First — Desire

[ You were so lovely and dear. That I wanted to protect you forever, a thought from the bottom of my heart.* ]

.

#

.

Yamazaki Sagaru, pemegang jabatan sebagai inspektur terbaik di Shinsengumi, terkenal dengan keahliannya mengintai target atau kelompok kejahatan yang masuk dalam daftar buronan. Dedikasinya yang tinggi, juga laporan-laporan yang selalu diberikan dengan detail dan terperinci, membuatnya berhasil jadi tangan kanan Hijikata Toushirou—wakil komandan Shinsengumi.

Bagi Yamazaki, ada rasa bangga di dalam dirinya karena menjadi salah satu orang yang dipercayai oleh Hijikata. Tetapi jika melihat sisi negatifnya—karena kepercayaan itulah—Yamazaki jadi tahu tentang kisah percintaan Hijikata yang abnormal.

Yamazaki juga tidak tahu sejak kapan pria—yang terkenal dengan sebutan wakil komandan iblis—itu punya orientasi seksual yang tak seperti pria normal lainnya, alias homoseksual. Namun tak seperti pria homo yang langsung kehilangan kontrol jika melihat pasangannya, Hijikata tampak biasa-biasa saja. Pria yang dianugerahi wajah tampan itu tetap bisa menguasai diri; seperti danau yang terlihat tenang, tapi menyimpan segala misteri.

Masih membekas diingatan Yamazaki begitu ia tahu siapa pasangan Hijikata. Tercengang. Ternganga. Tak percaya. Saat mendengar dari bibir yang selalu menghisap rokok itu.

"Yorozuya... Sakata Gintoki."

Saat itu, Yamazaki harus menampar dan mencubit pipinya sendiri dalam imajinatif. Otaknya sampai harus kehilangan fungsi kerja selama beberapa menit. Dari semua orang di dunia ini, kenapa harus pria bersurai perak itu?! Padahal setahunya, jika kedua pria itu bertemu di jalanan pasti akan langsung adu verbal hingga berujung adu jotos. Ingin sekali Yamazaki menanyakan hal itu, tapi diurungkan niatnya karena takut membuat Hijikata tersinggung. Masih syukur kalau hanya dipelototin, jika dirinya sampai dihajar babak belur kan urusannya bisa sampai rumah sakit.

"Karena kau sudah kuberitahu tentang hubunganku dengan Yorozuya. Jadi mulai sekarang..." suara berat Hijikata berujar dengan penekanan di setiap kata. Asap rokok berhembus dari bibir yang setengah terbuka sebelum melanjutkan, "Awasi dia baik-baik. Jika ada pria dan wanita yang mendekatinya. Aku tak peduli meski mereka itu hanya sekedar kliennya. Segera laporkan padaku secepat mungkin."

Yamazaki mengangguk kooperatif. Mana mungkin ia menolak setelah mengetahui rahasia besar—bahkan Kondou dan Okita, juga bawahan Hijikata yang lain tak mengetahuinya—yang selama ini disimpan Hijikata rapat-rapat, hingga tak bisa tercium oleh siapa pun. Jikalau ia nekat menolak, pasti seppuku sudah menunggunya. Lebih baik menerima misi Hijikata dengan lapang dada tapi masih bisa hidup, daripada menolak misi itu dan berakhir tinggal nama.

.

.


Semua karakter yang dipakai dalam fanfiksi ini bukanlah milik saya. Mereka adalah milik Sorachi Hideaki. Namun karya fanfiksi ini adalah sepenuhnya milik saya. | I don't own the cover image.

.

semi-Canon

M-rated

3k+ words

Drama/Suspense/Crime

Chaptered

.

~a HijiGin story~

slight, YamaGin

.

Peringatan: fanfiksi ini bertema Boys love dan Yaoi; yang menampilkan hubungan antara pria dan pria. Rating M for implicit lemon, bondage. Out Of Characters; possesive!Hijikata, strengthless!Gintoki. No bashing purpose. Jangan salahkan saya, karena saya sudah memperingatkan kalian. Tidak menerima apresiasi negatif atas semua hal yang sudah saya peringatkan.

.

Terinspirasi dari novel STILL by Esti Kinasih, KHR dj - Vortex (6927) by Zeroshiki, Casino Royale (film 2006; seri film James Bond).

.

Jeanne's present...

.

#

.

VORTEX


.

