Disclaimer : All characters belong to God, their parents and their agency. But this fanfic belong to me.

Warning : YAOI. OOC. Typo, story line agak gajelas, humor ambyar, plotless, pointless,cerita pasaran, etc.

.

.

~Hunaxx present~

.

.

Hellove, sugar. (Side story!interview xD)

.

.

This is Yaoi. Don't like? Don't read. NO BASH! And NO PLAGIAT! NO NO NO

.

.

ENJOY~

.

.

.

.

.

"Maaf. Dia memang agak brutal."

Yoongi mengolesi gel pereda nyeri pada dahi Jimin yang agak membiru. Sedangkan yang punya luka sibuk merintih. Karena demi apapun, dahinya terasa berdenyut. Dalam sehari, kepalanya mendapat dua kali hantaman.

Tapi sepertinya kejadian ini sebuah berkah bagi Jimin, karena lihatlah! Yoongi dengan telaten mengobati memar di dahinya. Dan lagi jarak wajah Yoongi dengan Jimin sangatlah dekat, karena Yoongi sedang sibuk meniupi dahi Jimin, agar gelnya cepat kering katanya.

Aih. Ini sih berasa hawa surga kalo kata Jimin.

Jimin memerhatikan wajah Yoongi. Bagaimana bibir Yoongi yang mengerucut saat meniup-niup dahi Jimin, 'kan Jimin jadi ingin menciumnya.

Oh, sepertinya mereka melupakan sesosok makhluk yang duduk tidak jauh dari mereka, memandangnya malas, tepatnya menatap pada Jimin.

"Dasar modus." Ucapnya pelan, yang dapat didengar oleh Jimin.

Tapi tidak oleh Yoongi.

"Kau bilang apa?" Yoongi menjauhkan wajahnya dari wajah Jimin. Jimin jadi kecewa. Dia belum puas memandangi wajah Yoongi yang manis.

Dasar.

"Tidak ada."

Yoongi menunjuk pada lelaki pendek berpipi tembam itu, "Jihoon, minta maaf pada Jimin." Lalu menunjuk pada Jimin yang duduk disebelahnya.

Lelaki pendek itu mendengus. Lalu menatap Jimin, "maaf."

"Iya tidak apa-apa."

'Kalau bukan adiknya Yoongi, sudah ku cekik kau.' Jimin melanjutkan dalam hati.

"Pergi tidur, Jihoon. Besok kau kuliah pagi."

"Iya."

"Sekarang Jihoon, jangan main ponsel terus."

"Hmm." Hanya gumaman, dan lelaki berpipi tembam itu masih sibuk dengan ponselnya.

"Kubilang sekarang! Kau ini—

"Yoongi hyung bawel seperti ibu hamil."

"YACK JIHOON!"

"Dia memang sedang hamil, hamil anak ku." Jimin mendekat pada Yoongi, menempelkan tangannya pada perut datar Yoongi dan mengelusnya.

Sadar, Yoongi menepis keras tangan Jimin. "Brengsek, Park! Apa-apaan—

"Oh pantesan. Sudah berapa bulan hyung?" kali ini, Jihoon bertanya.

"JIHOON!"

Dan Jihoon sudah kabur dari tempatnya, dengan tawa yang memenuhi ruangan.

Dan Jimin?

Dia ikut tertawa juga.

.

.

Yoongi mengantar Jimin sampai ke depan pagar rumahnya, dimana Jimin memarkir motor bebek kesayangannya.

Melihat dahi Jimin yang masih membiru, Yoongi sedikit merasa bersalah, karena tadi Jihoon menghantam kepala Jimin dengan sendok sayur. Alhasil dahi lelaki tampan itu dihiasi noda berwarna biru.

"Maaf. Jihoon memang sensitif apabila ada yang menyinggung tinggi badannya—

Jimin yang sedang memakai helmnya menoleh, mendapati Yoongi yang menatapnya dengan rasa bersalah.

—sungguh, aku minta maaf. Aku jadi tidak enak padamu."

Walaupun Yoongi sebal pada Jimin karena lelaki itu yang sering mengganggunya, tetap saja dia merasa bersalah. Karena adiknya, Jihoon yang membuat dahi Jimin menjadi memar begitu.

Ternyata benar kata Namjoon, Yoongi itu sebenarnya orang baik. Kalau tidak, kenapa dia masih minta maaf pada Jimin. Padahal bukan dia yang melakukan.

Jimin tersenyum tampan, menaiki motor bebeknya. "Tidak apa-apa, sugar."

