[REMAKE] Beauty Honey - Phoebe

.

.

.

Disclaimer: Cerita sepenuhnya milik Phoebe. Kalian juga bisa baca novel aslinya yang berjudul "Beauty Honey" (Phoebe)

.

[ WARNING ]

DON'T LIKE, DON'T READ

NO BASHING! NO JUDGING!

.

.

HUNHAN – GS for UKE

FAMILY – HURT COMFORT – ROMANCE – LIL' HUMOR

Slight HunBaek - KrisHan

.

.

.

Previous chapter...

Ketika rindu itu mulai mengganggu.

Yang bisa ku lakukan hanyalah menutup mata dan membayangkan kalau dirimu kini pasti lebih baik.

Aku sudah mencoba untuk melupakan, tapi malah semakin mengingat semuanya dengan jelas.

Selalu membohongi diri sendiri dan berfikir dirimu pasti kembali.

Padahal sepatah katapun dirimu tidak pernah mengatakan akan kembali.

.

.

.

Beauty Honey

.

Chapter 9

.

.

.

"Kau akan mengirim uangnya , Kan?"

Luhan sudah tidak memiliki sepeserpun uang lagi. Untuk hari ini mungkin ia akan menahan lapar sampai Jongin mau mengirimkan uang kepadanya. Untungnya Jongin berinisiatif untuk menelponnya hari ini.

Sampai detik ini tidak ada satu pekerjaanpun yang cocok. Ia sudah memandangi koran beberapa kali dan mendatangi banyak tempat yang membutuhkan lowongan. Tapi ujung – ujungnya tetap saja sulit untuk menerimanya hanya dengan sertifikat pendidik. Sekarang sudah saatnya Luhan menurunkan standarnya.

"Tunggu dulu, Noona! Kau belum jawab pertanyaanku, kenapa minta uang kepadaku sekarang?" Jongin sejak tadi menanyakan hal yang sama dan Luhan masih belum tau harus memberi jawaban seperti apa.

"Aku tidak meminta, suatu saat nanti pasti ku kembalikan. Jadi kau mau pinjamkan atau tidak?"

"Lalu kemana suamimu sampai – sampai dia membiarkan istrinya mengemis seperti ini. Jangan katakan kalau dia menyuruhmu melakukan ini. Dari pada minta padaku lebih baik minta kepada ibunya."

"Sudah ku bilang, dia tidak tau sama sekali tentang hal ini. Kau tidak mau meminjamkannya? Kalau tidak mau, ya sudah!"

Luhan lalu menutup telpon dari Jongin dengan kesal. Bocah itu terlalu banyak tanya dan semua pertanyaannya membuat Luhan tidak mampu mencari jawabannya. Jika ia masih punya uang, tidak mungkin seperti ini jadinya. Luhan hanya punya beberapa lembar uang saja untuk ongkosnya pergi mencari kerja. Jika terus merasa kelaparan ia bisa mengganjal perutnya dengan air keran. Bukankah ini apartemen mahal? Bahkan air keran disini bisa di minum.

Luhan sudah menyangka kalau hal ini akan terjadi pada hidupnya. Setelah mengundurkan diri sebagai guru ia akan mengalami hal seperti ini. Seharusnya sekarang lebih baik karena meskipun tidak punya uang Luhan sama sekali tidak menumpang di rumah temannya di Incheon seperti dulu. Ia punya tempat tinggal sendiri, sebuah apartemen nomor 1017 yang lokasi dan paswordnya ia tebak sendiri.

Jika Sehun menggunakan tanggal dia melamar untuk memilih apartemen, maka password yang di pakai pasti tidak jauh - jauh dari itu. Hari pernikahan, atau tanggal pendaftaran pernikahan. Luhan nyaris saja gila mencari password yang tepat dan ternyata Sehun menjadikan 201204 sebagai password. 20 tanggal kelahiran Luhan, 12 Tanggal lahir Sehun dan 04 adalah bulan kelahiran mereka yang kebetulan sama. Entah apa yang mengilhami Luhan untuk menerka angka seperti itu pada akhirnya. Ponselnya berdering lagi. Jongin kembali menelpon dan membuat Luhan berdecak kesal.

Untuk apa menelpon? Sudah berubah fikiran?

Ia menekan tuts terima dengan lemah.

"Noona, sudah ku transfer." Kata Jongin sebelum Luhan membuka mulut untuk sekedar mengatakan halo. "Kau tau di London sekarang jam berapa? Sudah hampir pagi. Untung ada mobile banking jadi aku tidak perlu repot membobol pintu ATM untukmu."

Senyum Luhan mengembang. "Benarkah? Terimakasih, sayang!"

"Ya, tentu saja kau harus berterima kasih. Kau boleh tidak menceritakan masalahmu kali ini. Tapi suatu saat nanti aku akan memaksamu mengatakannya. Mengerti?"

"Iya."

"Kalau begitu aku mau istirahat dulu. See Ya!" Dan suara Jongin benar – benar menghilang.

Luhan menghela nafas lega. Hari ini ia bisa makan. Secepatnya ia akan pergi ke ATM terdekat untuk memeriksa sejumlah uang yang di kirim oleh Jongin. Meskipun sudah sore, harusnya uang itu selambat – lambatnya sampai satu Jam setelah pengiriman karena tabungan Luhan juga menggunakan Bank Internasonal seperti Jongin.

