Title : Last Snow
Genre : Romance, Hurt/Comfort
Main Pair : Meanie
Cast: Mingyu, Wonwoo, Jeonghan
And the other chara.
Rated : T
Summary : Salju terakhir Wonwoo.
Warning : Boys Love, Typo(s), Mainstream plot dll.
DON'T LIKE DON'T READ.
Mingyu memarkirkan motornya didepan pagar sebuah rumah bergaya Eropa. Dengan gugup ia memasuki perkarangan rumah itu. Ia berdiam sejenak didepan pintu lalu dengan ragu ia mengetuk pintu rumah itu.
TOK
TOK
TOK
Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah tersebut. Sesosok wanita paruh baya muncul dari rumah tersebut, wajahnya terlihat masih cantik diusianya yang tak muda lagi.
"Mingyu?"
"Annyeong ahjumma," Mingyu tersenyum canggung. Wanita itu tersenyum balik.
"Ada apa?"
"Apa Wonwoo ada dirumah?" Mimik wajah wanita itu berubah menjadi sendu. Mingyu mengerutkan dahinya.
"Apa kau tidak tahu?" Tanya wanita itu. Mingyu semakin mengerutkan dahinya seolah berkata ada-apa-dengan-Wonwoo?
"Wonwoo, dia sudah hampir satu tahun ini berada dirumah sakit," Jelas wanita itu dengan air mata yang menetes.
"R-rumah sakit?" Mingyu membelalakkan matanya.
"Wonwoo kami, ia terkena Leukimia,"
Mingyu bagai disambar petir imajiner disiang bolong. Ia tidak tahu sama sekali kalau hampir setahun ini Wonwoo tengah bertahan melawan maut.
"Dimana? Dimana Wonwoo sekarang ahjumma?" tanya Mingyu setelah selesai dengan keterkejutannya.
"Dia berada di Rumah Sakit Internasional Seoul,"
"Baiklah ahjumma, gamsahabnida,"
Mingyu berlari kearah motornya, setelah itu ia langsung tancap gas ke rumah sakit yang telah diberitahu oleh Ny. Jeon.
.:.[].:.
Mingyu berdiri mematung disamping motornya. Disana, ia melihat seorang lelaki dengan kulit pucat tengah duduk melamun disebuah kursi roda, sebelum seorang perawat membawanya kembali masuk kedalam rumah sakit.
Mingyu mengikuti mereka berdua sampai ia melihat perawat itu membawa Wonwoo masuk ke sebuah ruangan –yang Mingyu yakini kamar rawat Wonwoo.
Setelah melihat perawat itu pergi meninggalkan Wonwoo, Mingyu perlahan berjalan kearah pintu bercat putih itu. Ia berdiri tepat didepan pintu itu, memantapkan hatinya untuk kembali bertemu orang yang berharga dalam hidupnya.
Apa reaksi yang akan diberikan Wonwoo ketika ia menemuinya?
Sederet kalimat itu mengelilingi kepala Mingyu. Namun pada akhirnya ia memilih untuk masuk pada pintu itu.
Cklek,
Dengan ragu Mingyu melangkahkan kakinya kedalam ruangan yang serba putih itu. Disana ia melihat Wonwoo tengah berbaring memunggunginya dengan infus yang melekat ditangannya. Tubuhnya terlihat semakin pucat dan kurus.
"W-Wonwoo?" Mingyu bersuara. Sesaat, Mingyu melihat bahu Wonwoo menegang.
"Apa kau mendengarku?" Mingyu kembali berusaha mendapatkan perhatian Wonwoo. Perlahan, Wonwoo membalikkan tubuhnya. Matanya yang sipit terbelalak kaget ketika melihat Mingyu tengah berdiri beberapa meter dihadapannya.
"M-Mingyu?" Suara Wonwoo terdengar bergetar.
"Ne, ini aku Won…nie." setetes air bening mengalir dipipi Wonwoo. Mingyu menghampiri Wonwoo lalu dengan lembut menghapus air mata yang mengalir dari mata indah itu.
