When Would It Be
CHAPTER 1
Warning! YAOI, Best-fucking-Friend, Typo(s) gak masuk akal.
Pair! Mark x Jaemin
Slight! Jeno x Jaemin
NCT adalah punya Sment, saya cuma pinjem nama dan gejolak cinta yang mereka rasakan satu sama lain (?)
.
Happy Reading
Badai salju terbesar diperkirakan akan datang dalam waktu kurang dari 24 jam. Badai itu adalah yang terbesar dalam satu dekade, kata peramal cuaca di berita pagi ini. Aliran listrik akan diputus untuk beberapa saat, jaringan komunikasi juga diperkirakan akan memburuk atau lebih parahnya terputus sepenuhnya. Seluruh warga Kanada dihimbau untuk bersiap dalam keadaan nyaris terisolasi. Bahkan di kota besar seperti Vancouver.
Angin bertiup kencang membawa butir-butir salju yang sakit sekali jika mengenai kulit. Mereka akan berpikir dilempari pecahan es saat merasakannya. Tak terkecuali seorang laki-laki yang berjalan super cepat namun juga super hati-hati di trotoar penuh salju. Tangannya penuh oleh kantong kertas berisikan bahan makanan. Ia tengah bersiap menghadapi sedikit waktu 'hibernasinya'.
Sedikit salju masuk kedalam studio apartemen yang dia claim sebagai rumah kedua bersamaan dengan saat dia masuk. Setelah meletakkan barangnya di pantry, laki-laki itu segera menghidupkan penghangat ruangan dan menunggu beberapa saat di depan alat pembuat panas itu. Ia butuh kehangatan untuk mestabilkan lagi suhu tubuhnya yang nyaris beku.
Disaat yang dingin seperti ini, pikirannya mulai melayang ke seberang lautan. Dimana keluarganya berada dan siap menyambutnya dengan kehangatan. Kerinduan itu selalu datang setiap hari. Namun, sebagai laki-laki yang sudah memutuskan jalan ini, dia tidak bisa terlalu banyak mengungkapkannya. Walau ia yakin ayah dan ibunya tidak akan keberatan jika dia merengek seperti anak kecil sekali-sekali karena kesepian.
Ia mendekati meja belajar lalu menyalakan laptopnya. Ada hal yang harus dia lakukan sebelum jaringan komunikasi di British Coloumbia terputus karena badai.
Butuh beberapa saat sampai layar laptopnya menampilkan seorang yang terlihat berantakan.
"Hey, Donghyuck..." Sapa laki-laki itu.
"Halo Mark hyung. Hoam... kau menghubungiku malam-malam lagi."
Laki-laki bernama Mark itu tersenyum tipis melihat kekasihnya yang terlihat sangat mengantuk di layar laptopnya.
"Maaf. Akan ada badai salju disini. Kemungkinan aku tidak bisa menghubungimu dalam waktu dekat kalau aku tidak melakukannya sekarang."
"Oh begitu. Baiklah, jangan sampai kedinginan disana ya."
"Ya."
Tidak satupun dari mereka membuka mulut dalam lima menit setelah itu. Donghyuck terlihat beberapa kali melirik ke pojok layar laptopnya. Mark sadar kekasihnya sedang melihat jam.
"Hyung, apa kau sudah selesai bicara? Aku mau tidur."
"Tidak bisakah kita bicara lebih lama? Aku agak... butuh kau."
Mark tidak mengada-ada. Dia memang butuh seseorang untuk diajak bicara sekarang. Paling tidak untuk menghangatkan hatinya yang beku. Masalah di kampus membuatnya demikian. Dan Ia memikirkan bagaimana Donghyuck bisa membantunya menghadapi masalah itu sekaligus menunggu badai datang.
"Mianhae. Tapi, aku ada kuis besok pagi. Lain kali ya."
Melihat betapa buruknya kondisi sang kekasih, Mark tidak berani memaksakan kehendaknya. Dia hanya mengangguk.
"Oke. Istirahatlah."
"Sampai jumpa hyung..."
Lalu, sambungan video call mereka terputus. Menyisakan layar hitam yang membuat Mark merasa kalut. Dia sendirian. Di kamarnya yang sepi dan dingin. Menyisihkan fakta bahwa penghangat ruangan di pojok sana telah bekerja cukup keras untuk memuaskan tuannya.