Luhan berusaha secepat mungkin untuk mengganti pakaiannya kemudian pergi meninggalkan apartemen. Tapi malang, hujan turun lagi dengan derasnya. Luhan kembali termenung memandangi setiap butiran hujan yang jatuh dengan keras.

Perutnya berbunyi, ia sudah sangat lapar karena kemarin pagi adalah hari terakhir dirinya mengisi perut dengan makanan. Pandangan matanya sudah mulai melayang dan Luhan sama sekali tidak mampu menahan rasa laparnya. Luhan memandangi rintikan hujan sekali lagi. Melawan hujan untuk kali ini seharusnya bukan masalah, ia tidak akan membiarkan dirinya kelaparan lebih lama lagi.

Luhan memberanikan diri menerobos hujan dan melindungi kepalanya dengan tangan. Ia melangkah dari satu tempat ke tempat lain untuk berteduh. Meskipun begitu, sedikit demi sedikit tubuhnya benar – benar basah kuyup dan itu cukup untuk membuatnya flu. Februari masih musim dingin dan hujan di musim dingin benar – benar bisa membuatnya menjadi sangat menderita.

Sesampainya di ATM terdekat, Luhan juga masih harus berdiri dan mengantri. Cukup panjang sampai gilirannya tiba dan ia tidak tau harus melakukan apa dengan jumlah yang Jongin berikan untuknya. Lima juta dollar, sangat banyak untuk persediaan makan seminggu seperti yang Luhan minta. Ia sangat senang karena di tabungannya menyimpan cukup banyak uang, tapi juga sedih karena selain uang, ia juga harus menyimpan hutang dalam jumlah yang sama.

.

.

.

.

Luhan bahkan belum mengganti pakaiannya yang basah kuyup. Begitu sampai di apartemen ia langsung memasak demi perutnya yang tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Tapi sekarang, ia harus memandangi dua porsi omlet dan secangkir kopi yang dia buat. Sesuap demi sesuap Luhan memakan omlet dari piring yang ada dihadapannya sambil memandangi seporsi lagi yang berada di sisi lain meja. Untuk apa ia melakukan ini lagi? Padahal sejak dua hari yang lalu ia sudah berhenti. Mungkin Luhan sudah mulai berharap kembali, Sehun akan datang dan menemukannya disini. Luhan menghela nafas.

Tidak mungkin, berhentilah berfikir naïf Xi Luhan!

Luhan membantin dengan nada yang agak membentak. Tapi kelihatannya fikiran sama sekali tidak bisa mengalahkan sesuatu yang lain, hati. Keinginan hati untuk mengingat Sehun lebih kuat dari apapun sekarang. Luhan menyerah, ia meninggalkan sisa makanannya dan masuk ke kamar.

Melangkahkan kaki menyentuh lantai marmer berwarna tan yang dingin dan menyalakan Air hangat untuk memenuhi bathub. Lagi – lagi ingatan tentang Sehun, di bathub untuk pertama kalinya Luhan menyadari kalau ia sedang bercinta dengan suaminya, bukan dengan bayangan Kris, Di bathub juga Sehun memberikan kunci dengan nomor apartemen ini, di bathub Sehun nyaris mengatakan kalau ia mencintai Luhan.

Luhan merendam dirinya dengan air hangat, tapi kedua wajahnya di benamkan di antara lutut dan lengannya yang saling memeluk. Ia benar-benar membiarkan semuanya mengalir kali ini tanpa menghalang – halanginya lagi. Tapi hanya boleh kali ini dan setelah ia terbangun besok pagi, Sehun sudah harus menghilang dari ingatannya.

Lama kelamaan Luhan terisak. Ia menyesali pernikahannya, menyesali setiap sentuhan Sehun yang mendarat di tubuhnya, menyesali dirinya yang menempatkan diri sebagai orang yang selalu mengerti dan membiarkan Baekhyun menjauhkannya dari suaminya. Pelan – pelan rasa benci juga timbul kepada Sehun. Bagaimana bisa dia tidak pulang selama lebih dari dua minggu. Dia bahkan tidak menelpon Luhan untuk mencarinya, Sehun mungkin memang tidak pernah berfikir untuk kembali. Kris yang di bencinya saja berfikir untuk kembali kepada istrinya apapun yang terjadi, lalu mengapa Sehun tidak? Sehun lebih buruk dari Kris yang selama ini selalu di peranginya.

Matanya memerah, beruntung tidak mengalami bengkak karena ia menagis tidak lama. Rambutnya masih perlu di keringkan dan handuk yang di pakainya tadi sudah sangat basah. Luhan keluar menuju dapur untuk mengambil handuk baru. Lalu tiba – tiba semua gelap. Ia memegangi kepalanya dan merasakan sesuatu. Handuk yang di carinya sudah menyelubungi rambutnya yang basah.

Luhan menarik haduk itu sedikit lebih kebelakang agar matanya bisa melihat. kenapa handuk itu tiba – tiba sudah berada di kepalanya? Tapi Luhan tidak perlu melakukan itu karena orang yang di harapkannya sekarang sudah berada di hadapannya. Oh Sehun, berdiri di hadapannya dengan sebuah senyuman.

