DISCLAIMER : Masashi Kishimoto

Pairing : NaruSaku slight NaruIno & SasuKarin. Rated : M (for lime, scene, language, etc.) Genre : Romance & Drama. Warning : OOC. AU. Typos. Boring. Mainstream theme. Don't like don't read

Story by Hikari Cherry Blossom24

One Night Stand [Chapter 5] LAST!


.

.

.

x X x

"Sial!"

Umpatan menjadi perjuangan terakhir Naruto. Pintu Kereta telah tertutup sepenuhnya, dan ia baru saja tiba. Terlambat.

Sakura berdiri di dekat jendela, melihat itu Naruto segera berlari mengikuti lajunya Kereta Api yang berjalan. Keduanya saling tersenyum, karena bahagia Sakura sampai meneteskan air mata.

"Namamu!?"

Si pemilik emerald menyeka mata. "Sa..."

Mereka semakin jauh, tapi Naruto terus berlari untuk menyamakan dan mendengarkan kalimatnya.

"..ku..."

Ucapan Sakura terdengar terputus-putus di telinga Naruto karena tersaingi oleh suara ribut mesin Kereta Api.

"..ra."

Naruto terpaku bersama langkah cepat. "Sakura." Beruntung ia masih bisa mendengar semua kalimat yang diucapkan, padahal tadi seperti tidak ada harapan.

"Haruno." Sudah percuma karena tak lagi bisa di dengar.

Sakura kelabakan saat Naruto memberi isyarat calling. Dengan terburu-buru ia mengeluarkan buku kecil dan pulpen lalu mencatat nomor ponsel di buku kosong tersebut, begitu usai segera ia tempelkan hasil catatan tadi di jendela Kereta.

Naruto yang masih berlari mengejar Kereta tengah mengetikan beberapa digit nomor ponsel milik Sakura, sialnya hanya sebagian yang bisa disalin karena Kereta tersebut telah menghilang dari Stasiun— meninggalkan rel kosong.

Tangan Sakura terkepal erat. "Baka." Ia menggeram dalam tangis yang tertahan. Apakah ini kesempatan terakhir? "Semoga kau berhasil."

Naruto membungkuk dengan menjadikan kedua lutut tempat untuk menyanggah tubuh. Ia bernafas dengan tersengal, benar-benar kelelahan menandingi kelajuan Kereta Api. Peluhnya membanjiri wajah, sudah seperti berbasuh dengan air.

Ia tak melewatkan satu hal yang paling penting. "Sakura." Yaitu nama si perempuan misterius. "Arrgghh..." Naruto mengacak rambut. Frustasi karena terlambat menyalin nomor ponsel Sakura. Cuma itu satu-satunya harapan untuk hubungan mereka.

Tak ingin menyerah, Naruto sembarangan menambah digit nomor dari beberapa yang ia dapatkan tadi dan mencobanya. Tidak disini, tetapi di rumah. Ia perlu melakukan beberapa test untuk menemukan nomor Sakura.

"Kemana saja kau?"

Suara tegas mengejutkan Naruto, segera membawa tubuhnya berbalik ke belakang. "Nenek."

Tsunade berkacak pinggang, memperlihatkan kepada si Cucu betapa banyak barang yang ia bawa sendiri. Naruto nyengir. "Gomene, tadi ada sesuatu yang mengharuskanku meninggalkan tempat perhentian Kereta Nenek."

Beliau mendengus. "Sudahlah, aku ingin istirahat." Tsunade berlalu lebih dulu. Setelah memungut dua buah koper milik sang Nenek barulah Naruto mengikuti jejaknya. Ia melamun dalam perjalanan.

Tes.

Sakura mengusap mata. "Siapa namamu..." Gumamnya di tengah kerumunan orang. Para penumpang ini sangat merepotkan, kalau bukan karena mereka sudah pasti saat ini ia sedang memeluk laki-laki pirang itu.

Kesal dan sedih berpadu menjadi satu, penderitaan yang saat ini Sakura alami.

Padahal sedikit lagi.

x X x

Naruto meremas rambut lalu menghela nafas. "Sial." Lagi-lagi sebuah umpatan. Berkali-kali mencoba dan tak satu pun berhasil. Ia sudah bekerja dalam waktu yang lama, sialnya tak mendapatkan apa yang diharapkan.

