia tidak menyangka akan memasuki rumah sakit ini, mengingat Naruto yang sama sekali tidak ingin diperiksa jenisnya. Kushina berharap anaknya baik-baik saja, saat Tsunade terus menatap dirinya dengan tatapan sulit diartikan. Apa yang terjadi dengan Naruto? Apakah Naruto baik-baik saja? Mau bagaimanapun Kushina ingin hasil terbaik untuk anak semata wayangnya.

"Jadi, bagaimana hasilnya Tsunade-san?" tanya Kushina, akhirnya kesabaran Kushina mengikis, dan memilih untuk bertanya.

"Apa kau tahu, jika beberapa tahun ini pemerintah sedang melakukan proyek besar-besaran?" Tsunade bertanya balik, membuat sepasang manusia di hadapannya saling menatap.

"Proyek?" beo Kushina.

"Hm," Tsunade mengangguk.

"Nyaris seluruh ahli mulai berpikir jika bukan hanya alfa saja yang bisa dispesifikasi, melainkan kedua jenis lainnya," lanjutnya, membuat Kushina mengangguk mengerti.

"Para ahli telah berhasil menemukan suatu alat dan cara untuk menspesifikasikan beta maupun omega, sehingga orang-orang semakin bisa dikategorikan jenisnya berdasarkan spesifikasi itu. Contohnya saja untuk salah satu pasienku. Pasienku itu memasuki universitas ternama dan berprestasi di jurusan yang dia pilih, walau dia hanya sekadar beta dari keluarga biasa karena dia telah memasuki jurusan yang sesuai dengan spesifikasi dia. Ia memiliki ahli dalam bidang perawatan dan nyatanya dia berhasil," jelas panjang lebar Tsunade.

Kushina hanya kembali menggerakan kepalanya ke atas-bawah saat mendengar penjelasan Tsunade saat Minato memilih untuk diam.

"Sudah banyak contoh berhasil akibat proyek ini dan sekarang proyek ini akan dilakukan pada pihak istana. Untuk pertama kalinya istana menginginkan keturunan dari seorang omega atau beta yang benar-benar cocok untuk anggota istana tersebut. Mereka menginginkan keturunan terbaik di antara terbaik melalui proyek ini."

"Lalu, bagaimana dengan hasil yang diperoleh oleh Naruto?" Kushina yang sejak tadi tidak sabaran sama sekali tidak tertarik dengan penjelasan Tsunade. Ia hanya ingin tahu kabar anaknya.

"Aku cukup terlibat banyak dalam proyek ini. Segala macam jenis spesifikasi telah aku hafal, dimulai dari alfa hingga omega. Aku menghafalnya dengan sangat baik. Oleh karena itu…" Tsunade megantung ucapannya.

"Oleh karena itu..." Kushina semakin cemas. Jantungnya berdetak cepat saat Tsunade memotong ucapannya, seolah menggoda Kushina.

"Aku sangat yakin jika Naruto merupakan seorang omega," Tsunade tersenyum tipis, membuat Kushina mendesah lega, berhubung anaknya sangat menyukai sang pangeran, ia memang berharap anaknya menjadi seorang omega, daripada beta, sebab omega lebih mudah untuk menuruti pasangannya dari beta.

"Ah, begitu, ya…" gumam Kushina sembari memegang tangan suaminya, dan meremas jari-jari tangan Minato yang tengah tersenyum ke arahnya.

"Akan tetapi…" lagi-lagi Tsunade membuat keadaan menegang.

"Uh?" Kushina memiringkan kepalanya, meminta Tsunade melanjutkan ucapannya dengan cara imut yang tidak dia sengaja.

"Spesifikasi yang dimiliki Naruto terbilang tidaklah lazim," ucap Tsunade.

Baik Kushina maupun Minato hanya bisa mematung saat mendengar ucapan terakhir Tsunade. Tidak lazim? Apa yang tidak lazim dari Naruto? Mereka berdua berharap Naruto tidak memiliki suatu penyakit yang membahayakan atau memiliki sesuatu yang bisa membuat mereka bersedih, kemudian menyesal seumur hidup. Kushina dan Minato saling megenggam. Kini mereka berdua saling menguatkan, berharap saat kabar buruk terjadi, mereka berdua masih bisa menatap masa depan anak mereka.

"Tidak lazim?" beo Minato, akhirnya sang suami yang akan bicara.

"Aku sempat mendengar kasus tersebut, saat beberapa sample darah terjatuh. Kami semua mencoba menghubungi semua pihak yang terkait dengan sample darah tersebut, dan kami mengetes ulang satu persatu dari mereka untuk memastikan semuanya. Ya, memang seharusnya kami tidak usah melakukan hal memusingkan seperti itu jika semua sample terlihat biasa saja. Akan tetapi, untuk kasus Naruto…." Tsunade menghela nafas.

"Ada apa dengan anakku?" Kushina mulai jengah saat Tsunade menjelaskan semuanya dengan cara terpotong-potong seperti ini.

"Sample darah yang dimilikinya memiliki keunikan tersendiri. Ikutlah denganku," pinta Tsunade, sembari beranjak dari tempat duduknya.

Baik Minato dan Kushina terpaksa mengikuti Tsunade karena rasa penasaran mereka. Mereka berdua sebenarnya tidak akan menyangka akan memasuki rumah sakit khusus pengecekan jenis manusia terbesar di negeri mereka ini, berhubung rumah sakit ini memiliki pasien terbanyak. Mereka berdua hanya bisa pasrah saat Tsunade mengajak mereka untuk keluar ruangan, menelusuri lorong, kemudian menjauh dari ruang kerja Tsunade, menuju ke tempat yang mereka tidak ketahui.

.

.

"Di sini merupakan tempat kami meneliti semua. Berjuta-juta sample dikirimkan dari seluruh dunia untuk kami lihat. Kami melakukan berbagai macam tes untuk mengetahui setiap perbedaan di antara sample darah tersebut," Tsunade menjelaskan semua hal yang dilihat oleh Minato dan Kushina selagi Tsunade memandu sepasang suami-istri ini ke suatu tempat yang ingin dia perlihatkan.

Kushina mengedarkan pandangannya ke sekitar. Awal perjalanannya disuguhkan oleh para dokter dan suster yang mondar-mandir, masuk satu-persatu ruangan di dalam gedung ini. Sesekali ia melihat pasien yang diperiksa oleh para suster. Lambat-laun, mereka memasuki area ke tempat lebih sepi. Area tersebut hanya berbentuk lorong yang terdiri dari bermacam-macam foto manusia serta keterangan spesies pada manusia di dalam foto itu. Menurut Tsunade, foto-foto manusia terkenal itu dipajang untuk mengingatkan spesies apa saja yang paling banyak membuat dunia ini berubah.

Alfa—itulah jawabannya, berhubung banyak sekali alfa yang menjadi politikus kemudian berakhir menjadi seorang pemimpin.

"Kemarilah!" tatapan Kushina pada foto laki-laki berambut putih yang sedang memeletkan lidahnya, dan merupakan seorang penemu terkenal teralihkan pada pintu di hadapannya, saat Tsunade meminta dirinya untuk mendekat.

Tsunade mengarahkan telapak tangannya pada pembaca sidik jari, kemudian pintu di hadapan mereka bertiga terbuka. Pintu di hadapan Minato dan Kushina mengingat sepasang suami istri ini akan film-film ber-genre fantasy atau scient.

Keadaan di balik pintu sangat gelap. Namun, saat mereka bertiga menginjakan kaki untuk masuk ke dalam ruangan tersebut, tiba-tiba ruangan tersebut berubah menjadi cerah. Kushina menatap ke bawah. Ia melihat tangga terbuat dari alumunim membantunya untuk turun ke lantai bawah. Bersama dengan sang suami, Kushina melangkahkan hatinya secara hati-hati sebelum berpijak kembali ke lantai, dan mengikuti Tsunade ke suatu ruangan kembali.

