Johnny sedikit berjingkat dari aktifitasnya memainkan gadgetnya. Maniknya mengerjap cepat. Tiba-tiba tubuhnya yang sudah sangat mepet dengan kepala ranjang jadi semakin mepet lagi gara-gara seseorang menubruk dan lalu memeluk tubuhnya erat. Kaos bagian dadanya seketika basah. Seseorang itu menangis terisak.

"Hei.. Ten..? Ada apa?" Johnny mengelus rambut belakang seseorang itu yang ternyata Ten.

Ten mengangkat kepalanya dari dada Johnny. Maniknya memerah berkilat karena air mata. Hidungnya mengerut lucu. "Kalah omong," jawab Ten.

"Sama siapa?"

Ten memukul dada Johnny kesal. Seharusnya Johnny sudah tahu tanpa tanya; pikir Ten. "Sama Yuta. Sama siapa lagi memangnya?!"

Johnny terkekeh kikuk. Ia mengelus sebelah pipi Ten yang memerah karena sehabis menangis. "Debat apa lagi memangnya?"

Ten menarik napas dalam, kemudian ia berucap, "Itu, katanya cuma keluarga dia yang bahagia; punya suami ganteng macem Taeyong. Terus aku nimpali kalau Johnny-hyung juga ngga kalah ganteng dari Taeyong."

Johnny memilih diam mendengarkan cerita Ten yang ia yakini belum selesai walaupun Ten menghentikan ceritanya.

"Habis itu, dia bilang kalau hidupnya sama Taeyong lebih bahagia karena mereka punya Winwin yang jadi anaknya." Ten kembali nangis. Lalu ia melanjutkan, "Aku ngga tahu harus jawab apa soalnya kita kan ngga punya anak, hyung.."

Johnny pun kembali merengkuh tubuh Ten ke dalam pelukannya. "Ya sudah, ngga perlu sakit hati. Lupain saja kata-kata Yuta, ok?" Johnny mencoba memberi masukan.

Ten mengerang keras dalam pelukan Johnny, menyerukan ketidak-setujuannya. "Ngga mau, hyung. Pokoknya aku harus lebih unggul dari Yuta." Ten memandang Johnny sekali lagi dengan pandangan bertanya. "Apa kita bikin anak saja, ya, hyung?"

Dan Johnny pun mengeluarkan seringaiannya.

. . .

kkeut!

. . .