"Makan malamnya enak noona. Tapi seharusnya itu adalah menu sarapan."

Sehun menunjuk meja makan yang sudah berisi piring – piring kosong. Bahkan makanan yang disisakannya juga sudah lenyap.

"Untuk apa kau kemari? Seharusnya kau bersama Baekhyun!"

"Apa yang kau katakan? Aku kemari seharusnya kau senang. Aku tau kau pasti merindukanku."

"Benarkah? Aku sudah bilang, Aku bisa hidup tanpamu. Kau sudah pergi selama dua minggu seharusnya tidak muncul lagi dihadapanku."

"Benarkah?" Sehun mengulangi kata – kata Luhan. "Tapi kenapa kau menangis di kamar mandi noona? Kenapa membuat dua porsi omlet setiap hari?"

Kening Luhan berkerut. "Apa yang kau katakan? Aku baru membuat dua porsi hari ini. Itu juga karena aku sangat lapar. Sejak kemarin aku sama sekali tidak makan apapun. Tapi sekarang kau sudah melenyapkannya!"

"Astaga, untuk apa kau berbohong? Aku ada disini mengawasimu setiap hari. Aku menemanimu saat kau tidur, aku juga melihat buku tabunganmu yang sudah menipis itu. Aku juga melihatmu mengganti pakaian dan… "

"Kau tidak memasang kamera di tempat ini kan?"

"Memangnya kenapa? Ini rumahku juga, jadi aku berhak melakukan apa saja."

Luhan melotot untuk menyembunyikan kebingungannya. Sial, ia bersedih karena Sehun dan selama ini Sehun melihatnya?

"Sejak kapan kau memperhatikanku?"

"Sejak kau membuka pintu 1017 ini. Setiap sudut rumah ini ku pasangi kamera dan terhubung langsung dengan ponselku dan setiap pintu itu terbuka, ponselku akan berdering. Tapi aku baru melihatmu secara langsung seminggu belakangan ini, dan Kau tau? Aku sangat merindukanmu noona. Benar-benar merindukanmu."

Luhan terbelalak "Pergi!"

Katanya histeris sambil berjalan menuju meja makan lalu melempar piring kosong bekas omlet yang ada disana kearah Sehun. Nyaris saja mengenai laki – laki itu jika saja Sehun tidak gesit mengelak.

"Kau kenapa? Kenapa marah – marah?"

"Pergi!"

"Ini rumahku juga, noona."

Luhan mengambil ancang – ancang untuk melempar piring kedua dan memasang ekspresi wajah yang bertambah galak.

"Siapa yang kau panggil noona? Aku bukan noona-mu lagi! Satu lagi, ini rumahku, Aku sudah bilang akan mengambilnya jika kau meninggalkanku!"

Dan satu lagi piring kaca melayang bagaikan boomerang. Tapi kali ini Sehun tidak mengelak, ia membiarkan sebuah piring menghantam kepalanya keras diiringi bunyi pecahan kaca. Selang beberapa detik bunyi teriakan menggema dari mulut Luhan, ia pingsan saat melihat darah mengalir dengan mudahnya dari sela – sela rambut coklat Sehun.

.

.

.

.

.

Yang selalu ku lakukan hanya menunggu dan menunggu.

Meskipun akal sehatku menolak.

Sayangnya hatiku selalu berfikir untuk setia.

.

.

.

.

.

Sisa bau alkohol merebak membuat Luhan menyentuh kepalanya sekali lagi. Entah berapa lama ia tidak sadarkan diri, yang jelas sekarang ia merasakan pusing yang bukan kepalang. Saat membuka mata semuanya mengabur dan membuatnya ingin memejamkan mata lagi dan berbaring lebih lama. Tiba – tiba ia teringat Sehun.

Bagaimana dengannya? Apa Sehun benar-benar kembali?

Atau dirinya hanya bermimpi setelah tertidur semalaman? Luhan berusaha sebisa mungkin bangkit dari sofa tempatnya berbaring dan melihat Sehun sedang menyumbat lukanya dengan sebuah Handuk putih yang merah di nodai darah. Luhan terkesiap, ternyata bukan mimpi.

"Kau sudah bangun?" Desis Sehun. "Aku yang terluka, bagaimana bisa kau yang pingsan? Kau membiarkanku melakukan semua ini sendirian."

Luhan menggigit bibirnya. Dia bukan orang yang selemah itu sehingga bisa pingsan dengan melihat darah. Tadi, tiba – tiba saja kepalanya pusing dan mendadak kedua lututnya lemas. Stress berat dan kelaparan sudah berhasil membuatnya hilang kesadaran. Luhan menyentuh perutnya yang mengeluarkan bunyi kecil.

"Kau benar-benar lapar?" Sehun memandangnya serius.

"Aku sudah bilang, kan? Aku sudah tidak makan selama dua hari. Jadi wajar saja kalau aku mudah emosi."

"Aku tidak menyangka pada akhirnya tetap akan di lempar piring oleh istriku. Ku fikir pernikahan kita tidak akan pernah begitu."

"Kau membiarkanku menunggu seharian, Kau fikir aku bagaimana? Begitu sampai di Seoul, aku harus dirawat selama dua hari di rumah sakit dan harus mengurusi semuanya sendiri. Bagaimana bisa kau masih menganggapku sebagai istrimu? Suami macam apa kau yang sampai hati membiarkan istrinya kelaparan!"

