Badai salju kembali menerjang.

Kristal putih yang dihempaskan angin dingin bertebangan mencari peraduan. Gumpalan kelabu kehitaman diwarnai dengan kilatan biru terang. Geraman suara ketika itu terjadi mampu membuat tiap-tiap orang menutup telinga.

Ada banyak perasaan disana; takut, gelisah, kesal, dan benci. Kadangkala, hanya dengan suara itu mampu membuat segelintir orang histeris—phobia petir dan suara keras. Mereka akan menjerit, menangis terisak, dan frustasi.

Sasuke pernah melihat hal itu pada kakaknya: Uchiha Itachi. Itachi-nii. Begitu Sasuke memanggil kakak kesayangannya.

Kakaknya phobia petir, terlebih ketika badai salju. Kakaknya pernah mengalami hal buruk ketika badai salju dimusim dingin. Ia hampir mati beku ditengah tumpukan salju, dibawah badai salju.

Maka ketika badai salju menerjang desa kecilnya dipinggir pantai, kakaknya akan seperti orang kesetanan. Ia akan berlari kekamar adik kecilnya lalu memeluk Sasuke erat. Tangannya melingkar kuat dipinggang dan wajah tampannya akan terbenam diperut kecil adik manisnya.

Seolah hafal dengan kebiasaan kakaknya, Sasuke akan menenangkan kakaknya. Tangan kecilnya akan mengelus rambut hitam panjang kakaknya sementara bibir mungilnya menyenandungkan sebuah lagu penenang, hingga akhirnya, kakaknya berangsur tenang dan tertidur pulas setelahnya.

Lima tahun Sasuke tidak melakukannya—menenangkan kakaknya. Sasuke tidak lagi melihat seseorang dengan phobia petir.

Tapi sekarang, disini, dikediaman mewah seorang pria yang dikenalnya kurang dari dua puluh empat jam, Sasuke kembali melihatnya. Dia adalah seorang pria dua puluh lima tahun berambut pirang, bermata biru jernih, yang tak lain adalah pemilik dari rumah besar ini; Naruto.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Pair: NarutoXSasuke

Genre: Romance, Drama, Comfort, and lil' bit of hurt

Warning: BL/Yaoi! Don't like don't read, please!

.

.

.

Note1: Yup. Disini, rambut Menma memang pirang. Dan manik matanya berwarna hitam. Memang sengaja kok, hehe.

Menma is Naruto's baby? Big No!

.

Note2: Tolong, bagi kamu yang tidak suka dengan pair NarutoXSasuke, tolong jangan baca fanfiksi ini. Don't bash my lovely couple, please. If you don't like it, just go back. I've warn you, ok!

I love NarutoXSasuke soooo much, by the way. Tehehe.

.

.

Irreplaceable

Bab II

.

.

.

Enjoy it!

.

.

.

Setelah memberikan sebotol susu hangat dan menimangnya selama kurang lebih dua jam, bayi mungil bernama Menma itu akhirnya tertidur. Jujur saja, itu membutuhkan tenaga ekstra bagi Sasuke. Menimang bayi—walaupun dengan bobot tubuh tak seberapa, cukup melelahkan. Dan tanpa menggunakan gendongan bayi, itu membuat tangan dan pundak Sasuke terasa kebas setelahnya.

Sasuke bergegas kedapur untuk membuat makan siang. Sasuke sangat bersyukur karena tampaknya Menma tidak terganggu sedikitpun dengan adanya suara petir yang menggelegar diluar sana. Bayi mungil itu tertidur pulas sekali.

Sasuke ingin bertanya kepada Naruto mengenai apa yang ingin pria itu makan ketika makan siang, namun urung karena kamar Naruto tertutup rapat. Mungkin dia tidur siang, fikir Sasuke.

Kenyataannya, apa yang Sasuke fikirkan tidak benar-benar terjadi.

Ketika menuruni tangga, tanpa sengaja pandangan Sasuke terjatuh pada ruang keluarga. Bukan barang-barang mahal atau sofa empuk yang menjadi perhatiannya, melainkan seorang pria berambut pirang yang tengah menelungkup diatas sofa.