DRAG!

Pintu di hadapan Minato dan Kushina terbuka.

Kushina terperangah saat melihat kesibukan di dalam salah satu ruangan di dalam gedung ini. Ia tidak percaya akan terdapat aktivitas menakjubkan di ruang bawah tanah suatu rumah sakit. Kushina mengedarkan pandangannya sekeliling. Ia melihat berderet-deret tabung sibuk diteliti, dan berpuluh-puluh peneliti sibuk bekerja. Kushina melihat isi di dalam tabung yang tersusun rapih di dalam suatu kulkas transparan. Eh, bukankah itu sample? Kushina mengamati tabung itu, hingga dia melihat setiap tabung itu terdapat namanya. Fix, tabung itu memang sample! Jadi, ini tempat semua peneliti meneliti jenis beserta spesifikasi manusia di muka bumi ini.

"Ini hebat," gumam Kushina dan mendapat anggukan dari Minato.

Tsunade tersenyum. Memang semua orang akan seperti ini saat pertama kali masuk ke tempat ini. Begitu juga dengan Tsunade. "Tentu saja tempat ini merupakan tempat paling hebat karena sample-sample yang berada di tempat ini berasal dari seluruh dunia," ucap Tsunade membuat Kushina terperangah.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan di sini?" tanya Kushina.

"Hmm… apakah kita akan melihat sample Naruto?" Kushina menolehkan kepalanya kesana-kemari, mencari sample Naruto saat Minato terkikik geli, melihat gelagat istrinya yang begitu semangat. Mana mungkin istrinya bisa melihat sample Naruto di antara sample yang jumlahnya begitu banyak seperti ini. Ya mana mungkin kecuali darah Naruto berbeda dari darah manusia.

"Sebelah sini," Tsunade menunjuk suatu tempat yang terlihat menyendiri di antara tempat sample lainnya. Tempat itu berada di rak pendingin yang bertulisan 'Search'.

Tsunade mengambil sarung tangan karet, pencapit, kemudian ia membawa botol pendingin dan membuka lemari pendingin di hadapannya. Ia memasukan salah satu sample di dalam lemari untuk ke dalam botol pendingin, dan mengajak Kushina, Minato ke suatu tempat. Mereka berdua diajak ke dalam ruangan paling terpojok di tempat ini. Tempat yang cukup dingin. Mereka diminta untuk berdiri berjajar di depan mikroskop digital.

Tsunade meneliti sample serta mikroskop tersebut sebelum meminta Minato untuk melihat. "Coba lihatlah sample yang ini," perintahnya.

Minato memejamkan sebelah matanya, kemudian melihat sample tersebut melalu mikroskop yang disiapkan Tsunade.

"Saat aku menyampurkan darah omega, dengan alfa ini, darah mereka akan berubah warna," ucap Tsunade, mulai menjelaskan kembali.

"Ba—bagaimana bisa?" dahi Kushina mengerut, untuk pertama kalinya ia mendengar kabar ini. Ia memang pernah mendengar kabar selintingan jika semua darah-darah di dalam tubuh manusia bisa lebih dispesifikasikan, tetapi dia belum pernah mendengar hal seperti ini.

"Itulah kehebatan dari spesies kita," Tsunade berucap bangga.

"Dan…"

Tsunade mengganti sample tersebut dengan sample yang baru.

"Tanpa kita ketahui, mereka seperti hidup. Mungkinlah ini yang membuat karakter omega, alfa, dan beta bisa dibedakan. Spesies kita memiliki keunikan tersendiri. Terlebih saat dicampur antara satu dengan lainnya. Di saat darah omega A dicampur dengan alfa A, mereka bisa memiliki bau, berubah warna, bahkan melakukan keunikan yang lainnya," ucap Tsunade membuat Kushina terperangah. Lagi-lagi ia terkejut. Waw. Ternyata masih banyak hal yang manusia belum temukan, bahkan di tubuh manusia itu sendiri.

"Menakjubkan," gumam Kushina, dan Minato mengangguk setuju.

"Lalu, untuk Naruto…" Tsunade menunjuk mikroskop itu.

"Aku campurkan darah pangeran kedua dan sample 1069SN—kepunyaan Naruto," Tsunade mulai meneteskan darah yang dia bawa di dalam tabung.

Minato tidak melihat apapun perbedaan yang terjadi saat darah pangeran kedua dan Naruto saat disatukan. Darah tersebut terlihat normal. Tidak berubah warna, memiliki bau khas, atau apapun. Eh, apa yang terjadi? Apakah darah Naruto tidak normal? Minato merasa khawatir, sedangkan Kushina lebih khawatir saat melihat ekspresi Minato yang menegang.

"Apabila dilihat secara biasa, kita tidak akan pernah menemukan keunikan di dalam darah ini. Ia tidak akan merubah warnanya atau melakukan tindakan agresif apapun saat dicampurkan. Akan tetapi…" Tsunade menatap Kushina dan Minato bergiliran.

"Jika kita menyampurkan darah pangeran kedua dengan Naruto, kemudian menyampurkan darah yang lainnya lagi…lihatlah!" Tsunade menyampurkan darah yang berbeda dengan kedua darah itu, dan meminta Minato untuk memperhatikan sample itu secara baik-baik.

Minato menanti apa yang terjadi pada sample anaknya. Awalnya sample itu terlihat biasa. Tidak ada yang menarik. Namun, lambat laun, ia melihat terjadi dua grup di antara tiga darah yang seharusnya bercampur itu. Minato merasa salah satu darah yang dicampurkan itu diasingkan. Darah siapa yang diasingkan? Apa darah Naruto, atau darah siapa? Minato menatap Tsunade, meminta Tsunade untuk memberi penjelasan.

"Ada apa, Sayang?" Kushina menggeser Minato untuk menyingkir. Ia tidak tahan melihat ekspresi suaminya yang berwarna-warni. Ia ingin melihat semuanya sendiri.

"Darah siapa yang terasingkan?" tanya Minato, dengan suara dalam.

Tsunade melipat kedua tangannya di depan dada. Ia memejamkan matanya sejenak. "Darah Naruto membentuk suatu barikade agar darah yang pertama kali dicampur dengan darahnya tidak tersentuh dengan darah lain. Dengan kata lain, kandungan darah Naruto dengan uniknya membentuk suatu perlindungan," jelas Kushina.

"Apa?!" teriak Minato dan Kushina bersamaan.

Darah macam apa itu?

Posesif?!

"Darah yang setia dan mengikat, bukan? Darah tersebut sama sekali tidak membiarkan siapapun menyentuh darah yang sudah dicampur dengannya," Tsunade menatap sisa sample Naruto yang masih di dalam tabung itu lekat-lekat.

"Astaga.." gumam Kushina sembari ikut menatap darah itu.

Kushina berpikir sejenak. Dari ucapan Tsunade, bukankah darah Naruto terdengar baik? Darah tersebut bisa menjadi lambang setia pada pasangannya. Darah tersebut tidak bereaksi apapun, tetapi bereaksi hanya pada satu darah. Kushina tersenyum dalam diamnya. Ia bangga pada anak semata wayangnya. Anaknya memang menakjubkan. Penuh kejutan. Anaknya selalu bisa membanggakan dirinya, walau Kushina tidak meminta lebih seperti ini.

"Bukankah hal tersebut bagus suamiku? Naruto pastinya akan sangat setia dan berbakti pada Pangeran kedua," ucap Kushina. Tidak ada yang membahagiakan bagi seorang orang tua, jika anaknya akan menjadi anak yang bisa membahagiakan seseorang kelak nanti.

Berbeda dengan Kushina, ekspresi Minato terlihat mengeras. Kali ini ia tidak mengiyakan ucapan Kushina sama sekali.

