EDELWEISS
.
.
By Elixir Edlar
Disclaimer:
All cast belong to God, their parents and Bighit. Ent. I do not own the characters.
This story is originally from my own mind.
Warning :
Boys Love, Typos, EYD-failed, Unbeta-ed, AU, OOC
Read on Your Own Consent! Thank You~
.
.
Korea Selatan – 2017
Awal musim semi ketika Jimin memutuskan untuk menyewa sebuah apartemen murah ketika jadwal kuliahnya mulai padat merayap. Usianya kini sudah sembilan belas tahun yang artinya ia telah mewarnai hari-harinya sebagai seorang mahasiswa selama lebih kurang tujuh ratus hari.
Murah bukan berarti kualitasnya murahan. Apartemen itu terletak di pusat kota dengan akses ke segala penjuru paling cepat dan aman. Fasilitas penunjangnya pun tergolong mewah dengan sarana-prasarana yang mumpuni. Semuanya serba lengkap dan nyaman.
Merasa beruntung karena Jimin hanya perlu membayar selima dari harga sewa normall untuk satu unitnya. Namun ia harus rela berbagi dengan dua orang penghuni yang telah lebih dulu mendiami unit apartemen tersebut. Tidak masalah bagi Jimin, karena yang diperlukannya sekadar kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya dari penatnya aktivitas kampus yang serasa tiada habisnya.
Waktu itu Jimin hanya membawa sebuah koper berukuran medium dan sebuah tas jinjing besar ketika seorang lelaki muda—yang kelihatan seumuran dengannya—menyambutnya dengan senyuman unik berbentuk rektangular.
"Park Jimin? Akhirnya kau datang juga. Aku dan ayahku hampir membusuk menanti kehadiranmu selama berabad-abad lamanya hingga serasa ingin mati saja!"
Mengernyitkan dahi setelah mendengar penuturan dari lelaki berkulit tan di hadapannya, Jimin membantin. 'Bagus sekali, Park Jimin. Kau akan tinggal bersama seorang maniak redundan selama dua tahun ke depan.'
Namun Jimin tetap melemparkan senyuman termanisnya sebagai respon dari 'keramahan' sang tuan rumah. "Ah, benarkah? Kalau begitu reinkarnasiku di masa silam selalu gagal karena kalian baru bisa bertemu denganku sekarang," jawabnya asal.
Asal menjawab namun ampuh menohok ulu hati lelaki yang seketika berubah datar air mukanya serta seolah menelan habis pita suaranya sendiri sehingga tak kuasa untuk berkata-kata. Diam membatu seperti baru bersitatap dengan medusa yang rambutnya termanifestasi dalam bentuk umbaian-umbaian ular di kepalanya.
"Hey, kau baik-baik saja?" untuk entah yang ke berapa kalinya, Jimin bertanya.
"Oh? Apa? Y-ya aku baik. Ayo masuk, biar kubawakan koper dan tasmu," meraih dengan sedikit paksa koper dan tas jinjing milik lelaki mungil yang akan segera resmi menjadi teman satu atapnya tersebut. "Omong-omong, namaku Jeon Taehyung."
"Hmm, Jeon Taehyung? Sepertinya tidak asing," Jimin mengulangi kata-kata Taehyung sembari mengekorinya untuk menemukan kamar baru yang akan dihuninya di apartemen tersebut.
"Nah, ini dia kamarmu! Semoga kau suka," Taehyung menunjukkan sebuah kamar di apartemen tersebut yang masih sangat lapang apabila ditempati oleh satu orang saja. Apa lagi jika orangnya mungil macam Park Jimin.
"Taehyung? Orang itu.. siapa?" Ternyata sejak tadi Jimin tidak mendengarkan rangkaian silabel yang meluncur dari labia tipis lelaki dengan senyum kotaknya tersebut karena netranya terpaku pada seseorang yang tampak tertidur pulas di atas sofa kulit berwarna putih mutiara yang berkilat-kilat di ruang tengah.
Taehyung tersenyum kecil dengan sorot mata yang tampak begitu teduh dan damai. "Dia Jeon Jungkook. Erm, dia adalah—adikku. Ya, dia adikku yang hobi sekali tidur hahaha."
"Oh, adikmu ya?" dengan onyx yang masih betah fokus pada sosok lelaki yang tetap geming dari posisinya di atas sofa. Tidak berubah sama sekali sejak pertama kali Jimin mendaratkan pandangannya pada sosok tersebut.
"Dia.. tampan.." entah bagaimana Jimin refleks mengucapkan kedua kata tersebut diiringi manik kelamnya yang senantiasa menekuri pahatan seindah paras dewa Yunani yang tengah berbaring nyaman di peraduannya.