Yoongi mengangguk. "Sudah malam, sana pulang." Jutek lagi. Padahal baru beberapa menit yang lalu Yoongi sedikit agak manis.

"Aku pulang ya, sugar. Jangan rindu padaku."

Jimin memberikan wink tampannya pada Yoongi.

Dan lelaki berkulit pucat itu langsung masuk ke rumahnya tanpa bicara apa-apa.

.

.

Yoongi berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih berserakan.

Diluar kamar, mama nya sudah berisik membangunkan adiknya yang kalau tidur, sudah lupa akan segalanya. Membuat Yoongi jadi agak terganggu oleh suaranya yang meneriaki adiknya.

Yoongi baru saja keluar kamar, dan dia langsung mendapati mamanya yang sepertinya baru saja ingin masuk ke kamarnya.

"Loh Yoongi, udah bangun ternyata. Baru aja mau dibangunin."

"Ini masih jam enam, mah. Jam kerja ku 'kan jam delapan." Yoongi menjawab malas. Kalau bukan karena suara berisik mamanya, dia pasti masih bergelung dalam selimutnya.

Yoongi tidak perlu takut telat, karena perjalanan dari rumahnya menuju kantor tersayangnya hanyalah dua puluh menit.

Tapi ujung-ujungnya biasanya Yoongi tetap akan telat karena terlalu asyik menyiram tanaman bunga milik mamanya yang ada di halaman depan rumahnya.

"Tapi Yoongi, dibawah ada temanmu yang menunggu tuh."

Yoongi mengernyitkan dahinya. Ini sudah tahun keduanya bekerja, dan teman sekantornya tidak ada yang pernah repot-repot mau menjemputnya di pagi hari. Paling-paling dia nebeng pulang sama Namjoon kalau kedapatan sedang lembur.

Dan siapakah gerangan yang mau repot-repot pagi begini kerumahnya? Dan lagi, ini masih terlalu pagi bagi seseorang bertamu kerumahnya.

"Ha? Siapa mah?"

"Mama gak tau. Dia bilang temen kamu. Dia ganteng loh~" Yoongi ingin muntah saja rasanya melihat mamanya yang menatap genit padanya.

Apa-apaan.

Mamahnya memang sering menggoda Yoongi kalau ada lelaki ganteng yang main kerumah. Karena katanya dia capek liatin Yoongi yang gak pernah pacaran. Alias ngejomblo mulu.

Bahkan waktu Namjoon kerumah, mama nya memberikan pertanyaan seperti ini sekitar sepuluh kali lebih,

'Loh bener kamu bukan pacarnya Yoongi?'

Dan membuat Namjoon ingin cepat-cepat pulang dari rumah Yoongi.

Yoongi berfikir sebentar. Sebelum otaknya dengan cepat menargetkan seseorang sebagai tersangka. Lalu menatap ibunya was-was, "mah, orangnya ciri-cirinya gimana?"

"Rambutnya abu-abu. Ganteng sih. Ohiya tadi dia ada sebut namanya eum—Park, Park—Ji—neut? Ron? Ji neutron? Eh Ji—

"Jimin?"

"NAH IYA! PARK JIMIN."

Mamanya berteriak heboh.

Yoongi ingin menggigiti gagang pintu saja rasanya.

.

.

Jimin tersenyum lebar melihat Yoongi yang masih dengan piyamanya yang bermotif kumamon, berjalan kearahnya dengan langkah terseret-seret bonus dengan wajah bantalnya.

Yoongi mendudukkan pantatnya dikursi dekat dengan yang diduduki Jimin. Tidak, Yoongi tidak ingin dekat-dekat dengan lelaki itu, karena nanti dia bisa geer. Begitu pikir Yoongi.

"Sugar, kok duduknya disitu sih? Sini dong deket aku." Jimin menepuk-nepuk sisi sofa kosong yang ada disebelahnya.

Yoongi mendengus, melipat tangannya didepan dada. "Ngapain sih?! Ini 'kan masih pagi!"

"Loh 'kan aku mau jemput sugar. Biar kita bisa berangkat bersama." Yoongi makin mendengus mendengar jawaban Jimin.

Mungkin kesalahan besar karena membiarkan lelaki bersurai abu-abu tampan ini mengetahui dimana letak rumahnya.

"Bisa jalan sendiri."

"Nanti kamu diculik."

Yoongi mendelik, "Kau pikir aku bocah tk?!"

"Kan Yoongi mungil seperti anak tk."