Sudah satu tahun. Hubungan mereka berlanjut dengan jarak yang membatasi mereka. Keduanya percaya tidak akan terjadi apapun dalam hubungan mereka meski 7.684 km memisahkan. Pada awalnya semua memang baik-baik saja. Bahkan candaan terkadang muncul seperti, karena kau ada di sana aku semakin merindukanmu dan mencintaimu.
Namun, apakah masih ada jejak-jejak romantisme dalam hubungan mereka? Tentu saja, tidak. Sama seperti Kanada yang nyaris menyentuh suhu minus 25 derajat celsius pada musim dingin. Begitu pula hubungan mereka. Jarang ada pertengkaran, namun ketidakpedulian sudah tak terhitung lagi jumlahnya.
Mark menyadari ada yang berbeda. Dia merasa tidak nyaman. Dia ingin segera bebas dari hubungan yang mengikat dengan Donghyuck. Seharusnya, ia sedang memasang kata komitmen dalam hubungan mereka. Namun, itu hanya akan membuat mereka semakin merasa sesak.
Salju semakin lebat turun. Padahal hampir natal. Seluruh pesta yang diselenggarakan kampus pasti ditunda atau malah dibatalkan karena badai ini. Mark semakin kehilangan arah. Dia sangat kesepian.
Tolong jangan anggap kesepian sebagai sesuatu yang mudah. Menghadapinya sangat sulit. Kadang Mark merasa ada orang-orang di sekitarnya, yang menemaninya, dan setiap kali ia menceritakan hal itu pada Jaemin, sahabatnya itu langsung marah. Dia selalu menyuruh Mark untuk pergi dari kamarnya dan mengunjungi tempat yang benar-benar ramai. Jaemin bilang, itu halusinasi.
"Halusinasi apanya, dia bahkan bukan psikolog."
Tangannya mengetikkan sesuatu di aplikasi video call. Lalu, ia menunggu.
"Mark! Kau mengganggu tidurku."
"Baiklah kumatikan."
"Tidak! Tidak! Kau sudah terlanjut membuatku bangun. Putuskan sebentar. Aku ganti pakai laptop. Tunggu aku."
"Arraseo, Nana."
.
Hari ini adalah waktu terakhir yang bisa Jaemin gunakan untuk bersenang-senang. Setelah itu, setumpuk pengayaan akan dilakukan oleh pihak sekolah untuk SAT. Ibunya, yang sedang hamil empat bulan juga sudah menyiapkan les disana-sini. Ia heran, darimana ibunya punya tenaga untuk melakukan hal itu dengan kondisinya sekarang.
"Menunggu lama?"
Seorang namja tampan menghampirinya. Siswa lain yang hendak pulang bahkan memandanginya takjub.
"Kya! Jeno Sunbae!"
"Jangan teriak-teriak begitu, ada pacarnya."
Selalu begini setiap Jeno menjemput Jaemin di sekolah. Mereka selalu menjadi pusat perhatian.
"Sudah kubilang 'kan? Harusnya kita bertemu di minimarket saja."
"Tidak mauuu... aku mau lihat kekasihku di sekolah. Aigoo... lucunya." Tangan jahil Jeno mencubit kedua pipi Jaemin gemas. Membuat namja yang lebih muda murka.
"Lee Jeno! Kurang ajar!"
Tidak ada yang berubah. Mereka masih seperti yang dulu meski kini Jeno sudah lulus. Masih banyak pertengkaran, masih banyak canda, masih banyak pelukan. Benar-benar tidak ada yang berubah kecuali kebiasaan mereka memainkan gitar. Semenjak Jaemin benar-benar berhenti lari dan menjadi kekasihnya, Jeno mengajarkannya memainkan benda bersenar itu. Sesuai saran Mark, Jaemin menemukan kesenangannya yang lain lewat Jeno. Terkadang Jaemin ikut manggung bersama band kampus Jeno di Hongdae, dengan lagu yang sederhana tentu saja. Mark juga tahu hal itu.
Hubungan mereka berjalan manis. Tanpa pesan romantis setiap malam, tanpa telepon membuang waktu, tanpa pertemuan rutin setiap minggu. Mereka menjalaninya seperti itu saja. Bertemu saat ingin, berjalan-jalan di sekitaran Seoul kadang sampai ke Paju saat musim bunga atau ke Gwanghwamun palace untuk mencoba hanbok. Semua orang melihat mereka sebagai pasangan yang sempurna walah sering bertengkar. Namun mereka selalu punya bahu dan punggung untuk satu sama lain, itu yang orang lain lihat. Mereka tidak tahu hubungan macam apa yang mereka jalani sebenarnya. Hubungan palsu.
