Mystic Messenger (c) Cheritz

Choi Saeyoung x MC

Romance/Drama

Please don't read if you don't like it! :D


Saat aku sadar, jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Masih di dalam posisi duduk nyaman di depan komputer, aku meregangkan seluruh tubuh dari rasa pegal hingga semua sendi berbunyi gemeretak–kemudian tersenyum puas seraya melepas headphone.

"Pagi, uri jagi~"

Sebelum aku mampu memahami situasi lebih lanjut, sapaan yang tidak asing itu mengudara mengisi keheningan suasana, bersamaan dengan sengatan kecil nan lembut yang menyentuh pipiku–ia menciumku tanpa ragu seperti biasa.

Kuusap-usap kedua kelopak mataku, memaksa untuk kembali terbuka lebar seperti sedia kala. "Ini masih tengah malam, Saeyoung," sahutku sekenanya–tak lupa tanpa ampun menariki kedua belah bibir sang penanya tanpa melepas pandanganku dari layar komputer.

"Uh-huh-uh-uh," rintihan itu meronta minta dilepaskan–aku tersenyum kecil sebelum mengabulkannya.

"Wajahmu jadi jelek begitu~" Aku tidak tahan untuk tidak menyemburkan tawa ketika melihat raut memelas pemuda nyentrik berkacamata yang tengah mengelus-elus sayang bibirnya sendiri.

"Jahatnya... Padahal sudah kuberi ciuman..." Rajukannya ia buat persis seperti suara anak kecil–sungguh tidak cocok dengan suara alto-nya yang 'cowok banget'itu. Ia dengan cepat membalikkan badan membelakangiku seolah benar-benar sedang ngambek.

Bukannya bersimpati, tawaku justru semakin meledak-ledak–aduh, perutku sampai sakit. Pemuda ini–Saeyoung benar-benar tahu bagaimana cara membuatku terhibur dengan tingkahnya yang sama sekali tidak ja'im itu.

"Jangan ngambek begitu, Saeyoung," ujarku seraya menepuk-nepuk punggungnya (masih dengan setengah mati menahan tawa), "aku minta maaf, deh, oke?"

Ketika pemuda itu berbalik menghadapku lagi, seringaiannya sudah selebar lautan samudera. "Permohonan maafmu akan kuampuni, wahai manusia!" serunya sembari merentangkan kedua tangan–mulai lagi, deh, kelakuan absurdnya.

Aku membalasnya dengan pelukan erat–ia pun melakukan hal yang sama. Aroma maskulin tubuhnya yang sangat kusukai sekejap memenuhi indera penciumanku. Aku sangat menikmati setiap detik ketika kami bertukar kehangatan seperti ini–semakin membenamkan wajahku pada dada bidangnya, menginginkannya lebih dalam.

"Sebagai ganti mendapatkan pengampunanku, kau harus menebus dosamu, wahai manusia~!"

Tubuhku pun limbung ke belakang seiring dengan dorongan kuat lengannya yang tiba-tiba melepaskan pelukanku. Aku agak kecewa, tentu saja. Aku masih ingin memeluknya–dan dipeluknya. Saeyoung payah memang, dasar tidak peka.

"Aku harus bagaimana untuk mendapat restumu, wahai dewaku?" Aku akhirnya memutuskan mengikuti permainan Saeyoung–mempertemukan kedua telapak tanganku di depan dada seraya memandanginya penuh harap, seolah sedang berdoa.

"Mudah saja!" Saeyoung mengedipkan sebelah mata dan menjentikkan jarinya, "Aku hanya ingin meminta pendapatmu tentang game yang kaumainkan barusan, hehe." Ia terkekeh dan akhirnya kembali tenang, menarik kursi singgasana yang biasa ia pakai untuk bekerja dan mengambil posisi duduk di sebelahku.

"Oh, game simulasi kencan ini?" Aku sedikit melengos, melirik ke layar komputerku yang masih menampilkan grafik terakhir game yang barusan kutamatkan–game buatan Saeyoung. Ternyata aku memang agak berlebihan berharap, rasa-rasanya hatiku membatin kecewa.

"Ya. Kau tahu, jagi, aku membuat game ini sambil memikirkanmu." Manik emasnya bergerak mengikuti arah lirikanku, pipinya samar-samar merona lucu.

Sejenak aku terdiam, pandanganku terkunci pada layar komputer–berpikir keras. Saeyoung pun diam dengan pandangan berbinar-binar–mungkin bangga dengan hasil ciptaannya yang satu ini, mengingat dia sebelumnya memang payah dalam urusan percintaan.

"Bagus," tanggapku singkat setelah berpikir cukup lama.

Saeyoung seolah tidak mendengar. Ia masih memandangiku sambil tersenyum-senyum. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Dewa jadi-jadian satu ini memangnya berharap apa lagi?

"Saeyoung...?"

"Ya?" jawabnya. Sepertinya jiwanya kembali masuk ke dalam raga tepat ketika aku memanggil namanya tadi.

"Game-mu bagus."

Kami berdua sama-sama mematung hingga ia yang mulai membuka suara lagi, "Hanya itu?"

"Mau apa lagi?"

Saeyoung mendadak memanyunkan bibir–pertanda bahwa ia benar-benar ngambek. "Jahatnya... Padahal aku benar-benar memikirkan reaksi bahagiamu sampai barusan..." Kemudian kepalanya mulai tertunduk lesu.

