Title : Wishes.

Cast : Akabane Karma, Shiota Nagisa, and other.

Disc : Ansatsu Kyoushitsu beserta semua karakternya adalah milik Omm Yuusei Matsui, yang saya punya hanya FF-nya.

Genre : Fantasy, Slice of Life.

Rated : T

Pair : KaruNagi.

Warning : Alur cepat, Typo, AU, OOC.

HAPPY READING!^^

.

.

.

Rintik hujan jatuh menghujani kota dengan ragu. Tidak deras, namun juga tak tampak bahwa gerimis itu akan berhenti. Kelabu yang mewarnai langit semakin menambah kesan suram senja yang hampir beranjak malam di hari itu.

Seorang pemuda melangkah santai menyusuri jalan kota, mengabaikan hujan di dinginnya bulan Desember yang mungkin dapat membuatnya mati beku. Ia tampak tak acuh pada sekitar, tatapannya lurus nyaris kosong, sementara langkahnya satu-satu dengan ritme yang beraturan. Masih santai tanpa beban yang berarti.

Beberapa tetes air mengalir dan jatuh dari ujung-ujung rambutnya yang berwarna semerah darah tatkala bulir hujan mulai membuat tubuhnya semakin kuyup.

Ia masih mengabaikannya.

Satu per satu langkah pemuda itu masih bergerak sesuai ritme, hingga kemudian terhenti ketika sepasang obsidiannya menangkap sesuatu yang menarik kala dirinya meniti jembatan yang melintasi sungai kecil.

Di bawah sana, di permukaan sungai yang dangkal itu ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak terseret arus. Penasaran, ia lantas melangkah ke sisi jembatan, coba mengamati sesuatu yang tertangkap oleh matanya dengan lebih jelas lagi. Dan sepasang maniknya melebar tatkala menyadari sesuatu yang dilihatnya.

Seekor kucing.

Makhluk berbulu itu tampak kesulitan, berusaha berenang agar tak terseret arus sungai. Meski sungai kecil itu dalamnya hanya sebatas lutut, arus yang cukup deras karena hujan yang seharian ini turun tentu akan membuat hewan itu mati.

Tanpa berpikir lebih banyak lagi, pemuda bersurai merah itu segera berlari ke sisi jembatan, turun ke sungai dan mengejar kucing yang belum jauh terseret arus. Ia mengangkat tubuh kucing itu, membawanya dalam pelukan dan menyembunyikannya di dalam blazer yang ia kenakan.

"Bagaimana bisa kau berada di bawah sini?" gumamnya bertanya pada kucing itu meski ia tahu tak akan mendapatkan jawaban.

Pemuda itu menghela napas ketika merasai tubuh kucing di pelukannya gemetar kedinginan. Ia segera melangkah ke tepi sungai, naik dan kembali menyusuri jalan menuju rumah. Sekali lagi diperhatikannya kucing yang tengah ia gendong.

"Di mana aku harus meninggalkanmu? Aku tidak bisa membawamu pulang, di apartemen tidak boleh memelihara hewan," gumamnya lagi sembari menggaruk lembut leher kucing itu dengan telunjuknya.

Seolah mengerti apa yang dikatakan pemuda itu, si kucing kini menatapnya lekat. Sepasang mata biru milik kucing itu seolah coba menyampaikan sesuatu pada manusia yang baru saja menolongnya, membuat yang ditatap tertegun untuk sesaat.

Dan lagi-lagi seolah saling mengerti, pemuda itu kembali mendengus. "Aku benar-benar tidak bisa membawamu. Apa tidak cukup bagimu sudah kutolong dari sungai itu?"

"Aku tidak tahu benturan apa yang kaudapatkan, tapi apa kau sudah gila? Bicara dengan seekor kucing, heh? Akabane?"

Sebuah suara membuat pemuda itu tersentak. Ia sedari tadi terlalu asyik dengan kucing di gendongannya, hingga tak menyadari langkahnya membawa mereka melewati celah sebuah gang dan kini beberapa pemuda berandal mencegatnya di ujung jalan.

Pemuda yang dipanggil Akabane itu melirik sosok yang baru saja menyapanya, lantas ia menyeringan tipis. Sepasang iris merkurinya menampakkan sorot yang menatap rendah.

"Aaah, kalian lagi. Tidak bosan kubuat babak belur ya? Masih ingin lagi? Dasar maso~" Suaranya melantun remeh dengan nada sing a song, sukses menyulut emosi tiga berandal yang bicara padanya.