Yoongi rasa-rasanya ingin menombak Jimin. Atau menusuk, mencekik, atau yang lainnya yang penting dapat membuat lelaki ini diam. Sabar. Sabar. Ini masih pagi, dan Yoongi tidak mau mengomel-omel yang dapat membuat tekanan darahnya naik.

"Aku belum mandi."

Kali ini, Jimin tersenyum miring. "Mau aku mandiin?"

"Sialan. Tunggu sini dulu!"

.

.

Pagi ini ada yang agak berbeda dari kantor tercinta tempat Yoongi bekerja. Sebenarnya enggak beda banget sih, ya cuman ada beberapa gadis yang ribut di lobby. Entah ngomongin apa.

Dan karena Yoongi kepo, dia berjalan menuju meja resepsionis, yang dimana ada seorang gadis cukup cantik sedang membaca majalah.

"Irene Noona."

Gadis bernama Irene yang sedang membaca majalah itu mengalihkan pandangannya pada Yoongi, "Ada apa Yoongi?" dan bertanya ramah.

"Ini ada apasih? Kenapa sepertinya mereka ribut sekali." Yoongi melirik pada segerombolan karyawan perempuan yang sedang bisik-bisik heboh. Entah ngomongin apa.

Irene tertawa kecil, kemudian berkata. "Oh itu. Ada karyawan baru. Laki-laki. Tampan sekali."

Yoongi menatap Irene malas. Heh dia kira ada apa pagi-pagi heboh gini. Dia kira ada naik gaji atau apa gitu, eh tahunya cuman ada karyawan baru.

"Kok waktu aku masuk tidak heboh seperti ini? Padahal karyawan baru itu juga paling kalah ganteng dari aku." Yang lelaki disebelah Yoongi berbicara, nadanya tidak suka.

Iya, siapalagi kalau bukan Jimin.

Yoongi mendengarnya mendengus, "Heh Park. Mau banget di idolain?"

Mendengar ucapan Yoongi, buru-buru Jimin menggeleng. "Engga kok. Aku kan maunya di idolain sama Yoongi aja."

Cup

Dan pagi itu pipi Yoongi sudah dihadiahkan sebuah kecupan. Oleh tersangka dengan nama Park Jimin.

Yoongi diam sebentar—

"PARK JIM—

Baru Yoongi ingin meneriaki Jimin, dia merasakan sebuah tepukan pada pundaknya.

"Eum Yoongi." Yoongi menoleh, mendapati Irene yang sedang memandanginya dengan—memerah?

"Ada apa noona?"

"Itu—resleting celanamu turun." Lalu Irene cepat-cepat kabur dari sana.

Yoongi melongo sebentar, dan menatap celana hitam yang digunakannya dan—sial. Resleting celananya beneran turun.

Jimin yang memang eksistensinya berada didekat Yoongi, kembali berbicara. "Mau aku bantu tidak hyung?" lalu menatap Yoongi dengan tatapan jurus menggoda level seratus.

Mendadak, wajah Yoongi jadi merah padam. "PARK JIMIN!"

.

.

"Wah Yoongi hyung, Kita bertemu lagi!"

Sesosok lelaki tampan, sudah dengan seenak jidatnya langsung duduk diatas meja kerja Yoongi. Mengabaikan dengusan Yoongi yang sebal karena merasa terganggu.

"Ya ya ya bocah alien. Minggir dari meja kerjaku." Yoongi berusaha mendorong kaki lelaki itu, tapi gagal total.

Yang lelaki tampan cemberut, merasa sedih akan pengusiran dari Yoongi. "Kok aku diusir sih hyung~"

"Berhenti menjadi sok imut Taehyung. Itu menjijikan." Yoongi menatap malas lelaki yang telah diketahui bernama Taehyung ini.

"Oh hyung. Kim Taehyung tidak imut tapi tampan." Lalu dia tersenyum bangga.

"Ya ya ya katakan itu pada para karyawan perempuan yang sibuk menggosipkan mu sejak tadi pagi."

Taehyung tertawa keras. Dia ingat saat kedatangannya tadi pagi, sudah menghebohkan para gadis. Yang mana mereka langsung berebut ingin berkenalan dengannya.

Nasib jadi orang ganteng.

Yoongi memang sudah lama kenal dengan Taehyung. Tentu saja. Taehyung ini adalah sepupu Namjoon. Yoongi beberapa kali sering bertemu dengannya kalau sedang ke rumah Namjoon. Dan karena Taehyung tipikal orang yang easy going, dia dapat dengan mudah dekat dengan Yoongi. Walau Yoongi terkadang cukup ketus.