.

Di sebuah ruangan kosong yang sengaja disewa untuk mengawasi target, Yamazaki duduk di depan sebuah meja rendah kecil. Ada sebuah laptop yang terus menyala 24 jam. Kedua matanya terus menatap layar yang memperlihatkan visual di dalam sebuah rumah. Rumah siapa lagi kalau bukan Yorozuya Gin-chan. Sudah hampir dua minggu lebih Yamazaki mengawasi diam-diam berkat alat-alat cctv seukuran bola kelereng yang dipasangnya di sudut-sudut ruangan tertentu, saat dulu si penghuni rumah sedang pergi. Semua hal ilegal itu—karena dilakukan tanpa seizin pemilik rumah—dilakukan untuk kepentingan Hijikata.

Pagi ini seperti biasa, Sakata Gintoki berbaring di sofa panjang sambil membaca majalah Shounen JUMP. Sesekali pria perak itu mengupil dengan jari kelingking, lalu melemparnya sembarang. Kagura sudah pergi setengah jam yang lalu untuk membawa Sadaharu jalan-jalan. Sementara Shimura Shinpachi sedang sibuk mencuci pakaian-pakaian kotor.

Telepon hitam di atas meja tiba-tiba berdering. Dengan ogah-ogahan Gintoki bangkit dari posisi tidurnya. Gagang telepon dibawa menuju telinga.

"Moshi-moshi?"

Sepertinya yang menelpon itu seorang klien, Yamazaki langsung memakai headset besar di kedua telinganya untuk mendengar suara pria perak itu.

"Oya, tentu saja. Aku juga menerima pekerjaan seperti itu asalkan dibayar. Baiklah, aku segera ke sana."

Lalu pembicaraan singkat via telepon itu berakhir. Gintoki meletakkan gagang telepon ke tempat semula. Meraih bokuto-nya di samping meja, lalu berjalan menuju pintu.

"Shinpachi, aku pergi dulu!" seru Gintoki pada si remaja berkacamata sambil memakai sepatunya.

"Itterasshai, Gin-san," sahut Shinpachi dari ruangan tempat dia sedang sibuk memeras pakaian bersabun tanpa perlu mengantar kepergian pria perak itu.

Yamazaki langsung melompat berdiri, begitu ia melihat Gintoki keluar dari pintu rumah di layar laptopnya. Buru-buru ia menuju pintu untuk mengikuti ke mana pria perak itu akan pergi. Untunglah ruang kosong yang ia sewa tak jauh dari rumah Gintoki, jadi hanya butuh waktu dua menit untuk menuruni tangga dan mencapai jalan. Kemudian dibuntutinya pria perak itu dari jarak yang aman tanpa diketahui.

Sepanjang jalan, kedua mata Yamazaki tak menoleh sedikit pun dari punggung Gintoki. Yamazaki tak perlu khawatir kehilangan jejak, karena surai perak itu mudah dikenali ke mana pun dia pergi.

Langkah Gintoki akhirnya berhenti di depan sebuah toko yang menjual bunga-bunga. Seorang wanita lansia keluar dan menyapa Gintoki dengan ramah. Di sebuah tiang listrik yang tak jauh dari toko itu, Yamazaki bersembunyi untuk mengintai. Telinganya dipasang baik-baik untuk mendengar pembicaraan.

"Jadi, Yorozuya no Danna, karena kebetulan hari ini karyawan yang biasa membawa mobil sedang sakit, aku ingin meminta bantuanmu untuk membawa mobil dan mengantar bunga-bunga pesanan pelanggan kami," jelas wanita lansia itu.

"Obaa-chan, apa bunga yang di dalam pot terakhir itu boleh kuhias dengan pita ini?" Seorang gadis berusia 18 tahun tiba-tiba keluar sambil menunjukkan pita merah muda di tangannya. Mini kimono berwarna soft orange dengan motif bunga matahari melekat di tubuhnya yang memiliki tinggi 160 sentimeter. Wajah manisnya sempat membuat Yamazaki tak berkedip. Gadis berambut hitam panjang sepunggung itu sekilas membungkuk hormat ke arah Gintoki. "Hajimemashite, watashi wa Natsuki desu."

"Ah, ini cucuku yang baru datang dari kampung, kemarin," wanita lansia itu melanjutkan, "Natsuki juga akan kusuruh ikut denganmu Danna, untuk mengantar bunga-bunga pesanan itu agar dia juga bisa kenal dengan pelanggan kami."