Tsunade menggeleng pelan. "Jangan lupakan yang kita bahas di sini adalah salah satu calon pasangan anggota istana. Seluruh dunia ini tahu, anggota istana harus mendapatkan segalanya yang terbaik," Tsunade berhasil membuat senyuman Kushina terhapus.

"Alih-alih menikahi pangeran kedua, Naruto malah menggeser kedudukan tuan putri pertama—calon putra mahkota," ucap misterius Tsunade membuat wajah Kushina pucat-pasi.

"A—apa?" gumam Kushina, meminta penjelasan dari Tsunade.

"Kehidupan istana tidaklah sesederhana itu, Kushina-san. Istana tidaklah bisa dianggap senaif itu," jelas Tsunade dengan suara rendah dan ekspresi iba pada sepasang suami istri di hadapannya.

"Naruto terlalu berharga untuk dibiarkan menjadi pihak tidak dianggap," ucap Tsunade.

"Bahkan dengan darah seperti ini, dia lebih berharga daripada menjadi sosok kedua atau ketiga di dalam istana. Terlalu sayang untuk dibiarkan. Sangat terlalu disayangkan," lanjutnya, membuat jantung Kushina mencelos seketika, tidak menyangka keberuntungan anaknya bisa menjadi senjata makan tuan bagi anaknya sendiri.

.

.

.

"…."

Sasuke tidak dapat memalingkan wajahnya dari bocah yang duduk di sampingnya. Dari sudut manapun, Naruto terlihat menawan, bahkan di saat terdiam seperti ini. Sasuke tersenyum tipis. Ia tidak menyangka bisa mendapatkan calon pendamping seperti Naruto. Ia berharap bisa terus bersama dengan Naruto saat hasil keluar nanti. Ia berharap Naruto memang menjadi teman seumur hidupnya. Sasuke sangat yakin jika Naruto teman seumur hidupnya, ia tidak akan pernah mati karena bosan.

Kedua anak ini sejak tadi menanti hasil sample Naruto. Bahkan Sasuke meminta pada ayahnya jika dia ingin menemani Naruto di lobby rumah sakit, sehingga area rumah sakit terpaksa dipenuhi oleh para penjaga. Namun, beginilah sikap keras kepala Sasuke. Ia tidak akan membiarkan orang yang cocok dengan dirinya mengerjakan sendiri begitu saja. Ia akan memastikan semuanya berjalan sesuai keinginannya, bahkan jodohnya sekalipun. Jika perlu, ia akan memaksakan Naruto untuk bersamanya, jika hal buruk terjadi. Tetapi, mudah-mudahan semua baik-baik saja.

"HA!" tawa tidak jelas Naruto, tiba-tiba. Rasa bosan menanti di sofa lobby, membuat dia ingin meganggu Sasuke.

"Hn?" sebelah alis Sasuke terangkat.

Naruto tersenyum lebar, hingga giginya yang rapih terlihat jelas, membuat Sasuke semakin tajub. "Aku tidak percaya akan menjadi salah satu anggota istana," ucap Naruto, terdengar semangat. "Ne, ne, ne, Yang Mulia. Sebutan apa yang cocok untukku di istana?" tunjuk Naruto pada dirinya sendiri.

Sasuke nyaris meledak tertawa saat mendengar pertanyaan Naruto. Ia tidak menyangka Naruto akan bertanya seperti ini dengan penuh percaya diri. Hahaha. Bagaimana jika hasil yang diperoleh Naruto salah, dan Sasuke tidak bisa bersama Naruto? Sasuke membayangkan ekspresi narsis Naruto akan menghilang. Tidak. Apa yang Sasuke pikirkan? Sasuke yakin jika Naruto memang pasangannya dan hal tersebut tidak tergantikan! Persetan dengan narsisnya Naruto.

"Dayang Naru?" goda Sasuke dengan ekspresi datar turunan ayahnya.

Senyuman Naruto menghilang. Ia menatap Sasuke kesal. Tidak disangka menunggu di lobby rumah sakit berduaan bersama Sasuke ternyata cukup menyebalkan. "Issshhhhh apa aku terlihat sebagai sosok yang harus melayani orang-orang? Ayolah, aku ini terlalu tampan untuk menjadi seorang dayang. Bagaimana jika aku dipanggil pangeran?" Naruto menaik-turunkan alisnya, bermaksud memperlihatkan aura kegantengannya.

"Tidak mungkin," Sasuke menggeleng, menanggapi ucapan Naruto santai.

"Eh, kenapa?" kedua mata Naruto mengerjap.

Kenapa tidak mungkin dia dipanggil pangeran, saat dia begitu tampan?

Pikir Naruto yang over percaya diri.

Sasuke memejamkan mata, melihat kedua tangannya di depan dada, kemudian tersenyum miring. "Karena tugasmu untuk melahirkan anakku, Dobe. Bukan untuk membuahi orang," ucap Sasuke.

Naruto mematung sebentar. Maksudnya dia tidak boleh dipanggil pangeran karena dia akan melahirkan anak itu apa? Apa hubungannya panggilan dengan melahirkan anak? Naruto semakin tidak mengerti ucapan Sasuke. Tetapi, melihat ekspresi Sasuke, kenapa Naruto menjadi kesal? Ugh. Sebenarnya, apa begitu susah memanggil dirinya pangeran? Bukankah dia akan memiliki kedudukan yang sama dengan Sasuke, jika memasuki istana?

"Intinya aku ingin dipanggil pangeran. Aku pangeran ketiga. Pangeran ketiga, Pangeran kedua—Sasuke Uchiha," ucap Naruto, mulai memaksa, dan berhasil menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Mereka tertawa ketika sikap Naruto begitu menggemaskan.

"…." Sasuke mendengus jengah saat Naruto berhasil membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum, merasa lucu dengan interaksi dirinya dan Naruto. Ia tidak suka menarik perhatian.

"Coba panggil aku Yang Mulia," lanjut Naruto, membuat Sasuke nyaris mengangakan mulutnya, jika dia bukan seorang Uchiha.

Yang benar saja.

Apa si dobe ini tidak sadar diri?

Tetapi…

Sasuke selalu senang mengikuti alur main Naruto.

"Baiklah yang mulia tuan putri, apapun untukmu," ucap Sasuke, dengan nada meledek dan senyuman superiornya.

"Tu—tuan putri?" Naruto membeo, dengan ekspresi kecewa. Ia menatap Sasuke dengan kerutan di dahi semakin banyak.

"Apa mak—maksud—

"Tuan putri tampan. Sangat tampan. Aku menyukaimu," tidak tega melihat ekspresi kecewa Naruto, Sasuke meralat ucapannya. Ia mencubit pipi Naruto, bermaksud mengembalikan tawa Naruto.

Naruto menepis tangan Sasuke, sebal. "Mana ada tuan putri tampan!"

"Ada," jawab santai Sasuke.

"Eh? Siapa?" Naruto memiringkan kepalanya, lucu. Ia penasaran dengan ucapan Sasuke.

"Dirimu!" tunjuk Sasuke, dengan kekehan menyebalkan.

Naruto mengerang. "Kau benar-benar sulit sekali mengakui diriku ini memang pantas jadi pangeran," keluh Naruto yang membuat Sasuke nyaris tertawa terpingkal-pingkal jika dia tidak melihat ibu dan ayah Naruto mendekat ke arah mereka berdua.

Ekspresi Sasuke mengeras.

Sasuke mengamati ekspresi sepasang suami istri Namikaze. Ia berharap kedua orang tua Naruto akan memberi kabar baik pada mereka. Sasuke sangat berharap, hingga ia bersumpah jika bukan Naruto yang menjadi calonnya, ia tidak akan pernah menikah. Jantung Sasuke berdetak kencang saat sepasang suami-istri itu berdiri di hadapan Sasuke. Ekspresi apa ini? Kenapa Sasuke tidak dapat membaca raut wajah pasangan ini? Apa semua baik-baik saja, atau Sasuke harus merengek pada ayahnya agar diizinkan berpasangan dengan Naruto.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Minato, berbasa-basi, ketika dia menatap Naruto dan Sasuke yang duduk berdampingan di atas sofa dan serius berbicara, hingga dunia seolah milik mereka berdua.