"Aku mencarimu kemana – mana. Kau tau betapa sulitnya itu? Aku baru tau kalau kau disini beberapa hari belakangan ini. Tidak ada kamera sama sekali di rumah ini. Aku berbohong hanya untuk menggodamu." Sehun memandangi Luhan semakin serius. Luhan terlihat agak kurus, ia baru menyadarinya belakangan ini.

"Aku datang hari itu, Hanya saja sudah terlambat. Kau sudah pergi."

Luhan mendekat, ia membantu Sehun memasang kain kasa yang sudah di basahi antibiotik di lukanya. Melihat Luhan dalam jarak yang dekat dengan wajah tirusnya, Sehun semakin merasa bersalah. Dia tidak pernah meduga kalau Luhan akan semenderita ini saat berpisah dengannya. Tapi bukankah Luhan yang pergi? Sehun tidak pernah menyukai rencana seminggu bersama Baekhyun itu.

"Apa kau mulai jatuh cinta padaku?"

Kata – kata apa itu? Sehun Bahkan tidak menyadari apa yang sudah di ucapkannya.

"Bagaimana dengan Baekhyun?" Sehun mendesah. Luhan tidak mau menjawab pertanyaannya.

"Kalau saja tidak ingat dengan kata – katamu, malam itu juga aku akan menyusulmu meskipun harus jalan kaki. Tapi aku sudah menyelesaikannya, Aku tinggal disana beberapa hari saja, tidak sampai menghabiskan waktu seminggu."

"Lalu kalian sudah melakukan apa saja?"

"Mana bisa aku melakukan sesuatu kepadanya. Aku tidak pernah bisa melakukan apapun kepada Baekhyun karena menyentuhnya seperti menyentuh ibunya dan itu mengingatkanku pada kenangan buruk. Aku akan mengatakan sebuah rahasia yang hanya aku dan Tiffany yang tau, Aku pernah dekat dengannya lebih dari seorang sahabat. Saat itu hubungan kami benar – benar seperti sepasang kekasih dan Villa itu adalah tempat yang paling sering kami datangi berdua. Tapi setelah aku benar – benar jatuh cinta, dia menolak untuk menyebut hubungan kami sebagai sebuah hubungan percintaan."

"Astaga, ternyata…"

"Kau tidak perlu berekspresi seperti itu." potong Sehun dengan sebuah penekanan khusus. "itu sudah lama sekali, saat itu adalah tahun – tahun awal kami kuliah. Cerita itu sudah basi."

"Benarkah? Lalu dengan Baekhyun?"

"Yang pasti aku susah menyelesaikan semua urusanku dengannya. Jadi sekarang aku boleh bilang kalau aku mencintaimu, noona?"

Luhan terpaku, pandangan mereka juga saling beradu beberapa waktu. Tapi saat lengan Sehun melingkar di pinggangnya Luhan menolak dan bangkit lalu melangkah menuju dapur.

"Aku mau masak lagi. Untuk hari ini biarkan aku makan sepuasnya. Oke!"

"Noona! Mengapa tidak ada satupun dari pertanyaanku yang kau jawab? Apa pura – pura tidak tau bisa membuatmu puas?"

"Memang tidak ada yang perlu di jawab. Kenapa masih suka berbasa – basi dengan menanyakan hal – hal yang sudah kau ketahui jawabanya? Satu lagi. Sampai kapan kau akan terus memanggilku noona?"

Kali ini Sehun tertawa, ia mendekati Luhan yang berjalan menuju dapur lalu berusaha memeluknya lagi. Hasilnya masih sama, Luhan menolak dengan menepis tangannya pelan. Dengan penuh konsentrasi ia mengambil bahan – bahan yang tersisa untuk membuat omlet dan lagi – lagi membuat dua porsi seperti biasa. Setelah matang, dua piring Omlet di bawa ke meja makan dan diberikan kepada Sehun yang duduk disana dengan perasaan tak menentu.

"Makanlah."

Sehun terperangah. "Kau tidak sedang berfikir untuk melemparkan piring ini lagi kepadaku setelah makanan ini habis, kan?"

"Kau sepertinya juga makan sedikit. Selama bersamaku, Oh Sehun tidak pernah sekurus ini. Jika bukan karena memikirkan asupan gizimu, aku akan membuat ramen saja tadi. Jadi makanlah. Aku sudah kenyang. Ini sengaja kumasak untukmu."

Sehun menarik lengan Luhan sehingga wanita itu duduk di pangkuannya. Matanya terus memandangi Luhan dengan perasaan kagum yang luar biasa.

"Aku hanya bisa makan banyak kalau istriku yang masak. Selama dua minggu berpisah aku sangat kelaparan. Tapi aku tidak ingin makan ini. Sayang, aku ingin memakanmu."

Sehun berusaha mencium Luhan dengan mendekatkan wajahnya tapi naas Luhan memukul lukanya keras – keras hingga Sehun berteriak kesakitan.

"Hentikan! Aku sedang tidak ingin melakukan itu sekarang!"

.

.

.

.

Beberapa tahun kemudian...