Sekali lagi, dan ini akan menjadi yang terakhir.

Naruto mengetik nomor, setelah selesai ia segera menghubunginya. "Aku mohon." Ia berdo'a selagi panggilan terhubung, berharap kali ini tidak sia-sia.

"Sedang menunggu telfon dari siapa?"

Ino menegur Sakura yang terlihat tidak tenang, bahkan sejak tadi menatap layar ponsel dengan wajah serius.

Sakura menghela nafas. "Bukan siapa-siapa." Ia tak kan mengatakan tentang laki-laki itu lagi kepada Ino, cukup satu kali mendapat ejekan karena menantikan hal yang lagi-lagi MUSTAHIL.

Ino mengangkat bahu. Melihat Sakura baikan sudah cukup membuatnya lega. Ia mengerti bahwa sang sahabat belum sepenuhnya pulih, untuk itu ia enggan mengganggunya dengan pertanyaan yang menyudutkan.

"Jidat, tolong ambilkan aku serbet baru."

Sakura beranjak. "Dimana?"

Ino tampak sibuk mencuci piring. "Aku menyimpannya di laci kitchen set." Tinggal membilas, ia sudah menyabuni semuanya.

Drrtt drrtt..

Mendengar ponsel bergetar mengurungkan niat Sakura. Ia berlari dengan tergesa untuk kembali ke meja makan. "Itu pasti dia!"

Bukan.

"Hm?" Sakura linglung. Ponsel siapa yang bergetar?

"Ada apa?"

Sakura menatap Ino dan mendapati si pirang berkuncir tengah menggenggam ponsel. Ia mengela nafas dengan lesu. "Tidak apa-apa." Ino cengo melihat gelagat aneh Sakura. "Lanjutkan." Sakura duduk letih lalu menyanggah dagu, menatap lurus tanpa semangat.

"Hallo?" Ino menyapa panggilan dari nomor asing tersebut.

"Apa kau Sa—"

"Maaf, aku tak mengenalmu." Ino memutus panggilan. Ia muak bila mendapat panggilan dari nomor asing. "Menyebalkan." Keluhnya kesal karena sempat mengira Sai yang menelfon. Tumben sekali malam ini Sai tidak menghubunginya. Membuat jengkel saja.

"Dari siapa?" Sakura bertanya untuk basa-basi. Ia lelah terlalu banyak diam.

Ino terlihat kesal. "Nomor asing." Jawabnya lalu kembali pada aktifitas sebelumnya. Cuci piring.

Sakura merebahkan kepala. "Seandainya saja nomor asing juga menghubungiku." Gumamnya, tapi di dengar oleh Ino.

"Kau bilang apa?" Tak begitu dengar.

"Aku bilang lelah." Ada saja kalimat simpanan Sakura untuk menghadapi Ino. Entahlah, semua karena kehundahan hati yang membuatnya selalu punya cara menyelesaikan masalah dengan Ino.

"Emm, begitu ya." Si pirang mengangguk paham. "Mana serbet yang kau ambilkan?"

Sakura menyerngit. "Ambil sendiri." Ino mendengus keras karena jawaban tersebut. Dengan terpaksa ia berjalan sendiri untuk mengambil serbet, malas menyuruh Sakura yang sedang kesal entah karena masalah apa.

Si bodoh itu tidak mau cerita, dia ingin memendam perasaan sendirian saja.

Naruto menghempas ponsel. "Sombong!" Decihnya terhadap orang terakhir yang ia hubungi. "Setidaknya beri aku kesempatan untuk bicara, mana tahu kau mengenal Sakura." Ia tak kan mengulang panggilan lagi, terlalu memalukan untuk dilakukan setelah mendapat penolakan secara kasar.

Namikaze muda tersebut mendorong kursi hingga menjatuhkannya. Persetan dengan kursi tersebut, ia langsung menghempaskan tubuh di tempat tidur.

"Sakura..." Jemari miliknya tersemat dalam helaian rambut. "Merah muda seperti bunga Sakura." Ia menyisir rambut ke belakang menggunakan jemari, seperti yang pernah Sakura lakukan saat mereka bercinta. "Sakura."

Pria itu memejamkan mata, seketika mendapati bayangan Sakura dalam benak.

Perempuan itu tersenyum.