Dan selang sepersekian detik setelah Jimin mengucapkan kata-kata tersebut, sosok yang tengah terpejam tersebut mendadak membuka kelopak matanya. Menyuguhkan sepasang marbel cemerlang berspektrum perak yang tampak berkilauan—langsung menatap tajam tepat ke dalam manik kembar sekelam malam milik Park Jimin.
"Sudah datang?" yang terkesan seperti sebuah pernyataan untuk dirinya sendiri daripada pertanyaan kepada sosok lelaki mungil berparas manis yang masih enggan memutus kontak mata di antara keduanya.
END
26 Desember 2016
.
.
Setelah sekitar seratus hari hari tinggal bersama Jeon bersaudara, Jimin dapat memetik beberapa kesimpulan mengenai kedua lelaki muda yang berada di bawah satu atap yang sama dengannya.
Taehyung ternyata seumuran dengan Jimin. Pemuda berusia sembilan belas tahun yang juga ternyata menimba ilmu di universitas yang sama dengannya namun pada fakultas dan jurusan yang berbeda.
Sedangkan sang adik Jungkook, usianya baru tujuh belas tahun. Namun ia telah menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana tahun lalu berkat kegeniusan otaknya. Jungkook saat ini bekerja sebagai arsitek freelance yang bahkan tidak perlu ke luar rumah untuk menjalankan profesinya.
Cukup duduk santai di balkon apartemen ditemani semilir angin, sebuah drawing-board, satu unit laptop, dan secangkir kafein yang tak tersentuh sama sekali bahkan ketika pekerjaannya telah selesai.
Taehyung dan Jungkook adalah dua pribadi yang merupakan antitesis untuk satu sama lainnya. Jika diibaratkan sebagai buah, Taehyung adalah jeruk sunkist berwarna oranye cerah dengan aroma menyegarkan dan daging buah yang manis.
Lain halnya dengan Jungkook yang bagi Jimin tampak seperti sebutir kelapa hijau yang mulus. Seperti buah tersebut, Jungkook tampak begitu halus dan menawan dari luar. Namun memiliki dinding pertahanan kokoh bak sabut dan cangkang kelapa yang melindungi bagian terdalam dari dirinya.
Jimin bahkan tidak pernah tahu bagaimana karakter Jungkook yang sebenarnya. Seperti daging kelapa dan airnya yang begitu bervariasi rasanya. Tidak dapat diketahui sebelum ia berhasil menguliti sabut dan memecahkan cangkang untuk sekadar mengeruk daging buah dan mencicipi airnya.
Dan semua itu adalah tugas yang terlampau sulit bagi Jimin yang pada dasarnya mencintai hal-hal praktis dan serba otomatis. Jadi, Jimin membiarkan kelapa hijau yang tampak menggoda iman untuk mencicipinya tergolek begitu saja. Ia bahkan berharap agar Taehyung bisa membantunya 'mengupas' sang kelapa. Atau akan lebih baik lagi jika kelapa tersebut berkenan menguliti tubuhnya sendiri lalu menyerahkan dirinya secara sukarela kepada seorang Park Jimin untuk menunjukkan 'isinya'.
Tapi itu terdengar mustahil.
.
.
Tiga ratus hari hidup dengan Jeon bersaudara merupakan waktu yang lebih dari cukup bagi Jimin untuk menemukan beberapa peristiwa aneh tapi nyata yang kerapkali dijumpainya pada kedua sosok lelaki yang hidup bersamanya selama setahun belakangan.
Pertama, hubungan Taehyung dengan Jungkook. Menurut penglihatan Jimin, kakak beradik Jeon memiliki ikatan spesial yang lebih dari sekadar saudara dari sepasang orang tua yang sama. Bagi Jimin, interaksi di antara keduanya tampak terlalu mesra untuk dilakukan oleh sepasang saudara kandung.
"Jungkookie Daddy~ Gendong?! Gendong?! Gendong?!" ketika Taehyung yang notabene seorang kakak—merengek manja untuk meminta gendong kepada adiknya yang memang memiliki perawakan lebih besar dan lebih atletis darinya.
"Tae Baby ingin digendong Daddy? Kalau begitu, sini naik ke punggung Daddy~"
Dan jawaban Jungkook atas permintaan Taehyung tersebut pun sukses membuat Jimin tersedak choco vanilla milkshake-nya sendiri yang tengah ia nikmati dengan khidmat di atas sofa di ruang tengah apartemen mereka.
'What the fuck?! Daddy?! Baby?! Apa-apaan mereka ini!' Jimin menyerapah dalam hati sambil menepuk-nepuk dadanya akibat tersedak minumannya sendiri.
Itu belum seberapa.
Pernah pada suatu malam ketika Jimin pulang larut karena perlu mengerjakan tugas kelompoknya hingga lembur, ia disuguhi pemandangan yang lumayan mencolok mata.