Tapi tetap saja. Manis. Hahaha...
"Aku tidak akan mengajakmu ke Hongdae lagi. Atau pergi-pergi lagi." Ucap Jeno saat mereka makan malam di restoran ayam sekitar Hongdae.
"WAE!?"
"Yah! Jaga suaramu, bodoh." Jeno membekap mulut Jaemin tanpa perasaan saat semua orang memandang mereka. "Kau mau SAT, harus banyak belajar."
"Ck, aku tidak mau masuk universitas Korea. Aku mau ke UBC."
Jawaban itu membekukan Jeno. Ia meletakkan sumpinya di meja lalu memadang Jaemin, intens.
"UBC... Vancouver? Kau mau mengikuti Mark?"
"Ne," jawab Jaemin singkat.
Jeno kehilangan nafsu makannya. Ia tak mengerti dengan jalan pikiran Jaemin sekarang. Baru sebulan Mark berangkat ke Kanada, dan namja di depannya ini sudah berpikir untuk menyusulnya. Walau bagaimapun Jeno berusaha berpikir dingin.
"Sudah bicara pada orang tuamu?"
.
"Pokoknya tidak boleh." Ucap ayah Jaemin malam itu. Ia mengeraskan wajahnya untuk memberikan penegasan pada keputusannya.
"Tapi, appa. Di sana kedokterannya bagus." Jaemin berusaha keras untuk membujuk ayahnya.
"Bukan berarti kau bisa seenaknya masuk ke sana. Lagi pula, Korea juga punya unversitas yang kedokterannya tidak kalah bagus."
"Appa tidak mengerti!"
Pertengkaran suami dan anaknya tak membuat ibu Jaemin tergerak untuk melerai. Tontonan langka pikirnya. Lagipula ia sama-sama setuju dengan argumen mereka. Disatu sisi ia ingin Jaemin mendapatkan pendidikan terbaik, namun memikirkan kehidupan putranya di Kanada sana membuatnya khawatir. Ia tidak siap membagi fokus antara si sulung dengan si bungsu yang masih ada di dalam perutnya.
"Kalau kau hanya ingin mengikuti Mark, lupakan saja keinginanmu itu! Jangan sampai kau malah merepotinya."
"Appa!"
"Masuk ke kamarmu!"
Bentakan terakhir ayahnya menggerakkan kaki Jaemin untuk pergi dari ruang keluarga. Dia berlari menaiki tangga lalu membanting pintu kamarnya.
Jaemin merasa tidak ada yang salah dengan keinginannya. Mengapa semua orang menentang hal itu? Ia tidak mengerti.
Kamar di seberang sana gelap tanpa penghuni. Barang-barangnya terlihat masih tertata rapi. Namun, perbedaan mencolok ada pada dindingnya yang mulai penuh dengan puluhan poster tim sepak bola asal Inggris, Manchester United. Kadang, Jaemin merindukan dinding berwarna putih polos yang dulu layaknya ia merindukan pemilik kamar itu yang dulu. Ia merindukan percakapan jarak jauh mereka, ia merindukan pertengkaran mereka, ia merindukan sikap manis Mark yang sempat benar-benar dia tunjukkan sebelum pergi ke Kanada. Semua itu membuatnya semakin sedih. Kerinduan Jaemin semakin tak terbendung.
Baru beberapa detik, matanya meninggalkan fokus dari kamar Mark, saat ia kembali melihat ruangan itu, pemandangan yang tak diinginkannya tiba-tiba muncul.
Jaehyun membawa kekasihnya ke dalam kamar. Dan tahulah apa yang terjadi.
"Jaehyun hyung! Berhenti membuat mataku semakin kotor! Argh!"
Dia benci Jaehyun yang mengambil alih kamar Mark dan membuatnya 'kotor' hampir setiap minggu.
Jaemin menghidupkan laptopnya. Ia membuka sebuah aplikasi dan menunggu beberapa saat.
"Eoh, Jaemin. Kebetulan aku baru saja buka laptop."
"Markeuu... Hue!"
.