Gintoki ber-oh pendek, lalu mengangguk mengerti. Kemudian pria perak itu membantu mengangkat pot-pot bunga yang sudah selesai dihias ke atas mobil pick-up. Begitu semuanya sudah selesai diangkat, Gintoki menuju pintu pengemudi dengan kunci mobil yang barusan diterimanya. Natsuki baru menyusul ke dalam mobil, setelah gadis itu menerima sebuah kertas dari neneknya; yang berisi alamat tempat bunga-bunga pesanan itu harus diantarkan.

Setelah mobil itu pergi, Yamazaki masih bergeming. Sengaja tak mengejar karena ia tak membawa kendaraan apapun. Pria maniak anpan itu sempat ragu untuk mengambil ponselnya di dalam saku dan memberitahu semua yang dilihatnya pada Hijikata. Jika dilihat dari penglihatan orang biasa, apa yang sedang dilakukan Gintoki hanya membantu kliennya. Tetapi di mata Hijikata, hal itu sudah termasuk selingkuh.

Yamazaki tak ada pilihan. Sesaat ia merinding saat perkataan Hijikata tempo hari kembali teringat olehnya.

"Aku tak peduli meski mereka itu hanya sekedar kliennya. Segera laporkan padaku secepat mungkin."

Ponsel lipat dirogoh dari saku. Mendapat nama Hijikata di kontak, Yamazaki langsung menekan tombol memanggil.

.

. .

Menjelang malam, pekerjaan itu akhirnya selesai. Gintoki membungkuk terima kasih ke arah nenek pemilik toko bunga yang menyerahkan amplop cokelat kecil berisi uang padanya. Sambil bersenandung, pria perak itu melenggang di jalanan Kabuki-chou. Dalam benaknya sudah terbayang uang hasil kerjanya akan digunakannya untuk bermain pachinko dan makan parfait sepuasnya besok. Untuk malam ini, ia akan mengajak Kagura dan Shinpachi makan di sebuah restoran. Tetapi Gintoki tak menduga begitu sebuah mobil patroli Shinsengumi melaju di belakangnya, lalu berhenti tepat di sampingnya. Ia menoleh dengan kedua alis terangkat melihat si pengemudi mobil itu adalah Hijikata.

"Cepat masuk." Hijikata berkata dengan wajah menahan amarah. Nada suaranya terdengar berbahaya.

Tanpa sadar Gintoki meneguk ludah, "Ano, Hijikata-kun, malam ini aku sudah ada rencana membawa Kagura dan Shinpachi makan di sebuah restoran. Maka dari itu—"

"Masuk," desis Hijikata dengan sepasang mata menajam, "sekarang juga."

Pria perak itu akhirnya memilih kooperatif. Teringat olehnya, dulu pernah sekali ia menolak masuk ke dalam mobil dan dipaksa Hijikata dengan kasar. Setelah memutari bagian depan mobil, Gintoki membuka pintu depan samping kiri, dan melangkah masuk.

Mobil yang dikemudikan Hijikata kembali bergerak. Kali ini wakil komandan Shinsengumi itu membawa mobilnya melaju di jalanan tol.

"Ada apa?" tanya Gintoki akhirnya. Setengah tahun menjalin hubungan dengan Hijikata, membuatnya sudah tahu segala ekspresi pria berponi V itu. Dan yang dilihatnya sekarang, ekspresi itu sedang marah.

"Siapa gadis bernama Natsuki itu?" Mengacuhkan pertanyaan pria perak itu, Hijikata balas bertanya tanpa menoleh dari jalanan di depannya.

Sesaat Gintoki tercengang. Dari mana Hijikata bisa tahu nama gadis yang hampir seharian menemaninya mengantar bunga-bunga pesanan itu? "O-oi, dari mana kau tahu? Apa kau membuntutiku?" Suaranya terdengar setengah tercekat.

"Kau tak perlu tahu dari mana aku tahu. Karena—" sengaja Hijikata menggantung kalimatnya untuk menoleh ke samping dengan sorot mata berbahaya yang membuat tengkuk Gintoki meremang, "—'mata'-ku ada di mana-mana."