Langkah kaki beralaskan sandal rumahan itu menjejak menghampiri pria itu.

"Naruto—" Sasuke menangkap satu hal ketika jarak diantara mereka menipis; getaran pelan yang menyelubungi tubuh tegap atletis itu. Dengan kedua tangan yang sebisa mungkin menutup kedua telinga, Sasuke menyimpulkan satu hal mengenai apa yang dialami pria itu. Tidak beda jauh dengan suatu hal yang sering kakaknya alami setiap musim dingin atau musim hujan: phobia petir.

Sasuke sedikit terkejut, sebenarnya. Mendapati seorang pria dewasa dengan phobia petir itu sungguh menggelikan. Tapi Sasuke pun menyadari bahwa setiap orang itu memiliki perbedaan. Tidak semuanya sama. Sama halnya dengan kakak lelakinya yang telah berpulang ke surga.

"Hei," ujar Sasuke lirih. Telapak tangan halusnya menyinggung punggung kokoh itu dengan gerakan lembut.

"Uh?" dengan posisi kedua tangan yang tak berubah, pria itu mengangkat sedikit wajahnya. Raut gelisah terpampang pada wajah kecoklatannya. Dan pancaran rasa takut dari bola mata birunya membuat Sasuke merasa iba. Mungkin pria ini pernah memiliki pengalaman sangat buruk mengenai petir, fikir Sasuke.

Sasuke tersenyum, "kau phobia petir, kan?"

Naruto bergumam kecil tanpa membalas pertanyaan Sasuke.

"Kau baik-baik saja?" Sasuke bertanya dengan nada kalemnya. "Bisa berpindah kekamar, Naruto?"

Naruto menggeleng, masih mempertahankan posisinya. Suara petir yang menggelegar keras diatas sana membuat raut wajah Naruto semakin panik.

Sasuke itu bukan tipe orang penurut. Ia cukup memiliki watak keras kepala. Dan itu terlihat begitu jelas ketika ia berusaha keras membujuk pria itu, "kau bisa jatuh jika ada petir datang lagi mem—"

JDAAARR!

"—Ah," kepala Sasuke terasa pusing tiba-tiba ketika ia merasakan sebuah tarikan kuat dipinggangnya dan tubuhnya yang berakhir terhempas pada sofa empuk. Tubuhnya terasa beku saat Sasuke menyadari adanya sesuatu dipangkuan dan perutnya. Hangat. Dan ketika lengan-lengan kokoh melingkar erat diperutnya, Sasuke bisa merasakan kehangatan menjalar diseluruh tubuhnya.

"Na-Naruto?" Sasuke memanggil dengan gugup. Posisi ini.. sungguh membuatku malu, Sasuke membatin panik.

"Please," Naruto berbisik lirih. Tubuh pria itu masih tetap sama: bergetar dengan getaran kecil penuh rasa takut.

Sasuke merasa ganjal dengan segala rasa yang menggerogoti hatinya. Antara fikiran dan gerak tubuhnya sungguh tak singkron. Sasuke berfikir harus segera bangkit dari posisi yang—baginya, memalukan. Tapi dia tak dapat menahan diri ketika kedua tangannya terangkat dan berakhir dipunggung dan bahu kokoh pria itu. Mengelus lembut tubuh yang bergetar itu. "Baiklah," Sasuke menghela nafas. Menyerah dengan gerak tubuhnya yang tanpa kontrol fikirannya.

Seolah telah menjadi kebiasaannya sejak dulu, belah bibir sewarna cherri itu terbuka. Membuka dan menutup untuk menyenandungkan sebuah lagu penenang dengan tema kasih sayang.

Sebuah nyanyian indah yang membisukan gemuruh petir diluar sana.

.

.

.

.

.

Ting tong! Ting tong!

Suara bel nyaring membuat tubuh kecil yang meringkuk diatas sofa itu menggeliat pelan. Kelopak matanya mengerjab pelan sebelum terbuka sempurna.