Aku gelagapan menangkup wajahnya dan memaksanya menegakkan kepala lagi, namun ia tetap saja membuang muka. Sorot matanya memancarkan kekecewaan–ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri.

Ah, memang ada kalanya Saeyoung bersikap lemah seperti ini. Aku hanya bisa mengusap-usap pelan kepala merahnya–bertekad sekali lagi di dalam hati untuk membantunya lebih menghargai dirinya sendiri. Karena mengetahui kenyataan bahwa ia membuat game ini sambil memikirkanku adalah salah satu hal yang paling membahagiakan di dalam hidup.

"Saeyoung, Saeyoung, lihat aku," aku mendekatkan wajahku padanya, "aku sangat menikmati menjadi heroin utama game-mu dari chapter awal hingga akhir, sungguh."

Ia sedikit bersungut, "Tapi aku tidak menemukan perasaan itu di dalam kata-katamu tadi."

Aku tersenyum kecil. "Aku menikmatinya. Aku menikmatinya ketika kau membuatku menjadi tetangga Yoosung dan menjadi objek keprotektifannya di chapter pertama. Aku pun tidak bisa berhenti tertawa-tawa ketika kau membuatku melakukan interaksi yang lucu bersama Saeran di tengah kelas pada chapter selanjutnya."

"Benarkah?" Ia mulai menoleh padaku dengan ekspresi senang.

Aku mengangguk mengiyakan. "Aku juga benar-benar terkejut ketika tahu bahwa kau membuatku mengagumi V dan membuat perasaanku itu bertepuk sebelah tangan. Kau benar-benar jahat, Saeyoung."

"Tentu saja," ujarnya seraya melipat tangan, "menurutku V tidak pantas untukmu."

Pernyataannya yang kelewat angkuh itu kontan membuatku tertawa–dan sekilas aku pun melihatnya sedikit menyunggingkan bibir picik. Dasar Saeyoung, ternyata ia diam-diam masih menyimpan 'dendam' pada V.

"Lalu selanjutnya aku dibuat pusing menjawabi pertanyaan bos 'manja' Jumin. Ah, aku jadi teringat masa-masa ketika aku masih kuliah dan magang untuk pertama kalinya. Dan puncaknya, aku hampir saja berteriak kegirangan ketika tidak sengaja mengangkat panggilan masuk dari Zen. Aku mendadak merasa menjadi orang paling hoki sedunia di chapter itu~"

Saeyoung hanya menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak sepanjang aku bercerita tentang kesan-kesanku setelah memainkan game buatannya. Aku tertawa dan ia pun ikut tertawa. Entah apa yang ada di pikirannya, namun aku memang tulus menyampaikan bahwa aku menyukai game itu.

Di luar kepayahannya dalam urusan percintaan, kejeniusan Saeyoung dalam menciptakan sesuatu memang tidak diragukan lagi. Meskipun menurutku, masih ada yang kurang: tidak ada Saeyoung di sepanjang jalan cerita dalam game itu.

"Jadi, apa kau menyukainya, jagi?" Ia menahan napas setelah aku selesai berbicara.

"Ya, aku sangat suka! God Seven-ku memang hebat!"

Sejurus kemudian ia menghembuskan napas dan memasrahkan punggungnya pada sandaran kursi dengan senyuman perahu naga yang menghiasi wajah tampannya. "Ah, syukurlah..."

"Apa kau tahu bagian mana yang paling aku sukai dari game-mu?"

"Yang mana?" Saeyoung menanggapi pertanyaanku dengan semangat menggebu-gebu. Ia kembali menegakkan badannya, memutar kursinya tepat menghadapku–sama seperti yang kulakukan sehingga kami berdua duduk berhadap-hadapan.

Seraya mengedipkan sebelah mata, aku menyimpan jari telunjukku di atas bibirnya, "Aku paling suka ketika mendapatkan ciumanmu di pipi sesaat setelah menamatkan game ini. Hehe. Aku paling suka dengan chapter Saeyoung."

Kulihat Saeyoung terkejut untuk beberapa saat dengan bola mata yang membulat sempurna, sebelum akhirnya menunjukkan senyumannya lagi–senyuman yang lebih lebar dan lebih manis dari yang sebelumnya. "Oh, jagi, aku tahu apa yang kaumaksudkan."

Kau tahu, aku paling tidak tahan untuk tidak mengecup sesuatu yang manis, termasuk senyuman milik Saeyoung.

.

Fin!

.


[A/N]

Akhirnya sampe di penghujung fic ini hufftt hahaha /ngelapkeringet

Jadi gimana kesannya kakak-kakak setelah membaca fic ini? Apa ada yang nyadar sebelumnya kalo sebenernya dari chapter pertama banget fic ini tuh saling sambung-menyambung ceritanya meskipun keliatannya engga? Wkwkwkw kalo engga nyadar berarti saya harus banyak berlatih menulis lagi.

Dan memang, untuk memahami chapter terakhir ini kakak-kakak harus ngebaca chapter-chapter sebelumnya tanpa dilewat. Hampura pisan ngahajakeun wuehehe /tolongindonesia

Oke, sampai disini aja saya persembahkan fic ini. Semoga tidak mengecewakan kakak-kakak pembaca Terimakasih udah meluangkan waktu untuk membaca cerita saya! :D