Keringat dingin bermunculan di wajah Gintoki yang mendadak tegang. Sepertinya firasat buruk akan segera menimpanya. Dan benar saja, mobil yang dikemudikan Hijikata berbelok ke jalan menanjak untuk menuju hutan. Mobil itu berhenti di sebuah jalan buntu yang tak pernah dilalui kendaraan.

"Ka-Kau berniat melakukannya di tempat seperti ini?!" Gintoki memekik tertahan, ketika melihat Hijikata sudah melepas blazer hitamnya dan dasi cravat.

Tanpa suara, Hijikata menarik Gintoki ke kursi belakang. Pria perak itu sempat memberontak, tak ingin melakukannya. Tetapi Hijikata tak menerima penolakan itu. Dengan paksa kedua pergelangan tangan Gintoki diborgol di belakang punggung, sebelum tubuh itu didorong berbaring.

"Chottomatte, Hijikata-kun!" Merasa tak ada gunanya meronta, akhirnya Gintoki memilih cara halus untuk membuat pria—yang menyandang status sebagai kekasihnya—itu mau mengerti. "Dua hari yang lalu kita sudah melakukannya di hotel sepanjang malam. Bokongku masih sakit meski sudah meminum obat pain killer. Tidak bisakah kau menunggu seminggu lagi? Kumohon padamu..."

Keduanya saling pandang.

Bibir itu akhirnya terbuka, "Tentu saja," Gintoki sudah akan menghela nafas lega mendengarnya, tapi ternyata— "tidak. Kemarahan yang bergejolak di dalam dadaku sekarang hanya bisa diredakan dengan menyetubuhimu. Sekarang. Di dalam mobil ini."

Gintoki tercekat. Tak bisa mencegah kedua tangan Hijikata yang melepas ikat pinggang dan ikatan obi-nya, lalu menurunkan celana hitam panjangnya beserta boxer dalam satu tarikan kasar. Kedua kakinya dilebarkan, salah satunya ditopang di atas pundak lebar Hijikata.

"Tidak, tidak, kumohon Hijikata..." pintanya dengan suara memelas. "Kumohon berhen—UMNGGGH!" Pupil crimson-nya membelalak, saat Hijikata sudah masuk dalam sekali hentakan sambil membungkam bibirnya dengan ciuman.

Setetes air mata meluncur jatuh dari sudut mata Gintoki begitu kedua matanya terpejam rapat. Rasa sakit dan panas di bagian selatan tubuhnya nyaris membuatnya gila. Jika saja kedua tangannya tidak diborgol di belakang punggung, pasti ia sudah mencakar-cakar sesuatu sebagai pelampiasan. Walaupun ini bukan yang pertama kali, tetap saja perlakuan kasar Hijikata saat memasukinya terkadang tak bisa ditolerirnya. Ini sama saja seperti pemerkosaan! Ingin sekali mulutnya berteriak kuat-kuat seperti itu.

Bibir Gintoki akhirnya dilepas. Pria perak itu menarik nafas panjang, sudah berniat melayangkan protes, tetapi pinggul Hijikata yang mulai bergerak membuatnya memekik, "Yamete! Jangan bergerak dulu! Beri aku perpanjangan waktu untuk beradaptasi dengan milikmu di dalam—HIIIY!"

Permintaan Gintoki tak dikabulkan, karena wakil komandan Shinsengumi itu sudah memacu pinggulnya seperti orang kesetanan. Beringas. Mengempurnya dengan liar dan ganas.

Hijikata menyeringai penuh kemenangan, saat melihat Gintoki sudah tak berdaya di bawah tindihannya. Keinginan Gintoki untuk melawan sudah menguap hilang, karena sadar wakil komandan Shinsengumi itu baru akan menghentikan semuanya begitu dia sudah benar-benar puas.

.

. .

Sambil mengunyah anpan, kedua mata Yamazaki menatap layar laptop. Sudah hampir siang, tetapi Gintoki masih belum beranjak dari futon-nya. Pria perak itu masih tidur dengan posisi menelungkup di bawah selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya, hingga hanya menyisakan kepalanya.

Danna, maaf karena semua yang kulakukan sekarang untuk kepentingan fukuchou, batin Yamazaki dalam hati. Sudah tahu apa yang terjadi pada Gintoki kemarin. Pria perak itu pasti harus dipaksa melayani 'kebrutalan' Hijikata.