"Kaa-san, Tou-san! Bagaimana tesnya?!" tanya Naruto tidak sabaran. Ia menatap Kushina antusias.

Minato dan Kushina saling menatap dengan raut wajah serius.

"Kaa-san? Tou-san?" Naruto mulai takut ketika kedua orang tuanya begitu tegang.

"Positif. Naru akan dibawa ke area istana," ucap Kushina dengan senyuman tipis. Ia mengelus surai pirang anaknya, ketika Sasuke dan Naruto menghela nafas lega, tanpa menyadari raut wajah Minato dan Kushina yang berubah pilu.

Clothes Have no Gender

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Rating: T+—M

Genre: Action, drama, criminal, hurt/comfort, romance, family, friendship

Pairing: Sasuke and Naruto

Other Cast: Pain, Itachi, Shikamaru, Kiba, Gaara

Warn: AU, OmegaVerse, OOC, M for Criminal themes, Bad language, School life, and other.

Cerita ini hanyalah untuk kesenangan belaka, bukan untuk kebutuhkan materiil.

Happy reading.

Me present for 2017.

"Ish, kenapa dia tidak pernah mengangkat teleponku lagi, sih?"

Naruto menatap sedih telepon wireless di tangannya. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Sakura, tetapi gadis itu masih saja tidak mau mengangkat teleponnya, padahal sudah setahun lebih Naruto mencoba untuk menghubungi Sakura. Menghubungi tanpa menyerah, walau Sakura terus menyampakannya seperti orang Naruto ini orang bodoh sedunia.

Semua ini berawal dari kabar yang beredar jika Naruto calon terpilih untuk pangeran kedua. Saat itu, Naruto masih masuk ke sekolah seperti biasa. Ia tidak terpengaruh dengan status barunya. Ia masih suka melukis. Ia masih suka menyendiri sembari menghayal gambar apa yang akan dia lukis. Ia masih senang duduk menyendiri. Ia bahkan masih ingin mengobrol dengan teman baiknya, termasuk Sakura, dan bergaul tanpa memandang status. Ia masih ingin bersenang-senang seperti biasanya. Namun, perubahan terjadi teman-teman di sekitarnya.

Tidak seperti saat Naruto masih menjadi seorang Naruto, seluruh orang menatapnya biasa saja. Adapun menatapnya berlebihan, ketika orang itu menyukai dirinya, seperti Hinata. Saat status Naruto berubah, orang-orang mulai terlihat segan pada dirinya. Bahkan saat Naruto membuat kesalahan, guru tidak berani menghukumnya, dan Naruto terbebas tugas-tugas yang seharusnya dikerjakan oleh Naruto, seperti tugas piket.

Bukan itu saja!

Naruto terpaksa tidak mengikuti kelas olahraga saat guru olahraga takut Naruto terluka saat mengikuti pelajaran tersebut. Padahal, Naruto tidak peduli terluka seperti apapun. Dia ini bukan tuan putri. Dia ini bukan orang lemah. Dia ini kuat dan bisa melakukan apapun layaknya laki-laki, walau statusnya sudah meningkat menjadi calon pasangan pangeran kedua.

Apa Naruto senang?

Sama sekali tidak.

Saat pertama kali, Naruto hanya bersikap biasa saja, sebab Naruto berpikir jika lambat-laun orang-orang pasti kembali bersikap semula pada dirinya. Namun, seiring waktu orang-orang masih saja bersikap seperti itu pada dirinya, walau Naruto mencoba untuk mendekati mereka semua. Orang-orang seolah sungkan dan takut menyinggung Naruto. Orang-orang itu seolah merasa Naruto tidak pantas berbicara dengan mereka. Bahkan, perubahan sikap pun terjadi pada Sakura.

Semenjak status Naruto tersebar, Sakura sulit sekali ditemui. Sakura yang berisik dan selalu meganggu dirinya setiap jam istirahat tidak pernah menemuinya lagi. Adapun saat Naruto secara kebetulan berpapasan dengan Sakura, Sakura seolah bersikap tidak mengenal dirinya. Ada apa dengan Sakura? Apa Sakura merasa sakit hati dengan Naruto yang menjadi terpilih? Naruto selalu mencoba berbicara dengan Sakura, tetapi sampai Naruto akhirnya diminta pihak istana untuk pindah, Naruto tetap tidak bisa berbicara Sakura.

Bahkan Naruto hanya berpamitan melewati secarik kertas saat Naruto bertamu ke rumah Sakura, dan Sakura tetap tidak mau menemuinya. Naruto hanya bisa menatap jendela kamar Sakura yang pernah dia kunjungi saat bermain ke rumah ini. Semua hal tersebut membuat jantung Naruto berdenyut sakit. Ia tidak pernah mengharapkan perpisahan menyakitkan seperti ini. Sama sekali tidak mengharapkan!

Naruto pun pergi dari kampung halamannya ke tempat sang pangeran tanpa ada sambutan atau ucapan selamat tinggal dari siapapun. Naruto seolah bukan sosok yang berasal dari tempat ini. Naruto seolah bukan sosok yang diterima di tempat itu. Naruto menjadi sangat asing di tempatnya, hingga dia cukup bersyukur bisa pergi istana dan memperoleh kehidupan baru di tempat itu.

"Naruto, makan dulu, Nak!" lamunan Naruto yang sibuk membereskan barang-barangnya terusik. Ia baru saja pindah hari ini, dan tugasnya membereskan barang-barang di kamarnya.

"Iya Kaa-san," ucap Naruto. "Aku membereskan pakaianku dulu," Naruto cepat-cepat memasukan pakaiannya ke dalam lemari. Iapun akan melangkah keluar kamar saat Naruto mendengar suara benda membentu kaca jendelanya.

Tuk!

Naruto menatap heran jendela itu.

Tuk!

Lagi-lagi suara itu terdengar. Naruto yakin batu kecil lah yang membentur jendelanya.

"Chk," decak Naruto. Siapa orang mengusilinya di malam hari seperti ini.

Tuk!

Naruto membuka tirai bertepatan dengan satu batul kecil mengenai kaca jendelanya.

Naruto membuka kaca jendelanya. Iapun hanya bisa mengerjapkan matanya saat sesosok bocah yang seharusnya tidak ada di tempat ini, kini berdiri di bawah kamarnya. Sosok tersebut memakai pakaian tebal karena cuaca malam ini begitu dingin. Tidak mau membuat sang pangeran membeku, Naruto cepat-cepat membuka kaca jendelanya, dan sang pangeran langsung menaiki pohon di depan kamar Naruto, kemudian duduk di dahan besar yang bertepatan di depan kamar Naruto.

"Apa yang kau lakukan? Kau kabur lagi?" ucap jengah Naruto. Ia sudah cukup tahu sikap sang pangeran yang selalu kabur dari istana dengan mudahnya.

Bukannya menjawab Sasuke malah meloncat ke arah jendela kamar Naruto, hingga di hinggap di bingkai, kemudian tersenyum ke arah Naruto.

"Kissu!" nyengir Sasuke sembari mengulurkan wajahnya ke hadapan wajah Naruto, membuat Naruto merotasi kedua bola matanya.

"Daripada seperti itu, mending kau meminta bantuanku untuk masuk," ucap Naruto.

Sasuke mencebikkan bibirnya. "Ish, istri macam apa, suaminya baru datang tidak diberi ciuman," sindirnya, seolah seorang suami yang baru pulang kerja saja.

Naruto mendengus. Ia menyingkir ke samping, memberi ruang untuk Sasuke masuk ke dalam kamarnya. "Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Apa sebegitu tampannya aku, hingga kau tidak bisa berpisah dariku hanya sedetik saja," Naruto tersenyum miring, bermaksud menggoda Sasuke.

