"Kita sudah sampai, Sehun. Buka matamu." Ucap Luhan lembut. Sehun pun membuka matanya dan matanya memerhatikan sekeliling ruangan. Ia masih melingkarkan tangannya pada pinggang Luhan posesif. Luhan membelai rambut Sehun dan memulas senyum lembut.

"Ini kamarku."

Sehun melirik jam dinding. Sesaat setelah Luhan berbicara, jarum detik bergerak. Ia pun menatap Luhan lega lalu mendekapnya erat.

"Terima kasih, Luhan. Terima kasih, terima kasih, terima kasih terima kasih, terima kasih, terima ka—"

Ucapan Sehun terhenti karena tiba-tiba Luhan melepas dekapannya dan langsung menyatukan bibirnya dengan Sehun. Ia melumat bibir tipis itu lembut. Sehun pun membalasnya. Ia tersenyum dalam ciuman lembut mereka.

"Tidak perlu sampai seperti itu, Sehun. Justru aku merasa berguna bisa menyelamatkanmu." Ucap Luhan setelahnya. Ia menangkup pipi Sehun dan menyatukan kening. Sehun mengeratkan pelukannya pada pinggang Luhan.

"Impianku menjadi kenyataan. Karena kau. Ini seperti mimpi."

Luhan memegang dagu Sehun agar tidak menunduk. Dikecupnya bibir tersebut berkali-kali guna menenangkan. Air mata terus meluncur menjejaki pipinya. Luhan menghapusnya dengan lembut lalu menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Sehun. Jangan menangis. Ini nyata. Kau, tiga dimensi. Selamat tinggal pada Hvitur yang telah menjadi tempatmu bernaung selama ratusan tahun lamanya."

Sehun menatapnya dengan teduh. Luhan memulas kurva. Ia berjinjit guna mencium kening Sehun. Sehun memejamkan matanya. Kemudian Luhan mencium kelopak mata Sehun bergantian lalu pucuk hidungnya dan yang terakhir bibir tipisnya.

"Kita telah sama. Itu berarti kita harus bersama. Anganmu sudah terwujud. Waktu memihak kita, Sehun. Selamat datang di duniaku—dunia kita."

Sehun pun mendekap Luhan erat dan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher pria tersebut. Luhan membalas dekapan Sehun sembari mengusap lembut punggungnya.

"Ya. Aku—terpukau. Sangat."

.

"Kau tunggu di sini dahulu." Ucap Luhan. Sehun menganggukkan kepalanya. Ia meraba-raba seprai dan selimut pada ranjang Luhan. Matanya memancarkan binar penuh sukacita. Luhan mengacak rambutnya gemas sebelum meninggalkan kamarnya.

.

Luhan berjalan pelan keluar kamarnya. Ia langsung melangkah menuju dapur dan dirinya mendapati bibi Ern yang masih mengaduk nasi goreng. Bibi Ern yang menyadari kehadiran Luhan pun langsung menoleh dan melempar senyum.

"Oh, Luhan. Kau sudah bangun rupanya. Tunggulah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya jadi."

Luhan mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia masih tak percaya dengan situasi ini. Bibi Ern tak merasakan apa yang ia rasakan kala waktu berhenti.

Gila.

Luhan menggaruk tengkuknya kaku. Untung ia sempat berganti pakaian dengan memakai kaos polos dengan bokser Manchester United.

"Eh iya, Bi. Di mana Paman?"

Bibi Ern menoleh kemudian menjawab, "Ia sedang berada di halaman belakang. Membaca koran ditemani kicauan burung. Seperti biasa."

Luhan mengangguk mendengarnya. Ia pun berjalan meninggalkan bibi Ern dan melangkah menuju halaman belakang. Benar saja. Paman Shu sedang membaca koran sesekali menyesap teh manisnya. Entah mengapa Luhan menghela napas lega.

.

.

.

"Ini. Makanlah, Sehun." Ucap Luhan sembari meletakkan nampan dengan sepiring nasi goreng dan segelas susu putih hangat di atas nakas. Sehun mengernyit. Ia mendudukkan diri di ranjang Luhan.