Gintoki akhirnya terbangun. Ringisan pelan meluncur dari bibirnya saat bergerak dari posisi tidurnya menjadi duduk. Sebelah tangannya mengelus-elus pinggang dan bokongnya yang masih sakit. Semalam Kagura tidur di rumah Shinpachi dan Otae, jadi gadis itu tak tahu kalau Gintoki pulang dengan kondisi seperti korban habis diperkosa. Ia bangkit berdiri untuk menuju dapur.

Setelah menenggak satu kotak susu stroberi dan memakan ramen instan, Gintoki kembali menuju kamar. Berniat untuk istirahat seharian. Ia tak bisa pergi ke mana-mana dengan kondisinya sekarang. Apalagi melayani klien yang meminta bantuannya.

Pria perak itu menatap langit-langit kamarnya dengan mata menerawang. Dulu pas ia tahu Hijikata menyukainya dan menerima jadi kekasihnya, pria itu masih terlihat wajar. Masih memperlakukannya dengan lembut dan mau mengerti dengan pekerjaannya sebagai Yorozuya. Tetapi saat hubungan keduanya semakin serius, Hijikata mulai menunjukkan sifat posesifnya. Beberapa kali Gintoki harus menolak pekerjaan dari kliennya karena Hijikata. Dan sekarang, begitu tahu Hijikata terus mengawasinya dengan seorang mata-mata, Gintoki mulai sedikit ketakutan. Ia seperti dikekang dalam sangkar yang membuatnya tak bisa ke mana-mana dengan bebas.

"Mungkin lebih baik, aku memutuskan hubungan kami secara sepihak," gumam Gintoki. "Kemarin malam saja, aku harus melayaninya sampai pingsan. Dan lagi, itu bukan yang pertama kali aku harus kesakitan karena perbuatannya. Sudah berkali-kali dia melakukannya. Hubungan seperti ini, jika diteruskan lagi... aku pasti akan dirantainya seperti budak seks daripada diperlakukan layaknya kekasih."

Yamazaki membelalak. Di benaknya sudah terbayang bencana macam apa yang akan diterima Gintoki jika nekat meminta putus dari Hijikata. Dering ponsel tiba-tiba menarik atensi Yamazaki dari layar laptop. Nama Hijikata muncul di layar. Kebetulan yang mengerikan.

"Ha-Halo, Fukuchou?" Suara Yamazaki nyaris tergeragap.

/"Yamazaki, apa dia ada di rumahnya?"/ tanya suara berat di seberang tanpa basa-basi.

"Ha-Ha'i! Sejak tadi danna masih di rumahnya, Fukuchou."

/"Apa yang sedang dia lakukan sekarang?"/

"Setelah mengisi perutnya, danna kembali tiduran di futon, Fukuchou."

/"Apa dia sedang bicara sendiri sambil mengungkit kejadian kemarin malam?"/

Tepat sekali! Tebakan Hijikata membuat Yamazaki seketika berkeringat dingin. Wakil komandan Shinsengumi itu seolah punya intuisi tajam kalau dia akan diputuskan oleh Gintoki.

/"Yamazaki, jawab yang jujur atau seppuku."/

Ancaman itu jelas membuat Yamazaki tak ada pilihan. Semua yang dilihat dan didengarnya segera diberitahukannya pada Hijikata tanpa menutupi apapun.

/"Naruhodo,"/ Yamazaki bisa membayangkan di seberang telepon wajah Hijikata mengeras dengan aura berbahaya menguar di sekitar tubuh. /"Aku akan segera ke rumahnya."/

"Tapi, Fukuchou—" Panggilan telepon langsung diputuskan, sebelum Yamazaki menyelesaikan kalimatnya.

Yamazaki melompat berdiri dengan panik, sebelum berjalan mondar-mandir. Ia dilema. Apakah harus memberitahu Gintoki untuk segera kabur dari rumah itu atau bersembunyi di suatu tempat?

Tetapi keputusan yang baru akan diambilnya sudah sangat terlambat untuk dilaksanakan, begitu ia melihat di luar jendela sebuah taksi berhenti di depan tangga yang menuju rumah Yorozuya di lantai dua. Hijikata melangkah keluar dari taksi yang masih disuruh untuk menunggunya. Yamazaki tercengang. Tak sampai lima belas menit, wakil komandan Shinsengumi itu sudah muncul!