Namun…

"Benar. Di dalam pikiranku selalu terbesit namamu," Sasuke mengiyakan ucapan Naruto dengan baik, membuat Naruto salah tingkah.

"Dasar Pangeran jelek," gumam Naruto.

Naruto menyembunyikan rona wajahnya dengan menundukan kepalanya. Setelah mereka kenal cukup lama, mereka mulai paham dengan sikap masing-masing. Bahkan, Sasuke semakin pandai membalas kenarsisan Naruto, atau membuat Naruto kesal. Sasuke pun tersenyum miring saat melihat wajah Naruto yang memerah. Sasuke patut berbangga diri karena dirinyalah yang bisa membuat Naruto seperti ini. Hanya dirinya. Tidak ada siapapun!

Hmm…

"DAMN!" seru Naruto, tiba-tiba, menghilangkan kegugupannya.

"A—apa?" teriakan Naruto membuat Sasuke shock. Ada apa dengan anak ini? Kenapa anak ini selalu berteriak tiba-tiba.

"I am handsome!" ucap Naruto sembari menaruh jari jempol dan telunjuknya di bawah dagu. Ia menyeringai menyebalkan.

Sasuke menatap Naruto datar, kemudian…

"Oh, NO!" teriak Sasuke, pura-pura shock, sembari menatap Naruto.

"Hmmm?" Naruto memasang ekspresi bingung—tidak jauh berbeda dengan ekspresi Sasuke tadi.

"I AM MORE HANDSOME THAN YOU!" teriak Sasuke, sembari mengikuti gaya Naruto, membuat Naruto mengerang, sekaligus menghentakan kakinya. Kalah.

"Hahahaha…" tawa Sasuke, ketika kemarahan Naruto begitu lucu. Ia meloncat ke dalam kamar Naruto, kemudian menarik tubuh Naruto. "Sini!" pinta Sasuke pada Naruto. Ia memeluk Naruto erat.

"Apa?" Naruto membalas pelukan Sasuke.

"Kau benar-benar tidak akan memberikan ciuman untukku?" tanya Sasuke, dengan ekspresi dibuat sedih.

Naruto mengurai pelukannya, kemudian menjauh dari Sasuke. "Anggap saja rumah sendiri," ucap Naruto, sembari berlalu untuk membereskan barang-barangnya kembali. Ia mulai menyusun pernak-pernik kesukaannya di dalam lemari etalase yang disediakan di dalam kamar ini.

Sasuke tahu jika Naruto mengalihkan pembicaraan. "Peliiiitttt!" rutuk Sasuke, pada kekasihnya yang selalu pelit, jika diminta cium di pipi saja.

Naruto tersenyum miring, kemudian menatap Sasuke menggoda. "Itu adalah nama terakhirku,"ucap Naruto, membuat Sasuke sebal.

"Uh," Sasuke mendudukan bokongnya di atas kasur, membiarkan Naruto sibuk sendiri.

Sasuke menatap sekeliling. Akhirnya, hari yang dinanti-nantinya telah tiba. Ia telah membawa Naruto ke dalam lingkungan istana. Istana utama dan kediaman Naruto bertetanggaan, sehingga Sasuke lebih mudah untuk menghampiri Naruto. Tidak perlu seperti bulan-bulan lalu. Sasuke harus melakukan perjalanan cukup jauh dan melelahkan hanya untuk bertemu dengan kekasihnya. Tetapi, apa yang tidak bagi Naruto? Seminggu sekalipun melakukan perjalanan jauh, Sasuke rela. Huff… untung saja sekarang dia setiap hari bisa melihat Naruto, bahkan beraktivitas sama-sama dengan Naruto.

Sasuke memandang punggung Naruto. "Jadi, bagaimana tempat ini? Apa kau menyukainya?" tanya Sasuke, merusak keheningan.

Naruto menatap Sasuke, kemudian mengangguk semangat. "Sempurna. Tempat ini sangat indah," ucap Naruto yang baru saja datang ke tempat ini langsung memperoleh banyak inspirasi untuk dilukisnya.

"Baguslah jika kau suka," Sasuke merasa lega. Tadinya dia mau meminta ayahnya untuk mencari tempat lebih baik dari ini jika Naruto tidak menyukainya. Sasuke beranjak dari kasur, kemudian berdiri di samping Naruto. "Sini aku bantu membereskannya."

"Naruto, makan dulu!" suara Kushina kembali terdengar dari bawah sana.

Oh, iya! Dia lupa, jika dia mau makan tadi. Ish, Sasuke memang paling bisa mengalihkan pikirannya.

"Iya, Kaa-san," teriak Naruto, meminta Kushina untuk bersabar.

Naruto kembali menatap Sasuke. "Kau ingin makan malam bersama?"

Sasuke menggeleng. "Tidak. Aku baru saja mendapatkan jamuan makan malam. Sebaiknya aku segera pergi. Aku hanya ingin melihat keadaanmu saja," ucap Sasuke sembari mengacak-acak rambut Naruto, membuat Naruto cemberut, tidak suka rambutnya semakin kusut.

"Selamat malam, Naruto," pamit Sasuke.

"Selamat malam, Sasuke," jawab Naruto.

Naruto menatap punggung Sasuke yang menjauh darinya. Sasuke kembali ke jendela, berniat pulang kembali ke istana. Naruto pun tertawa saat melihat tingkah Sasuke, membuat Sasuke heran.

"Kenapa kau tertawa," tanya Sasuke sebelum meloncat ke dahan besar di hadapannya. Niatnya untuk pulang kandas tiba-tiba.

"Aku merasa seperti Romeo," ucap Naruto. Ia melangkah mendekat ke arah Sasuke yang duduk di bingkai jendela.

"Ro—romeo? Adapun kau Juliet-nya, Tuan Putri," sindir Sasuke yang jengah dengan pikiran Naruto yang masih saja ingin dipanggil pangeran.

Naruto berdecak. "Chk, aku ini tampan. Sangat tampan. Mana ada aku menjadi Tuan Putri."

Sasuke menyeringai menyeramkan, membuat Naruto merinding. "Baiklah. Jika memang kau ingin dipanggil pangeran, maukah kau memberikan ciuman perpisahan Pangeran ketiga pada tuan putri yang sudah jauh-jauh datang kemari?"

Naruto mendengus. "Dalam mimpimu, Pangeran kedua."

Sasuke menggeram sebal. "Chk, pelit sekali," rutuknya. Lagi-lagi dia gagal mendapat ciuman manis dari Naruto.

Naruto terkekeh karena ekspresi Sasuke sekarang ini begitu lucu. "Hati-hati Pangeran," ucap perpisahan Naruto.

Sasuke hanya tersenyum, kemudian mengangguk. Ia siap meloncat saat seseorang menarik kerah belakangnya, nyaris membuat Sasuke terpeleset.

"Hei, Pangeran kedua," Naruto menarik kerah pakaian Sasuke.

Sasuke menolehkan kepalanya. "Apa yang kau lakukan, Do—

Sasuke terkejut ketika benda kenyal mengenai bibirnya. Ia hanya terpaku dengan mata terbelalak saat bibir Naruto mengenai bibirnya. Nafasnya terhenti seketika di saat Naruto menghisap bibir bawahnya dengan lembut. Sasuke tidak dapat melakukan apapun ketika dirinya tidak tahu harus melakukan apa. Ia masih terlalu takjub dengan sensasi manis ini. Lambat-laun kesadaran Sasuke kembali, iapun hendak membalas ciuman Naruto, ketika Naruto sudah memutus hubungan bibir di antara mereka berdua.

"Terima kasih sudah mampir kemari," bisik Naruto, saat pandangannya begitu lembut, dengan diiringi rona merah di pipinya, sama halnya dengan Sasuke. Apakah rona merah ini akibat malu atau cuaca dingin? Hanya mereka berdua yang tahu.