"Kali ini kami akan membuatmu sekarat, Akabane sialan!"

Lagi, pemuda itu, kembali terkekeh sinis. "Oya? Itu menarik. Ngomong-ngomong, bisakah kalian menunggu sebentar?"

Tiba-tiba ia tersenyum manis, membuat para berandal itu menatap heran mendapati sikap santainya. Pemuda bernama lengkap Akabane Karma itu berbalik dan menjauh beberapa langkah, menurunkan kucing di pelukannya ke tanah.

"Sampai sini saja ya? Menjaulah dari sini, aku tidak tanggung jawab jika kau mengekoriku dan terinjak-injak," ujarnya, mendorong-dorong tubuh kucing itu agar menjauh.

Setelahnya tanpa peduli lagi, pemuda yang mulai di sini sebut saja Karma itu segera berbalik. Menghampiri ketiga berandal tadi tanpa tahu kucing yang ia tinggalkan masih menatapnya lekat tanpa bergeming.

"Nah, sampai mana kita tadi?" Masih dengan senyum sok manisnya, Karma menatap para berandal itu.

"Kau akan—"

Buagh!

"Lambat!" Dan seringai bengis itu kini benar-benar tergaris di bibirnya, tepat setelah bogem mentah yang ia layangkan membuat salah satu berandal yang bertubuh paling besar tersaruk di tanah.

Melihat aksi yang dilakukan Karma, segera saja dua orang lain menyerangnya bersamaan. Namun meski sekilas terlihat kalah jumlah, Karma tampak tak kesulitan menghadapi mereka. Bahkan hanya dalam beberapa menit, salah seorang dari mereka telah terkapar tanpa daya di jalan yang masih dihujani gerimis.

Hari mulai beranjak malam, dan suara-suara pukulan masih belum berkurang di dalam gang kecil itu.

Karma menduduki perut orang yang tadi paling pertama dipukulnya, asyik menggebuki wajahnya tanpa sadar bahwa seseorang yang lain kini berdiri tepat di belakang, siap memukulnya dengan sebuah balok kayu yang entah dia dapat dari mana.

"Grrrr! Sshh!"

Tiba-tiba seekor kucing berlari sembari mendesis. Melompat melewati sisi Karma dan mendaratkan cakarnya di wajah berandal yang nyaris memukul pemuda bersurai merah darah itu.

Karma tak terkejut dalam waktu yang lama, ia segera berbalik dan sepasang matanya terbelalak ketika mendapati berandal itu kini memukuli kucing yang baru saja menolongnya dengan balok kayu.

"Apa yang kaulakukan?!" pekiknya nyaris kalap.

Karma berlari mendekat, dan dengan satu tendangan kapak ia membuat pemuda itu terkapar tak sadar.

Kini hanya ia seorang yang berdiri di sana, sibuk menarik napas satu-dua, mulutnya meludahkan darah yang ia dapat dari sudut luka dibibirnya. Segera setelah itu, ia berlari menghampiri kucing bermata biru yang kini terbaring lemah di atas jalan yang masih dijatuhi rintik hujan.

Pelan-pelan, Karma mengangkat tubuh hewan berbulu itu kembali ke pelukannya.

"Apa yang kaulakukan? Sudah kubilang untuk pergi, kan? Hewan bodoh, kau ini merepotkan saja!" gumamnya sedikit kesal. Bagaimanapun, ia merasa keadaan kucing itu kini semakin mengenaskan karena dirinya.

"Kau menolongku, ya? Seharusnya kau tidak perlu melakukan itu!"

Tanpa peduli pada omelan yang dilontarkan oleh Karma, kucing itu kembali bergelung dalam gendongannya. Coba mencari kehangatan dari tubuh yang juga telah kuyup itu. Dan melihat bagaimana hewan itu bertingkah, Karma tampaknya tak memiliki pilihan lagi.

"Iya deh, aku mengerti. Kau boleh ikut aku tapi untuk hari ini saja, mengerti? Aku benar-benar tidak boleh pelihara hewan," pungkas Karma akhirnya.

"Meoong~" Dan untuk pertama kalinya, kucing itu bersuara. Seolah mengucapkan terima kasih pada manusia yang kini membawanya.

#

Karma duduk di atas kasurnya yang hangat, lengannya menimang kucing yang diam-diam ia bawa hari ini. Entah mengapa ia merasa mata kucing itu terus menatapnya dengan sorot yang aneh sejak pertama kali mereka bertemu, di sungai tadi lebih tepatnya.