Urusannya selesai di kantor imigrasi Bandara Internasional Vancouver dalam waktu singkat. Negara itu sangat ramah pada warna negara asing yang masuk. Tidak banyak yang perlu diurus jika seseorang ingin pindah ke sana dibandingkan negara adidaya sebelah. Laki-laki itu lantas menyeret dua kopernya cepat-cepat keluar bandara. Dia ingin segera pergi dari tempat dingin itu ke 'rumahnya' yang baru.
Keluar dari pintu kedatangan, seorang laki-laki lain telah menunggunya. Senyuman laki-laki itu sehangat matahari saat menyambut sahabatnya. Ia menyabut dengan sebuah pelukan.
"Pasti capek. Sembilan jam kau duduk di pesawat."
"Iya. Kelas ekonomi memang menyebalkan. Ah, punggungku."
Mark mengerti betapa bencinya Jaemin pada sakit punggung. Tidak ingin membuat sahabatnya semakin menderita, ia mengambil kedua koper Jaemin lalu menyeretnya menjauhi pintu kedatangan itu.
"Berapa lama dari bandara ke apartemenmu?" tanya Jaemin sambil memasang sabuk pengamannya.
"Sekitar... satu jam. Kau bisa tidur dulu jika kau mau." Mark menjalankan mobilnya keluar bandara. Jalanan termasuk lengang jadi ia memacu mobil hitamnya dengan kecepatan tinggi.
"Tidak sopan tidur di sebelah orang yang menyetir. Lagi pula ini pertama kalinya aku ke Kanada, aku harus lihat-lihat."
"Terserah kau saja. Ah! Setelah ini kita menyebrang jembatan di depan sana itu, lalu sampai ke pulau utama, Amerika."
Jaemin hanya mengangguk mendengarkan penjelasan Mark. Sepanjang jalan, seperti yang diperkirakannya, suara Mark yang menjelaskan ini dan itu mengenai negara kelahirannya tak kunjung selesai. Tapi Jaemin bisa apa? Dia tidak mau mengusik kesenangan sahabatnya.
Tidak sampai satu jam, mungkin hanya 35 menit perjalanan. Sepertinya Mark berbohong, atau mungkin dia menyetir mobilnya dengan kecepatan sangat tinggi. Jaemin tidak menyadarinya karena terlalu lelah.
Sebuah gedung yang tak terlalu tinggi menyambut mereka. Dilihat dari banyaknya balkon, Jaemin bisa menduga bahwa inilah rumah Mark, yang akan jadi rumahnya juga.
"Selamat datang."
Sambutan itu mengalir spontan dari sang pemilik rumah. Ia meletakkan kedua koper Jaemin di dekat pintu lalu pergi ke kamar mandi untuk menyelesaikan panggilan alamnya.
Sebuah studio apartemen yang kelihatannya nyaman. Berdominasi warna putih dan hitam, sangat 'Mark' yang tidak suka ribet dengan warna. Ada sebuah dapur di dekat pintu masuk, lalu di tengah ada sofa panjang yang menghadap televisi serta jendela sekaligus, di sebuah pojok yang diapit kamar mandi dan balkon, sebuah tempat tidur berukuran queen berdiri kokoh, seakan menyiapkan diri untuk sesuatu. Dari semua itu, Jaemin tidak menyukai satu hal.
"Bagaimana? Aku membersihkannya kemarin. Tidak terlalu berantakan 'kan?" Mark muncul setelah urusannya selesai. Kebanggaan yang tergambar dari senyum lebarnya membuat Jaemin meringis. Sang pendatang menunjuk tempat tidur di depannya.
"Ini untuk kita berdua?"
"Ya iya lah."
"Jadi kau akan terus memanjatiku setiap malam selama dua tahun?"
"Haish, jangan berlebihan. Tempat tidur single saja cukup untuk kita apalagi ini. Lagi pula, Kanada itu dingin. Kau tidak akan protes kalau bahkan jika aku memelukmu sampai mati."
"Haish, kau ini."
Jaemin mencoba duduk di tempat tidur itu. Nyaman. Dan aroma cologe Mark langsung menguar dari sana. Sepertinya ia melupakan fakta bahwa laki-laki di hadapannya itu adalah orang dewasa berusia 25 tahun yang mulai punya parfum sendiri. Beberapa tahun yang lalu, dia masih minta punya kakak sepupunya, seingat Jaemin.
"Aku mau yang dekat tembok dan jendela."