"…." Sasuke sama sekali tidak menjawab. Ini terlalu mendadak, membuat dirinya sulit berekspresi.

"Tidur yang nyenyak, Pangeran-ku."

Naruto melepas kerah pakaian Sasuke. Berusaha menutupi rasa malunya, Naruto lekas membalikan badannya, hendak keluar kamar. Iapun melangkahkan kakinya untuk menjauh dari Sasuke, ketika tubuhnya dibalikan secara paksa, hingga Naruto berhadap-hadapan dengan sosok Sasuke yang berfisik sedikit berbeda. Naruto hanya bisa terkesima saat melihat Sasuke di hadapannya bukanlah Sasuke yang biasa dia lihat sehari-hari.

"Pa—Pangeran, te—telinga—ekormu?!" tunjuk Naruto pada telinga dan ekor alfa—panther Sasuke.

Kedua bola mata Sasuke yang kelam kali ini tidak lembut seperti biasanya. Tatapan Sasuke errr… berbeda, terlihat tajam. Wajah Sasuke yang biasanya dihiasi oleh senyuman meledek, kini begitu datar, seolah Naruto merupakan terdakwa. Sasuke menarik pinggang Naruto, hingga tubuh mereka berdua merapat. Kedua tangan Naruto reflek memegang pundak Sasuke. Jantung Naruto pun berdetak kencang saat kedua wajah mereka begitu dekat.

"Nggg…. Sasuke?" Naruto merasa ada yang salah dengan semua ini.

"Hn," jawab Sasuke sebelum ia mengarahkan bibirnya pada leher Naruto. Ia mengecup ceruk leher Naruto sebelum menjilatnya.

Naruto yang polos terkejut dan menggeliat. "Ge—geliiiiii!" ucap Naruto, terkejut. "Hahahaha… Pangeran! Geliii!" tawa Naruto, ketika…

BRUK!

Sasuke membanting tubuh Naruto ke atas kasur, kemudian merangkak di atas tubuh Naruto dan mulai menjilati seluruh permukaan wajah Naruto. Ekornya bergoyang-goyang senang saatnya kupingnya meruncing, antisipasi.

"Sasuke. Aku adalah Sasuke, Naruto-ku," ucap mutlak Sasuke.

.

.

.

Kushina menuangkan secara perlahan sop yang baru saja dia buat. Untung saja pihak istana sudah menyiapkan perabotan umum di dalam rumah ini dengan baik, sehingga dia tidak perlu membongkar perlengkapan memasak di hari yang melelahkan ini. Kushina nyaris menyelesaikan pekerjaannya saat aroma yang menyengat meganggu penciumannya. Bau apa ini? Kenapa bau ini begitu menyengat dan… menyenangkan? Tiba-tiba tubuh Kushina terasa panas. Iapun berhenti menuangkan sop tersebut, memilih untuk mengendus udara di sekitarnya.

"Kushina?" Minato yang baru saja memasuki dapur melihat gerak-gerik aneh istrinya.

Kushina mengelus tubuhnya sendiri. Rasanya seluruh tubuhnya begitu gerah, dan sangat nikmat jika disentuh, walau oleh dirinya sendiri. "Nggg… Mi—Mina… Ngg…" desah Kushina yang mulai meraba-raba dadanya sendiri, membuat Minato terkejut setengah mati.

Kedua mata Minato terbelalak. Ia baru saja ingin menanyakan apa yang terjadi dengan istrinya, ketika aroma yang mengerikan dan nyaris membuatnya muntah menusuk hidungnya. Ia mati-matian agar tidak muntah di tempat ketika merasa bau menjijikan ini.

"Astaga, ba—bau ini?!" Minato lekas berlari ke arah Kushina kemudian menutup hidung Kushina dengan telapak tangannya. Iapun hendak menyelamatkan istrinya, ketika dia mengingat seseorang di atas sana.

"NARUTO!" pekik Minato, mengingat keberadaan sang anak yang kemungkinan besar sedang di dalam bahaya.

.

.

.

Naruto tidak berhenti tertawa saat Sasuke terus menjilati kulitnya. Wajah Naruto sudah dipenuhi oleh air liur Sasuke, ketika Sasuke tidak berhenti mengecup lehernya. Naruto terus menggeliat, terutama saat Sasuke memasukan tangannya ke dalam pakaian Naruto. Ugh, apa yang dilakukan Sasuke? Kenapa Sasuke terus menggelitik dirinya? Ini benar-benar menyakitkan sekaligus membuat Naruto tertawa. Merasa Sasuke sedang mengajaknya bercanda, Naruto membanting Sasuke, kemudian merubah posisinya menjadi duduk di atas Sasuke.

Sasuke menggeram saat bagian bawahnya diduduki oleh Naruto yang tidak merasa bersalah.

Naruto memanyunkan bibirnya. Walau dia suka bermain-main seperti tadi, tapi Sasuke menggelitik dengan keterlaluan. Bahkan Naruto nyaris kehilangan kaosnya, jika dia membiarkan Sasuke. "Huff… Ada apa denganmu, Yang Mulia. Tadi itu sungguh geli," keluh Naruto, ketika kedua mata Naruto memincing. Ia menahan kedua tangan Sasuke di pinggir kepala Sasuke.

"Kau menyebalkan!" keluh Naruto.

"Rrrrr…" Sasuke menggeram layaknya kucing besar. Ia menggesek-gesekan bagian bawah tubuhnya pada pantat Naruto, ketika Naruto masih asyik untuk menggerutu.

"Rrrr…?" geramam Sasuke membuat Naruto menatap sang Uchiha.

Kedua mata Naruto memincing. Ia menatap penampilan Sasuke sekarang ini. Walau Sasuke tadi bersikap menyebalkan, tetapi keindahan Sasuke tidak menghilang. Bahkan Sasuke berkali-kali lipat lebih indah. Lihatlah, telinga dan ekor berbulu gelap itu. Kemudian mata Sasuke yang setajam macan itu. Naruto terpukau dengan bocah di bawahnya. Sasuke sungguh indah. Benar-benar indah. Tiba-tiba tubuh Naruto terasa tidak nyaman, terutama ketika suhu di ruangan ini meningkat.

"Apa ini transformasimu? Apakah ini transformasi anggota inti istana yang terkenal itu?" tanya Naruto, memastikan jika apa yang dia lihat bukanlah mimpi. Konon, hanya orang-orang terpilih seperti pasangan anggota istana itu saja yang bisa melihat transformasi ini, tanpa alasan yang jelas.

Tidak ada pergerakan aneh lagi, Naruto melepas tangan Sasuke. Ia sedikit menjengit saat tangan Sasuke bergerak, menyentuh pipinya. Entah kenapa Naruto tiba-tiba sulit menelan ludahnya sekalipun. Perasaan apa ini? Kenapa tubuhnya terasa panas? Bahkan, saat Sasuke mengelus pipinya, tubuh Naruto semakin panas, dan nyaman, hingga dia membiarkan Sasuke menarik tengkuknya dan mengecup bibirnya.

"Naruto.." bisik Sasuke disela-sela kecupannya. Ia mengelus punggung Naruto, membuat tubuh Naruto yang menegang sedikit tenang.

"Yang Mulia-ku…" balas Naruto sembari membalas kecupan Sasuke.

Jari-jari Sasuke bergerak turun. Ia hendak memasuki jarinya ke dalam celana Naruto, ketika pintu kamar Naruto terdobrak dan sesosok pria bersurai pirang layaknya Naruto, menarik tubuh Naruto dengan kasar dari atas tubuh Sasuke.

"NARUTO!" pekik Minato, menarik Naruto ke belakang tubuhnya, melarang Naruto mendekati Sasuke. Ia lekas menancapkan jarum suntik ke tubuh Sasuke, membuat Naruto terkejut.