"Aku mau tidur." Sakura beranjak bersama ponsel dalam genggaman. Masih menjadi pertanyaan sampai saat ini. "Selamat malam." Ucapnya kepada Ino. Kenapa laki-laki itu tak menghubunginya? Bukankah tadi dia sudah mencatat nomor ponsel yang ia berikan?

Apa mungkin...

"Oyasumi."

Sakura tersenyum tipis menanggapi ucapan Ino. "See you tomorrow."

Dia tak sempat mencatat semua nomornya?

Harusnya Sakura sadar sejak awal bahwa ia terlambat memberikan nomor ponsel kepada laki-laki itu. "Baka." Umpatnya geram. Lagi-lagi kegagalan. Ia ingat selagi pria itu menyalin nomor Kereta yang ditumpangi telah keluar dari Stasiun.

Rupanya terlambat.

Sakura menatap sedih tempat tidur miliknya. Jika melihat kasur sering kali mengingatkannya pada malam itu, dimana mereka berbagi kenikmatan bersama desahan yang mengalun.

Rasa cumbuan itu masih bisa Sakura rasakan hingga detik ini.

x X x

Dia menyelonong masuk tanpa permisi, mengejutkan kedua insan di dalam kamar tersebut. "DOBE!" Sasuke berteriak lantang, dan Karin dengan tergesa menyelimuti badan telanjangnya.

Sasuke melompat ke arah Naruto lalu mencekal kemejanya. "Sakura." Ia tertegun. Naruto tersenyum riang. "Namanya Sakura..."

Bahkan Karin tak kalah bingung dari Sasuke. Di atas ranjang sana ia tengah menatap kedua sahabat terbut, mendadak kekesalan karena gagal bercinta hilang ketika melihat senyum cerah di wajah Naruto.

Dia kelihatan bahagia.

"Bunga Sakura?" Naruto mendengus. Sasuke membuatnya kesal.

"Bukan." Sasuke melirik keberadaan Karin lalu memutuskan membawa Naruto keluar. Tak baik memperlihatkan keadaan Karin kepada Naruto, yang jelas-jelas orang berbahaya untuk Karin. Wanita bercakamata merah itu miliknya.

"Apa maksdumu Sakura?"

Naruto menarik tengkuk Sasuke. "Aku mencari gadis itu, namanya Sakura." Tuturnya bahagia. Sasuke melihat hari ini Naruto tampak bersemangat, tak seperti hari-hari biasa. Gemar murung.

"Nama belakangnya?"

Naruto gelagapan. "A-aku tidak tahu."

Sasuke mendengus kesal. "Bodoh!" Naruto meringis saat mendapat jitakan telak darinya. "Nama Sakura ada banyak, bahkan bunga pun namanya juga Sakura." Ia heran melihat kebodohan Naruto kali ini. Kemana otak cerdas kebanggaannya?

Naruto mengusap puncak kepala yang menjadi korban jitakan. "Dia menyebutkan nama belakangnya, tapi aku tidak dengar." Sasuke memutar mata. Ini merepotkan. "Kami bertemu di Stasiun, aku sudah berusaha mengejar Kereta Api itu tapi yang hanya aku dapat nama dan beberapa digit nomor ponsel."

"Maksudmu nomor ponsel gadis itu tidak tercatat semua?" Naruto mengangguk, dan kali ini mendapat sentilan di kening. "Lamban!" Makian si raven membuat ia mendengus kesal. Dia sama sekali tak bisa menghibur. "Coba kita sebarluaskan di internet."

Naruto melotot. "Apa kau sudah gila!?" Sasuke menyerngit. "Dia bukan buronan, dengan menyebarluaskan dia sama saja kita melakukan tindikan kriminal. Jaga reputasiku." Sasuke bahkan tak memikirkan sampai kesitu. Naruto benar. "Bukan 'kah kau bilang nama Sakura tak cuma satu." Naruto mengerucut.

"Ya sudah, lupakan saja dia. Cari perempuan lain." Lagi-lagi saran memuakan. Sasuke memang kaku, sama sekali tidak tahu cara menghibur hati teman yang sedang gundah. "Mengganggu saja."

