Forbidden Kiss

Kaisoo as main pair.

Other cast find by yourself

Warning!!

GS. Rated M. Typo. OOC

--

Chapter 18

Kai mengerang dalam tidurnya kala pening yang ia rasakan tak lagi tertahankan. Tenggorokannya terasa sakit dan kering hingga membuatnya terpaksa bangun dari tidurnya. Dengan sedikit susah payah ia membuat dirinya sendiri duduk. Meraih gelas kosong di atas meja nakas dan mengisinya dengan air dingin yang entah bagaimana sudah tersedia di meja nakas.

Air yang telah ia minum tak serta merta membuat dirinya lega. Berulang kali ia menyipitkan mata, reaksi alami ketika pening tiba-tiba menghantam setiap kali ia bergerak dengan terburu-buru. Butuh waktu beberapa saat untuk Kai bisa beradaptasi dengan rasa sakit di kepalanya. Sambil bersandar di kepala ranjang Kai kembali membuat catatan untuk tidak minum terlalu banyak lain kali.

Perlahan matanya terbuka, menatap sekelilingnya yang sama sekali asing baginya. Desisan kembali keluar dari bibirnya ketika ia dengan terburu-buru menegakkan tubuhnya. Hantaman pada kepalanya bukan main-main. Kau mencoba menenangkan diri. Ia kembali memaksa otaknya menggali ingatan tentang semalam. Tidak ada yang terjadi, ia hanya duduk sendirian di bar yang asing dan cukup sepi. Meminum gelas demi gelas alkohol tanpa kontrol diri. Tentu saja kini berimbas pada kepalanya.

Kerutan di keningnya semakin dalam ketika sekelebat ingatan membayang tentang seorang wanita penghibur yang mencoba menggodanya. Kai tidak terlalu yakin namun tak urung membuat tubuhnya menegang dalam duduknya. Dengan segera ia memeriksa tubuhnya. Menyibak kasar selimut tak bersalah yang telah menghangatkan tubuhnya. Ia menghela nafas ketika menyadari ia masih berpakaian lengkap dan cukup rapi. Bisa di pastikan kusut dibeberapa bagian pakaiannya terbentuk karena posisi tidurnya yang tidak berubah dalam rentang waktu yang cukup lama.

Skenario terburuk adalah ia menginap di rumah wanita penghibur itu. Setidaknya ia yakin jika dirinya memang hanya tidur dalam artian yang sebenarnya. Kini saatnya ia memikirkan cara untuk bisa keluar dari tempat ini tanpa menimbulkan masalah yang lain. Mungkin ia perlu meninggalkan beberapa lembar won untuk mengganti ongkos taksi dan juga karena telah memperbolehkannya menginap. Syukurlah ia masih bisa menemukan dompet dan ponselnya yang kehabisan baterai di atas meja nakas.

Tanpa membuang waktu lagi Kai segera bangkit dari ranjang itu. Merapikannya sedikit sebagai sikap sopan santunnya. Memasukkan kembali barang-barangnya kedalam saku dan bergegas keluar dari pintu.

Apa yang ditemukannya ketika ia membuka pintu kamar membuat tubuh Kai membeku. Barangkali juga otaknya. Matanya melebar beberapa saat. Ia menoleh beberapa kali ke dalam kamar kemudian kembali ke ruang tengah yang juga terhubung dengan dapur dan ruang makan. Juga sebuah pintu kamar yang membuatnya yakin ia berada di tempat yang sudah sangat dikenalnya. Yah, bukan untuk kamar dimana ia tidur semalam. Karena tiap kali berkunjung ia tertidur di kamar yang lain.

Tempat ini adala apartemen milik Kyungsoo. Sudah tidak ia ragukan lagi keakuratannya.

Masih sambil berdiri, Kai mencoba memaksa otaknya bekerja lebih keras. Mengingat kembali kejadian semalam meski rasanya kepalanya sebentar lagi akan pecah. Kai menggeram kesal, merutuki kebiasaan buruknya ketika ia merasa frustasi. Kebiasaan minum hingga mabuk kemudian melupakan semua keesokan harinya.