"TO-TOUSAN!" teriak Naruto, terkesiap dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba menyerang Sasuke. Ia hendak menghampiri Sasuke yang tampak kesakitan, mengerang, kemudian berguling-guling di atas kasur. Namun Minato mencegahnya.

"APA YANG TOU-SAN LAKUKAN?!" teriak Naruto, tidak suka melihat Sasuke kesakitan. Ia berusaha melepaskan diri dari Minato.

"APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN?!" Minato membalas bentakan Naruto.

"HARUSNYA AKU YANG BERTANYA, APA YANG TOU-SAN LAKUKAN PADA YANG MULIA?!" teriak Naruto kembali, saat kedua matanya melihat Sasuke kehilangan kesadarannya dan transformasinya kembali normal, kemudian sang Uchiha pun tertidur lelap.

Naruto menatap Sasuke khawatir. Ia berharap Sasuke baik-baik saja.

Ada apa ini?

Kenapa Tou-san menyakiti Sasuke?

Naruto menatap bingung punggung ayahnya yang terus melindungi dirinya saat bunyi sirine dari seluruh area istana terdengar.

What the hell?

Naruto merasa ada yang tidak beres sekarang.

.

.

.

Tidak terpikir oleh Naruto, ia akan secepat ini berada di istana utama. Ia tidak menyangka malam-malam seperti ini—di hari pertamanya ke istana—akan di bawa ke tempat ini dan dibiarkan duduk berdampingan dengan Sasuke di hadapan sang kaisar yang menatap dirinya dengan tajam. Naruto menatap sekitar, bukan hanya kaisar yang berada di tempat ini, melainkan nyaris seluruh menteri, bahkan keluarga istana. Astaga. Apa yang dilakukan Sasuke dan dirinya, hingga istana semarah ini? Apakah berguling-guling di atas kasur layaknya anak kucing itu adalah kesalahan?

Naruto mengalihkan perhatiannya pada Sasuke. Sejak tadi Sasuke hanya diam saja, tidak mengeluarkan suara apapun, ketika keadaan di sini begitu membingungkan. Wajah Sasuke masih terlihat pucat, membuat Naruto cemas. Sasuke pun terlihat lemas, sisa pengontrol libido yang diberikan Minato. Naruto ingin sekali meminta seseorang untuk membiarkan Sasuke beristirahat, namun usahanya seperti sia-sia, berhubung semua orang meminta mereka berdua untuk tetap ada di tempat ini.

"Apa kau tahu kesalahanmu, Pangeran kedua?" tanya Fugaku—akhirnya ia angkat bicara.

"…" Sasuke hanya menerawang, tidak menjawab.

"JAWAB AKU, PANGERAN KEDUA!" bentak Fugaku, membuat Naruto menatap sang penguasa ini dengan ekspresi tidak suka.

"Yang Mulia…" tegur istri sang kaisar, meminta Fugaku menghormati keberadaan Naruto yang tidak tahu-menahu keberadaannya di tempat ini.

Fugaku melampiaskan emosinya dengan mengepalkan tangannya. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. "Pergi keluar istana utama tanpa izin, kemudian melakukan transformasi dan mengklaim wilayah dengan cara tidak beradab. Apa kau berpikir, dunia ini tempat bar-bar atau apa?" tanya Fugaku, menjabarkan kesalahan Sasuke yang cukup mempermalukan istana.

Bayangkan?

Akibat ulah Sasuke, seluruh alfa non ultimate di lingkungan istana nyaris muntah, dan seluruh omega maupun beta tiba-tiba terangsang. Untung saja, sang putri—Izumi serta ibu suri bisa terselamatkan, walau kedua wanita itu harus meminum pengendali hormon.

Kedua tangan Sasuke mengepal kuat, mengutuk kontrol dirinya. Ia tidak menyangka bisa kehilangan kontrol seperti ini. Seumur hidup, dia belum pernah merubah transformasi sembarangan seperti ini, dan mengeluarkan aroma yang diperuntuhkan untuk penguasaan wilayah. Tidak ada satupun dari orang asing—luar keluarganya—yang mengetahui wujud transformasinya. Sasuke benar-benar merasa malu pada dirinya sendiri, terlebih saat dia mengeluarkan aromanya, hingga seluruh wilayah istana nyaris bisa mencium aroma yang dikeluarkannya.

"Maafkan saya, Yang Mulia," jawab Sasuke, kali ini ia memang merasa bersalah.

Fugaku menghela nafas. Ia menatap Naruto dan Sasuke bergiliran. Ia tidak menyangka pengaruh Naruto begitu besar pada Sasuke. Seorang Uchiha bisa kehilangan kontrol merupakan sesuatu yang ajaib. Naruto memang berbeda. Ia berhasil menempati posisi tertinggi di hati Sasuke, hingga Sasuke sulit mengendalikan libidonya sendiri, dan terkena heat mendadak.

Fugaku menyerah untuk mengomentari tingkah anaknya yang nakal ini. "Tetapkan hukuman yang pantas untuk Pangeran kedua, dan kau istirahatlah, Pangeran kedua," perintah Fugaku pada salah satu kepercayaannya dan Sasuke.

"Ya—Yang mulia!" Mikoto terkejut dengan keputusan Fugaku. Ia berpikir semua bisa dibicarakan baik-baik, ketika Sasuke memang tidak sengaja melakukan itu semua.

Sasuke yang memang tidak ada niat untuk membela diri hanya tersenyum samar, menerima hukuman apapun yang diberikan oleh ayahnya. "Jika begitu saya permisi, Yang Mu—

Tiba-tiba Naruto berdiri menghadap kaisar. Ia menatap kaisar penuh keberanian.

"Na—Naruto?" Minato yang sejak tadi menyaksikan sidang ini menatap khawatir anaknya.

"Saya yang bersalah, Yang Mulia. Sayalah yang telah mengundang Pangeran kedua untuk datang ke kamar saya karena saya belum merasa nyaman dengan lingkungan baru saya," bela Naruto, berharap seluruh orang di tempat ini mempercayainya dan Sasuke tidak terkena hukuman.

Kedua mata Sasuke terbelalak. "Naruto! I—itu tidak be—

Naruto menggapai lengan Sasuke dan meremasnya, meminta Sasuke berhenti berbicara. "Saya yang pantas dihukum karena telah mencoreng nama istana. Maafkan saya Yang Mulia," Naruto melepas tangan Sasuke kemudian membungkuk di hadapan sang kaisar, meminta maaf dengan sungguh-sungguh.

Kedua mata Fugaku memincing. Ia menatap anak sulungnya yang sejak tadi hanya diam saja, kemudian menatap Sasuke. "Apa benar yang dikatakan oleh Naruto, Pangeran kedua?" tanya Fugaku, mengembalikan semua keputusan pada Sasuke.

"Katakan yang sebenarnya, Pangeran kedua," perintah Itachi, akhirnya dia membuka suara, meminta sang adik berucap sejujur-sejujurnya.

Sasuke tidak mungkin mengatakan jika Naruto yang bersalah. Iapun tidak mungkin mengecewakan Naruto. Ia tahu Naruto pasti marah besar pada dirinya, jika menolak bantuan ini. Sasuke menatap kedua orang tuanya, orang-orang di sekitarnya. Sepertinya, semua orang ingin tahu apa keputusan dirinya. Apakah keputusan yang diberikan dirinya akan berpengaruh pada pemikiran orang-orang terhadap dirinya? Pandangan Sasuke teralihkan kembali pada Naruto yang masih membungkukan tubuhnya.

"Sasuke Uchiha," Fugaku menegur Sasuke yang hanya diam saja. Jika Fugaku sudah memanggil Sasuke dengan nama asli, itu berarti Sasuke sedang di dalam bahaya.