"Mengapa dia harus membunyikan bel? Dia bisa langsung masuk seperti biasanya." Dengan setengah sadar, Sasuke beranjak bangun seraya bergumam penuh kesal. Sahabat setianya—Kiba, dia terkadang akan berkunjung kerumahnya diakhir pekan. Pemuda yang lebih tua beberapa tahun itu akan membawa dua plastik besar berisi kebutuhan makanan, dan Sasuke bersyukur atas hal itu. Sasuke memang jarang keluar rumah karena beberapa alasan tertentu dan Kiba adalah andalannya. Pemuda dengan tato segitiga dipipinya itu terkadang juga ikut dalam menyumbangkan beberapa gerakan dance yang hebat. Tentu, Kiba adalah mantan ketua klub dance ketika bersekolah menengah atas.

Namun beberapa detik kemudian, Sasuke terdiam.

"Ah, iya," Sasuke baru ingat jika saat ini ia tidak berada dirumahnya. Ia masih berada dirumah Naruto.

Sasuke beranjak lalu sesuatu terjatuh dari pangkuannya. Ia menunduk dan menemukan sebuah selimut hangat tergeletak diatas karpet. Bagaimana mungkin Sasuke tidak menyadarinya?

Ting tong! Ting tong! Ting tong!

Suara bel itu semakin nyaring karena mungkin sang tamu memencet tombol bel tidak sabaran.

Berfikir jika sang tamu memiliki urusan sangat penting, akhirnya Sasuke berjalan menuju pintu depan setelah meletakkan selimut tebal berwarna biru laut itu diatas sofa.

Sasuke mendengar sayup-sayup pembicaraan dari arah pintu depan, yang ternyata adalah percakapan Naruto dengan sang tamu. Kapan lelaki itu membuka pintu?

"Aku sudah membelikannya sesuai dengan permintaanmu. Susu, biscuit bayi, beberapa potong pakaian, dan pampers untuk bayi usia tujuh bulan, serta barang entah-apa-itu untuk menggendong bayi." Suaranya teredam sesuatu dan itu sangat asing ditelinga Sasuke, membuatnya yakin jika itu bukan suara Naruto.

"Bahan-bahan makanan?" suara berat yang familiar itu, Sasuke yakin seratus persen bahwa itu adalah suara Naruto.

"Ya, tentu. Berbagai macam sayuran dan daging ikan tuna. Kau bisa mengeceknya nanti."

Sasuke ingin kembali kekamar dilantai dua untuk mencegah dirinya mendengar perbincangan mereka, sekaligus untuk mengecek keadaan Menma. Berapa lama aku tertidur? Semoga Menma baik-baik saja, Sasuke membatin panik untuk kemudian berjalan tergesa menuju lantai dua.

Namun baru menjejak beberapa langkah, suara tawa khas bayi dari arah depan menghentikan langkah Sasuke. Tak mempedulikan apapun, Sasuke kini berputar arah menuju kesumber suara.

"Itu pasti Menma," gumam Sasuke.

Perkiraan Sasuke sangat tepat karena manik hitamnya mendapati tubuh mungil Menma diatas karpet tebal diruang tamu, tak jauh dari pintu utama. Bayi yang mulai merangkak itu tengah tertawa dengan sebuah mainan yang ia goyang-goyangkan dengan tangan mungilnya.

"Menma." Sasuke memanggil nama bayi itu sedikit keras.

Bayi mungil itu menoleh kearah Sasuke, "Maaaa… aaa." Bayi membuka mulut kecilnya, memperlihatkan gusinya yang baru tumbuh satu gigi susu dibagian bawah. Ia melemparkan mainannya acuh lalu mulai merangkak menuju kearah Sasuke.

"Lucunya..." Sasuke mengangkat tubuh mungil Menma dan menciumi wajahnya gemas. Bayi itu tertawa riang berada dipelukan Sasuke.

"Jadi, dia itu Sasuke?"

Suara sang tamu membuat Sasuke menoleh kearah pintu, dan ia mendapati seorang pria bersurai putih dengan masker hitam berdiri tegak diambang pintu utama.

"Ya," Naruto menyahut singkat, memberikan kesan acuh. "Sekarang pulanglah. Aku akan menghubungimu nanti."