Bagaimana tidak? Kedua Jeon bersaudara itu tengah bermesraan di ruang tengah, tepatnya di atas sofa kulit berwarna putih yang merupakan tempat favorit bagi keduanya. Bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek berwarna hitam saja. Jungkook tampak duduk bersandar di sofa dengan kepala Taehyung yang berada di atas pangkuannya—tepatnya di atas paha berotot milik Jungkook.
Jungkook terlihat tengah mengelus dan membelai lembut surai dark-brown milik sang kakak yang kelopak matanya melingkupi sepasang hazel indahnya dengan gerakan pelan dan penuh cinta. Ia bahkan beberapa kali mengecupi pucuk kepala sang kakak seraya membisikkan kata-kata entah apa. Jimin tidak bisa mendengarnya.
Dan Jimin lagi-lagi tak kuasa untuk tidak berkomentar—dalam hatinya. 'Apa lagi ini?! Apa ini yang dinamakan dengan brother complex, huh?!'
Sejatinya—Jimin hanya cemburu.
Puncaknya adalah ketika Taehyung pada tengah malam sekitar jam dua dini hari menangis histeris yang tentu saja mau tidak mau membuat Jimin harus beranjak dari tempat tidurnya yang nyaman untuk mengecek keadaan housemate-nya tersebut.
Seperti yang telah ia duga sebelumnya, Jungkook telah lebih dulu ada di sana. Memeluk erat dan mengusap-usap punggung Taehyung yang masih meraung-raung dalam tangisnya. Mencoba menenangkan sang kakak, yang tampak seperti bayi daripada sang adik yang terlihat jauh lebih dewasa. Mengecupi surai cokelatnya yang lepek dan basah sambil merapalkan berbagai macam kata di telinganya dengan harapan sang kakak mau berhenti menangis.
"Ada apa dengan Taehyung?" Jimin mendekat, menemukan ekspresi terkejut tercetak jelas pada paras tampan adik Taehyung tersebut.
Taehyung tampak sangat kacau. Tubuhnya meringkuk seperti bayi di dalam pelukan Jungkook dengan mata terkatup dan bibir yang bergetar hebat. Ia sudah mulai tenang namun masih sesenggukan. Dalam keadaan seperti ini ia terlihat begitu rapuh di mata Jimin.
Jimin mulai berspekulasi sendiri, sudah sebulan terakhir Taehyung seperti ini. Apakah ia frustrasi karena putus cinta? Ataukah ia sebenarnya menderita gangguan jiwa? Jimin menepis pikiran negatifnya mengenai asumsinya yang kedua. Padahal selama sembilan bulan terakhir, Taehyung tampak baik-baik saja. Ini sangat aneh, batin Jimin.
Tapi jika diperhatikan baik-baik, Taehyung sepertinya tengah mengalami depresi berat. Ia pasti tengah mengalami pukulan yang begitu menyakitkan di dalam hidupnya. Lagi-lagi Jimin berasumsi.
"Taehyung.. Dia..." kata-kata Jungkook terputus karena secara mendadak Taehyung membuka netranya dengan hazel yang tampak berkilauan terkena lelehan air mata. Menatap lurus ke arah Jimin yang memasang ekspresi linglung khas orang bingung.
Menjulurkan tangannya kepada Jimin seolah meminta lelaki mungil itu untuk segera menggapainya. Jimin memandang ke arah Jungkook yang langsung memberinya isyarat dengan sebuah anggukan kecil.
Jimin meraih jemari panjang Taehyung dengan miliknya yang ukurannya jauh lebih mungil. Mendekat untuk naik ke atas tempat tidur bersebelahan dengan Jungkook yang tengah memangku sambil memeluk sang kakak.
Taehyung melepaskan pelukannya dari Jungkook dan pindah ke atas kasur agar duduk bersebelahan dengan Jimin.
Grep!
Dengan gerakan supercepat, Taehyung memeluk lelaki mungil yang telah resmi menjadi teman satu atapnya selama tiga ratus tiga puluh tiga malam tersebut. Pelan-pelan menggelosorkan tubuhnya agar kepalanya dapat berbaring di atas dada Jimin yang terasa begitu hangat dan nyaman. Memeluk pinggang ramping itu seraya menatap ke manik kelam si pemilik pinggang.
"Kenapa Ibu tidak mengingatku?" ucapnya di sela isakan yang terdengar pilu di telinga Jimin.
END
27 Desember 2016
NONEDIT
.
NOTE:
Ditambahin nih~ semoga suka ya?
Btw, kelapa itu gara-gara keinget coconut head huahahaha.
Perhatiin telapak tangan JK deh, lebar banget men! Apalagi di MV BST
Thanks to:
Avis alfi, Jungeunyoon, Park RinHyun-Uchiha, 9 duolC, Gummysmiled, ChiminChim, Nam0SuPD, heyoyo, zahra9697, 94shidae, Vernina Joshuella, WhitieVgirl'S, Gesti Park, Zahara Jo