Sasuke menatap kakaknya dan Fugaku. "Kami sama-sama menginginkannya. Saat Naruto mengundang saya, bukankah saya memiliki pilihan untuk menolaknya. Tetapi saya tetap datang karena saya pun ingin melihat dirinya," ucap Sasuke, pada akhirnya dia memilih jalan tengah.

Semua orang berbisik-bisik atas ucapan Sasuke, seolah mereka saling menilai perangai Sasuke sekarang ini.

Sekilas Sasuke melihat senyuman tipis dari bibir Fugaku. "Datanglah ke perpustakaan istana, kalian akan tahu apa yang harus kalian lakukan di tempat itu," ucap Fugaku, memberi keputusan final. Hukuman pun teralihkan untuk dua orang.

"Untuk Naruto, berdiri tegaklah!" perintah Fugaku.

"Terima kasih, Yang Mulia. Saya pegang kata-kata Yang Mulia," Naruto akhirnya kembali berdiri tegak, menatap Fugaku dengan ekspresi sedikit lega. Ya, sedikit, ketika dia berharap Sasuke terbebas dari hukuman seutuhnya.

"Sebagaimanapun dia calon suamimu, kesalahan adalah kesalahan, kau tidak bisa menutupi kesalahannya sebagaimanapun kau mencintainya," sindir Fugaku, membuat Naruto menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Naruto tertawa kikuk. "Saya akan selalu mengingat kata-kata, Yang Mulia, jika Pangeran kedua bersalah di waktu nanti. Terima kasih sarannya," ucapnya.

"Ayo, Pangeran kedua," ajak Naruto, lekas menarik tangan Sasuke sebelum kaisar berubah pikiran lagi. Setidaknya mereka berdua dihukum berdua, dan bisa membagi penderitaan berdua.

Sasuke hanya menggeleng saat melihat tingkah Naruto yang begitu penuh semangat dan tampak senang karena mendapat hukuman bersama.

.

Saat satu-persatu pejabat tinggi istana mulai berpamitan untuk pulang karena keadaan larut malam, Fugaku melihat anak sulungnya masih diam di tempat yang sama. Ekspresi Itachi tidak terbaca. Ia hanya berbicara satu atau dua patah kata, tidak memberi masukan berarti seperti biasanya. Ada apa dengan anak ini? Kenapa sejak tadi diam saja, seolah asyik mengamati Naruto dan Sasuke? Fugaku baru saja menaruh cangkir tehnya, ketika pandangannya lagi-lagi fokus pada Itachi.

"Ada apa, Putra Mahkota? Kenapa kau diam saja?" tanya Fugaku, menegur anak sulungnya yang sibuk dengan pikirannya sendiri.

Itachi menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa, Yang Mulia Kaisar," jawab Itachi, berbanding terbalik dengan ekspresinya yang sulit diartikan.

.

.

.

Beruntung bagi Sasuke dirinya masih bisa mengantar Naruto ke kediaman Namikaze, walau pengawasan untuknya semakin diperketat. Setidaknya ia masih bisa berjalan berdampingan dengan Naruto, walau dipantau oleh banyak orang. Bahkan ayah Naruto yang diam saja sejak tadi tidak henti-hentinya memantau mereka berdua. Keberuntungan Sasuke pun semakin bertambah, ketika seseorang menghampiri Minato, kemudian meminta Minato untuk mengikutinya. Dengan terpaksa Minato meninggalkan Sasuke dan Naruto di bawah pengawasan pengawal istana—tanpa dirinya.

Sasuke merutuki keheningan yang begitu menyiksa. Sejenak ia menatap para pengawal yang masih setia mengekori dirinya dan Naruto.

"Maafkan aku," gumam Sasuke—merusak keheningan di antara mereka berdua.

Naruto tertawa geli. "Maaf atas apa, Pangeran kedua?"

"Bisakah kau memanggilku Sasuke, saat ini?" Sasuke memandang Naruto serius. Ia sedang tidak ingin bercanda atau mendapatkan ledekan apapun.

Naruto berhenti melangkah, membuat seluruh rombongan yang mengiringinya ikut berhenti. "Hmm… kau meminta maaf atas apa, Sasuke?" tanya Naruto, memandang Sasuke lekat-lekat.

Sial.

Dipandang seintens ini membuat Sasuke salah tingkah. Kenapa Naruto bisa membuat dunianya jungkir-balik seperti ini. Sasuke bisa kehilangan kontrol dan merasakan perasaan yang belum pernah dia rasakan saat berada di dekat Naruto.

"Kau menjadi kesulitan karena diriku," bisik Sasuke. Untuk pertama kalinya dia merasa bersalah seperti ini dan membuat kesalahan yang mempermalukan istana.

Naruto mendesah. Ia sebenarnya merasa bersalah seperti Sasuke. Seandainya dia tidak cepat luluh atas semua bujuk rayu Sasuke dan bisa bersikap tegas, ia tidak perlu membuat Sasuke di dalam masalah seperti ini. "Apa yang kau pikirkan? Akupun patut disalahkan di sini karena menerimamu di waktu tadi," ucap Naruto, mencoba menenangkan Sasuke.

Sasuke tidak tahu darimana kebaikan Naruto berasal. Walau Naruto kerap kali bisa bersikap kasar melebihi alfa, tetapi sisi lembut seorang omega tidak dapat Naruto tampik. Naruto memiliki hati yang hangat dan bisa meluluhkan sikap keras kepala seorang Sasuke. Naruto bisa membuat Sasuke menyesal seperti ini. Sasuke semakin terjatuh ke dalam pesona Naruto. Sampai kapanpun, tidak ada siapapun yang bisa mengganti posisi Naruto.

Grap!

Sasuke reflek menarik tubuh Naruto, kemudian memeluknya, membuat seluruh penjaga di sekitarnya mengantisipasi. Pelukan ini murni rasa berbagi kasih sayang Sasuke pada Naruto. Tidak ada sedikit pun nafsu, hanya keinginan Sasuke untuk berbagi kehangatan.

"Maaf," gumam Sasuke.

Naruto mengelus punggung Sasuke. "Kau tahu. Aku akan semakin marah, jika hanya kau yang dihukum. Asal kau tahu saja, bagiku asal kita bersama, dimanapun sepertinya menjadi tempat menyenangkan," ucap Naruto, serius.

Kemudian…

"YAK! Berhenti bermanja-manja, kau membuat kadar ketampananku menghilang," Naruto baru sadar jika dia disaksikan orang-orang, tetapi dia tetap membiarkan Sasuke memeluknya erat.

"Aku menyayangimu," bisik Sasuke, saat hanya Naruto yang mendengarnya.

"Tentu saja kau pasti menyayangi laki-laki tampan sepertiku. Perkenalkan, aku adalah Pangeran ketiga," balas Naruto, membuat Sasuke mengerang.

"Ya, Tuhan…" gumam Sasuke.

Bagaimana bisa ada orang yang masih bisa narsis di keadaan seperti ini?

"Hehehe…" Naruto terkekeh pelan, namun perlahan kekehan Naruto berhenti.

Naruto tidak mengerti kenapa badannya terasa tidak nyaman. Ia merasa ada sesuatu yang meletup-letup di dalam tubuhnya, hendak untuk disentuh. Naruto tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuhnya, terutama pada saat Sasuke menyentuhnya. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa di saat cuaca sedingin ini tubuhnya malah semakin panas, terlebih… saat Sasuke berada di dekat dirinya? Naruto bingung dengan keadaan dirinya sendiri. Ia berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya.

Ya dia sungguh berharap.

Bersambung (menuju part 2)….

Kemarin cukup banyak yang bertanya, apakah chapter 1 kemarin itu flashback? Ya, itu masa lalu Naruto, tahun 2012, dan setting sesungguhnya di 2017. Kemudian, apa Naruto bertemu Sasuke dulu sebelum Itachi? Begitulah. Sasuke orang pertama yang bertemu Naruto.
Sekian cuap2nya. Terima kasih sudah baca. Jangan lupa bahagia ;)