"Makan dan minum?" tanyanya pelan. Luhan menangguk kemudian tangannya terulur guna menyentuh pipi kiri Sehun. Dibelainya pipi Sehun dengan lembut. "Ya. Makan dan minum. Apa kau mau mencobanya?"

Spontan Sehun mengangguk antusias. Sudah berapa lama ia tidak merasakan makan dan minum? Sudah berapa lama ia tidak merasakan lapar serta dahaga? Sehun masih merasa ini semua seperti mimpi. Digenggamnya tangam Luhan yang masih bertengger di pipinya.

"Suapi aku, Luhan. Aku sangat penasaran."

.

.

"Kau tidak mungkin berdiam terus di sini, Sehun. Ini sudah jam makan siang. Apa yang harus kukatakan pada mereka? Ugh. Sehun, hentikan dahulu cumbuanmu."

Sehun berdecak. Ia memeluk Luhan posesif nan manja. Posisi Luhan saat ini tengah berada di pangkuan Sehun dengan kaki yang melingkari pinggang pria tersebut. Sehun mengendusi leher Luhan tanpa mencumbunya lagi.

"Kalau begitu, kenalkan aku pada Paman dan Bibimu. Kau ini bagaimana." Balasnya santai. Lantas Luhan menjewer sayang telinga Sehun yang membuat sang empunya merengek.

"Ck. Kau orang gila atau apa? Bagaimana cara aku memperkenalkanmu, Pangeran Oh yang terhormat? Bibi dan Paman itu sudah mengetahui wujud dua dimensimu. Bagaimana kalau aku dicecar pertanyaan macam-macam oleh mereka? Mampuslah aku." Sehun terkekeh mendengar Luhan menggerutu. Ia mencium pipi Luhan gemas.

"Ya ampun. Rancang skenario, Luhan."

"Tch. Bagaimana?"

Sehun menangkup pipi Luhan. "Bilang saja pada mereka bahwa aku ini adalah teman internetmu."

.

Luhan menggandeng Sehun mengendap-endap keluar dari kamarnya. Sehun dengan santai mengikuti langkah Luhan. Tangan satunya ia pergunakan guna menyeret kopor Luhan.

Mereka sudah tiba di pintu utama. Luhan menghela napas lega.

"Sehun. Aku yakin mereka saat ini tengah berada di halaman belakang. Dan ini sudah jam makan siang, sebentar lagi pasti Bibi Ern akan ke dapur untuk memasak. Tugasmu hanya—"

"Perlu bilang 'permisi' dan menekan bel. Lalu Bibimu akan membukakan pintu sedangkan kau akan berlagak bingung dari kamar lalu menghampiri kami. Aku sudah paham, sayangku."

Luhan tertawa renyah mendengar ucapan Sehun. "Oke. Kalau begitu, beraktinglah sebaik mungkin, Oh Sehun." Luhan menyempatkan diri untuk mencubit gemas pipi Sehun sebelum ia benar-benar menutup pintu utama dan meninggalkan Sehun di depannya pintu utama.

.

.

"Ah, kenapa Luhan tidak pernah cerita kepadaku, ya, kalau ia mempunyai teman internet setampan nak Sehun? Benar-benar tidak bisa dipercaya."

Sehun menahan senyum di tengah acara mengunyahnya. Luhan berdeham, "Memangnya untuk apa aku memberitahu Bibi?"

Bibi Ern memutar kedua matanya malas. "Kau ini. Nak Sehun, bagaimana mungkin pria setampan kau sudi berteman di internet maupun di dunia nyata dengan bocah tengik seperti Luhan? Benar-benar tidak bisa dipercaya."

Luhan mengunyah makanannya dengan mata yang membulat kesal. "Berhenti, Bi. Nanti Sehun jadi ilfeel padamu, baru tahu rasa."

Kali ini Sehun tidak bisa untuk tidak tertawa. Lantas ia tersedak karena mengunyah sambil tertawa. Paman Shu pun segera menuangkan air putih dan memberikannya pada Sehun. Sehun tersenyum kecil lalu langsung meneguknya. Luhan yang berada di sebelah Sehun pun memegang bahunya dengan raut khawatir. Ia menatap Sehun, "Apa kau baik-baik saja?"