"Uljima, jebal,"
"Untuk apa –hiks kau kemari? Huh?" tanya Wonwoo diselingi isak tangis.
"Maafkan aku Wonie, aku tak bermaksud meninggalkanmu," Mingyu menarik Wonwoo kedalam pelukannya. Kata-kata 'Maafkan aku,' terus terulang dari bibir tebal Mingyu.
Perlahan isak tangis Wonwoo mulai tak terdengar, bahunya yang semula berguncang kini berangsur tenang. Mingyu memberi sedikit jarak pada pelukan mereka, hanya untuk memastikan bahwa Wonwoo benar-benar telah berhenti menangis.
"Wonwoo, maukah kau mendengarkanku?" Wonwoo mengangguk samar dalam pelukan Mingyu.
"Aku terpaksa melakukan semua ini. Perusahaan appa-ku diambang kehancuran, appa lalu menjodohkanku dengan anak dari Yoon corp." Mingyu berhenti sejenak untuk melihat wajah Wonwoo.
"Appa-ku mengancam akan mencelakai kau dan keluargamu jika aku tidak setuju dengan perjodohan itu. Jadi aku menuruti semua yang appa-ku perintahkan, sampai sekarang hatiku masih ada padamu Wonie~"
"Kau bodoh Mingyu!" ujar Wonwoo dengan isakannya.
"Ya, aku memang orang terbodoh yang pernah ada Wonie, maafkan aku," Wonwoo menggelengkan kepalanya.
"Percuma kalau kau meminta maaf sekarang Mingyu, semua tidak akan kembali seperti sediakala," Wonwoo melepaskan pelukannya dengan Mingyu. Ia menekuk kedua lututnya lalu memeluknya.
Mingyu duduk dipinggiran ranjang Wonwoo.
"Bertahanlah, demi semua orang yang menyayangimu–"
"–juga untukku."
.:.[].:.
"Mingyu! Kau tahu! Aku sudah mendapatkan donor ginjal yang cocok!"
"Jinjja? Chukhae hyung," balas Mingyu acuh. Ia kembali menjadi Mingyu yang dingin setelah pertemuannya dengan Wonwoo terakhir kali.
"Hn, bulan depan, setelah aku operasi, berjanjilah untuk menemaniku melihat salju pertama!"
"Hm,"
.:.[].:.
Wonwoo terlihat sedang menulis sesuatu diranjang pasiennya.
"Kau sedang menulis apa sayang?" tanya Ny. Jeon.
"Bukan apa-apa eomma,"
"Jinjja? Kalau begitu jja! Minum obatmu!"
"Apa semua obat yang aku makan tak berguna eomma? Pada akhirnya aku akan tetap–"
"Wonie, kita hanya bisa berusaha. Kita tidak mungkin bisa mengubah takdir sayang," Jelas Ibunya.
Wonwoo hanya menundukkan kepalanya. Ia tahu waktunya didunia ini sudah tak lama lagi. Ia hanya bisa berharap bisa melihat salju pertama ditahun ini –untuk terakhir kalinya.
"Eomma, apa aku bisa melihat salju pertama tahun ini?"
"Kau.. pasti bisa sayang. Bertahanlah." Ujar Ibunya menyemangati.
"Aku sudah memutuskannya eomma. Aku akan melakukannya."
"Apa kau yakin Wonie?"
"Ne, aku sangat yakin eomma. Biarlah mereka bahagia."
"Kau yang terbaik Wonie," Wonwoo memeluk ibunya dengan erat.
"Eomma. Aku mencintaimu,"
.:.[].:.
Mingyu sedang duduk melamun didepan ruang operasi Jeonghan. Rumah sakit ini adalah rumah sakit yang sama dengan rumah sakit yang ditempati Wonwoo, namun ketika ia mengunjungi kamar lelaki milky skin itu, yang ia dapati hanya kamar kosong.
Ia bertanya pada seorang perawat yang kebetulan lewat, dan ternyata Wonwoo sedang berada diruang operasi. Entah melakukan operasi apa.