Keadaan menjadi semakin rumit baginya. Karena nyatanya tidak sesederhana ia keluar melalui pintu dan pergi. Bukannya ia tidak senang berada di tempat ini. Tapi bukan berarti juga ia tidak mengkhawatirkan banyak hal. Kai takut ia telah melakukan atau mengatakan sesuatu yang bodoh. Ia belum siap bertemu dengan Kyungsoo disaat mungkin ia telah mengacaukan segalanya ketika ia mabuk. Meski Kai tak menampik jika ia telah merindukan Kyungsoo dan sangat ingin bertemu dengannya. Mereka mungkin bertemu hampir setiap hari, bekerja di tempat yang sama, tapi Kai tahu Kyungsoo menjauh darinya beberapa hari terakhir. Dan jika saja ego nya tidak setinggi langit ia akan mengakui jika ia telah merasa kehilangan.

Bunyi kunci pintu yang terbuka membuat perut Kai terasa seperti dililit tali kencang. Tak ada lagi jalan baginya untuk kabur sehingga ia hanya diam dan menunggu. Harap-harap cemas bagaimana ia harus bersikap nantinya.

Siapa yang ditemuinya membuat nafas Kai tercekat. Disana, seorang pria bertubuh tinggi dan tegap tengah melihatnya dengan tatapan seorang pemburu yang menemukan mangsanya. Ia menelan salivanya dengan susah payah saat membayangkan dirinya dikuliti oleh pria yang selalu Kyungsoo sebut sebagai kakaknya. Mungkin Kyungsoo pernah menyebutkan nama pria ini beberapa kali namun Kai tidak bisa mengingatnya.

Saat ini ia tak bisa memutuskan apakah jauh lebih baik jika ia bertemu dengan Kyungsoo daripada pria ini. Tapi tidak. Tidak sebelum Kai mengingat apa yang sudah terjadi semalam.

"Kau sudah bangun, Kim Kai ssi." kalimat sapaan yang terdengar ramah itu sesungguhnya malah membuat Kai merasa tidak nyaman. Karena bagaimana pun ia tahu jika pria yang baru saja menuju dapur itu tidak menyukainya bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Entah alasan apa yang membuat pria itu sampai membencinya padahal mereka tidak saling mengenal. Sebelumnya tak menjadi masalah untuk Kai. Ia tak peduli jika orang-orang menilainya negatif bahkan membencinya. Namun sekarang ia rasa ia perlu berubah pikiran.

"Kemarilah. Kau butuh sup untuk pengarmu."

Dengan langkah ragu ia berjalan mendekat. Mengambil tempat tepat berhadapan dengan pria yang masih sibuk dengan beberapa makanan untuk pengarnya.

Menit berlalu dalam diam yang canggung. Kai tak tahu harus bagaimana dan hanya terus menyedokkan sup ke dalam mulutnya. Pikirannya terlalu berkecamuk hingga ia tak bisa merasakan lezatnya makanan ini.

Jika boleh dibilang saat ini Kai benar-benar gugup. Pria dihadapannya ini sangat sulit di tebak. Ibarat air yang permukaannya tampak tenang, namun memiliki arus yang deras di dalamnya. Jika Kai mencoba berenang maka ia harus berhati-hati jika ia tak ingin hanyut kemudian tenggelam. Kai telah bertemu dan berhadapan dengan berbagai macam orang. Dan karakter yang seperti inilah yang paling sulit untuk dihadapi.

"Apa benar Kyungsoo bekerja padamu?" tanya pria itu memecah keheningan. Kai meletakkan sendoknya. Merasa telah cukup dengan sarapannya pagi ini.

Hanya ada dua kemungkinan mengapa pria ini menanyakan itu. Pertama karena memang ia tidak tahu jika Kyungsoo bekerja dengannya. Kedua pria ini hanya mencoba memancingnya. Entahlah, pria itu sangat tenang hingga ia tidak bisa membaca gerak-geriknya.

"Ya, benar." jawab Kai. Ia menanti dengan rasa was-was ketika pria dihadapannya hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

"Ku pikir tak ada alasan lagi Kyungsoo bekerja denganmu. Bukankah begitu?"

Kai tahu keadaanya sangat tegang diantara mereka. Pria dihadapannya mungkin menjadi penghalang baginya untuk bertemu dengan Kyungsoo. Tapi tetap, ia tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Bukan karena ada hal yang lucu hingga ia ingin tertawa. Bukan juga karena ia menyepelekan nada peringatan dalam kalimat pria itu. Tapi lebih karena Kai mengenal nada posesif yang terdengar dari setiap kalimat yang pria itu ucapkan. Bukan layaknya seorang kekasih yang cemburu. Namun lebih teedengar seperti seorang ayah yang ingin melindungi putri yang sangat disayanginya. Tentu saja Kai tidak ragu. Ia pernah mendengar nada posesif yang sama ketika ayahnya memintanya untuk tidak menyakiti Kyungsoo. Setidaknya Kai bisa sedikit merasa lega saat sudah memastikan jika hubungan Kyungsoo dengan pria ini bukanlah hubungan romantis seperti yang ia kira sebelumnya.