Namun Karma tidak ingin memikirkan hal konyol itu lebih jauh.

"Coba lihat, kau sudah makan, bulumu sudah kering, dan tampaknya kau tidak terluka? Padahal tadi kau dipukuli dengan balok kayu, kan? Kucing aneh." Lagi-lagi Karma berbicara pada kucing itu.

Apa terlalu lama tinggal sendirian telah membuatnya menjadi orang yang kesepian? Hingga ia terus bicara dengan seekor kucing yang jelas-jelas tak akan membalas ucapannya?

"Pokoknya besok kau harus pergi, ya! Aku tidak ingin diusir dari sini karena memeliharamu!"

Bukannya Karma membenci hewan, tapi ia memang benar-benar tidak bisa memelihara kucing itu meski seberapa banyak pun ia menyukainya. Aturan di apartemen yang ia tempati memang seperti itu.

Menghela napas, ia menurunkan si kucing di sisi bantalnya, kemudian merebah dan menarik selimut. Karma lelah hari ini, dan ia jatuh tertidur dalam waktu cepat.

Sepasang cerulean si kucing masih menatap sosok di hadapannya lekat. Tak lama kemudian, kucing itu menyusup ke dalam selimut, bergelung dalam pelukan Karma yang telah lebih dulu terlelap.

#

Cahaya pagi yang menembus celah tirai membuat Karma menggeliat tak nyaman. Pemuda itu merapatkan selimutnya, sedikit meringkuk menyamankan diri pada sesuatu yang terasa amat hangat memeluknya.

Tiga detik….

Lima detik….

Sepuluh detik….

Dan Karma tersentak.

Kesadaran pemuda itu kini telah kembali sepenuhnya. Sepasang obsidiannya melebar ketika mendapati seseorang yang asing terlelap nyaman di hadapannya, memeluknya.

"AAAAKH!" Tanpa sadar Karma berteriak, berikut refleks yang membuatnya mendorong tubuh itu hingga jatuh berdebum ke lantai, menarik selimut yang mereka kenakan.

"A-aduh…." Bulu kuduk Karma semakin meremang ketika pendengarannya menangkap sebuah suara dari sesuatu yang kini bergelung dengan selimutnya di atas lantai.

Dengan takut-takut, Karma menjunguk ke bawah kasurnya. Detik terasa berjalan mat lambat, sampai akhirnya sosok di dalam selimut itu menyembulkan kepalanya keluar.

Tatapan mereka bertemu. Sepasang bola mata milik Karma nyaris melompat dari tempatnya ketika bertemu tatap dengan sepasang cerulean sayu milik … gadis? Atau pemuda? Apalah itu, Karma tidak bisa memutuskannya. Ia terlalu kalut saat ini.

Sosok itu mengucak matanya perlahan, pergerakannya itu membuat selimut yang menutupinya terturun, menampakkan bahu putihnya hingga sebatas siku. Sosok itu menguap sebelum kemudian senyum manis tergaris dengan matanya yang masih sayu.

"Oh? Selamat pagi, Tuan," sapanya kemudian. Suaranya manis dan lembut, membuat Karma kembali merinding disko.

Siapa dia? Bagaimana dia bisa di sini? Apa aku baru saja melecehkan anak orang? pikir Karma kalut.

Karma mengamati dirinya sendiri dengan teliti.

Baju. Cek.

Celana. Cek.

Tak ada yang kurang, ia masih berpakaian lengkap. Itu artinya hal konyol yang ia takutkan tidak terjadi. Namun itu masih tak menjelaskan keadaan aneh ini!

Kini Karma ganti mengamati sosok di depan sana. Matanya biru, warna itu tampak selaras dengan tatapannya yang teduh dan tampak lembut. Surai berwarna baby blue tergerai berantakan sepanjang bahu. Namun selimut yang kini terturun hingga mengekspos dadanya yang bidang cukup untuk Karma dapat menyimpulkan bahwa sosok manis di hadapannya adalah seorang laki-laki.

"Ka-kau … tidak pakai baju?"

Lihat? Saking kalut dan bingungnya, justru pertanyaan aneh itulah yang pertama kali terlontar dari bibir seorang Akabane Karma.

Pemuda manis itu mengerjapkan matanya polos beberapa kali, sebelum kemudian senyuman kembali melebar di wajah manisnya.

"Maaf, tidak seharusnya aku menyapamu dengan penampilan seperti ini, Tuan."