Sehun meletakkan gelasnya lalu menoleh dan mengangguk. "Ya." Lalu tersenyum. Sehun pun mengalihkan tatapannya. Ia menatap bibi Ern dan paman Shu bergantian lalu membungkukkan sedikit tubuhnya.

"Terima kasih karena telah menerimaku di sini." Ucapnya sopan. Paman Shu dan bibi Ern tersenyum ramah.

"Tidak perlu sungkan, nak Sehun. Kami malah senang jika kau menemani Luhan dengan menginap di sini. Aku tahu kau ini anak baik-baik dari pertama kali kulihat. Anggaplah rumah ini seperti rumahmu juga. Luhan memang sedang rapuh dan membutuhkan sesosok teman. Kurasa, Nak Sehun datang di saat yang tepat."

.

.

.

"Bagaimana mungkin mereka tidak mengenalimu, Sehun?"

Luhan sedikit menolehkan kepalanya. Sehun menyesap kuat sekali tengkuknya lalu menopang dagunya pada bahu Luhan. Ia mengeratkan pelukannya pada perut pria manis itu.

"Dalam buku Tuan Anstone tercatat, bahwa jika sudah bereinkarnasi, maka orang-orang yang pernah melihat sang objek dua dimensi takkan lagi mengenali jika sudah menjadi tiga dimensi. Aku tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Ini seperti perpaduan antara kekuatan magis dan kehendak-Nya, bukan?"

Luhan menangguk mendengar jawabam Sehun. Ia mengusap lembut punggung tangan Sehun yang tengah memeluknya. Luhan merasa tidak perlu melihat bintang lagi kala gelap menjemput. Untuk apa ia melihat bintang nan jauh di atas kalau pada kenyataannya ia telah berhasil memiliki bintang nyatanya?

Ia sangat mencintai Sehun. Sedalam ini.

Semilir angin berembus menemani kedua insan yang tengah menikmati romansa mereka. Bintang pun turut menjadi saksi.

.

.

.

"Luhan. Aku ingin mengutarakan suatu pengakuan."

Luhan mengernyit karena disambut oleh kalimat seperti itu saat baru pulang sekolah. Ia meletakkan ranselnya pada kursi belajar lalu melepas jas almamaternya dan menggantungnya. Ia mengendurkan dasinya dan menghampiri Sehun yang tengah duduk di ranjang.

"Apa itu?"

Tiba-tiba Sehun menarik tengkuknya lalu menabrakkan bibir mereka dengan intens. Luhan terkejut namun tetap membalas ciuman menuntut dari Sehun. Tak lama kemudian Sehun melepas tautannya dengan tangan yang ia gunakan untuk menangkup pipi Luhan.

"Sebenarnya aku tak ingin. Namun aku akan terus dihantui rasa bersalah jika tidak memberitahukannya padaku. Aku selalu merasa gelisah."

Luhan mengernyit. Sehun menampakkan mimik seperti tersiksa. Ia pun mengelus punggung tangan Sehun lalu mencium masing-masing pipi tirusnya.

"Katakan. Ada apa, Sehun? Kau kenapa?"

"Kuharap kau tidak menyesal telah menyelamatkanku, Luhan." Ucapnya pelan. Luhan semakin penasaran. Sehun mengembuskan napasnya berat.

.

"Saat itu aku kalut. Kau memilih pergi tanpa jawaban yang mutlak. Seminggu itu aku terus berpikir. Bagaimana cara agar kau mau tak mau harus menyelamatkanku dan mendapatkan tumbalnya segera. Karena demi Tuhan, aku sudah mencapai batasku. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi di Hvitur. Aku sudah sangat amat tersiksa baik secara mental maupun fisik."

Luhan masih bergeming. Memerhatikan Sehun dalam diam. Telapak Sehun mulai basah karena keringat dan Luhan pun meraih kedua tangannya lalu ia genggam erat. Sehun menatapnya lemah.

