Disclaimer : I do not own Naruto and any other characters. Jika Sasuke dan Ino adalah milik Vika, mereka pasti sudah dipersatukan sedari dulu.

Warning : OOC. Ficlet. Rate M for Safe.

Warn me if you find the similarity of idea in this story with any other fanfiction.

Sengaja ditulis sebagai pelampiasan perasaan author terhadap karakter benama Sasuke Uchiha.


Knot.

By VikaKyura.

- Tie -


"Kapan sidang akhirmu?"

"Satu bulan lagi."

Lelaki berambut ebony pekat yang barusan bertanya mendadak menghentikan langkah. Ia memutar tubuhnya, segera menengok ke arah kamar seorang gadis yang pintunya sedang terbuka. Di dalam sana, gadis yang dimaksud sedang sibuk bercermin.

Alis hitam si lelaki naik.

"Penelitianmu sudah selesai?" tanyanya lagi. "Skripsimu?"

"Hn." Si gadis mengangguk, masih berkutat dengan pelembab yang sedang ia bubuhkan di kulit wajahnya. "Tinggal menyusun bab pembahasan dan menarik kesimpulan. Gampang." Gumamnya.

Si lelaki masih berdiri di ambang pintu kamar. Ia menatap ke arah gadis bertubuh jenjang itu, sedikit terkejut. Ia tahu bahwa gadis yang tinggal seatap dengannya tersebut memang pintar, namun ia tidak menduga bahwa si gadis benar-benar akan bisa menepati janjinya untuk menyelesaikan studinya secepat ini.

"Bagus." Komentar si lelaki pada akhirnya, tetap kalem. "Segeralah lulus." Ujarnya lagi, sebelum kembali memutar badan.

"Hn." Gumaman singkat keluar dari bibir si gadis lagi, yang kini sedang dipolesi lipstik merah menyala favoritnya.

Si lelaki lanjut melakukan aktivitasnya di pagi itu, bersiap-siap untuk pergi bekerja. Setelah mengambil tasnya yang tersimpan di dalam kamar, ia segera melampirkan jasnya dengan tergesa sambil berjalan cepat melewati ruang tengah.

Namun untuk kali keduanya, lelaki berpenampilan rapi itu berhenti tepat di depan pintu kamar, dan kembali melongok ke arah gadis berambut pirang panjang lawan bicaranya tadi. Gadis berparas ayu tersebut kini telah melangkah keluar dari kamarnya sambil menenteng sebuah map.

Sepasang obsidian kelam bertemu safir biru.

Keduanya saling bertatapan... sebentar.

Sedetik kemudian, pagi hari yang semula tampak tenang berubah ketika Uchiha Sasuke –nama lelaki itu— tiba-tiba berjalan menghampiri si gadis dengan onyx yang terpicing tajam.

Gadis berparas cantik yang bernama Ino, mengernyit. Spontan ia melangkah mundur.

"Apa-apaan penampilanmu itu?" tanya Sasuke, suaranya ditekan.

"M-memangnya kenapa?" Ino balik bertanya. Punggungnya telah merapat ke pintu kamarnya yang sedang tertutup, saat Sasuke kini telah berdiri tepat di hadapannya.

"Kau hendak pergi kuliah, bukan ke klub malam." Lelaki itu mendikte. Ia mulai mengangkat satu tangannya untuk meraih mulut Ino. "Kenapa perlu berdandan seperti ini?"

Ino mencoba menghempaskan tangan itu tapi tidak bisa. Tenaga mereka tak sebanding. "Ini riasan normal ke-"

"Hapus." Titah Sasuke. "Aku tidak suka kau memakai warna bibir semencolok ini." tekannya. Ibu jari lelaki itu mulai menggesek bibir Ino untuk mengelap warna merah menyalanya.

"Mmph,"

Ino hanya bisa mendesah pasrah dengan memasang raut sebal. Bibirnya belum berhenti digesek berkali-kali oleh jemari Sasuke. Kedua tangan Ino masih menangkup lengan Sasuke, berusaha menarik dua lengan kokoh itu menjauh.

Setelah selesai memudar paksa warna bibir Ino, kini onyx Sasuke berpindah mendelik ke arah tubuh semampai gadis bermanik biru itu.

Sasuke semakin menekukkan alisnya. Ia mendikte lagi, "Kancingkan bajumu dengan benar."