"Mengapa ia harus berhenti?"

Terdengar tawa dari pria dihadapannya ini ketika Kai selesai dengan pertanyaanya. Memang sedikit nekat jika ia melawan pria dihadapannya. Bukan karena fisiknya yang lebih besar, atau usianya yang lebih dewasa. Ia tahu ketika ia ingin memiliki Kyungsoo maka ia perlu restu pria ini.

Masih mempertahankan ekspresi datarnya, Kai mencoba untuk tetap terlihat serius. Menunggu tawa pria ini mereda. Tidak lama, bahkan tak sampai satu menit, tawa itu berubah menjadi tatapan tajam yang membuat tangannya berkeringat dingin. Gurat ramah itu telah lenyap menjadi tatapan geram yang seolah bisa membunuhnya kapan saja.

"What do you want?" tanya pria itu dalam kertakan giginya. Kai menarik nafas panjang. Mencoba berpikir dengan pelan dan menemukan jawaban yang tepat. Ketika ia tahu apa yang harus di jawab. Ia menatap tepat kedalam mata tajam pria ini. Dalam satu tarikan nafas, Kai mengatakan jawabannya dengan keyakinan yang tak pernah ia miliki sebelumnya.

.

e)(o

.

Setelah seharian terkurung di apartemen Sohee, tanpa satupun alat komunikasi, akhirnya Kyungsoo bisa kembali melihat langit biru dan angin yang menyejukan. Tentu saja bukan tanpa alasan ia bisa keluar dari tempat Sohee. Ia perlu mengurus beberapa hal untuk kuliahnya semester depan. Beruntung hari ini Sohee memiliki jadwal, sedangkan Woobin sedang disibukkan dengan persiapan opening cabang kafe miliknya. Jadi ia bisa menikmati waktunya sendirian.

Kyungsoo membuat kesempatan ini tak terbuang sia-sia. Ia mungkin tidak bisa merasakan kebebasan seperti ini setidaknya dua minggu atau sebulan kedepan. Ia sudah amat sangat mengenal sikap protektif Woobin, Sohee? Sahabatnya itu hanya mengikuti Woobin sama seperti dirinya. Meski terkadang sikap Woobin membuatnya terasa seperti dicekik. Kyungsoo tidak bisa protes. Mungkin Woobin memang tahu apa yang terbaik buatnya. Lihatlah, sekali ia melawan Woobin ia mengalami patah hati yang begitu menyakitkan.

Sebuah tepukan pelan di bahunya membuat lamunannya buyar. Kyungsoo menoleh dan sedikit terkejut menemukan Sehun yang kini tengah tersenyum padanya. Entah kebetulan atau tidak ia bisa bertemu dengan Sehun di tempat ini. Memang ia berada di kafe yang tak jauh dari kampus dimana mereka menimba ilmu. Hanya saja tetap tidak menyangka bisa bertemu dengan orang sepopuler Sehun. Kyungsoo pikir orang-orang seperti Sehun tidak perlu datang ke kampus sendiri untuk mengurus keperluan kuliah mereka.

"Boleh aku duduk disini?" tanya Sehun. Kyungsoo hanya mengangguk kaku. Antara masih terkejut dan sedikit trauma dengan kejadian tempo hari. Mengingat kejadian itu membuat Kyungsoo secara otomatis mengamati wajah bak porselen milik Sehun. Ia yakin pukulan Kai waktu itu sangat keras. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Sehun yang hampir pingsan waktu.

"Tenanglah. Aku sudah sembuh."

Komentar tiba-tiba Sehun membuat Kyungsoo merasa tertangkap basah. Ia menggigit bibirnya dan hanya menunduk. Menatap pada minuman coklat yang sedari tadi tak tersentuh olehnya.

"Aku minta maaf." sahut Kyungsoo tulus. Meski ia tidak tahu ia meminta maaf untuk alasan yang mana. Tapi ia merasa harus. Bagaimanapun Sehun juga korban dari drama mereka.

"Tidak tidak. Jangan minta maaf untuk itu. Aku memang sengaja melakukannya."

"Aku tidak mengerti. Kau bukan semacam psikopat yang suka dipukul kan?"