"Tuan Anstone mencatat, bahwa ada suatu legenda kuno di zaman Mesir Kuno di mana sihir kyschogar masih menjadi topik hangat di salah satu desanya. Bahwa di dalam Hvitur terdapat zat gas yang menyebar memenuhi Hvitur. Namun mati. Hanya bisa dibangkitkan ketika dibacakan sebuah mantra. Tuan Anstone memiliki dua kemungkinan; sang pemilik akan menyelamatkan dan mencari tumbal dengan sukarela atau si pemilik malah akan melarikan diri dari kenyataan. Aku rasa kau memilih yang kedua karena kau tak memberitahukanku jawaban mutlakmu. Tuan Anstone yang baik, menuliskan mantra tersebut."

Sehun mengembuskan napas berat. Ia melepas tautan tangannya lalu melangkah menuju depan pintu balkon. Luhan membiarkannya. Ia menatap punggung kokoh itu dari ranjang. Entah mengapa hatinya berteriak penasaran namun jantungnya berdebar tak siap mendengarkan lebih lanjut.

"Pada saat itu aku membacakan mantra tersebut. Tak lama kemudian, Hvitur sedikit berguncang lalu titik-titik hitam serupa gas menguar dari segala sisi Hvitur. Sampai akhirnya pandanganku dipenuhi oleh gas hitamnya. Zat tersebut bernama Bizlome. Awalnya hanya serupa gas tipis yang bersembunyi di balik lapisan Hvitur. Namun turut menebal karena rasa frustrasi, depresi, tertekan dan marah dari si penghuni Hvitur."

Sehun mengepalkan kedua tangannya.

"Bizlome dipercaya dapat memengaruhi dan memanipulasi otak manusia tiga dimensi. Aku memerintah Bizlome agar memengaruhi dan memanipulasi pikiranmu, Kai dan Kyungsoo. Ternyata itu bekerja. Bizlome memperlihatkan padaku serentetan peristiwa sejak pertama kali ja memengaruhi pikiran Kai agar jatuh pada pesona Kyungsoo, begitupun dengan Kyungsoo. Sampai akhirnya otak mereka telah dimanipulasi oleh cinta rekayasa Bizlome. Baik Kai maupun Kyungsoo sama-sama tidak tahu dan lupa tentang hubunganmu dan Kai. Mereka hanya tahu tentang hubungan 'percintaan' mereka."

Luhan bergeming. Dirinya seakan membeku.

"Malam itu, kau melihatnya, bukan? Saat mereka bercinta. Bizlome telah berhasil memanipulasi total otak mereka. Dan kau murka setelahnya. Saat itu, Bizlome mencoba memengaruhi pikiranmu. Semakin kuat hingga muncullah perasaan itu. Ingin membunuh. Bizlome juga membuat Kai dan Kyungsoo tidak mengetahui fakta sesungguhnya selain rekayasa bahwa mereka saling memiliki."

Sehun menunduk, Luhan masih membeku.

"Perasaan itu dikuatkan oleh Bizlome. Hingga puncaknya adalah saat kau sudah membulatkan tekad untuk membunuh salah satu di antara mereka saat melihat kemesraan palsu mereka di taman. Bisikan-bisikan dari kepalamu itu adalah ulah Bizlome. Perasaan muak yang berlebihan. Ia berhasil memengaruhi telak alam pikirmu sampai kau merasa seperti nyawamu akan dicabut. Sesuai perintahku. Bizlome sangat kuat, melebihi pemikiranku. Sampai akhirnya kau telah sepenuhnya dikuasai Bizlome dan membunuhnya di gedung tua itu. Aku tahu, pada saat itu Bizlome menampilkan peristiwa itu di Hvitur. Kau, alam pikir nyatamu kerap kali muncul. Namun dengan cepat Bizlome kembali memanipulasi otakmu. Kai saat itu sudah kehilangan setengah pikiran hasil rekayasa Bizlome. Ia sangat bingung denganmu namun Bizlome dengan sekuat tenaga meyakinkan serta memengaruhi mutlak pikiranmu agar benar-benar membunuhnya."