Setelah itu Mingyu kembali ke ruang operasi Jeonghan. ia mendudukkan diri dengan hati yang gusar. Ia sangat merindukan Wonwoo. Dan sekarang Wonwoo tengah melakukan operasi tanpa diketahui oleh dirinya.
Beberapa jam sudah dilalui oleh Mingyu dengan hanya duduk dikursi yang sama. Lampu merah yang terdapat diatas pintu ruang operasi perlahan padam, menandakan selesainya kegiatan yang dilakukan didalamnya.
Seorang pasien –yang diduga sebagai orang yang telah mendonorkan ginjalnya pada Jeonghan– dikeluarkan dari ruangan itu. Mingyu mendekatinya, penasaran seperti apa orang yang telah berbaik hati ingin mendonorkan ginjalnya pada Jeonghan.
Seketika tubuh Mingyu mematung karena melihat rupa orang–dermawan itu. Seorang pasien bertubuh kurus yang dikenali Mingyu sebagai belahan jiwanya adalah orang yang mendonorkan ginjalnya untuk seseorang yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti.
Mingyu hanya berdiri mematung ketika para perawat membawa lelaki itu melewati tubuhnya.
"W-Wonie?" Bisiknya pelan.
Tanpa diperintah untuk yang kedua kalinya, kaki-kaki Mingyu segera mengejar perawat-perawat yang telah membawa Wonwoo menjauh darinya. Mengejar napasnya, mengejar jiwanya.
Mingyu sampai pada kamar rawat Wonwoo. Ia langsung mendekati Wonwoo, tak memperdulikan Ny. Jeon yang menatap Mingyu dengan pandangan penuh tanya.
Mingyu mengamati perubahan yang terjadi pada Wonwoo. Tubuhnya menjadi sangat kurus, bahkan terlihat hanya tinggal tulang saja. Kulitnya yang milky skin menjadi putih pucat, ruang geraknya semakin terbatas, tubuhnya semakin melemah.
Mingyu menangis, menyadari kebodohnnya yang tak bisa menemani Wonwoo disaat-saat beratnya. Seharusnya ia bisa lebih berani melawan appanya. Seharusnya ia lebih berani mengambil keputusan. Dan masih banyak seharusnya-seharusnya yang lain dibenak Mingyu.
"Mingyu, berpura-puralah kau tidak tahu mengenai semua ini. Ini permintaan dari Wonwoo."
"Dia ingin, kau menjaga Jeonghan seperti kau menjaga dirinya dulu."
Mingyu merasa ia adalah lelaki terburuk didunia ini begitu mendengar permintaan Wonwoo. Ia mengusap air matanya kasar.
"Pulanglah, besok kembali lagi. Wonwoo masih perlu beristirahat,"
"Arraseo, sampaikan salamku padanya ahjumma,"
"Ne,"
.:.[].:.
Wonwoo perlahan mengerjapkan matanya. Matanya langsung menyipit ketika cahaya menghampiri retina matanya. Ia baru saja sadar dari pengaruh obat bius yang disuntikkan ketika operasi akan berlangsung.
"Wonie? Kau sudah sadar chagi?" sapa Ibunya Wonwoo.
"Eomma apa operasinya berhasil?" tanya Wonwoo. Ibunya tersenyum, Wonwoo memang berhati malaikat. Kata-kata pertamanya setelah sadar dari obat bius malah kata-kata yang mengkhawatirkan orang lain.
"Iya chagi, Jeonghan sudah dipindahkan dikamar rawat untuk pemulihan."
"Apa .. Mingyu mengetahuinya?"
"Tidak, dia tidak mengetahui apa-apa,"
"Itu lebih baik, apa dia tidak mengunjungiku?"
"Eomma, tanggal berapa sekarang?"
"Eum~ tanggal 2, wae?"
"Sebentar lagi salju pertama pasti turun," Ujar Wonwoo dengan senyum sendunya.