Tidak ada ucapan terimakasih untuknya? Padahal dia melakukan hal baik, Sasuke membatin bingung.

Pria itu akan berbalik sebelum seruan kecil Sasuke menahannya.

"Tunggu." Sasuke berjalan mendekat hingga tapak kakinya sejajar dengan Naruto. Ia memperhatikan keadaan diluar sebelum memfokuskan pandangannya terhadap pria bermasker itu.

"Diluar masih hujan salju. Itu pasti sangat dingin dan jalanan akan licin. Itu sangat berbahaya bagi pengendara seperti anda. Akan lebih baik jika anda tetap disini, setidaknya hingga hujan salju mereda." Itu sangat lancang. Naruto adalah tuan rumah, sedangkan Sasuke sebagai tamu mengundang orang lain—orang yang asing, berteduh nyaman didalam rumah Naruto. Benar, Sasuke memang lancang. Tapi untuk kali ini saja, kepedulian Sasuke berteriak bahwa tindakannya tepat. Ia berfirasat bahwa pria itu tidak akan baik-baik saja jika dia keluar dari pekarangan rumah Naruto saat ini.

Sasuke menatap Naruto dengan tatapan meminta. "Bukankah itu terdengar baik, Naruto? Aku akan sangat senang jika kau mengijinkan tamumu untuk singgah." Sasuke tidak yakin Naruto akan menyetujui. Memangnya dirinya siapa? Sasuke hanyalah orang asing yang kebetulan beruntung bisa mendapatkan pertolongan Naruto dikereta.

"Kau tak perlu melakukan itu, Sasuke. Aku meminta tolong pada Kakashi yang sepertinya dalam keadaan genting. Jadi kufikir akan lebih baik jika Kakashi cepat pulang agar dia bisa menyelesaikan masalahnya,"

Sasuke merasa bersalah setelahnya. "Ah, maafkan aku, sungguh. Aku tidak tahu akan hal itu. Aku benar-benar lancang, maaf." Sasuke membungkuk dalam.

Suara tawa yang teredam membuat Sasuke mendongak. Kelopak mata pria bermasker itu menyipit menandakan ia tengah tertawa. "Tidak apa-apa. Aku mengerti."

"Kakashi itu pamanku, Sasuke. Pintuku selalu terbuka lebar untuk menerima kehadirannya. Percayalah, aku tak seburuk itu." Naruto tersenyum kepada Sasuke, membuat wajah Sasuke terasa hangat.

"Saya tidak menghalanginya lagi. Silahkan, sepertinya keadaan genting menanti anda." Sasuke membungkuk sekali lagi kepada pria itu—Kakashi.

"Sepertinya aku berubah fikirkan." Bukannya pergi, Kakashi justru melangkah masuk melewati ambang pintu. "Aku ingin berbincang sedikit dengan anda, jika anda menyetujuinya." Matanya kembali menyipit.

"Bagaimana dengan urusan genting anda?" tanya Sasuke, masih dengan kekhawatirannya jikalau urusan yang menimpa pria itu sangat mendesak.

"Ah, itu bisa diurus nanti." Ujarnya santai seraya mengibaskan tangan kanannya. "Jujur, aku hanya mengerjainya karena ia memaksaku keluar dicuaca yang sangat beku ini."

"Uh, baiklah." Sasuke mengangguk kikuk setelahnya.

Setelah Kakashi menutup pintu dan menguncinya, mereka kemudian memasuki dapur. Naruto meletakkan kantung-kantung besar itu diatas meja makan. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana.

"Sasuke, kemari." Panggil Naruto yang langsung diiyakan oleh Sasuke.

"Gendongan bayi?" kening Sasuke mengerut melihat sesuatu yang dipegang Naruto.

"Menma semakin aktif dan kuharap ini bisa mempermudahmu dalam menggendong Menma. Aku juga menyediakan berbagai peralatan bayi agar kau tak perlu repot pergi keluar disaat hujan."