"Sadarlah Sasuke, kalau mau bercinta bukan di jam sekarang." Naruto tahu Sasuke telah melupakan sesuatu. "Dua puluh menit lagi rapat kita dimulai." Dan akhirnya ia berhasil menyadarkan Sasuke dari yang terlupakan.

"Astaga!" Sasuke berlari ke dalam kamar, kembali kesana untuk mengambil kemeja yang tertinggal. Naruto tertawa. "Sayang, aku harus pergi sekarang juga." Sasuke mengenakan kemeja dengan tergesa.

Karin menggembungkan pipi. "Ya sudah sana."

Sasuke menyadari kekesalan sang kekasih. "Ada rapat dan aku melupakannya." Bukankah sudah jelas, selama bersama Karin apapun terlupakan dalam kepala. Terlalu menenangkan hati. "Gomene."

Karin tersenyum tanda memahami kesibukan Sasuke. "Kalau dijelaskan aku jadi paham." Ucapnya tak bergerak dari tempat tidur.

Benar juga kata Naruto, mereka telah salah memilih waktu untuk memadu kasih. Siang hari waktu untuk bekerja, malam adalah waktu luang yang cocok untuk bersantai dan menghabiskan waktu bersama kekasih.

Salahkan saja Sasuke yang tak pernah ada puasnya.

Sasuke mendaratkan kecupan di kening Karin. "Aku pergi dulu." Si wanita membalas kecupan tersebut, namun bedanya ia di bibir. "Masak yang lezat ya." Pintanya sebelum pergi.

Karin terkikik geli. "Baiklah." Janji Sasuke adalah menikahinya dalam waktu dekat ini, mereka bahkan sudah bertunangan sejak beberapa minggu lalu. Tinggal menunggu tanggal pernikahan.

Naruto menatap aljorji di tangan. "Sepuluh menit lagi." Ia mempercepat waktu.

"Sabar." Si raven menyahut dari dalam. Nadanya terdengar kesal.

"Dasar payah."

x X x

Sai menyentuh bahu Ino. "A-ayah..." Tangis si gadis tertahan dalam genangan air mata yang menumpuk dipelupuk. Ino menutup panggilan. "Sai, tolong belikan aku tiket penerbangan untuk hari ini." Pintanya terhadap Sai.

"Baiklah." Tak perlu ke Bandara, Sai hanya perlu menghubungi si pejual tiket.

Belum sampai tiga bulan menetap di Tokyo mau tak mau Ino harus pulang ke Konoha hari ini juga. Baru saja ia mendapat kabar sang Ayah jatuh sakit, membuatnya tak punya pilihan lain untuk menetap lebih lama di Tokyo.

Masih tersisa tiga minggu, dan mungkin Ino akan kembali dalam waktu dekat.

"Aku ikut." Sakura menyiapkan barang keperluan untuk di bawa pulang.

"Kau disini saja." Ino menolak dirinya. Sakura memicing. "Selesaikan praktekmu dulu baru kembali, cukup beri do'a agar Ayahku baik-baik saja." Inoichi, merupakan Ayah Ino dikabarkan terkena serangan jantung. Penyakit lamanya kambuh.

"Aku ikut, titik!" Si pingky itu keras kepala sekali.

Sai terlihat bimbang. "Emm..." Bagaimana ini? "Berapa tiket yang harus kupesan?"

"Satu/Dua!"

Mereka menjawab bersamaan secara kebetulan. Sakura melotot ke arah Ino. "Baiklah dua." Ino mengalah. Ia pikir tak ada salahnya Sakura ikut kembali ke Konoha mengingat adanya hubungan erat diantara mereka.

Ino tahu yang Sakura lakukan juga untuk dirinya. Sakura ingin ada disisinya dimasa sulit ini.

"Ada yang bisa aku bantu?"

Beruntung mendapat tawaran dari Sai. "Antarkan aku belanja." Berangkatnya juga nanti sore, masih ada kesempatan untuk Ino. "Aku mau membawa oleh-oleh dari sini." Sai tersenyum. Pemikiran yang bagus.

Sakura mengeluarkan koper miliknya dan Ino. "Bawa semuanya?"

"Sebaiknya jangan, nanti juga kita kembali lagi." Sakura mengangguk paham. "Ayo Sai." Ino menarik tangan Sai, mengajaknya pergi berbelanja berduaan.