Ctak!

Pemuda manis itu menjentikkan jarinya, dan dalam satu kedipan mata, kini ia berdiri di hadapan Karma dengan wajah yang lebih segar dan pakaian lengkap ala anak sekolah. Ya, anak sekolah, dengan celana berwarna abu-abu, kemeja putih dan sweater berwarna kuning yang tampak pas di tubuhnya. Surai birunya yang panjang kini terikat dengan rapi di sisi kiri dan kanan kepalanya. Membuat Karma semakin pongo di tempat.

"Kau itu … siapa?" tanya Karma ketika akhirnya bisa sedikit berpikir jernih.

Seingatnya ia tidak membawa siapa pun ke apartemennya semalam. Ia hanya membawa seekor kucing yang—tunggu!

"Di mana kucing itu?"

Karma menatap seisi ruangan dengan cepat, menelisik setiap sudut kamarnya dan sama sekali tak mendapati sosok yang ia cari.

"Oh? Kucing itu? Itu aku." Suara manis itu lagi-lagi melewati pendengaran Karma yang masih tampak sibuk dengan pemikirannya sendiri.

Lima detik….

Sepuluh detik….

Dua puluh detik….

"Hah?"

Sungguh reaksi yang lambat.-_-

"Apa katamu?" Karma memastikan telinganya tidak sedang membodohi otaknya.

"Kucing yang semalam Tuan tolong adalah aku. Tuan boleh memanggilku Nagisa." Pemuda itu kembali tersenyum manis.

"Apa kau gila?" tanya Karma setengah waras.

"Tidak." Sosok yang mengaku bernama Nagisa itu kembali tersenyum.

"Berarti aku yang gila."

DUAGH!

"HUWAAA! TUAN, JANGAN HANTAMKAN KEPALAMU!" teriak Nagisa panik ketika tiba-tiba Karma menghantamkan kepalanya sendiri ke head bed. Ia melompat ke atas kasur, menarik Karma menjauhi apa saja yang dianggapnya dapat membahayakan.

"Tuan baik-baik saja? Apa kepala Tuan sakit?" Nagisa meraba-raba dahi Karma dengan kalut, memastikan tak ada luka di sana.

"Otakku sakit…," keluh Karma sedikit ngawur.

Mendengar gumaman lemah Karma, Nagisa kini metapanya dengan raut menyesal.

"Maafkan aku, aku akan jelaskan semuanya," ujar Nagisa kemudian.

#

Karma menatap datar pemuda yang duduk di hadapannya, masih di atas kasur yang sama.

"Jadi, kau itu bukan manusia?" Itu yang dapat ia simpulkan setelah mendengar penjelasan Nagisa yang membuatnya semakin berpikir bahwa ia memang sudah tidak waras.

Nagisa mengangguk polos. "Aku peri."

"Dan kau ada di sini karena semalam aku menolongmu, kucing itu?" tanya Karma lagi.

Nagisa kembali mengangguk. "Aku mengubah diriku menjadi kucing untuk memancing manusia baik yang mau menolongku."

"Lantas?" Karma menekan pelipisnya yang masih berdenyut.

"Aku peri trainee yang sedang menjalani ujian. 'Soal' yang harus kukerjakan adalah menemukan seorang manusia baik dan mengabulkan permohonannya agar dia bahagia. Dan aku memilihmu, Tuan." Senyum manis itu masih tak lepas dari wajah Nagisa.

"Ini konyol…." Karma butuh menghantamkan kepalanya lagi.

"Tapi ini nyata," Nagisa terkekeh, "dan sampai ujianku selesai, aku akan tinggal bersamamu untuk sementara, Tuan."

"Apa katamu?" Tampaknya Karma mulai bisa mencium bau masalah.

"Tenang saja, aku akan mengurus segalanya!"

Karma menatap pemuda aneh yang sejak tadi terus berwajah cerah itu. "Apa kau berpikir ocehan konyolmu itu akan membuatku percaya kalau kau bukan orang gila yang sedang mengada-ada?"

Nagisa mendengus. "Tuan tidak mudah percaya, ya?"

"Sudah kubilang ini konyol!" Karma masih bersikeras.

"Begini saja!"

Ctak!

Nagisa kembali menjentikkan jarinya. Dan kini, Karma duduk di atas kasur dengan penampilan yang benar-benar berbeda. Ia tampak rapi dengan seragamnya dan siap berangkat ke sekolah.