Tanpa disadari oleh Yoongi, ada sesosok lelaki yang sedari tadi menatap dia dan Taehyung yang sedang berbicara dengan sebal. Memelototi lelaki yang sedang duduk di meja kerja Yoongi, yang dengan kurang ajarnya mengusak rambut milik Yoongi.

'Sialan. Menjauh dari Yoongiku! Dia hanya milikku.' —suara hati seseorang.

"Tapi Yoongi hyung, aku itu memang—

Brak

Yoongi kaget. Taehyung juga kaget. Mereka kompak langsung menoleh pada sumber suara, dan mendapati seorang lelaki yang sedang memungut sebuah buku cukup besar dari lantai.

Yoongi menatapnya heran, "Ngapain sih Park?" Yoongi bertanya. Dalam hatinya berucap ada-ada saja kelakuan bocah satu ini.

Mendengar Yoongi bertanya, Jimin jadi tersenyum lebar padanya. "Tidak ngapa-ngapain kok sugar." Tapi kemudian dia melotot tajam pada Taehyung, tanpa dilihat oleh Yoongi.

Kalau saja tatapan Jimin adalah sebuah laser mematikan, mungkin sekarang Taehyung sudah terkapar tidak sadarkan diri.

Diberi tatapan seperti itu, Taehyung mengernyit. Tapi kemudian dia tersenyum miring.

"Yoongi hyung~" Taehyung turun dari meja Yoongi, menarik kursi entah milik siapa dan duduk disebelah Yoongi, merangkul pundaknya.

Dan Yoongi hanya membalasnya dengan gumaman. Dia sedang tidak ada waktu untuk meladeni Taehyung.

"Besok sabtu jalan yuk. Ada film—

Brak

Entah kali ini apa yang jatuh, Yoongi kembali melihat pada Jimin. Hanya meliriknya, tanpa bertanya apa-apa.

Sedangkan Jimin benar-benar merasa amarahnya berada di ubun-ubunnya. Sial sekali. Lelaki itu benar-benar menyentuh Yoongi. Yoongi itu miliknya, dan tidak boleh ada yang menyentuhnya sama sekali. Kecuali dirinya.

Kalau saja pekerjaan Jimin sudah beres, pasti dia akan langsung menarik Yoongi agar lelaki manis nan imut itu tidak didekati oleh si karyawan baru yang membuat Jimin jengkel setengah hidup.

Diam-diam, si karyawan baru dengan nama Taehyung itu tertawa dalam hati melihat Jimin.

'Oh jadi benar.'

.

.

"Park, duduklah. Kenapa berdiri doang sih." Ini Yoongi yang berbicara. Dia melihat bangku yang lainnya sudah penuh. Dan di meja ini masih ada sisa satu bangku kosong, tapi Jimin malah cuman berdiri kayak patung.

Sebenarnya Jimin mau saja duduk, apalagi sudah disuruh Yoongi begitu. Tapi sialnya bangku yang ada disebelah Yoongi sudah di duduki oleh Hoseok, dan membuat Jimin lagi-lagi sebal. Kenapa pula banyak yang deket-deket sama Yoongi.

Lagipula yang bikin Jimin malas duduk disitu karena—

"Iya Jim. Itu bangku disebelah Taehyung masih kosong."

Nah. Ini yang membuat Jimin males banget duduk.

Iya, karena bangku kosong yang tersisa hanyalah disebelah Taehyung. Lelaki yang menurut Jimin menyebalkan karena berani menyentuh Yoongi.

Karena tidak ada pilihan lain, mau tidak mau Jimin duduk disebelah Taehyung yang sedang kalem makan. Sebenarnya tidak rugi juga sih duduk disini, karena dengan begini dia berada langsung berhadapan dengan Yoongi.

Jimin mengabaikan makanannya. Dia hanya memerhatikan Yoongi yang sedang menyantap makanannya dengan serius. Lucu sekali. Jimin gemas ingin menciumi pipi Yoongi yang mengembung karena lelaki imut itu terlalu banyak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

"Yoongi hyung, itu bibirmu—

Tak

Baru saja. Baru saja seonggok tangan mengulur, hendak menyentuh bibir ranum milik Yoongi, namun dengan cepat langsung tergagalkan.

Iya, siapa lagi pelakunya kalau bukan Jimin.