"Seenakmu saja lah." Ucap Mark sambil berlalu. Ia menuju dapur. "Aku akan buat makan malam."
.
Hidup sendiri selama enam tahun membentuk kemandirian Mark yang Jaemin tidak pernah duga. Ia pintar memasak, juga membersihkan rumah. Makan malam pertama di Kanada sama sekali tidak membuat Jaemin merasa asing, semua berkat sahabatnya. Negara dingin itu terasa seperti rumah sekarang.
"Bagaimana Lami?" tanya Mark saat makan malam mereka. Sejujurnya dia merindukan sosok adik kecil Jaemin itu.
"Seperti biasa, tetap cantik, perebut perhatian semua orang." Nada cemburu yang Jaemin pakai membuat Mark tertawa. "Jangan tertawa!"
"Kau ini sudah besar. Sudah bukan saatnya lagi cemburu pada adikmu yang baru tujuh tahun itu."
"Tapi tetap saja! Selama 17 tahun aku jadi anak tunggal. Sekarang, ugh! orang tuaku itu benar-benar..."
"Kenapa dengan orang tuamu? Mereka memproduksi anak yang cantik-cantik. Kau tidak boleh marah pada mereka."
"Mark, tidak lucu."
Dinginnya Kanada juga sepertinya membuat hati Mark semakin hangat, kontradiksi yang menarik. Jaemin berharap sikapnya hari ini bukan karena mereka baru kembali bertemu setelah satu tahun hingga membuatnya merasa asing. Ia harap semua senyum dan kehangatan itu adalah kepribadian Mark yang baru.
"Hubunganmu dengan Jeno?" pertanyaan itu...
"Baik,"
"Apa maksudnya dengan baik?"
"Ya, seperti biasanya saja." Mark kontan meletakkan garpunya ke meja. Raut wajahnya membingungkan, untuk Jaemin. "Apa-apaan wajahmu itu?"
"Kau belum putus darinya?"
Kini giliran Jaemin yang terkejut. Putus dari Jeno itu adalah sesuatu yang belum pernah dia bayangkan. Jujur saja.
"Mwo!? Apa yang kau harapkan sebenarnya? Kenapa aku harus putus dengan Jeno?"
"Bukannya bermaksud apa-apa. Tapi kalian sudah, tunggu aku hitung dulu... delapan tahun!"
"Memang apa yang salah dengan itu?"
Tidak ada yang salah. Mark mengambil kembali garpunya untuk menyuapkan sisa pasta yang dia punya. Rasanya tidak seenak yang awal. Lidahnya mulai eror, dia rasa.
"Aku hanya takjub saja. Kau tahu 'kan hubunganku dengan Donghyuck, yang benar-benar aku kejar itu, hanya dua tahun."
"Kalian terpisah jauh dalam waktu lama. Aku bisa mengerti kenapa kalian putus. Bukan salahmu. Salah keadaan." Jaemin juga ikut kembali menyuapkan makan malamnya. "Tapi untukku dan Jeno, sampai sekarang tidak ada alasan untuk kami putus. Makanya kami bertahan. Kata orang sih, karena kami terlalu sering bertengkar."
"Tiba-tiba aku jadi iri."
"Sudahlah. Yang perlu kau lakukan hanya cari orang yang dekat denganmu. Menurut asesmenku, kau itu tidak tahan hubungan jarak jauh."
Mata Mark langsung bereaksi. Ia memandang Jaemin yang kurang dari dua meter di depannya.
Yang ada di benaknya saat ini hanya satu nama.
Berkat satu kata kunci dari Jaemin.
"Oh iya, ngomong-ngomong tentang Donghyuck. Dia sudah punya kekasih baru. Jadi, jangan pikirkan dia lagi. Mengerti?"
"Apa kekasihnya baik?"
"Em... sepertinya lebih baik darimu. Hehehe... sini piringnya aku yang cuci."
Biasanya Mark akan berteriak memaki Jaemin untuk balasan dari ejekannya. Namja yang lebih muda bahkan menunggunya. Namun, Mark tidak juga buka suara. Maka dari itu ia menoleh untuk memastikan sahabatnya baik-baik saja dan tidak sedang patah hati. Tanpa disangka, Mark tengah menatapnya lewat blank space persegi di dinding yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur. Sontak ia kembali memfokuskan pandangan ke bak cuci. Ia tidak tahu kenapa Mark melihatnya dengan cara seperti itu.