Sehun menoleh dan mendapati ekspresi dingin Luhan. Ia mengepalkan tangannya kuat dan matanya menatap kosong ke depan. Wajahnya pucat. Sehun tahu ia terlalu naif untuk memberitahukan hal seperti ini pada Luhan.

Perlahan ia menghampiri Luhan dan berlutut di hadapannya. Ia genggam tangan terkepal Luhan. Luhan hanya bergeming sembari membiarkan jemarinya tertaut dengan jemari Sehun. Sehun menunduk dalam.

"Mengapa waktu kau tahu Kai dan Kyungsoo telah berkhianat padamu namun kau tak menangis? Itu karena Bizlome menyeting otakmu agar seperti itu. Malah perasaan muak ingin melakukan itu. Kau juga biasa saja sepeninggal Kai. Hatimu dibekukan." Ucapnya pelan. Ia mendongak dan mendapati Luhan yang tengah menatapnya teduh. Sehun terkejut mendapati tatapan seperti itu. Namun tak lama kemudian air mata menggenanginya. Setetes dua tetes pun meluncur indah.

"Hei, jangan menangis..."

Sehun spontan menangkup pipi Luhan dan menghapus anak-anak sungai yang masih setia meluncur hingga membanjiri pipinya. Luhan tertawa dalam tangisnya. Hati Sehun serasa diiris.

"Akhirnya aku mengetahui siapa pelaku biadab itu, Kai," Luhan tertawa. "aku."

Kemudian ia menatap Sehun dengan air mata yang masih setia meluncur. "Aku melupakan fakta telak bahwa ialah tumbal yang kupersembahkan untukmu. Bizlome yang membuatku seperti itu, hm? Karenamu, aku jadi mengetahui mengapa teman-teman melihatku dan Kyungsoo dengan tatapan aneh. Saat itu aku memang tak ingat apapun tentang konflik kami. Bahkan saat penaburan abu Kai dan setelahnya, aku sama sekali tak menangis dan terkesan 'ya sudah, orang sudah mati ya mati saja'. Hebat sekali, Bizlome." Luhan tertawa setelahnya.

Kemudian ia meraih kedua tangan Sehun lalu mengecupnya bergantian. Sehun benar-benar tak paham dengan situasi ini. Ia merasa ingin menangis tapi tak bisa. Kemudian Luhan menatapnya seraya memulas senyum kecil.

"Tapi aku mencintaimu, Sehun."

Sehun mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian Luhan meletakkan telapak kanan Sehun pada dada kirinya. Berdebar cepat.

"Kali ini bukan karena berdekatan denganmu saja, namun karena mengetahui fakta bahwa aku ternyata adalah seorang pembunuh. Menjadi pembunuh untuk orang yang aku cintai. Keren, bukan?"

Ia tertawa kemudian terisak. Sehun yang tak tega pun langsung mendekapnya erat. Ia gemetar. "Maafkan aku, Luhan. Aku memang keparat, bajingan, tidak tahu diri dan naif. Kau boleh membunuhku setelah aku melepas dekapan ini. Setidaknya aku pernah merasakan udara di bumi walaupun hanya dalam hitungan hari."

Luhan menggeleng dalam dekapannya. "Kau bicara apa, huh? Untuk apa aku melakukan itu? Apa untungnya?"

Sehun pun memberanikan diri untuk menyejajarkan wajahnya dengan Luhan. Ditatapnya iris Luhan dengan dalam.

"Apa kau gila? Tidak marah padaku? Tidak membenciku? Tidak me—"

Luhan mengecup bibirnya.

"Aku tidak tahu. Rasanya seperti saat kau tahu betapa jeleknya nilai matematikamu namun kau bingung harus mencaci dirimu sendiri karena sadar betapa naifnya dirimu atau justru membiarkannya walaupun kau tahu itu fatal." Kemudian ia mengedikkan bahunya.

"Namun aku merasa lega. Sedikit banyaknya. Aku ingin membencimu, Oh Sehun,"

Sehun menegang. Ditatapnya manik hazel tersebut, "namun aku terlalu mencintaimu." Lanjutnya.