Tadi Taehyung hendak mengusap bibir Yoongi yang ternodai saus sedikit, tapi belum sampai tangannya menyentuh bibir Yoongi, dengan cepat Jimin langsung memukul tangannya dengan sumpit.

"Sugar, makannya pelan-pelan saja." Dengan gentle, Jimin mengusap sisa saus pada bibir Yoongi dengan tisue.

Lalu dia tersenyum remeh pada Taehyung, seolah berbicara Yoongi itu milikku lewat pandangan matanya.

"Eum terimakasih." Yoongi tersenyum malu-malu pada Jimin.

Jimin hanya mengangguk. Tersenyum melihat Yoongi yang nampak merona karena perilakunya.

'Kerja bagus Park' dan memuji dirinya sendiri di dalam hati.

.

.

"Yoongi hyung, ayo pulang bersama."

Seorang lelaki, yang dengan gantengnya duduk di motor ninjanya. Mau tidak mau Yoongi memujinya karena motornya yang terlihat keren. Warnanya hitam, favorit Yoongi.

"Eh Taehyung tapi nanti—

"Maaf Taehyung-ssi, tapi Yoongi hyung sudah mempunyai jadwal denganku sekarang." Belum selesai Yoongi berbicara, seorang lelaki yang datang entah darimana langsung memotong ucapannya.

Iya, Jimin. Jimin lagi. Dengan santainya Jimin merangkul pinggang Yoongi. Yang dibalas tatapan tajam dari Yoongi tapi Jimin mengabaikannya.

"Apa-apaan sih Park!"

Tetapi Jimin sama sekali tidak meladeni ucapan Yoongi. Dia beralih menatap sengit pada Taehyung. "Sudah ya, kami ada urusan. Selamat malam Taehyung-ssi." Tanpa mendengar jawaban dari Taehyung, Jimin langsung pergi begitu saja, dengan merangkul Yoongi tentunya.

Taehyung menatap datar kepergian Yoongi dengan Jimin.

'Menarik.'

Sesampainya di parkiran motor, Yoongi langsung menepis tangan Jimin yang sedari tadi melingkar di pinggangnya. "Apa-apaan Park! Aku tidak mempunyai urusan denganmu."

Tanpa bicara apa-apa, Jimin membuka jok motornya, mengambil satu buah jaket putih yang dilipat rapi, lalu menyudurkannya pada Yoongi. "Pakailah. Nanti kamu kedinginan."

Yoongi melemparkan tatapan sengit, tapi lagi-lagi lelaki dengan marga Park itu mengabaikannya, dengan santai langsung menaiki motornya dan memakai helm.

Akhirnya Yoongi memakai juga jaket milik Jimin ini. Sesaat Yoongi sempat terlena dengan wangi jaket milik Jimin. Karena hei wanginya menyenangkan sekali saat tercium oleh hidung Yoongi.

"Ayo naik." Jimin berucap, perasaan Yoongi saja atau memang Jimin jadi agak beda.

Dan ternyata benar, Jimin agak berbeda. Bahkan Jimin tidak mengebut seperti waktu pertama kali mengantarnya pulang. Juga di sepanjang jalan dia tidak bersuara sama sekali.

Yoongi jadi agak bosan, dia mengantuk dan Jimin tidak mengajaknya mengobrol itu membuat kantuknya makin menjadi. Tanpa disuruh Jimin pun, Yoongi mengeratkan pegangannya pada sisi kanan kiri tubuh Jimin, bahkan hampir memeluknya. Dan menjatuhkan kepalanya pada punggung Jimin. Yoongi mengantuk.

Merasakan kepala Yoongi pada punggungnya, Jimin tersenyum. Melajukan laju motornya dengan rasa bahagia.

.

.

"Sugar, bangunlah. Sudah sampai."

Yoongi, yang sedang enak tidur di punggung Jimin yang untungnya engga ngiler, mengerjapkan matanya. "Ini dimana?" bertanya dengan antara sadar dan engga. Tapi dia masih tau kalau ini bukan depan rumahnya.

"Di pelaminan."

Plak

Sebuah tabokan cinta didapat oleh Jimin yang baru saja melepas helmnya dan alhasil tangan Yoongi dengan indah mendarat di belakang kepala Jimin.

"Sugar engga mau turun? Seneng ya peluk-peluk aku." Jimin terkekeh geli.

Tersadar, Yoongi langsung cepat-cepat melepaskan tangannya yang sedari tadi melingkar di tubuh Jimin. Merutuk dalam hati kenapa dia keenakan sendiri peluk-peluk bocah berisik ini. Dan dengan nyamannya tertidur dengan kepala menempel pada punggungnya.