"Kukira aku akan segera pulang hari ini." Kerutan dikening Sasuke semakin dalam. Tapi tak dipungkiri, jangtungnya berdegub makin kencang. Naruto itu pria perhatian, dan—jujur saja, Sasuke menyukainya. Sangat. Cara pria itu memperlakukan Sasuke sangat pengertian, tidak memaksa, dan sangat jantan.

"Tidak!" seruan Naruto dengan suara dalamnya yang berat mampu membuat Sasuke terlonjak kecil ditempatnya berdiri. Menma yang berada dalam gendongannya pun tampak kaget. "Ah, maksudku, jangan dulu. Diluar masih hujan. Seperti katamu tadi, jalanan pasti licin. Aku tak mau mengambil resiko, jika aku mengendarai mobil dijalanan seperti itu hingga terjadi sesuatu diperjalanan yang dapat membuat kalian terluka."

Lihat, pria itu bahkan berniat mengantar Sasuke dan Menma pulang kerumah. Orang waras mana yang mampu mengabaikan pria super baik itu?

Wajah Sasuke melunak dan ia menampakkan ekspresi tak enak. "Kau berlebihan sekali, Naruto. Sejak awal aku selalu merepotkanmu. Selalu. Dan itu membuatku bingung bagaimana aku harus membalas semua kebaikanmu nantinya."

"Aku menolong tanpa pamrih. Jadi kau tenang saja." Naruto membalas ucapanya dengan sebuah senyum yang menawan. Senyum yang menonjolkan ketegasan tulang pipi, serta senyum yang penuh akan rasa percaya diri.

Mereka bertatapan cukup lama hingga suara deheman Kakashi menyadarkan keduanya. Sasuke memutuskan pandangannya dan menatap Kakashi yang bersiul kecil.

"Sungguh hari yang penuh cinta." Pria bermasker itu bermonolog kecil, membuat Sasuke salah tingkah.

"Aku harus memandikan Menma sebelum hari bertambah sore. Permisi." Sasuke cepat undur diri setelah membungkuk penuh sopan.

Seiring langkah kaki Sasuke yang menjejaki anak tangga, Sasuke mendengar Naruto mendengus.

"Perkataanmu tidak berefek baik, Kakashi."

Hal terakhir yang Sasuke dengar adalah suara tawa Kakashi yang teredam dibalik masker.

.

.

.

.

.

Menma, bayi kecil itu semakin aktif. Tangannya tidak tinggal diam ketika berada didalam bak mandi. Kepalan tangannya mengayun kesana kemari membuat baju Sasuke terkena imbasnya.

"Tidak bisakah kau mandi dengan tenang, baby?"

Baju Sasuke basah kuyup dan ia memutuskan untuk melepas seluruh pakaiannya hingga tubuhnya polos tanpa sehelai benang. Bayi tujuh bulan yang mulai merangkak itu bersorak senang ketika Sasuke ikut menceburkan diri kedalam bak mandi. Mulut kecilnya tak henti bergumam khas bayi yang tidak dimengerti oleh Sasuke.

Sasuke mengosongkan bak mandi ketika ia dan Menma membilas diri dengan air hangat dari pancuran air shower. Menma kembali bersorak riang dengan bahasa bayinya.

Setelah melilitkan sebuah handuk dipinggulnya, Sasuke kembali menggendong Menma yang sebelumnya ia letakkan didalam bak mandi yang telah kosong.

Satu tangan Sasuke terjulur untuk mengambil sebuah handuk bersih didalam rak kayu, sementara tangan yang lain ia gunakan untuk menahan bobot tubuh Menma. Sasuke membebat tubuh basah Menma dengan handuk itu setelahnya.

Ketika Sasuke melangkah keluar dari kamar mandi, Sasuke memekik kecil ketika melihat keberadaan Naruto didalam kamar tamu.

"Sasuke aku membawakan pakaian Menma dan untukmu—"

Kalimat itu terhenti ketika Naruto melihat Sasuke sepenuhnya—Sasuke yang hampir telanjang dan basah. Pipi sedikit memerah akibat air hangat dan bibir merah yang sedikit terbuka.

Selama lima detik kedepan masih seperti itu, sebelum suara Menma yang tampak mulai menggigil kedinginan memecah keheningan diantara mereka berdua.