"Apa kau mau melihatnya bersama eomma?"
"Apa itu memungkinkan?" ujar Wonwoo ragu.
"Tentu saja chagi, apa yang tidak mungkin? Kau pasti sembuh 'kan?"
Wonwoo menganguk ragu. "Aku akan berusaha sembuh eomma, untuk semua orang yang menyayangiku," Wonwoo tersenyum tulus setelah itu.
.:.[].:.
Mingyu berdiri didepan pintu bercat putih –yang ternyata adalah pintu dari ruang rawat Wonwoo. Ia memegang sebuket bunga mawar putih untuk diberikan kepada Wonwoo.
Perlahan ia mengetuk pintu bercat putih itu, ia sudah tidak peduli jika appa-nya tahu ia menemui Wonwoo, ia sangat merindukan lelaki dengan kulit pucat itu. Ia sangat rindu hingga rasanya ia tidak bisa bernapas lagi.
Ia membuka pintu itu perlahan –setelah sebelumnya mengetuknya. Ia melihat tatapan kaget dari Wonwoo, yeah~ ini adalah kali ketiganya ia mengunjungi Wonwoo, itu bukan seuatu reaksi yang terlalu mengecewakan.
Mingyu tersenyum canggung. Ia lalu melangkah mendekat kearah ranjang Wonwoo.
"Wonwoo, aku .. ingin mengajakmu melihat salju pertama ditahun ini. Maukah kau?" tanya Mingyu ragu.
"Bukannya kau sudah membuat janji dengan Jeonghan?"
"Ia membatalkannya,"
Wonwoo menatap ibunya, seakan meminta persetujuan dari orang yang selalu menemaninya itu. Melihat arah tatapan Wonwoo, Mingyu juga ikut menatap Ny. Jeon dengan tatapan penuh harap. Ny. Jeon tersenyum lalu mengangguk dua kali.
Mingyu tersenyum lebar –terlalu lebar bahkan. "Gomawo ahjumma, Kajja Wonie~"
Wonwoo hanya mengangguk pasrah, memasang wajah datar untuk menutupi kebahagiaan yang ia rasakan. Meskipun aura kebahagiaan tetap terpancar pada matanya.
Mingyu mendorong kursi roda Wonwoo menuju taman yang berada didekat rumah sakit tempat Wonwoo dirawat dalam diam. Suasana yang tercipta sangatlah canggung diantara mereka berdua.
"Kita sudah sampai, Wonie." Wonwoo hanya mengangguk. Setelah itu, Mingyu berjongkok disamping kursi roda Wonwoo. Ia menggenggam tangan Wonwoo erat, seakan tidak ingin melepaskan Wonwoo kembali.
Wonwoo menatap Mingyu dengan tatapan bingung. Mingyu hanya tersenyum melihat tatapan Wonwoo. "Wae?" tanya Mingyu.
"Kenapa?" Wonwoo bertanya, Mingyu mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Wonwoo.
"Kenapa?" Ulangnya.
"Kenapa kau masih menemuiku? Apa karena aku sudah tak lama lagi berada didunia? Apa karena eomma yang menyuruhmu?" Mingyu menatap manik mata Wonwoo dalam. Berusaha menyalurkan semua perasaan yang tersimpan didadanya.
"Tatap mataku, Wonie. Apa kau melihat dirimu disana?" Wonwoo mengangguk. "Kau adalah napasku. Tak bertemu denganmu selama hampir setahun sudah membuatku seperti mayat berjalan," Mingyu mengambil napas panjang. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada Wonwoo. "Kumohon, cepatlah sembuh Wonwoo. Aku tak akan menuruti keinginan appaku untuk menikahi Jeonghan jika kau sembuh. Kita akan hidup sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sembuhlah, kumohon Wonie." Setetes air mata mengalir dari mata Mingyu.
Wonwoo tertegun melihat Mingyu yang seperti ini. Ia tidak pernah melihat sisi lemah Mingyu sebelumnya. Mingyu selalu menyembunyikan sisi lemahnya didepan Wonwoo, ia tidak pernah mau membagi kesedihannya dengan Wonwoo.