Kyungsoo panik ketika Sehun menyemburkan minumannya. Ia buru-buru memberikan tissue yang ada di dekatnya. Meskipun merasa bersalah ia tak bisa menahan tawanya. Ia tak menyangka Sehun yang terkenal tanpa ekspresi bisa menunjukkan wajah konyol seperti yang baru saja.

"Maaf. Aku tidak sengaja." ucapnya sambil menahan tawa. Sehun hanya mengangguk, masih sambil terbatuk-batuk.

"Aku hanya ingin menunjukkan padamu seberapa cemburunya Kai." sesaat setelah tawa mereka reda. Ucapan Sehun membuat senyum di bibir Kyungsoo perlahan berubah menjadi senyum sendu. Ia mengalihkan pandangannya cepat. Berharap Sehun tidak membaca ekspresinya. Tapi sepertinya terlambat ketika Sehun mengetuk meja di depannya. Meminta perhatiannya.

"Spill." mungkin intonasi yang dipakai Sehun tidak terdengar mengintimidasi. Meski begitu, Kyungsoo tahu Sehun tidak ingin dibantah. Lagipula Kyungsoo merasa masalah kali ini benar-benar menjadi beban pengikat baginya. Ia tak bisa bercerita pada Sohee maupun Woobin karena ia tahu mereka membenci Kai. Ia juga tak mau jika mereka menjadi lebih marah daripada sebelumnya. Mungkin dengan menceritakannya pada Sehun akan mengurangi sedikit rasa berat di dadanya.

"Dia menyatakan perasaannya padaku kemarin." Kyungsoo menarik nafas panjang. Tak berani melihat reaksi Sehun. "Mungkin dia tidak bersungguh-sungguh. Dia mabuk dan kelihatan bingung."

"Bukankah kau tau orang mabuk biasa berkata jujur?" sahut Sehun. Kyungsoo terkekeh pelan. Bukan karena lucu. Ia menyadari hatinya retak lagi ketika ingatan itu muncul.

"Setelah kau melihatnya berciuman dengan orang lain? Dengan orang yang dia bilang adalah satu-satunya cinta dalam hidupnya?"

Kyungsoo tidak mendengar begitu jelas apa yang digumamkan Sehun disaat ia sedang mengendalikan diri untuk tidak menangis. Ia pikir Sehun mengumpat karena kedengarannya seperti sangat kasar.

Keduanya kembali terdiam setelah itu. Sama seperti Kyungsoo, Sehun nampak berkutat dengan pikirannya sendiri. Sehun hanya tak habis pikir mengapa kedua sahabatnya itu sangat bodoh. Jika sudah begini apa yang bisa mereka lakukan?. Sehun menatap Kyungsoo yang terus menunduk. Ia tahu Kyungsoo mungkin merasa jika ia dipermainkan. Terimakasih pada sahabat bodohnya yang justru membuat keadaan semakin rumit.

"Bagaimana jika kau hanya salah paham, Kyungsoo?"

"Bagian mana yang membuatmu berpikir jika aku hanya salah paham? Kau mungkin jelas tahu apa alasan Kai tidak berciuman dengan semua partner sexnya."

"Kau benar. Kai termasuk pria kolot yang menganggap ciuman itu sakral. Tapi tidakkah kau berpikir mungkin mereka hanya ingin meyakinkan sesuatu? Mungkin untuk mencari tahu perasaan mereka masing-masing. Terutama Kai."

Diamnya Kyungsoo membuat Sehun sedikit merasa lega. Satu titik keraguan saja ia mungkin bisa membalik keadaan menjadi menguntungkan.

"Apa kau melihat reaksi mereka setelahnya?"

"Tidak. Aku langsung pergi saat mereka tahu aku datang. Tapi, Kai tidak mengejarku."

"Ini jelas hanya salah paham, Kyungsoo. Mungkin kemarin Kai datang padamu untuk menjelaskan semuanya."

Kyungsoo menatap Sehun lama. Mencoba memahami mengapa Sehun sangat ingin membantu Kai. Namun apa yang baru saja disampaikan Sehun masuk akal juga. Jika diingat lagi ia telah melewatkan momen membaca ekspresi wajah Kai. Bagaimana jika memang ia hanya salah paham? Bagaimana jika pernyataan Kai kemarin benar adanya? Masihkah ada kesempatan untuk mereka?

"Aku tidak butuh pernyataan cinta yang kemudian dilupakan keesokan harinya, Sehun."

"Beri Kai satu kesempatan lagi. Aku yakin kalian memang ditakdirkan untuk bersama."