Luhan tampak sibuk menggandeng kedua putri kembarnya menuju ke Chinamons Gallery di pusat kota Seoul. Kedua anak itu sangat manis, tapi walau bagaimanapun Luhan tetap saja kewalahan karena harus membawa makan siang untuk Sehun dengan perut yang mulai membesar sambil terus menggandeng si kembar, Hanna dan Hanni. Mereka memberontak melepaskan diri dari gandengan eomma-nya lalu berlarian lebih dulu menuju pintu galeri yang terbuat dari kaca dan masuk kesana tanpa perduli dengan teriakan Luhan.

Kedua anak itu benar – benar sudah membuat Luhan stress seharian ini. Pagi – pagi ketika bangun tidur Hanna dan Hanni sudah menangis karena appa-nya berangkat kerja tanpa membangunkan mereka, lalu sampai siang hari mereka hanya mengatakan "ingin bertemu appa" tanpa perduli dengan eomma-nya yang kerepotan membersihkan rumah. Mereka juga akan menangis sekencang – kecangnya setiap kali Luhan menyuruhnya diam dan pada akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan rumahnya dan membawa kedua anak kembar itu kepada appa-nya.

Luhan membuka pintu galeri dengan nafas terengah – engah dan langsung masuk ke ruangan pribadi Sehun. Ia bisa menghembuskan nafas lega saat melihat kedua anaknya sudah berada dalam pelukan appa-nya. Ada orang lain disana, Byun Baekhyun yang menyambutnya dengan senyuman dan sebuah pelukan sambil bertanya tentang kabarnya.

Luhan membalas pelukannya sesaat lalu meletakkan kotak makan siang di atas meja dan segera duduk sambil bersandar di sofa. Luhan masih berusaha mengatur nafasnya dengan tangan memegangi perutnya yang agaknya membuat Luhan kesulitan bernafas.

"Kau sangat lelah kelihatannya, unnie?" Baekhyun duduk di sebelahnya setelah memberikan sebotol air mineral dari dalam tasnya. "Mungkin karena kau sedang hamil, jadi mudah lelah."

Luhan meraih minum yang di tawarkan lalu meneguknya sekali saja.

"Seandainya tidak sedang hamil aku juga tetap akan begini. Kau tau bagaimana sulitnya punya kedua anak ini?" Ia meletakkan botol air mineral di atas meja. "Kapan kau sampai?"

"Tadi malam. Aku berkunjung kesini sebentar, setelah itu aku harus segera kembali ke hotel karena suamiku bisa mengamuk kalau aku ingkar janji. Aku harus makan siang dengannya."

"Semenjak menikah, Chanyeol sepertinya sangat pemarah." Sehun mulai ikut campur.

"Kau juga seperti itu. Tidak sadar juga?" kata Luhan.

Luhan mulai beraksi memisah – misahkan kotak makan siang yang tadi di bawanya di atas meja. Jam makan siang sudah tiba dan Luhan tidak mau anak – anaknya terlambat makan.

"Semua lelaki tidak akan sebaik pada awal – awal menikah setelah mereka punya anak. Jadi, Baek. Fikir – fikirlah dulu untuk punya banyak anak sepertiku. Nikmati dulu pernikahan kalian selagi masih muda."

Baekhyun tertawa lalu mengemasi barang – barangnya. Ia memandangi keluarga bahagia itu dan merasa ada yang kurang. Anak sulung Sehun tidak ada.

"O, Ya. Yujie dimana? Makan siang keluarga seperti ini kenapa dia tidak datang?"

"Ibunya memaksa Yujie untuk masuk Asrama." Jawab Sehun. "Dan anak itu berangkat ke Incheon dengan senang hati. Seharusnya dia membiarkan Yujie sekolah di Seoul agar dia punya teman untuk bantu – bantu membereskan rumah."

"Kenapa kau tidak sewa pembantu saja unnie? Aku juga sangat sibuk dan menyerahkan semua pekerjaan rumah padanya. Atau seorang Nanny untuk Hanna dan Hanni juga bisa."

"Dia tidak mau."

Sehun menyerobot setelah Luhan nyaris saja menjawab. Wanita tu kembali menutup mulutnya dan konsentrasi pada pekerjaannya.

"Kenapa? Semuanya bisa lebih praktis kalau begitu. Punya satu anak kecil saja rumah akan selalu berantakan. Apalagi dua orang, lebih lebih kau sedang hamil sekarang dan sebaiknya berusaha untuk tidak kelelahan."

Luhan menghela nafas sejenak untuk memikirkan jawabannya. "Aku ini ibu rumah tangga, meskipun lelah kebahagiaanku ada disana. Kau makan saja dulu disini, biar aku yang menelpon suamimu."

Baekhyun menggeleng lalu berdiri dari duduknya. "Aku baru menikah, mana mungkin ku biarkan suamiku makan sendirian. Aku pergi dulu. Sampai jumpa."

Sehun berdiri dan mengantar Baekhyun keluar galeri sambil menggendong kedua putrinya di sisi kiri dan kanannya. Semenjak kedua putri manjanya ini semakin aktif, Sehun tidak perlu lagi olahraga di gym karena Oh Hanna dan Oh Hanni sudah cukup banyak menghabiskan energi untuk bermain – main dengan mereka.