"Kutunggu kalian dimeja makan." Naruto berkata cepat dan sedetik kemudian sosoknya telah menghilang dibalik pintu kamar tamu.

"Haah.." Sasuke menghembuskan nafas lega setelah tanpa sadar menahan nafas begitu lama. Rona merah dipipinya semakin kentara saat ia menyadari pandangan mata Naruto pada tubuhnya. Ia sungguh merasa malu.

Menma kembali merengek membuat Sasuke lekas membubuhi minyak telon dan memasangkan pakaian hangat pada tubuh mungil Menma. Setelah Sasuke selesai berbenah dengan rapi, ia menggendong Menma turun menuju dapur.

Disana Naruto dan Kakashi terlibat pembicaraan yang tidak begitu Sasuke pahami. Mereka berbicara menggunakan bahasa inggris dan mereka terlihat fasih dalam pengucapannya. Itu bisa dipahami mengingat Naruto keturunan orang Eropa. Sasuke bisa berbahasa inggris, namun hanya sedikit. Pembicaraan dengan style cepat seperti mereka, sudah pasti Sasuke tidak bisa menangkap apa maksudnya.

Naruto lah yang pertama kali menyadari kehadirannya. "Baju itu terlihat pas untukmu."

"Benarkah? Kurasa ini sedikit kebesaran untukku." Ujar Sasuke seraya mengendikkan bahunya—ingin menunjukkan bahwa kerah kaos berwarna abu-abu polos itu sedikit besar hingga mempertontonkan tulang selangkanya.

Naruto berdehem sebelum berujar, "hmm, padahal itu baju paling kecil yang aku punya. Hadiah natal tapi tak pernah kupakai karena sangat kecil dan kuyakin akan robek ketika kupakai." Naruto menggaruk tengkuknya yang Sasuke yakin tidaklah gatal.

Sasuke tertawa kecil menanggapinya, "tak apa. Ini sudah lebih dari cukup. Terimakasih."

"Ya. Silahkan duduk. Kita harus segera makan." Pria itu mengisyaratkan agar Sasuke duduk disebelahnya, dan Sasuke tidak memiliki keberanian untuk menolaknya. "Berikan Menma padaku. Aku sangat ingin menggendongnya."

Menma tampak sangat menyukai pria itu. Buktinya, setelah berada dalam lengan kokoh Naruto, bayi mungil itu langsung melingkarkan tangannya pada leher pria itu.

Sasuke menatap satu-persatu hidangan yang berada diatas meja. Sup sayur yang berwarna pucat, daging tuna panggang sedikit gosong, sosis goreng yang dipotong tak rapi, dan aroma hangus dari nasi.

"Bukan aku yang memasaknya. Masakanku tak akan seburuk itu, apalagi sampai gosong." Suara berat Naruto seolah menggema dalam ruang makan penuh celoteh riang si bayi mungil.

"Ya, karena yang bisa kau lakukan didapur adalah memasak air. Atau menyeduh ramen instan. God! Bahkan anak TK bisa melakukannya." Kakashi mendengus terang-terangan dan ia melakukannya nyaris disertai tawa. "Bukankah aku lebih baik?"

"Terserah." Jawaban singkat nan acuh itu cukup untuk menandakan bahwa Naruto sangat kesal.

Sasuke diam-diam tersenyum melihatnya.

"Jadi Sasuke, perkenalkan. Dia adalah Hatake Kakashi. Kami tidak memiliki hubungan darah tapi karena kami cukup dekat, aku sudah menganggapnya sebagai pamanku sendiri."

"Padalah kami hanya berbeda lima tahun. Akan terdengar baik jika aku dipanggil kakak daripada paman." Pria dengan surai putih abu-abu itu menggerutu seraya membuka masker yang dikenakannya.

Sasuke hampir percaya bahwa Kakashi, dengan wajah rupawan dibalik maskernya berusia tiga puluh tahun. Namun perkataan Naruto selanjutnya membuat Sasuke hampir memekik.