Mingyu membingkai wajah Wonwoo dengan kedua tangannya. Menghapus air mata yang mengalir dari mata bening Wonwoo dengan ibu jarinya.
Angmongeul kkwosseoyo
Uldeon geudaereul anajugi jeone
Kkumeseo kkaeeo beoryeotjyo
Seogeulpeun mame keoteuneul yeoreo
Dalbiche muldeurin nunmullo pyeonjil bonaeyo
Remember geudaega himdeul ttaemyeon hangsang
Nunmureul useumgwa bakkwotjyo
Na eomneun goseseon uljimayo don't cry
Nunmuri manteon geudaeraseo oh
Andwaeyo it's my turn to cry naega halgeyo
Geudaeui nunmul moa
It's my turn to cry naege matgyeoyo
Geu nunmulkkaji this time
"Uljimma," Ucap Mingyu pelan. Ia menempelkan dahinya pada dahi Wonwoo, membuat jarak antara keduanya semakin dekat.
"Jangan lakukan ini Mingyu, berbahagialah dengan Jeonghan. Relakanlah aku pergi." Ucap Wonwoo. Mingyu terdiam.
"Nan ajik geudaereul manhi saranghan, yeongwonhi." Wonwoo terisak mendengar perkataan Mingyu. Mingyu memeluk erat Wonwoo.
"Saranghae," ucap Wonwoo pelan.
Tak lama setelah itu, sebutir salju jatuh tepat dihidung Wonwoo. Wonwoo melonggarkan pelukannya, Mingyu ikut melihat bagaimana salju itu mencari dihidung Wonwoo. "Nunmulinji nun ttaemuniji?" tanya Mingyu dengan senyuman yang dapat menenangkan hati Wonwoo. "It's a first snow, Mingyu." Wonwoo tersenyum dengan bibirnya yang pucat.
Mingyu kembali memeluk Wonwoo erat. Menyalurkan kehangatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.
"Saranghaeyo, yeongwonhi." Bisik Wonwoo sebelum pelukannya pada Mingyu melemah.
"Wonie?" Panggil Mingyu, namun Wonwoo tak menjawab. Tubuhnya bahkan sangat lemas ketika diguncang oleh Mingyu.
Melihat wajah Wonwoo yang pucat, Mingyu langsung menggendong Wonwoo dan berlari menuju rumah sakit tempat Wonwoo dirawat.
Dengan panik ia langsung memanggil dokter dan para perawat untuk memeriksa keadaan Wonwoo. Setelah itu ia hanya bisa terduduk lemas didepan ruang ICU bersama eomma dan appa Wonwoo. Ia berkali-kali meminta maaf kepada orang tua Wonwoo –yang sudah menganggap dirinya sebagai anak sendiri.
Ketika dokter keluar dengan wajah yang menyedihkan, Mingyu tahu bahwa Wonwoo sudah benar-benar meninggalkannya seorang diri.
Lututnya melemas, ia terjatuh berlutut didepan sang dokter. Semua ini bagaikan mimpi baginya, dunianya seakan runtuh dengan kenyataan yang baru saja ia terima. Nama Wonwoo terus terucap dari bibirnya, bahkan tangisan histeris dari eomma Wonwoo tak bisa didengarnya lagi.
.:.[].:.
Ia menatap sendu sebuah batu nisan dihadapannya. Tak ada air mata yang mengalir dari matanya, tetapi tatapan matanya sangat jelas menampakkan kesedihan yang begitu mendalam.
'Jeon Wonwoo' adalah ukiran yang terdapat pada batu nisan itu.
Perlahan, Mingyu terjatuh berlutut disamping makam itu. Ia mengelus batu nisan yang dijatuhi salju itu, membersihkannya dari butiran-butiran salju yang dingin.
Seorang lelaki dengan rambut sebahu datang menghampiri Mingyu yang tengah bersimpuh didekat makam Wonwoo. Ia dengan perlahan memegang bahu kokoh Mingyu.