"A-apa ini?" gumam Karma kembali kebingungan.

"Tentu saja sihir!" jawab Nagisa ringan, ia kembali menjentikkan jarinya.

Sebuah meja kecil dengan sepiring omelet dan susu di atasnya tiba-tiba muncul tepat di hadapan Karma.

"Tuan tidak boleh melewatkan sarapan," kata Nagisa lagi.

"I-ini bisa dimakan?" Karma menunjuk-tunjuk omelet itu dengan telunjuknya.

"Tentu saja bisa!" Nagisa kembali tersenyum cerah.

"Oh? Tapi aku tidak biasa sarapan pagi, jadi kembalikan saja," putus Karma seenak jidat.

"Eeeehh? Tidak boleh! Sarapan itu sangat penting, Tu—"

"Kau harus menuruti kata-kata tuanmu, kan?" potong Karma membuat Nagisa bungkam. Dan lagi-lagi dengan satu petikan jari, makanan beserta meja itu menghilang jadi debu.

Karma mendengus. "Jadi … Nagisa?"

"Ya?" Nagisa kembali menyunggingkan senyumnya.

"Aku adalah 'soal ujian'-mu, kan? Apa yang harus kulakukan untukmu?" Karma mulai kembali ke dirinya yang normal, sedikit banyak membuat Nagisa mengagumi betapa cepat manusia di hadapannya ini membiasakan diri pada keadaan.

"Tidak ada. Aku akan memberikan Tuan tiga permohonan, Tuan hanya perlu meminta sesuatu padaku. Aku bisa mengabulkan apa saja kecuali tiga hal."

"Dan…?" Karma menanti penjelasan lebih.

"Tiga hal itu adalah waktu, hati, dan kematian."

"…."

"Tidak ada yang bisa memutar balik waktu, begitupun sesuatu yang sudah mati tidak bisa dihidupkan kembali, dan meskipun sihir bisa memanipulasi pikiran dan ingatan … hati seseorang bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan. Tiga hal yang kusebutkan tadi adalah hal yang berada di luar kemampuan kami, para peri."

"Hoo…." Karma mengangguk mengerti.

"Jadi, Tuan sudah memikirkan apa yang Tuan inginkan? Aku bisa memberi waktu sebanyak—"

"Tidak perlu, aku sudah memutuskan apa yang kuinginkan," potong Karma, membuat Nagisa menatapnya dengan raut berbinar.

"Sungguh?!"

"Kau akan mengabulkan apa pun yang kuminta, kan?"

"Selain tiga hal yang kusebutkan tadi, iya!" Nagisa mengangguk antusias, tanpa menyadari sosok di hadapannya kini menyunggingkan seulas seringai licik.

"Oke, aku … ingin seratus permintaan yang dikabulkan."

"Eh?" Kalimat Karma membuat senyum Nagisa memudar.

"Lalu, permohonan keduaku … sama seperti keinginan pertama."

"Ehh?!"

"Dan keinginan terakhirku…," Karma menyeringai, "sama seperti kalimatku yang sebelumnya."

"EEEEEEEHH?!"

Karma menyeringai menatap reaksi dari pemuda manis di hadapannya. Hari-harinya ke depan akan jadi lebih menarik mulai sekarang.

To be continued.

Catatan penulis.

Ahhahah. Halo, halo! Aku kembali lagi dengan membawa FF ngawur ini. XD

Di FF pertama yang kupublish, aku tidak punya kesempatan untuk memperkenalkan diri, jadi … di sini saja yak?^^

Kalian boleh memanggilku "Cheonsa" atau "Sakyu". Ini FF kedua yang kupublish di sini, setelah sebelumnya aku juga mempublish FF KaruNagi. (Aku suka merekaaa, tapi yang nulis soal mereka gak banyak. Alhasil, aku tulislah ceritaku sendiri. Nyahahah!)

Meski aku baru-baru ini saja mempublish cerita di situs ini, aku bukan newbie. Aku sudah menulis sejak zaman SMP dan mulai mempublish cerita-ceritaku sejak sekitar 2 tahun lalu. Biasanya aku nulis di wattpad. Di sana, aku penulis ngaco dengan pen name berinisial "C" juga. Aku penyuka Action-Fantasy. Nyahahah. :3

Oke, itu aja perkenalan dariku. Untuk teman-teman fandom AnsaKyou, salam kenal! Mohon bimbingan dan kerja samanya!^^

Terima kasih sudah mampir di FF-ku.^^

Salam, Sakyu.