"Jangan memalsukan usia, Kakashi. Usiamu itu sudah tiga puluh lima tahun. Sadarlah sedikit bahwa kau sudah mulai tua." Ujar Naruto, yang kali ini menampilkan raut datar.

Kakashi hanya tersenyum miring menanggapi perkataan Naruto yang kelewat datar. Kini, atensinya tertuju pada Sasuke sepenuhnya. "Jadi Sasuke, apa pekerjaanmu saat ini?"

Sasuke meneguk air putih sebelum menjawab, "aku seorang penulis novel."

"Wah! Aku cukup suka membaca dan mengoleksi novel." Kakashi tampak sangat tertarik mengenai ini. "Apakah kau menggunakan nama asli dalam karyamu?"

"Tidak," Sasuke menggeleng.

"Kenapa?"

Uh, rasanya Sasuke sedang diinterogasi saat ini. Tapi toh, Sasuke menjawabnya. "Karena aku tidak ingin dikenal."

"Nama apa yang kau gunakan?" ini Naruto yang bertanya. Raut wajahnya berubah serius. Ada rasa keingintahuan yang besar dan itu membuat Sasuke tak tega jika tak menjawabnya.

Dengan ragu, Sasuke pun menjawabnya. "U. Satsuki."

"YA TUHAN! KAU PENULIS FAVORITKU!" Kakashi memekik histeris.

"Suara kerasmu membuat Menma menangis astaga!" seruan bernada marah dari Naruto justru membuat tangis Menma semakin keras.

"Oh astaga! Ini buruk, sungguh buruk." Sasuke meracau seraya meraih Menma kedalam pelukannya dan menimangnya kesana-kemari.

"Susu! Bayimu butuh susu, Sasuke!" Kakashi berteriak panik.

Suasana yang semula tenang itu menjadi sungguh ribut. Pekikan panik dari Kakashi lah yang paling mendominasi suasana kacau itu.

Butuh beberapa waktu untuk tenang kembali.

Dan setelahnya, seolah haus akan informasi, Kakashi mengajukan berbagai macam pertanyaan seputar novel karya Sasuke. Naruto akan mendengarkan dengan teliti dengan sesekali mengajukan beberapa pertanyaan. Dilatarbelakangi kicauan khas bayi dari mulut kecil Menma, makan bersama sore itu pun jadi terasa sangat menyenangkan.

Tidak ada singgungan sedikitpun mengenai kejadian siang tadi antara dirinya dan sang tuan rumah.

Itu membuat Sasuke lega.

.

.

.

.

.

Malam telah larut. Waktu menunjuk pukul sebelas malam ketika terdengar suara ketikan keyboard di ruang keluarga.

Manik hitam dibalik kacamata itu menekuni deretan huruf dilayar sebuah laptop menyala. Sesaat kemudian pandangannya menerawang, menatap jauh kearah beberapa objek yang dipilihnya secara acak. Bibirnya yang merah akan ia gigit dengan gigi putihnya: berfikir. Dan setelahnya maniknya kembali fokus kearah layar laprop, sedangkan jemarinya akan bekerja diatas keyboard miliknya.

Itu terjadi sejak satu jam lalu dan akan tetap berlanjut seperti siklus.

Sasuke terlalu fokus dengan pekerjaannya hingga ia tidak menyadari ada sepasang mata yang mengamatinya sedari tadi—sejak setengah jam lalu. Pria itu hanya berdiri diam, bersedekap dada, dan bersender ditembok. Sasuke baru menyadarinya ketika pandangannya jatuh pada objek baru benda hidup, dan itu adalah sang tuan rumah. Naruto tampak sangat keren dengan gaya seperti itu, Sasuke membatin takjub.

"Kau terlihat sangat sibuk hingga mengorbankan waktu tidur hanya untuk menulis novelmu." Ujar pria itu, tersenyum. Pria itu berjalan mendekat masih dengan senyumnya, sementara Sasuke merasa panas dipipi dan jari-jari yang membeku dan terasa kaku. "Apakah kehadiranku mengganggumu?"

Sasuke menggeleng, berusaha tersenyum. "Tidak."