Pandangan Sasuke kini sedang diarahkan pada blouse berkerah rendah yang sedang dipakai gadis itu. Belahan dada baju tersebut tampak sengaja direndahkan. Sukses menampilkan tank top ketat warna burgundy yang sedang dipakai Ino, termasuk buah dadanya yang sedang tercetak jelas di sana.

Tapi Ino tak segera menuruti perintah Sasuke, alih-alih hanya menghela napas dalam-dalam sambil memutar mata. Kali ini ia merengek. "Ayolah Kak, gaya ini sedang trend sekarang. Semua orang memakainya seperti ini kok."

Tapi Sasuke mengabaikannya. Ia tak peduli dengan trend. Lelaki itu menjatuhkan tasnya di lantai, lalu mengangkat tangannya yang lain untuk meraih baju Ino. Sasuke mulai mengancing paksa pakaian Ino yang tengah terbuka itu dengan kedua tangannya sendiri.

Ino hanya bisa mendengus sebal sambil aquamarinenya menyaksikan jemari Sasuke, sedang bergerak pelan mengancingkan kain baju di bagian dadanya, satu per satu. Gadis itu meniup-niup kesal poni panjangnya.

Setelah selesai, Sasuke meraih pundak Ino dan mencengkramnya kuat. Ino yang sedang cemberut sontak mendongak. Sepasang onyx kembali membidik tajam safir birunya.

"Aku menguliahkanmu untuk belajar, bukan untuk bergaya." Ujar Sasuke. "Paham?"

"Hn," Ino meringis, sambil mengalihkan pandang.

"Jangan sampai aku melihatmu berpenampilan seperti itu lagi." Imbuh Sasuke dingin.

"Hn," kini Ino membersut, masih belum mau menatap lelaki itu. Ia memang selalu tidak bisa berkutik jika sedang dinasehati begini.

Karena Ino masih tampak acuh tak acuh, Sasuke menaikan nada bicaranya dengan suara dalam, membuat gadis itu mau tak mau mengembalikan perhatian padanya. "Ino."

Yang dipanggil namanya melonjak.

Sasuke tahu gadis itu memang susah diatur, tapi bukan berarti ia harus mengabaikan kejadian ini begitu saja meski dirinya sudah menegur berkali-kali. Satu tangan Sasuke menangkup kedua belah rahang Ino untuk mendongakkan wajahnya. Memaksa Ino kembali memandang Sasuke.

Mereka bertukar pandang dalam diam untuk beberapa saat.

Akhirnya Ino membuang napas menyerah.

"Iya, iya, aku paham!" jawab Ino, menepis malas lengan Sasuke. "Aku bukan anak kecil lagi. Kau tidak perlu terus-terusan menceramahiku seperti ini, nii-chan."

Sasuke menatapnya lurus. "Kalau kau sadar kau sudah bukan anak kecil lagi, seharusnya kau sudah tidak perlu diberi tahu lagi."

Kini Ino memanyunkan mulutnya, sambil mengangguk-angguk malas.

Sasuke menghela napas. Ia sangsi. Ino sudah berkali-kali dinasehati mengenai hal ini namun gadis bandel itu tetap saja terus mengulangnya. Sasuke paham sih. Barangkali saat ini, Ino memang sedang memasuki fase krusial nan kontroversial itu. Masa pembangkangan. Ia pun pernah mengalaminya.

Sasuke bisa saja merasa lelah dan menyerah menghadapi kenakalan Ino, tapi jelas itu bukan sifatnya. Ia menolak membiarkan gadis yang sedang ranum-ranumnya itu tenggelam lebih dalam pada kenakalan remaja. Harus cepat dicegah.

"Sudah cepat pergi sana. Kau bisa telat berangkat kerja, nii-chan." Ujar Ino mengingatkan.

Sasuke menatap gadis itu datar. Wajahnya memasang ekspresi netral meski benaknya sedang menimbang-nimbang penuh curiga.

Dalam satu helaan napas singkat, akhirnya Sasuke melepaskan pundak Ino. Ia mulai membungkuk untuk meraih kembali tasnya yang sedang tergeletak di lantai.

"Setelah kuliah beres kau harus segara pulang ke rumah. Jangan main kemana-mana." Pesan Sasuke.

"Hn." Gumam Ino sambil mengangguk bosan. Mulutnya sedang didorong ke samping.