Kedua mata Yamazaki kembali pada layar laptop begitu Hijikata masuk ke dalam rumah Gintoki. Pintu kamar Gintoki dibuka dari luar. Si pemilik kamar terkejut melihat tamu tak diundang.

"Hi-Hijikata-kun?!" Gintoki terkejut, sembari bangun dari posisi tidurnya menjadi duduk. Sesaat bibirnya meringis karena nyeri di bokongnya. "Ada apa kau kemari? Kau tak bekerja?"

Hijikata melangkah mendekat dan berhenti tepat di pinggir futon. Tangannya yang memegang sesuatu terulur. Bibir yang terselip rokok itu tersenyum singkat. "Tadi aku mampir membelinya sebelum kemari. Kubeli khusus untukmu."

Kotak kue itu diterima kedua tangan Gintoki. Alisnya mengerut bingung. Tak biasanya Hijikata membelikannya kue. Mungkin ini hanya permintaan maaf atas kejadian di dalam mobil kemarin, pikirnya. Kue stroberi kesukaannya terlihat saat bagian penutup kotak kue itu akhirnya dibuka. Gintoki berbinar-binar dan langsung melahapnya tanpa curiga.

"Kau tak mau makan juga, Hijikata?" tawar Gintoki dengan pinggiran mulut yang dihiasi krim, persis bocah yang baru bisa belajar makan sendiri.

Wakil komandan Shinsengumi itu menggeleng dengan bibir yang tersenyum penuh maksud tersembunyi. Perlahan, kelopak mata Gintoki mulai terlihat sayup-sayup. Hijikata mulai menghitung mundur dalam hati.

Lima.

Empat.

Tiga.

Dua.

Satu.

Bruk!

Gintoki tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Tidak tahu kalau kue yang dimakannya barusan sudah diberi obat tidur oleh Hijikata. Senyum kemenangan tercetak di bibir wakil komandan Shinsengumi itu. Dibersihkannya tangan dan mulut Gintoki, sebelum diangkatnya pria perak itu ke atas bopongan.

"Yamazaki, aku tahu kau melihat semua ini dari kamera cctv," Hijikata berkata sambil mendongak ke sudut langit-langit. Pupil navy itu terlihat tajam sekaligus mengancam.

Yamazaki langsung mengangguk, seolah Hijikata bisa melihatnya. Tanpa sadar ia menahan nafas saat melihat seringaian lebar Hijikata yang langsung membuat bulu-bulu kuduknya berdiri.

"Naik ke dalam taksi. Ikut aku sekarang juga, karena ada tugas lain yang harus kau lakukan."

Melepaskan headset di kedua telinganya, Yamazaki langsung tergesa menuju pintu. Lagi-lagi, ia tak bisa menolak perintah Hijikata yang terdengar mutlak, tak bisa dibantah.

.

. .

Lift itu bergerak naik ke lantai lima belas. Yamazaki melirik lewat ekor mata ke arah Gintoki yang masih tak sadarkan diri. Hijikata mengangkat pria perak itu layaknya seorang putri.

Ting!

Denting bel lift terdengar begitu sampai di lantai tujuan. Hijikata melangkah keluar lebih dulu, disusul Yamazaki. Mereka berhenti di depan pintu berangka 1510. Ada alat berbentuk layar sentuh di samping pintu. Yamazaki menekan password yang tadi diberitahukan Hijikata saat mereka di dalam taksi. Begitu pintu terbuka otomatis, Hijikata melangkah masuk tanpa melepas sepatu.

Pintu itu langsung terkunci otomatis dari dalam. Apartemen itu hanya ada satu kamar, dapur, dan ruang tengah. Terlihat minimalis untuk ditinggali pasangan yang baru saja menikah. Yamazaki menahan diri untuk tak bertanya sejak kapan Hijikata membeli apartemen yang terletak jauh dari Kabuki-chou. Apa mungkin apartemen ini dibeli khusus untuk ditinggali bersama Gintoki?

"Yamazaki," suara Hijikata terdengar memanggil dari dalam kamar. Yamazaki membawa kedua kakinya menuju kamar dan langsung mematung saat melihat Gintoki—yang masih belum sadar di atas tempat tidur—sudah dibuat bertelanjang dada oleh Hijikata. Hanya tersisa boxer pink bermotif stroberi yang menutupi bagian privat pria perak itu. "Ambil handycam di atas meja nakas itu," dagu Hijikata menunjuk benda yang tergeletak di samping tempat tidur. "Dan rekam semua yang akan aku lakukan pada Yorozuya."