Biarkan Sakura menyelesaikan persiapan mereka sendirian, karena dia pasti mengerti yang Ino inginkan saat ini.

Ingin menghabiskan waktu bersama Sai sebelum berpisah dijarak yang tak mudah ditempuh.

Plukk

Sesuatu terjatuh di dekat kaki Sakura. "Hm?" Sadar dengan benda tersebut, ia membungkuk untuk mengambilnya. Benda itu adalah spotong kecil foto untuk ukuran KTP, yang membuat Sakura sangat terkejut ialah pemilik foto tersebut.

Laki-laki pirang itu.

"Kenapa foto ini bisa ada padaku!?" Keheranan melingkupi Sakura. "Bagaimana bisa?" Ia mencoba mengingat yang terjadi pada malam itu, dan tak bisa menemukan bukti atas keberadaan foto tersebut.

Mengherankan sekali.

Sakura memilih untuk menyimpan foto tersebut, mengganggap sebagai kenangan dari Tokyo. "Sai mungkin kenal dengan dia.." Sakura bergumam sembari menatap lekat foto tersebut. Ketampanan Naruto membuat wajahnya bersemu, padahal cuma selembar foto. Kecil pula.

Sesudah Sai kembali nanti Sakura ingin bertanya mengenai laki-laki asing itu. Dengan menunjukan foto mungkin saja Sai kenal dengan dia, tak semerepotkan waktu sama sekali tidak punya apapun yang bisa Sakura tunjukan.

Sakura sangat berharap pada kesempatan terakhir ini. "Beri aku keajaibanmu, Tuhan." Ia mendekap foto tersebut di dadanya yang sedang berdebar. Seperti sedang bahagia karena cinta.

x X x

Blam!

Sasuke menghempas punggung lebarnya pada jok mobil. Ia menghela nafas. "Aku lelah." Keluhnya setelah menyelesaikan rapat perusahaan selama berjam-jam.

Proyek baru ini akan menguntungkan mereka.

Lama juga rapat tadi, dari pukul dua sore sampai pukul empat sore. Pantas saja pinggang Sasuke kesemutan, dan kini ia sedang meringis sembari menggosok bagian tubuh yang kram.

Tanpa basa-basi Naruto langsung menyalakan mesin mobil, karena ingin segera tiba di rumah untuk menyelesaikan tugas. Dahi Sasuke berkerut ketika merasakan benda licin di bawah sepatu, seketika ia menunduk.

"Apa itu?" Naruto ikut menatap bersama Sasuke. Ia juga heran. Sasuke meraih benda tersebut. "Kartu nama? Milik siapa ini?"

"Coba kulihat." Kartu tersebut pindah ke tangan Naruto. "Ini!?" Sial, melihat foto di kartu nama tersebut langsung menyadarkan Naruto siapa pemiliknya. "Sakura Haruno." Akhirnya ia tahu nama lengkap gadis itu.

Sasuke berdecak kagum. "Keberuntungan berpihak padamu."

Naruto tertawa bahagia. "Terimakasih Tuhan." Ia mengecup panjang kartu tersebut. "Nomor ponselnya tertera disini!" Tak perlu menunggu lagi, Naruto segera menyalin nomor tersebut diponsel lalu menghungi si pemilik.

Tutt tutt..

"Tersambung!"

Kebahagiaan Naruto terusik ketika mendapat jawaban dari seberang sana. Bukan jawaban dari si pemilik melainkan pesan suara.

Maaf, hari ini aku sedang sibuk untuk penerbangan, silahkan hubungi lagi setelah besok.

"Sial!" Naruto mengumpat. "Dia bukan asli orang Tokyo pula." Bila terlambat maka kesempatan ini akan lepas, dan mungkin gadis itu tak kan pernah lagi menginjakan kaki di Kota ini.

"Ada apa?"

Sasuke terkejut bukan main ketika dengan mendadak Naruto melejitkan mobil. "Kita ke Bandara sekarang." Singkat sekali dia berkata, membuat Sasuke heran bercampur kesal.

Setir mobil menjadi sasaran dari amukan Naruto. "Menyingkirlah, brengsek!" Ia memaki tanpa alasan, menurut Sasuke. Aneh, padahal Naruto tahu bagaimana jalanan di Tokyo, pasti selalu macet tapi dia bersikap sekaan tidak tahu.