"Mungkin tidak bisa. Woobin oppa dan Sohee tidak menyukai Kai. Mereka sangat berarti buatku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka lagi."

"Kai akan menemukan jalannya. Hanya berikan Kai kesempatan lagi."

.

e)(o

.

Langit Seoul hari ini kembali dihiasi hujan. Belum ada tanda-tanda akan berhenti meski hujan telah turun sejak pagi. Kyungsoo menoleh ke jendela. Menghembuskan nafas ketika langit terlihat begitu gelap. Suasana di luar sana sekiranya sama dengan suasana hati Kyungsoo saat ini.

Kyungsoo tersenyum sedih. Ia kembali memusatkan pandangannya pada layar televisi yang sedang menayangkan sebuah film action yang biasanya ia sukai. Untuk sekarang ia tak bisa menangkap satupun poin dari film ini disaat pikirannya sendiri berkelana entah kemana. Seperti dua kutub magnet yang saling bertolak belakang. Otaknya sedang memproses hal yang sangat bertentangan.

Sudah hampir seminggu dan masih tak ada tanda-tanda Kai akan datang padanya. Meski benci mengakuinya, Kyungsoo menemukan dirinya menunggu. Mungkin ia terlalu bodoh hingga mempercayai ucapan Sehun begitu saja. Membangun kembali harapannya hanya untuk dipatahkan kembali. Kyungsoo tidak bisa menyalahkan siapapun karena pada dasarnya semua kembali pada dirinya sendiri yang mengabaikan kenyataan yang ada. Mungkin pernyataan Kai beberapa waktu lalu hanya bualan. Mungkin saat ini Kai malah sedang bermesraan dengan Shannon di ranjang yang hangat. Mungkin Kai dan Sehun bersekongkol untuk mengerjainya. Siapa yang tahu.

Sedangkan sisi lain dirinya terus mencari alasan untuk membuat harapannya tidak mati. Mungkin Kai kesulitan mencarinya mengingat dirinya yang 'dikurung' di dalam apartemen Sohee yang mana tidak banyak diketahui orang. Juga alat komunikasi yang tak di pegang olehnya membuat Kai tidak bisa menghubunginya. Lagipula nomor yang dimiliki Kai adalah nomor ponsel yang tertinggal di apartemen Kai.

Satu-satunya harapan mereka bertemu adalah saat semester depan di mulai. Yang mana berarti tiga hari lagi. Kyungsoo tahu ia tak bisa terus seperti ini. Ia begitu membenci rasa sakit karena ketidak pastian seperti ini. Demi kedamaian hatiya, mungkin ia akan menemui Kai sekali lagi dan memastikan bagaimana akhir mereka.

Suara ponsel Sohee membuyarkan pikiran tak terarah Kyungsoo. Ia melihat Sohee yang menatap ponselnya dengan ekspresi bingung.

"Siapa?" tanya Kyungsoo penasaran.

"Nomor tidak dikenal." jawab Sohee acuh. Ia kembali meletakkan ponselnya ketika benda pipih itu berhenti berdering. Namun rupanya tidak bertahan lama, karena kini ponsel Sohee kembali berdering.

"Angkat saja. Siapa tahu penting."

"Baiklah."

Kyungsoo mengambil remote dan mengecilkan volume televisi. Berharap Sohee dan siapapun itu yang tengah menelpon sahabatnya tidak terganggu dengan suara bising. Namun kini justru dirinya yang merasa terganggu. Ia mengamati bagaimana ekpresi bingung Sohee berubah menjadi serius. Ia juga mendapati Sohee melirik kearahnya sebelum berjalan keluar apartemen.

Ia mencoba berpikir positif. Mungkin Sohee mendapat telepon penting dari agensinya dimana tak sembarang orang boleh tahu. Meski biasanya Sohee tidak menutupi hal sekecil apapun padanya. Kyungsoo menggeleng pelan, mencoba mengembalikan kewarasannya. Ia merasa dirinya menjadi terlalu paranoid. Lebih baik ia kembali menonton film. Jika memang Sohee ingin merahasiakannya maka itu hak Sohee. Bukan kapasitasnya untuk mencampuri urusan orang lain. Harusnya seperti itu.

Namun mengapa kini perasaannya berubah menjadi tidak enak?

.

e)(o

.

Disisi lain Sohee bersandar lemas di dekat pintu. Semakin banyak kalimat yang ia dengar semakin ia kehilangan kata-kata. Semua rasa penasaran tentang bagaimana pria ini mendapat nomor ponselnya tidak lagi menjadi masalah utama. Pundaknya terasa berat kala nada memohon pria ini begitu kentara.