"Nani?!" Kedua bola mata Yamazaki nyaris keluar. Apa-apaan ini? Jadi ia diajak (paksa) ke apartemen ini dan ditunjuk sebagai sutradara dadakan untuk merekam AV antara Hijikata dan Gintoki?! "Ta-tapi, Fukuchou—"

"Kau berniat menolak dan ingin segera pergi dari sini?" Hijikata mendelik. Intonasi suaranya terdengar berbahaya. "Kau pasti ingat ini di lantai lima belas. Aku bisa dengan mudahnya melemparmu dari balkon kamar ini. Tubuhmu saat jatuh menghantam tanah akan membuat tulang-tulangmu patah, dan kau akan merengang nyawa hingga menemui ajal. Jadi—"

"Chottomatte, Fukuchou! Aku akan melakukannya!" potong Yamazaki cepat. Lebih baik ia melakukan perintah Hijikata, sebelum dibuat tinggal nama.

Handycam diambil dari atas meja nakas. Yamazaki mulai menyalakan benda yang berfungsi untuk merekam itu. Saat ia menoleh kembali ke atas tempat tidur, Hijikata sudah naik setelah melepas sepatu. Kedua tangan Hijikata melepas blazer, dasi cravat, dan vest. Menyisakan kemeja putih lengan panjang yang kancingnya sengaja dibuka semua dan celana hitam yang masih menutupi bagian bawah.

Tanpa sadar Yamazaki meneguk ludah, handycam-nya mengarah pada dua tubuh yang saling menindih. Punggung Hijikata merendah dengan bibir yang memberi kecupan-kecupan ringan dari perut, naik ke dada, leher, dagu dan terakhir di bibir Gintoki. Lidah Hijikata menjilat bibir bawah Gintoki, sebelum menerobos masuk tanpa halangan. Rasa manis dari kue stroberi—yang tadi dimakan Gintoki—terasa di lidah Hijikata yang menyapu rongga dalam mulut. Suara decakan terdengar dari ciuman satu arah tanpa balasan itu.

Puas dengan bagian mulut, kali ini bibir Hijikata turun ke leher seputih susu yang tereskpos bebas. Hijikata membuat beberapa tanda kepemilikan yang tak mungkin bisa hilang dalam sehari. Kedua tangannya mengerayangi sepasang puting Gintoki, memilin sekaligus memelintirnya. Pria perak itu mengeluh dalam tidurnya, hingga akhirnya terbangun. Sesaat ia mematung melihat Hijikata yang tengah mengulum sebelah dadanya.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriaknya dengan wajah memerah.

Hijikata menoleh ke atas sambil melepas bibirnya, "Oh, kau sudah bangun? Sudah kutunggu sejak tadi."

"Hah? Apa maksud—matte!" Seolah teringat sesuatu, Gintoki langsung melotot, "Kue yang kumakan tadi... jangan-jangan kau menaruh obat tidur, ya?!"

Hijikata menyeringai sebagai jawaban. Gintoki menggeram tertahan. Pria perak itu sudah akan menendang Hijikata dari atas tubuhnya, tetapi begitu ekor matanya menangkap sosok Yamazaki yang berdiri tak jauh dari tempat tidur, seketika ia terkejut.

"Jimmy, apa yang kau lakukan di situ?!" Pupil crimson membelalak melihat pria maniak anpan itu berdiri sambil memegang handycam tanpa suara.

"Danna, namaku Yamazaki bukan Jimmy," ralat Yamazaki. "Aku sedang ditugaskan Fukuchou untuk merekam semua yang terjadi di atas tempat tidur."

Untuk yang kedua kali, Gintoki membelalak. Ia menoleh cepat ke arah Hijikata, "Uso! Hijikata, kau yang menyuruhnya untuk—"

"Benar," potong Hijikata, sebelum Gintoki menyelesaikan kalimatnya. Mata itu tiba-tiba menajam dengan wajah setengah gelap. "Kau berniat ingin putus dariku, kan?" Wajah Gintoki berubah tegang. Dari mana Hijikata tahu, sebelum ia mengatakannya?! "Kau sudah bosan denganku? Apa sudah ada pria atau wanita lain yang berhasil menarik perhatianmu? Siapa mereka? Akan kubuat mereka segera tidur selamanya di bawah tanah."