Apa dia amnesia?

"Kau lupa bahwa Tokyo ini sarangnya macet?"

Naruto berdesis. Ia bahkan baru sadar setelah mendengar perkataan Sasuke. "Aku lupa." Jawabannya membuat si raven sweatdropp. Dia benar-benar amnesia.

Efek tergesa bercampur bahagia yang membebani Naruto hingga ia melupakan segala kebiasaan Tokyo. Setelah sadar barulah ia berpikir tak kan mungkin dapat terbebas dari kamacetan, kalau pun memungkinkan pastinya pesawat yang Sakura tumpangi sudah Take Off lebih dulu.

"Hey hey, kau mau kemana!?"

Si pirang bodoh meninggalkan mobil. "Kau saja yang kendarai, aku ada urusan." Naruto meninggalkan Sasuke yang bahkan belum sempat bertanya tentang kesibukannya.

"Dobe."

Naruto menatap alorji miliknya. "Masih ada waktu tiga puluh menit lagi." Tak perlu repot-repot memeriksa Bandara satu persatu, karena ia sudah tahu Bandara yang menjadwalkan penerbangan di sore hari.

Sasuk tertinggal sendiri di dalam mobil. "Dia kenapa?" Entah kepada siapa bertanya, ia hanya heran melihat Naruto tergesa-gesa.

Anak itu tidak mengatakan apa-apa setelah mendapatkan kartu nama milik Sakura. Dengan seenaknya saja menitipkan mobil. Dasar.

x X x

Akhirnya Ino bisa menghela nafas lega setelah mendengar kabar baik dari Konoha. "Syukurlah Sakura, sekarang Ayahku sudah bisa pulang." Padahal tadi ia cemas bukan kepalang, beruntung sekarang bebannya terkurangi.

"Kalian jadi pulang?"

Ino terlihat berfikir. "Lanjut sajalah.." Kepalang tanggung, lebih baik mereka langsung saja kembali ke Konoha. Lagian Ino sangat merindukan keluarga di Konoha, tak puas bicara melalui panggilan tadi.

"Nanti 'kan juga kembali lagi." Sakura tersenyum. Tak salah Ino memilih Sai, seorang pria baik hati yang bahkan tanpa malu menarikan koper milik mereka, bahkan membayarkan tiket.

Sai memang baik.

"Sakura-san benar, aku cukup menunggu saja disini." Ino terpisu mendengar perkataan Sai. Mereka mendapat ejekan.

"Cie..." Sakura tersenyum nakal.

Wajah Ino semakin memanas. "Apaan sih, Forehead."

Sai terkekeh geli. "Aku pasti akan sangat merindukan kalian." Ino memanyunkan bibir. Ia rasa sudah cukup dengan gombalan membuat malu saja mengingat saat ini mereka sedang di Bandara.

Sekitar lima belas menit lagi pesawat akan Take Off, Sakura pikir masih ada waktu untuk bertanya kepada Sai. Ia sempat lupa ingin bertanya sejak tadi, baru sekarang ingat setelah di Bandara.

Mungkin Sai tahu, dan Sakura harap dia benar-benar tahu.

"Sai?" Si lelaki pucat yang mendapat panggilan menoleh ke arah Sakura. "Umm..." Ia menelanjangi ponsel lalu mengeluarkan sepotong foto kecil yang sengaja disimpan dibalik silikon. "Apa kau kenal dengan orang ini?"

Sai merebut foto tersebut dari tangan Sakura. "Ohh.. ini Naruto temanku. Bagaimana bisa kau mengenalnya?" Pertanyaan balik yang mencengangkan Sakura. Kemana saja ia selama ini? Kenapa begitu bodoh dengan tidak menyadari bahwa adanya jalan penghubung untuknya bersama Naruto.

"Naruto..." Bahkan Sakura baru tahu namanya detik ini, dimana selama dua bulan ia kenal dekat dengan Sai. Bodoh sekali.

"Naruto Manikaze." Lanjut pemuda itu.

Sakura merebut koper miliknya, membuat Sai dan Ino bengong. "A-aku tidak jadi pulang ke Konoha, keadaan Paman Inoichi juga sudah baikan bukan." Ino bertanya-tanya melihat keanehan Sakura. Semua terjadi setelah mendapat kejutan dari Sai.