"Aku lapar. Temenin aku makan dulu ya, sugar."

Yoongi dengan baik hatinya mengangguk. "Asal di traktir sih enggapapa."

Jimin langsung seenaknya merangkul pinggang Yoongi, "apasih yang engga buat kamu."

"YACK LEPAS—

"Berisik sugar. Nanti pita suaramu lepas gara-gara teriak terus."

"Kurang ajar!"

Jimin dan Yoongi mengambil tempat di agak pojok, ya emang kedemenannya Jimin mojok-mojok. Tapi bukan karena itu sepenuhnya sih, karena emang kedai ini sedang ramai, jadilah mereka kebagian tempat di pojok.

Dalam hati Jimin berteriak senang, karena ternyata Yoongi mau diajak makan olehnya. Ya walaupun mereka hanya di kedai sederhana, tidak makan di restauran bintang lima dengan lilin-lilin indah disekitarnya, tapi kalau kau dengan orang tercinta, tetap akan terasa di restauran mewah.

Asik.

Saat makanan datang, Yoongi dengan cepat melahapnya karena kebetulan memang dia sedang lapar. Dan kebetulan sekali Jimin mengajaknya makan, dibayarin pula.

Mana bisa dia nolak.

Sedangkan Jimin, tersenyum gemas saat melihat Yoongi yang makan dengan lahapnya. Pipinya mengembung lucu saat lelaki itu memasukkan terlalu banyak gulungan mie pada mulut kecilnya.

Ah, Jimin jadi pengen cium 'kan.

Sadar merasa diperhatikan, Yoongi mengalihkan atensinya dari makanannya pada Jimin. Dan benar, lelaki yang menurutnya berisik itu lagi ngeliatin dia. Udah mana ngeliatinnya kayak om-om pedo gitu. Mupeng.

"Apa liat-liat?!"

"Pengen aja. Kamu lucu banget. Gemes jadi pengen nikahin."

Yoongi melotot tajam, tangannya menunjuk-nunjuk hidung Jimin, "apa-apaan! Kalo ngomong jangan sembarangan!"

Alih-alih membalas perkataan Yoongi, tangan Jimin malah meraih tangan Yoong yang telunjuknya nunjuk-nunjuk hidung Jimin. Mengelusnya lembut lalu mencium punggung tangan Yoongi.

"Sugar percaya cinta pada pandangan pertama?" Jimin berucap, menatap ke dalam bola mata Yoongi. Tangannya menggenggam tangan Yoongi.

Seolah baru tersadar, Yoongi langsung menarik tangannya yang digenggam Jimin. "Tidak."

"Kau harus percaya. Karena kau lah yang bersalah."

"Apa-apaan—

"Iya kamu Yoongi. Pertama kali liat kamu, aku ngerasa beda. Aku ngerasa tertarik sama kamu yang galak tapi imut itu. Aku kira aku cuman sebatas tertarik aja. Tapi lama kelamaan, aku sadar ini bukan lebih dari rasa tertarik. Aku jatuh cinta. Jatuh cinta sama seorang Min Yoongi yang galak tapi manis. Aku mencintaimu, Yoongi."

Mendapat confess tersebut, Yoongi merasa ada yang salah. Kenapa dia bisa mendengar sesuatu yang berdebar dari dalam dirinya?

Mendengar apa yang diucapkan oleh Jimin, sepertinya anak itu benar-benar serius. Dia tidak terlihat seperti seorang bocah yang berisik melainkan benar-benar seperti seorang pria yang sedang menyatakan cintanya pada orang yang dicintainya.

Yoongi hanya diam, tidak tahu harus membalas apa. Toh lagipula Jimin tidak meminta jawabannya, 'kan?

"Yoongi." Jimin memanggil. Yoongi merasa ada yang menggelitik saat lelaki itu memanggil namanya dengan suara begitu—mendominasi?

"Apa?"

"Minggu depan ada festival kembang api, mau melihatnya denganku?"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

End / tbc?

a/n :

Ini fanfic makin pointless aja. Makin gajelas. Jiminnya juga makin alay /ditendang. Kayaknya humornya gagal ya duh mau pundung aja ah aku. Huhuhu.

Udah deh, dadah. Makasi banyak yang udah fav/follow/review fanfic ini. Tanpa kalian fanfic ini gabakal saya lanjut huks. /apaan.

Review lagi?