"M-Mingyu?" Ucapnya terbata. Mingyu dengan perlahan menengokkan kepalanya kearah suara tersebut.
"Kau belum pulang?" Pertanyaan Mingyu dibalas gelengan oleh Jeonghan.
"Kurasa kau sedang butuh teman," Ucapnya disertai senyum manis. Mingyu tertegun melihat senyuman itu. Senyum yang terlihat serupa dengan milik seseorang telah membawa separuh jiwanya pergi.
"W-Wonwoo?" Bisik Mingyu, Jeonghan mengernyitkan dahinya.
"Wonwoo?" Ulangnya.
"Ah! Maaf, sebaiknya kau pulang saja. Kau masih butuh istirahat setelah melakukan operasi." Perintah Mingyu.
"Apa kau tak apa?" Mingyu hanya mengangguk sebagai jawaban.
Dengan langkah perlahan Jeonghan berjalan menjauhi Mingyu menuju mobilnya yang ia parkir tak jauh dari pemakaman itu.
Sepeninggalan Jeonghan, Mingyu kembali merenung. Ia masih tidak menyangka jika kisah cintanya akan berakhir dengan mengenaskan seperti ini. Butiran-butiran salju menjatuhi tubuhnya. Namun semua itu tak diindahkannya, seluruh raga dan jiwanya sedang tertuju pada Wonwoo sekarang. Ia tidak bisa memikirkan apapun selain lelaki manis tersebut.
Sebutir air mata Mingyu jatuh bersamaan dengan sebuah salju yang jatuh tepat dihidungnya.
"Wonie~ Apa kau hanya menunggu salju pertamamu? Lalu setelah kau mendapatkannya kau pergi meninggalkanku begitu saja?" Ucap Mingyu. Pandangannya hanya tertuju pada batu nisan itu.
"Kau pergi jauh Wonwoo, apa kau sudah tidak mencintaiku lagi? Maafkan aku yang selalu melukaimu." Ujar Mingyu dengan nada penyesalan.
"Maafkan aku, Wonie~"
.:.[].:.
Mingyu membuka sebuah surat yang dititipkan Wonwoo untuknya. Dengan hati gundah ia membaca satu per satu kata yang ada dikertas itu, membayangkan kalau Wonwoo yang berbicara dengannya langsung.
Matanya menelusuri satu per satu tulisan tangan Wonwoo.
Mingyuie? Apa kabar? :D
Apa kau tak merindukanku? Apa kau sudah bahagia dengan Jeonghan?
Aku turut bahagia jika kau bahagia Mingyu-ya~
Pasti kau sangat terkejut ketika menerima surat ini, karena saat kau membaca surat ini aku pasti sudah tidak bisa bertemu denganmu lagi.
Apa kau sudah tau jika aku ini penyakitan? Itu sebabnya aku tak akan bertemu denganmu lagi, tapi mungkin kita bisa bertemu dialam mimpi :P
Aku sebenarnya sangat merindukanmu Mingyu-ya, apa kau merasakan hal yang sama?
Kuharap iya ^^
Aku tetap mencintaimu walaupun kau sekarang sudah bersama orang lain, seperti janjiku dahulu. Aku akan tetap mencintaimu bahkan jika aku lelah aku tidak akan pernah berhenti mencintamu.
Berbahagialah dengan Jeonghan hyung, Mingyu. Jangan kecewakan aku.
Saranghae Mingyu-ya. Yeongwonhi :)
Mingyu mendekap surat itu. Ia tidak menyangka bahwa Wonwoo masih menepati janji itu. Janji ketika mereka baru saja berpacaran. Janji yang pada akhirnya membuat Wonwoo sakit hati.
Mingyu merutuki dirinya yang bodoh. Dirinya yang selalu menyakiti Wonwoo. Dirinya yang lemah. Dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan cintanya. Ia terus merutuki dirinya hingga Jeonghan –yang entah sejak kapan masuk kekamarnya– menepuk bahunya.