Setelah Baekhyun pergi, Sehun kembali kedalam ruangannya dan memandangi Luhan dengan sebuah senyuman. Ia berharap wanita itu memandangnya. Kening Luhan berkerut melihat suaminya yang kembali tanpa anak kembar mereka dan memandanginya dengan tatapan aneh.

"Dimana si kembar?" tanyanya.

"Di bawa Baekhyun. Nanti sore di antar ke apartemen." Jawab Sehun lalu mendekat kepada Luhan dan merangkulnya. "Duduklah di pangkuanku."

"Kandunganku sudah hampir enam bulan, pasti sangat berat."

"Bukan masalah, Cepatlah." Luhan berpindah ke pangkuan Sehun, sesekali ia melirik ke pintu yang terbuka. "Bagaimana kalau ada yang masuk?"

"Semua pegawai sedang makan siang."

Luhan tersenyum. Ia kemudian memandangi wajah Sehun dengan serius. "Si kembar seharusnya makan dulu baru pergi dengan Baekhyun. Aku sudah menyiapkan makanan mereka."

"Mereka di iming – imingi es krim. Jadi mana bisa menolak. Sudahlah, bukan masalah. Mereka sudah sering pergi dengannya. Sekarang saatnya kita berdua. Sudah lama sekali kita tidak berbulan madu, aku sangat merindukanmu."

"Astaga. Kau masih bisa bergairah dengan perutku yang besar ini?"

Sehun mengangguk mesra. "Tentu saja. kau malah semakin seksi dengan perut besar itu. Kita lakukan saja sekarang, mumpung galeri kosong."

Luhan tertawa terbahak – bahak lalu berusaha menenangkan diri dan memegangi perutnya.

"Baiklah, tapi hanya sekali karena aku harus makan siang. Anakmu di dalam pasti sangat kelaparan. Aku juga harus segera pergi karena ada janji dengan seorang teman soal pekerjaan yang baru itu."

"Janji dengan temanmu itu di undur sampai sore saja, Ini usaha untuk memperlancar persalinan. Dan aku berharap sekarang anak laki – laki."

"Mana mungkin. aku rasa perempuan lagi. Tiffany bilang dulu kau seorang playboy, jadi terima saja kalau semua anak – anakmu perempuan. Karma itu berlaku, sayang. Jadi berhentilah berfikir untuk terus menambah anak karena kau akan kesulitan menjaga semua anak perempuan kita."

Sehun tertawa mendengar perkataan Luhan padanya. "aku sangat mencintaimu, amat sangat mencintaimu. Kau wanita yang sangat luar biasa. Terima kasih, sayang."

Luhan tersenyum dan menangkup wajah suaminya dengan kedua telapak tangannya. "Aku pun begitu, aku juga sangat mencintaimu, Sehun" Diciumnya bibir Sehun, pelan dan lembut, penuh rasa cinta dan kasih sayang yang dalam.

.

.

.

.

.

THE END

.

.

.

.

.

Beberapa tahun yang lalu, di sekolah Kyunggi...

Seharusnya Sehun sudah berada di pesawat menuju Jepang, tapi hari ini harus di undur karena mendapat telpon dari sekolah Kyungsoo kalau anak itu kolaps lagi. kyungsoo bukan orang yang lemah, pingsan bukan kegiatan rutin meskipun ia selalu membawa obat kemana – mana. Pasti sudah terjadi sesuatu sehingga adik bungsunya itu sampai tidak sadarkan diri, tadi gurunya bilang kalau Kyungsoo di temukan dalam keadaan pingsan di kelas.

Malam – malam begini? Apa saja yang di lakukan oleh gurunya sehingga seorang siswa lepas dari pengawasan? Siapa namanya? Xi Luhan. Sehun menghela nafas berat sambil terus berusaha menelpon Sehan yang entah sudah sampai mana.

"Halo?" Suara itu, akhirnya Sehan mengangkat telponnya juga."Aku sebentar lagi sampai, sekarang masih di taksi. Kau sudah sampai dimana?"

"Aku baru masuk ke lingkungan asrama."

"Kyungsoo mungkin di Klinik sekolah, yang menelponmu tadi siapa?"

"Seorang guru, perempuan, namanya Xi Luhan. Katanya pengawas asrama. Eh, Ya. Aku sudah sampai, telponnya ku tutup dulu."

Sehun segera menyelipkan ponsel itu kembali ke sakunya dan terus menyelusuri koridor untuk menemukan Kyungsoo. Langkah demi langkah terus melaju menuju klinik sekolah, satu – satunya ruangan yang jendelanya menyala di luar gedung asrama. Ruangan itu ada di ujung koridor, Sehun bisa melihat dua orang anak laki – laki berada di depan klinik. Salah satu di antaranya pernah Sehun lihat, tapi dia tidak ingat dimana. Begitu sampai di depan mereka, Sehun segera menyapa kedua pemuda itu dengan ekspresi cemas.

"Kyungsoo dimana?"

"Ada di dalam." Salah satu di antara kedua pemuda itu menjawab. Sehun bisa mengingat pemuda ini, Teman Kyungsoo yang sering datang ke apartemen saat libur sekolah. Namanya Jongin.

"Dia sedang tidur, tapi sam menunggu hyung di dalam."