"Sehun."

"Aku mohon, Sohee. Aku tahu kau membenci kami, tapi sekarang Kai membutuhkan Kyungsoo."

"Lalu bagaimana aku harus mengatakannya pada Kyungsoo? Apa kau tahu apa yang dia alami?" bentak Sohee frustasi. Ia bukanlah wanita berhati dingin. Semarah apapun ia pada Kai ia tetap memiliki hati. Dalam keadaan seperti ini jelas ia tak akan tega membiarkan Kai tersiksa. Tapi masalahnya ada pada Kyungsoo.

"Ku mohon. Hanya kau satu-satunya harapan kami."

Tangan Sohee terkulai lemas di kedua sisi tubuhnya setelah sambungan teleponnya terputus. Pundaknya tiba-tiba merasa berat setelah mendengar kabar dari Sehun. Sungguh kini yang ia bingungkan hanya bagaimana ia harus menyampaikan berita ini pada Kyungsoo tanpa membuat sahabatnya itu panik. Tentu saja Kyungsoo tetap akan panik seberapa halus bahasa penyampaianya. Ia tahu, melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana Kyungsoo menangani keadaan ini. Sohee bisa bilang masalah ini di luar batas kemampuan Kyungsoo.

Semakin lama ia berada di luar mungkin akan memancing rasa penasaran Kyungsoo. Lebih baik ia masuk terlebih dulu dan berpikir sambil menghabiskan film yang masih setengah perjalanan. Namun begitu ia masuk ia menemukan Kyungsoo duduk tegap menghadap arah kedatangannya. Keningnya dihiasi dengan kerut penasaran dan mata bulat itu terlihat gusar.

"Ada apa?" tanya Kyungsoo tak seperti biasanya. Meskipun ia tak pernah menyembunyikan apapun dari Kyungsoo, sahabatnya ini selalu menunggu dirinya berbicara terlebih dulu. Namun sekarang tidak. Melihat Kyungsoo sekarang Sohee tahu bukan keputusan bijak menunda berita yang baru saja ia dapat.

Sohee menghampiri Kyungsoo, menggenggam salah satu tangannya yang terasa dingin.

"Kyungsoo. Ada yang ingin aku katakan. Tapi kumohon jangan panik."

Kyungsoo menanggapi dengan anggukan mantap yang sama sekali tidak membuat perasaan Sohee membaik. Ia beberapa kali membuka mulutnya namun tak ada satu katapun yang berhasil ia ucapkan. Sohee terlalu gugup memikirkan bagaimana ia menangani Kyungsoo sendirian setelah ini.

"Ada apa?" tanya Kyungsoo lagi dengan nada tidak sabaran.

"Kai." Sohee menarik nafas panjang. "Dia mengalami kecelakaan kerja. Saat ini di rumah sakit dan belum sadarkan diri." ucapnya sambil menunduk. Ia buru-buru mendongak setelah merasakan tangan digenggamannya bergetar. Sohee panik melihat tatapan kosong Kyungsoo. Tubuhnya bergetar hebat dan tampak kesulitan untuk bernafas.

"Hei Kyungsoo. Kau dengar aku. Hei, please. Bernafas Kyungsoo bernafas." teriaknya panik sambil mengguncang tubuh bergetar Kyungsoo. Bulir-bulir air mata mulai menetes dari mata bulat favoritnya dan itu bukan pertanda yang baik. Ia membaringkan tubuh Kyungsoo di sofa. Menuntun sahabatnya untuk bernafas secara normal kembali. Butuh beberapa menit membuat Kyungsoo kembali mendapatkan ritmenya. Sohee merasa lega Kyungsoo dapat menangani paniknya dengan cukup baik.

"Please Kyungsoo dengar aku. Kai akan baik-baik saja." ucapnya setelah Kyungsoo kembali mendapatkan ritme nafasnya.

"Sohee." bisik Kyungsoo lemah. Ia masih kelihatan panik namun nafasnya tak lagi tersenggal. Isakan kecil mulai lolos dari bibir yang selalu terlihat cantik ketika tersenyum. Isakan yang menyayat hati Sohee.

"Kita akan kesana setelah kau tenang."

"Please."

"Kai akan baik-baik saja, Kyung. Kai pasti baik-baik saja."

Sohee benar berharap Kai akan baik-baik saja.

TBC

Hey, i miss you...

Enjoy

See you next chap *