"Mingyu, apa kau baik-baik saja?" Tanyanya khawatir. Mingyu mengangguk disertai senyuman palsu. Jeonghan menghela napas.
"Kau bisa menceritakannya kepadaku, kalau kau mau." Ujar Jeonghan dengan senyumannya yang menenangkan.
"Terimakasih hyung, maaf selama ini aku sudah menyakitimu." Jeonghan hanya membalasnya dengan senyuman.
"Apa kau sudah makan?" Tanya Jeonghan. Mingyu menggelengkan kepalanya.
"Aishh! Bagaimana kalau kau sakit? Jja! Kita makan!"
"Aku sedang tidak berselera makan hyung,"
"Setidaknya makanlah walaupun sedikit, ne~~?" Pintanya dengan wajah memelas.
"Tch, arraseo,"
Jeonghan tersenyum lebar setelah itu.
.:.[].:.
Mingyu dan Jeonghan semakin hari terlihat semakin akrab, mereka sering terlihat berdua. Tetapi bukan berarti Mingyu sudah melupakan Wonwoo, ia hanya berusaha memenuhi permintaan Wonwoo.
Ia tidak ingin Wonwoo kecewa diatas sana. Ia tetap mencintai Jeonghan sebagai hyung saja, tidak lebih dari itu. Dan ia berharap Jeonghan bisa mengerti itu semua.
Saat ini mereka berdua tengah duduk santai disebuah café yang sering mereka kunjungi.
"Hyung, apa kau tau siapa orang yang telah mendonorkan ginjalnya untukmu?" Tanya Mingyu. Jeonghan menggeleng.
"Ani, nugu?" Tanyanya sambil meminum bubble tea-nya.
"Dia Wonwoo, hyung."
"Uhuk! Uhuk! Mwo? Wonwoo?" Ucapnya terkejut.
"Ne, dia yang telah mendonorkan ginjalnya. Jadi kumohon, jagalah ginjal itu hyung." Pinta Mingyu. Jeonghan kembali mengangguk.
"Arraseo,"
"Apa kau sudah selesai?"
"Ne,"
"Kajja kita kembali kerumah,"
"Kajja!"
Mingyu dan Jeonghan berjalan beriringan ditepi jalan. Mereka berdua terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang kencan.
Seorang anak terlihat menangis dihadapan Jeonghan dan Mingyu, membuat mereka berdua tepaksa menghentikan langkah mereka.
"Hei, kau kenapa?" Tanya Jeonghan lembut.
"Hiks, kalungku terjatuh–hiks ditengah jalan itu. Itu–hiks kalung dari eomma,"
"Sebentar biar hyung ambilkan ne?"
"Jinjja? Gomawo hyung," Ucap anak itu.
"Sebentar ne Mingyu?" Mingyu hanya menganggukkan kepalanya.
Jeonghan berjalan dengan pelan kearah kalung itu, traffic light sedang berwarna hijau, pertanda pejalan kaki dibolehkan untuk melintasi jalan. Jeonghan berjongkok untuk mengambil kalung yang berada tepat ditangannya.
Mingyu memperhatikan gesture yang dibuat oleh Jeonghan, ia tersenyum. Namun, ekspresinya berubah ketika melihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi kearah Jeonghan.
"Jeonghan hyung!" Seru Mingyu, ia langsung berlari kearah Jeonghan dan mendorongnya ke tepi jalan. Sebagai gantinya, tubuhnya dihantam dengan keras oleh mobil itu. Ia bisa merasakan bagaimana tubuhnya remuk, seperti seluruh tulang yang menyangga tubuhnya ditarik dengan paksa keluar dari tubuhnya.
Satu per satu pejalan kaki yang melihat kejadian itu mulai mendatangi –mengerubungi– Mingyu yang saat ia terbaring dengan darah yang mengalir dari tubuhnya. Jeonghan bagai terpaku ditempatnya. Ia masih tidak bisa mencerna kejadian yang baru saja dilihatnya.