Sehun menepuk lengan Jongin dan menunduk kepada temannya yang seorang lagi sambil mengucapkan terimakasih lalu bergegas masuk kedalam klinik. Sebuah tirai berwarna biru langit tersampir rapat dan Sehun menduga kalau Kyungsoo mungkin ada disana. Ia memandangi ruangan mencari seseorang yang bernama Xi Luhan, tapi tidak ada siapapun di sana.

Sehun menyibak tirai yang berada di hadapannya dan akhirnya ia melihat Kyungsoo tertidur dengan nyenyak. Seorang perempuan berkacamata dengan piama dan sweater berwarnya kuningnya duduk bersandar di sebuah kursi, dia juga tertidur. Xi Luhan. Hidungnya memerah menandakan kalau dirinya sedang terkena flu, wajahnya yang agak pucat juga semakin menambah keyakinan Sehun kalau Xi Luhan sedang tidak sehat.

Tangan Sehun terjulur, berusaha untuk membangunkan wanita itu dengan lembut. Tapi ia mengurungkan niatnya karena mengganggu orang yang sedang sakit adalah sesuatu yang tidak di sukainya. Luhan bergerak saat kaki Sehun menyentuh kakinya secara tidak sengaja. Wanita itu membuka matanya dan memandangi Sehun lama. Setelah kesadarannya benar – benar pulih, ia bangkit dari kursinya dan membungkukkan tubuhnya hormat kepada Sehun sambil mengucapkan salam. Kata – katanya sangat teratur dan tegas.

"Anda wali Kyungsoo yang saya telpon tadi?" Sehun mengangguk. Ia melupakan rencananya untuk marah – marah.

"Bagaimana keadaannya?"

"Hanya demam biasa. Tapi bukan hanya demamnya yang jadi masalah. Jongin dan Taehyung menemukan Kyungsoo di sekolah dalam keadaan basah. Mereka bilang, Kyungsoo menelpon mereka dan mengatakan kalau dia lupa jalan kembali ke asrama. Sepertinya Alzheimernya semakin parah."

Sehun tidak bisa mengatakan apa – apa. Selama ini dirinya tidak begitu mengikuti perkembangan Kyungsoo lagi, semenjak tinggal di Jepang Sehun hanya berfikir tentang kerja dan kerja sehingga dirinya sama sekali tidak tau sudah seberapa parah penyakit Kyungsoo yang satu itu.

"Di bawa pulang saja bisa?"

Tiba – tiba Sehan menyela. Sehun bahkan tidak menyadari kapan Sehan datang dan berdiri di dekatnya. Ia begitu terpesona pada hal – hal yang sama sekali tidak di ketahui. Pandangan Sehun sekali lagi menoleh kepada Luhan, wanita itu terus berbicara dengan Sehan sambil tersenyum beberapa kali. Kelihatannya dia dan Sehan sudah saling mengenal sehingga kenyamanan seperti itu bisa di lihat dengan jelas. Berbeda dengan perilaku dan kata – kata resmi yang di ucapkannya saat berbicara dengan Sehun.

"Kalau begitu tunggu disini dulu, akan saya urus izinnya." Suara Luhan yang tegas terdengar lagi.

Dengan gerakan yang tangkas Luhan memanggil Jongin dan Sehun dapat mendengar kalau wanita itu memarahinya karena memanggilnya Noona di sekolah. Sehun mengerjapkan mata beberapa kali. Ia baru mengingat kalau Luhan dan Jongin memiliki nama keluarga yang sama; Xi. Tapi Luhan tidak secharming Jongin. Jongin adalah pemuda yang penuh gaya. Sedangkan Luhan yang berdiri kokoh dengan tegasnya berpenampilan sangat biasa, dengan kacamata dan rambut lurus yang di jepit alakadarnya, ia bertindak penuh wibawa.

"Ehkm!" Sehan berdehem keras. Sehun langsung menoleh dan memandangi Sehan yang juga memandanginya curiga.

"Ada apa?"

"Kau sedang melihat apa?"

"Tidak ada, Aku tidak melihat apa-apa."

Sehan mengangguk – angguk kecil, tapi Sehun tau kalau dia tidak percaya. Sehan melirik kearah pintu dan Sehun juga melakukan hal yang sama. Luhan sudah tidak ada disana entah sejak kapan.

"Makanya aku heran, disana tidak ada apa – apa tapi kenapa terus melihat kesana?" Lanjut Sehan. Pandangannya mendesak Sehun untuk menyerah dan itu selalu jadi senjatanya. "Kau tidak sedang jatuh cinta…"

"Tidak!" potong Sehun tegas. "Aku cuma memperhatikannya karena dia sedikit, yah berbeda."

Sehan tersenyum. "Tentu saja dia berbeda. Dia hidup di lingkungan seperti apa dan dirimu seperti apa? Dilingkungannya sangat banyak perempuan baik – baik. Sedangkan di lingkunganmu sangat sulit menemukan wanita seperti Luhan. Alangkah baiknya kalau suatu saat nanti kau menikah dengan wanita seperti dia."

"Dia terlalu dewasa untukku. Mungkin usianya sebaya denganmu, mana mungkin menikah denganku."