"Pulang sebelum petang. Makan malam di rumah." Ujar lelaki itu lagi.

Ino berdesis, kali ini wajahnya ikut menyamping. "Iya, onii-chan." Jawabnya manja, lelah dengan semua pesan yang telah berulang kali dijejalkan pada telinganya ini.

Sasuke menatap gadis itu lagi untuk sejenak.

"Hati-hati," pungkas Sasuke. Lalu ia menyondongkan wajahnya ke depan.

Cup.

Dan mendaratkan ciuman perpisahan singkat di pipi Ino sebelum mulai berbalik dan beranjak pergi.

"Sampai jumpa sore nanti." Ujar Sasuke sambil berlalu.

"Oke." Ino masih memandangi kepergian kakaknya itu dengan muka cemberut.

Blam.

Pintu rumah ditutup.

Dua detik Ino masih melambaikan jemari lentiknya ke arah pintu.

Dua detik setelahnya, rengutan di wajah Ino lenyap. Cemberut di mulutnya langsung berubah menjadi sebuah seringaian.

"Weew!" Gadis itu memeletkan lidahnya nakal ke arah pintu tersebut.

Ino segera menangkup pipinya. Lalu dielusnya pelan-pelan sebelah pipinya sampai ke sudut bibirnya. Tempat Sasuke tadi mendaratkan ciuman singkatnya.

Gadis itu menyeringai lagi.

"Ah, padahal tinggal sedikit lagi kena bibir." Keluhnya tapi senang, "Nanggung sekali sih." Greget si gadis.

Kemudian Ino cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya dan segera menghampiri kaca. Ia bercermin, memandangi pantulan dirinya yang sekilas tampak bengal. Gadis itu menyeringai ketika melihat penampilannya saat ini, yang memang masih agak berantakan.

Lalu ia bergumam sediri, "Tenang saja onii-chan. Aku memang cantik dan agak jahil, tapi aku bukanlah gadis nakal."

Setelah itu, Ino mulai mengelapi bibirnya dengan tisu basah. Menghapus jejak merah berantakan di mulutnya, lalu mengganti warna gincunya dengan soft pink. Kemudian Ino merapikan blousenya.

"Kalau sedang bertingkah overprotektif seperti itu," Ino memutar-mutar badannya, menilik penampilannya di cermin. "Kau tampak manis sekali, nii-chan."

Gadis itu mulai menyisir rapi rambut pirangnya, dan mengikatnya ke dalam sebuah kunciran. "Aku jadi ingin menggodaimu terus. Fufu."

Rehat sejenak saat Ino merengut sebentar, "Tapi ciuman perpisahannya, selalu saja kurang greget ah!"

Tiga menit selanjutnya, masih tampak cantik dan memikat, Ino sudah berpenampilan seperti gadis kuliahan selayaknya. "Selesai."

Untuk apa pula ia memamerkan kulit dada mulusnya ke pria hidung belang di luar sana? Ih ogah.

Rupanya, aktingnya sebagai gadis bandel di setiap pagi itu, memang disengaja untuk menyulut ke-overprotektif-an dan keposesifan kakaknya. Ino terkikik. Lagian, mana mungkin lah mahasiswi teladan seperti dirinya akan berpenampilan nakal seperti itu ke kampus. Mau bandel juga pilih-pilih tempat dong.

Ya.

Upaya Ino merubah imej dari adik manja menjadi adik bandel memang sengaja dilakukannya hanya di depan sang kakak, khusus untuk menarik perhatian lelaki berusia seperempat abad yang selalu sibuk bekerja itu. Tapi mengapa Ino melakukannya? Apa karena ia kesepian?

Tidak. Sampai setahun terakhir ini, gadis itu selalu bersikap sebagai adik yang baik dan penurut, meskipun masih sedikit manja.

Lalu kenapa sekarang Ino malah terus-terusan memberontak dan terkesan seolah sedang sengaja menggodai kakak lelakinya itu?

Karena ia sudah tidak tahan lagi.

Karena gadis itu sudah tidak mampu lagi.

Karena Ino sudah tidak bisa . . menahan perasaan yang selama ini dipendamnya, lebih lama.

Benar.

Karena sedari dulu, Ino memang sudah menyukai . . . Kakak tirinya itu.

Tapi ini rahasia ya.

-TBC-