Yamazaki memucat, dan ia juga bisa melihat wajah Gintoki tak kalah pucat darinya. Keduanya tak menyangka akan melihat sifat asli Hijikata yang sangat-sangat posesif dan cenderung psikopat.

"Kau... kenapa kau berubah seperti ini, Hijikata?" Tanpa sadar tubuh Gintoki gemetar. Ia meringkuk mundur, hingga punggungnya menyentuh headboard tempat tidur. "Ada apa denganmu? Jika kau sudah berbahaya seperti ini, lebih baik sampai di sini saja hubungan kita!"

Rahang Hijikata mengatup keras. Pupil navy-nya berkilat nyalang, "Tidak akan kubiarkan kau lepas dariku. Kau milikku. Akan kubuat kau mengerti kalau tubuh dan jiwamu hanya milikku. Selamanya hanya milikku!" Ia berteriak dengan suara menggelegar, hingga menggema di dalam kamar.

Gintoki tercekat, ketika tanpa terduga Hijikata tiba-tiba menariknya dengan kasar, lalu memborgol kedua pergelangan tangannya di belakang punggung. Boxer yang tersisa di tubuhnya dienyahkan. Kemudian pria bersurai hitam itu membuka laci meja nakas dan mengambil lakban. Kedua kaki Gintoki ditekuk dan dilakban bergiliran. Membuat tubuh telanjang dengan kedua kaki berbentuk huruf 'V' itu siap jadi santapan Hijikata selama berjam-jam.

"Yamazaki, pastikan kau harus merekam semuanya!"

"Ha'i, Fukuchou."

Gigi-gigi Gintoki yang mengatup menggeletuk, sebelum ia berseru, "Kau gila, Hijikata! Kau sudah tak waras lagi! Cepat lepaskan aku!"

"Kau pikir karena siapa aku jadi gila sampai seperti ini?" Sudut bibir Hijikata terangkat, dan ia menjawab pertanyaannya sendiri dengan suara terendah, "Karena kau."

Jantung Gintoki tiba-tiba bergemuruh hebat. Ia tak bisa lagi melihat pantulan dirinya di pupil navy itu. Tak ada cinta di sana. Hanya ada nafsu dan ancaman. Kedua mata Gintoki mendadak memanas. Pandangannya mengabur oleh air mata. Hijikata sudah memasukinya tanpa peringatan. Semakin ia menolak kehadiran Hijikata di dalam tubuhnya, rasa sakit itu semakin terasa mencabik-cabiknya.

Tanpa menghentikan gerakan brutalnya di bawah sana, kedua tangan Hijikata sengaja mencekik leher Gintoki. Pria perak itu membelalak lebar. Hijikata tertawa keras melihat Gintoki nyaris kehabisan nafas. Cekikan itu baru mengendur begitu Hijikata melihat pupil crimson naik ke atas dan nyaris memutih. Gintoki terbatuk-batuk dengan air mata yang terus meleleh jatuh. Dadanya naik turun, menghirup oksigen sebanyak-banyak lewat hidung dan mulut yang terbuka.

Di posisi berdirinya, Yamazaki merekam semua aksi 'panas' itu seperti patung hidup. Sesekali ia melihat isyarat mata Gintoki yang meminta pertolongan, tetapi tak bisa membantu. Karena Yamazaki tahu, jika nekat melawan Hijikata sama saja seperti cari mati.

.

.

.


Continued...


KET:

*KKJ manga (chapter 19) by Arina Tanemura.

Jeanne's notes:

Fic ini sudah terbengkalai selama sebulan di LJ, baru inget setelah dikasih tau my bff, Tia. :"

Di LJ, fic ini memakai MA-rated (Mature Adult). Tetapi karena di FFn hanya bisa mempublikasikan sebatas M-rated, maka saya me-rewrite fic ini menjadi implisit untuk adegan lemon-nya. :3

Mengenai karakter Hijikata dan Gintoki di fic ini, well, memang sengaja dibuat OOC untuk kepentingan cerita. Tidak ada tujuan bashing untuk Gintoki, semuanya murni untuk cerita. Lagipula, ini hanya fanfiksi. Why so serious?

Terima kasih sudah membaca. Segala bentuk apresiasi akan ditunggu dengan sabar. Sampai jumpa di chapter 2~ :)