"Dia seumuran denganmu, Sehun. Sarjana Pendidikan di Seoul university dan mendapat nilai cumlaude. Begitu masuk ke sekolah ini langsung di daulat sebagai guru berprestasi. Tegas, tapi terfavorit karena sebelumnya di sekolah ini guru muda sama sekali tidak ada. Lagi pula aku tidak mengatakan kalau kau menikah dengan dia, tapi menikah dengan yang seperti dia. Coba perhatikan kata yang ku ucapkan tadi, oke."

Sehun menelan ludah. Entah mengapa ia merasa kalau Sehan sudah berhasil mengorek perasaannya yang Sehun sendiri tidak tau. Kata – katanya selalu bisa mendesak dengan baik dan dia sangat cocok menjadi seorang pengacara. Sehun memandangi Jam tangannya, Lebih baik ia menunggu di mobil yang di sewanya untuk menghindari terror dari Sehan lebih lanjut.

"Aku keluar saja. Nanti Kyungsoo bawa ke mobilku. Aku bawa mobil sewaan."

Sehan mengangguk masih dengan senyum yang seolah-olah mengetahui kalau dirinya sedang menghindar. Sehun keluar dari klinik dengan langkah cepat menyusuri koridor yang tidak begitu gelap. Keadaan seperti ini membuat sekolah yang sepi menjadi kelihatan sangat menyeramkan karena cahaya yang terlihat seperti lilin mendekatinya dengan langkah yang sama cepatnya.

Tanpa sadar Sehun menabrak sesuatu, sebuah suara mengaduh kecil mengganggu konsentrasinya dan Sehun segera memperhatikan lilin yang terguling. Beruntung benda itu masih menyala. Sehun berusah meraih lilin itu dan mengembalikannya ke dalam tabung plastik berbentuk mangkok yang sudah berisi lelehan lilin lalu menerangi seseorang. Luhan masih terpaku di lantai sambil meraba – raba mencari kacamatanya. Sehun melihat wajahnya yang di terangi cahaya lilin aromatherapi yang beraroma mawar.

Suasana mengerikan berubah seketika dan sangat drastis. Sehun terkesima saat wajah Luhan begitu dekat dengannya. Ia terlena selama dua tarikan nafas lalu kembali terbangun dan mengambil kacamata Luhan yang berada di dekat tembok. Luhan mengambilnya dan berterima kasih.

"Apa kau benar – benar tidak bisa melihat tanpa itu sam?" tanya Sehun setelah keduanya berdiri.

"Tidak juga. Hanya saja dengan kacamata lebih jelas. Tapi mataku tidak begitu parah. Anda mau kemana? Sudah mau pulang?"

"Saya menunggu di mobil saja. Sehan hyung masih di klinik."

"Kalau begitu saya ke klinik dulu, permisi." Luhan tersenyum.

Tanpa sadar Sehun menarik lengannya, Spontan dan tiba – tiba. Sehun sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Saat melihat tatapan heran Luhan, ia melepaskan tangannya dan berusaha mencari penjelasan yang tepat atas perilakunya

"Sam, kau lebih cantik tanpa kacamata." Sehun menggigit lidahnya kuat. Kenapa yang keluar dari mulutnya selalu kata – kata penuh godaan seperti itu?

"Kalau anda mengatakan itu, maka saya pikir saya akan selalu mengenakannya." wanita itu menjawab dengan pandangan tidak suka lalu berbalik dan melangkah semakin menjauh.

Sehun berusaha mengumpulkan indranya kembali lalu berhenti memandangi Luhan lagi. Melihat wanita itu membuatnya merasa seolah – olah wanita itu adalah orang yang sangat di kenalnya. Mungkin dia akan sering di temui Sehun di masa depan, Entahlah, yang pasti Sehun harus segera pulang dan minum obat, berada dalam jarak yang dekat dengan Xi Luhan bisa saja membuat otaknya menjadi kacau.

.

.

.

.

.

THE END

.

.

.

.

.

19 Januari 2017

Akhirnya TAMAT juga, 1 remakean beres, yeayy~

Makasih teman – teman sudah menemani dari awal chapter – akhir.

Terima kasih juga buat Phoebe yang udah bikin cerita keren dan bermakna kayak gini, suka bangeeet, makanya itu aku bikin yang versi hunhan nya biar kalian juga tau kalau ada cerita yang sebagus ini (bagi yang belum baca, dan doyannya ama hunhan, hihi)

.

Sebelumnya aku minta maaf ya updatenya lama gak seperti biasanya.

Hari ini juga aku baru pulang ngantor jam 19:27, tadi sore meeting dulu soalnya sama pa bos. Jadi baru update sekarang deh.

Sebagai permintaan maafku, aku update Bittersweet chapter 5 juga yaa, hhe.

See Ya!

.

Thankyou:

deerbee , Arifahohse , Hunhanpoo , Fe261 , FeFebz , SyiSehun , Exochikkey , Adella520 , Luharnshi , sarada15 , milkyhun , kxaz , KimaSL , abcbcbcd , ohjasminxiaolu , yong1237 , Hannie222 , sehundoyansodokluhan , Selenia Oh , Eun810 , MeriskaLu , anggrek hitam , Hwang Cha Sun , Seravin509 , rly , YeoJaeNa , tctbcxx , hunhan5201 , oh biji7 , abcbcbcd , hunexohan , becalm , gel , celinedion , cintassran , corrisant , gesan

.

.

with love, pichaa