"H-hyung?" Cicit anak yang beberapa lalu berbicara dengan mereka –Mingyu dan Jeonghan– menyadarkan Jeonghan dari ketidak percayaannya. Segera ia berlari menuju kerumunan yang terlihat semakin banyak itu.
"M-Mingyu!" Seru Jeonghan tidak percaya. Ia mendudukkan dirinya disamping Mingyu.
Mingyu tersenyum diantara ringisannya, "H-hyung, b-berjanjilah k-kau akan menjaga g-ginjal y-yang diberikan o-oleh W-Wonwoo, hyung,"
"Arraseo, hyung akan menjaganya, tapi hyung mohon bertahanlah Mingyu," Ujar Jeonghan dengan isakannya.
Mingyu tersenyum, "Maafkan aku hyung, saranghae." Tak lama setelah itu Mingyu menutup matanya dengan perlahan.
"Aniya! Ya! Kalian! Cepat hubungi ambulance!" Teriak Jeonghan.
Seorang dari kerumunan itu menghubungi ambulance, tak lama kemudian ambulance pun datang. Para medis segera membawa tubuh Mingyu ke dalam ambulance, Jeonghan ikut serta didalamnya.
Air mata terus saja mengalir dari mata bulat Jeonghan, ia masih tidak percaya dengan semua ini. Beberapa waktu yang lalu ia masih bisa berbincang-bincang dengan Mingyu, tetapi saat ini ia hanya bisa melihat Mingyu yang tengah merenggang nyawa karena menyelamatkannya.
Jeonghan mengeluarkan smartphone miliknya, ia akan mengabari appa dan eomma Mingyu soal kecelakaan ini. Dengan tangan bergetar, ia mendial nomor eomma-nya Mingyu. Terdengar suara seorang wanita yang bisa dikatakan tidak muda lagi diujung line sana.
"Ahjumma," Ucap Jeonghan menahan isakan tangisnya.
"Ne, ada apa Jeonghan sayang?"
"Ahjumma, Mingyu, Mingyu kecelakaan ahjumma,"
Hening.
Jeonghan menggigit bibir bawahnya, menunggu reaksi yang diberikan oleh eomma Mingyu.
"M-mwo? K-kau sekarang berada dimana?"
"Kami sedang menuju Seoul Internasional Hospital ahjumma,"
"Arraseo, ahjumma akan segera kesana,"
.:.[].:.
Jeonghan terduduk disamping makam Mingyu, ia merasa de javu dengan semua ini. Ia tidak menyangka akan kehilangan Mingyu secepat ini. Ia mendongakkan kepalanya kearah langit yang terlihat cerah disatu sisi namun terlihat gelap disatu sisi lagi.
"Mingyu~ apa kau sudah bertemu Wonwoo disana?" Tanyanya entah pada siapa.
"Pasti kau akan bahagia dengan Wonwoo disana, aku berjanji akan menjaga ginjal Wonwoo dengan baik. Seperti yang engkau katakan." Setelah mengatakan itu, Jeonghan tersenyum dengan tulus.
Senyum itu semakin melebar ketika melihat langit seakan melukiskan dua insan yang tengah tersenyum kearahnya. Mingyu dan Wonwoo. Mereka telah hidup bahagia diatas sana.
.:.[].:.
Jeonghan berjalan seraya memerhatikan kedua kakinya, tak menyadari seorang dengan wajah tampan berlari dari arah yang berlawanan dengannya. Tubuh Jeonghan tersentak ke belakang ketika tubuh lelaki itu menubruknya.
"Ah! Joesonghamnida," Ucap lelaki itu seraya membungkukkan badannya.
"Ne, gwenchana,"
Pandangan mereka berdua bertemu.
"Maaf, aku terburu-buru. Jika terjadi sesuatu denganmu hubungi saja aku, ne?" Ucap lelaki itu seraya memberikan kartu namanya.
Choi Seungcheol
Itu adalah nama yang tertera dikartu nama itu.
END!