"Kau kenapa?"

Sakura menyeka sudut mata. "Tidak apa-apa." Ia menatap Sai. "Maaf untuk tiketnya." Sai menerima tiket pemberian darinya, lebih tepat mengambil kembali yang sudah diberikan. "Ino, kau pulang sendiri saja ya." Ia terus mengutuk diri karena sadar dengan kebodohannya.

Ino terheran-heran melihat Sakura. "Kau yak—"

"Permisi." Bahkan belum sempat menuntaskan kalimat sang sahabat, Sakura langsung membawa sosoknya pergi dari Ino dan Sai.

Keduanya saling melempar tatapan heran, kemudian Ino mengangkat bahu tanda heran.

Sai juga heran dengan sikap Sakura.

"Naruto..." Perempuan itu memacu langkah dalam keramaian. Air matanya enggan berhenti, membuat ia harus menyekanya dalam setiap detik.

Ckitt!

Naruto tergelincir saat baru memasuki Bandara, namun tak membiarkan tubuhnya sampai jatuh. "Sedikit lagi." Tinggal sepuluh menit lagi waktunya.

Brukhh

Seseorang jatuh terduduk karena tak sengaja tersenggol oleh Naruto. "Hey, hati-hati donk!"

Sambil terus berlari Naruto sempat menatap ke belakang. "Maaf Paman." Terlalu terburu-buru hingga membuat ia tak fokus. Keadaan Bandara sore ini cukup ramai, pastinya akan kesulitan untuk menemukan Sakura.

Naruto tak kan menyerah. Ia masih punya kesempatan untuk berjuang sekali lagi.

Siapa sangka tanpa sadar jarak mereka semakin dekat, hanya berada dari beberapa langkah karena terhalang oleh keramaian.

Sakura memaksa menerobos melalui kerumunan orang-orang, dan saat berhasil terbebas sesuatu menyadarkannya dari ketergesaan. Laki-laki itu berlalu melewatinya dengan langkah cepat.

Dia juga berlari seperti dirinya.

Wushh...

Wangi maskulin yang sama seperti sebelumnya mengusik indera penciuman Sakura, sontak menghentikan langkahnya seketika.

"Naruto..."

Si lelaki pirang turut berhenti diujung sana. "Suara itu!?" Ia mengenal suara yang baru saja memanggil namanya. "Sakura."

Keduanya berbalik secara bersamaan, saat itu juga mempertemukan tatapan yang sejak lama dirindukan.

Naruto terpaku, Sakura sendiri terlihat sedang menahan tangis.

Sang lelaki hanya berdiri diam di tempat mulanya, dan Sakura yang berada disana tampak tersenyum haru bersama tetesan air mata. Wanita memang kaum yang lemah hati, pantang tersakiti.

Hanya segitu yang Naruto tahu tentang kaum hawa. Artinya, ia telah menyakiti Sakura.

Greph.

"Bodoh." Naruto tersenyum usai melantunkan kata cinta. Sakura menenggelamkan wajah dibalik dada bidangnya, seolah mereka sepasang kekasih yang telah lama berpisah.

Tanpa keraguan apapun kedunya langsung melepas kerinduan melalui pelukan erat. Melakukannya di tengah keramaian orang yang berlalu lalang keluar— masuk Bandara.

Sakura semakin mengeratkan pelukan terhadap tubuh tinggi Naruto. "..aku sangat merindukanmu." Ia tak bisa untuk tak menangis. Rindu yang selama ini menyiksa membuatnya rapuh.

"Maaf." Naruto menyesap dalam wangi tubuh Sakura. Menyimpan aroma tersebut di dalam kepala. "..kali ini tak kan terulang lagi."

"Janji?" Pelukan Sakura tak kunjung lepas.

"Janji seumur hidup."

Sakura tersenyum puas dengan jawaban tersebut. Sudah cukup, kini ia tak ingin lagi memendam perasaan begitu lama. Biarkan mereka bersatu setelah melalui banyak hal dari jarak yang memisahkan.

Cinta satu malam mereka akan berlangsung.

-The End-

Terimakasih

Tema sinetron? Lebay juga iya? Biarlah, karena cuma ide ini yg terlintas dalam benak ane hiks 😢

Tunggu sequelnya, dan yg pasti kgk selebay ini :"V