.
Netranya menangkap bayang remang-remang apartemennya dalam gelap. Jam di dinding menunjuk pukul satu malam. Tidak biasanya dia bangun tengah malam begini. Ia menggeliat di atas kasur sampai tangannya menyentuh sesuatu yang asing.
Mark menoleh. Mendapati Jaemin tidur di sebelahnya. Lalu ia teringat bahwa mulai hari ini dia tidak akan kesepian lagi.
Tangannya menyingkirkan anak rambut Jaemin yang jatuh menutupi wajahnya. Tak berhenti, ia memainkan jemarinya di rambut hitam arang itu. Mark tidak pernah lupa betapa Jaemin menyukai belaian seseorang pada rambutnya.
"Apa Jeno membelai rambutmu dengan baik?"
Lirih. Dalam jarak sedekat ini, jika Jaemin terjaga, seharusnya ia bisa dengar.
Mark mulai kehilangan rasa kantuknya. Pertanda buruk. Dia bisa terjaga semalaman jika kantuknya hilang. Jadi, ia menutup paksa matanya. Percobaan demi percobaan dia lakukan. Tanpa sadar telah membuat tempat tidur yang digunakannya bergerak terlalu sering.
"Mark..." suara serak nan rendah membuat Mark berhenti mencoba untuk tidur. Ia menatap Jaemin yang membuka setengah matanya. "Sini... Jangan gerak terus."
Tangan Jaemin yang mengundangnya masuk ke dalam pelukan tak Mark sia-siakan. Dia mendekati Jaemin. Lalu menerima semua kehangatan yang sahabatnya tawarkan. Kehangatan yang dia cari untuk melengkapi kamarnya, hidupnya.
Namun dia sadar diri. Seseorang yang memeluknya kini bukan miliknya. Ia milik seseorang yang pantas memilikinya. Waktu yang mereka lalui untuk saling memiliki juga tidak main-main. Mark merasa dadanya sesak saat memikirkan kenyataan itu. Rasanya dia harus segera mempersiapkan diri jika Jaemin meninggalkannya untuk Jeno. Kemungkinan mereka untuk bersama lebih lama sangat besar. Bahkan jika itu mungkin, janji setia akan menjadi pelabuhan mereka yang terakhir.
Mark mengeratkan pelukannya pada tubuh Jaemin. Ia menenggelamkan wajahnya ke dada laki-laki yang lebih muda. Debaran teratur jantung Jaemin terdengar seperti lulaby bagi Mark. Konstan, menghanyutkan. Ia merasa jiwanya tertarik ke alam lain seiring dengan debaran jantung itu.
"Terima kasih sudah datang, Jaem. Aku menunggumu sejak lama."
Mark sadar. Perasaannya pada Jaemin tidak akan pernah menemukan kata bahagia, baginya. Dia sudah terlalu terlambat. Tidak ada celah lagi baginya untuk merebut Jaemin dari Jeno. Dan dia tidak sanggup membuat Jaemin sedih karena keegoisannya lagi. Terlebih lagi, ini salahnya. Yang membiarkan bibit cinta berkembang di hatinya sejak saat itu. Sejak Jaemin memutuskan untuk melepaskannya.
.
.
END
.
Eh typo
TBC
.
A/N Sequel datang~~~ lalala... om telolet om...
Review kalian menggerakkanku *eh. Respon kalian semua buat saya bingung setengah mati. Ini FF Markmin lho. Bukan Jaeno atau Markhyuk, tapi kalian pada dukung kopel sampiingan. Duh! Emang, saya itu berbakat membalikkan kapal seseorang *ha?
Fanfic ini dari awal emang belum selesai. Tapi berhubung banyaaaaak banget yang minta Jaeno sama Markhyuck jadi aku putus kemarin dan akhirnya bikin sequel ini. Huft... aku berharap bisa memuaskan semua orang. Saya ini memang pemuas *HEH
Aku juga beharap usia mereka di fanfic ini gak mempengaruhi minat baca kalian. Cuz, tau lah mereka masih pada anak ayam, eh tiba-tiba aku jadiin gede di sini. MAAAF SEKALE... AKU KEHABISAN IDE.
Terima kasih untuk yang sudah mau baca, apa lagi yang review, fav, atau follow. Big thanks coy~
Hope You Like It.