Sehun pun kembali menautkan jemari mereka. "Kau...seperti malaikat tanpa sayap untukku, Luhan."

Luhan mengembuskan napas berat. "Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendekam di dunia tak terjamah seperti Hvitur, sampai aku bertemu denganmu yang seolah biasa saja padahal batinmu menjerit pilu. Aku berpikir, tidak ada salahnya menghilangkan satu jiwa untuk membebaskan jiwa lain yang sudah sekian lamanya tidak mendapatkan kehidupan yang layak."

Luhan mengecup sekali kening Sehun kemudian berkata, "Aku juga merasa sangat tolol karena telah berani memberi harapan untukmu. Ini bukan salahmu sepenuhnya, Sehun. Dan, apakah pengaruh Bizlome itu masih memengaruhiku hingga sekarang ini? Mengapa aku tidak terlalu sakit, ya?"

Ia bertanya dengan nada serius namun terlihat menahan senyum. Sehun menunduk kemudian menggelengkan kepalanya. "Kupikir, ini sungguhan dirimu. Dan sejujurnya, Bizlome itu membuat pemikiran manusia yang telah berhasil dipengaruhinya menjadi perlahan menguap begitu saja kemudian terlupakan dengan sendirinya. Manusia itu tidak akan pernah mengetahui fakta sebenarnya kalau tidak diberitahukan suatu kejujuran seperti ini. Karena ini kenyataannya, pengaruh Bizlome akan benar-benar luntur jika objek nyata yang pernah bersangkutan dengan Bizlome membeberkan pengakuannya kepada sang korban."

Luhan menganggukkan kepalanya paham. Kemudian ia memegang dahu Sehun agar menatapnya. Ia tak suka tatapan yang Sehun berikan. Perasaan salah yang mendalam. Seakan dirinya telah berbuat dosa yang sangat fatal hingga Tuhan takkan sudi memaafkannya. Rasa cintanya terhadap Sehun mengalahkan rasa bencinya terhadap pengakuan pria tampan tersebut. Ia pun menuntun Sehun agar berdiri begitupun dirinya.

Luhan mendekap erat Sehun dengan menyandarkan kepalanya pada dada bidang Sehun. Sehun masih bergeming. Terlalu takut untuk membalas dekapan Luhan.

"Yang sudah terjadi biarkanlah, Sehun. Aku membencimu namun sialnya aku terlalu mencintaimu. Kehilangan Kai memang menyakitkan, terlebih setelah mengetahui fakta gila darimu. Namun aku tidak munafik. Aku memang menginginkanmu menjadi sepertiku. Dan akhirnya terwujud. Kupikir, ini tidak terlalu salah karena seperti setimpal. Orang terdekatku mati namun orang terkasihku nyata. Dan aku benar-benar tidak ingin Kyungsoo mengetahui fakta bejat kita, Sehun."

Sehun pun membalas dekapan Luhan tak kalah erat setelahnya. Air mata meluncur bebas sembari mengecupi pucuk kepala Luhan.

"Aku harap Kai tenang di sana. Penuh sukacita, di sisi Tuhan. Karena ia, menyelamatkan jiwa yang telah tersiksa selama ratusan tahun lamanya. Melalui cara yang keji namun tidak bisa dibilang sepenuhnya salah. Tuhan pastilah memberkatinya." Ucap Luhan lembut. Sehun mengangguk kemudian bergumam,

"Terima kasih banyak, Kai."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

END


Akhirnya kelar:') sudah clear kan ya XD okok, aku mohon maaf kalo ff ini banyak kekurangannya dan malah sedikit kelebihannya/? Tapi percayalah, aku membuat ini dengan penuh cinta dan kasih sayang/? XD

Terima kasih yang sudah RRFF Kimi no Sekai dan makasih banyak buat siders karena turut membaca ffku :'D

Silakan berikan komentar, kritik dan saran di kolom review~

P.S: Semoga tidak ada typos di ch3 dan epilog ini XD

OKOK, Sampai bertemu di ff lainnya! :D