"Baguslah. Karena aku sangat ingin melihat U. Satsuki menulis karya novel yang menakjubkan."

"Jangan terlalu memujiku, tuan. Aku bisa besar kepala setelahnya." Sanggah Sasuke dengan kalimat lembutnya.

"Oh, tidak tidak. Kau sangat pantas untuk besar kepala dengan karya-karya novelmu yang hebat. Savage, Breakdown, dan Man from the past. Tiga dari delapan novelmu telah difilmkan dan itu merupakan prestasi yang luar biasa."

Pemuda dua puluh tahun itu biasa dipuji oleh teman-temannya. Sasuke merasa senang dan bahagia karena karyanya begitu banyak disukai. Namun kini Sasuke mendapati wajahnya bersemu dan rongga dadanya berdebar kencang. Ia hanya berharap Naruto tidak menyadari perubahan wajahnya disuasana sedikit remang ini. "Terimakasih." Ujar Sasuke dengan senyumnya.

"Mau segelas kopi?" tawar pria itu, berjalan kearah dapur.

Sasuke menggeleng, "tidak, terimakasih. Aku tidak minum atau memakan segala macam kopi,"

Tidak ada jawaban dari Naruto setelahnya. Hanya ada suara langkah kaki menjauh dan suara keran air mengalir menandakan pria itu tengah berkutat didapur.

Sasuke mengendikkan bahunya dan melanjutkan pekerjaannya—merevisi ulang novelnya.

Lima belas menit kemudian, ruang keluarga menjadi terang ketika lampu neon putih dilangit-langit ruangan menayala terang. Tak berselang waktu lama, Naruto datang dengan dua cangkir mengepul ditangannya. Seketika aroma kopi dan manis memenuhi indra penciumannya.

"Aku tidak minum kopi—" Sasuke memeringati lagi.

"Ini susu. Secangkir susu vanilla hangat untuk membuat tubuhmu lebih baik." Naruto menyahut cepat.

"Aku akan cepat tidur jika begitu." Sasuke tersenyum kecil.

Pria itu tersenyum miring menanggapi perkataan Sasuke, "memang itu tujuan utamaku." Balasnya jujur tanpa ditutup-tutupi.

"Kau menang." Merasa tak ada mood untuk menulis lagi, Sasuke pun menyimpan pekerjaannya dan mematikan laptopnya. Sasuke menerima secangkir susu vanilla hangat dari tangan Naruto setelah berucap terimakasih.

Naruto tertawa kecil seraya menyesap kopi dicangkirnya. "Apa Menma baik-baik saja kau tinggal sendiri?"

"Menma cukup tenang ketika tidur. Jadi aku yakin Menma akan baik-baik saja." Ujar Sasuke yakin.

"Hmm.." Naruto bergumam pelan tanda paham.

Kemudian hening.

Sasuke melihat Naruto dari sudut matanya dan ia mendapati pria itu begitu hikmat menyesap kopinya sedikit-demi sedikit. Kelopak matanya terpejam dan hidungnya membaui aroma kopi seakan meresapi tiap aroma tajam dari secangkir kopi itu.

Kelopak tan itu terbuka tiba-tiba membuat Sasuke menunduk. Ia ketahuan mencuri lihat dan Sasuke merasa malu—lagi, untuk kesekian di hari ini.

"Apa yang kau fikirkan mengenai diriku?"

Sasuke mendongak langsung dan bibir merahnya berucap tanpa kendali. "Kau adalah pria mapan yang baik—sangat baik, dan dewasa. Kau penyayang anak-anak, dan kau juga sangat tampan." Ia terdiam, lalu sedetik kemudian Sasuke merutuki mulutnya. Tapi itu benar-benar sebuah kejujuran. Jadi untuk mengalihkan rasa malu, Sasuke bersikap tenang. Ia bersikap seolah memuji orang lain merupakan hal biasa. Padahal nyatanya, Sasuke sangat jarang memuji orang lain.

Naruto menatapnya lurus dan serius. Tak ada senyum dibibir tipis pria itu, membuat Sasuke bertanya-tanya apakah kejujurannya itu tidak berefek baik kepada Naruto. "Bukan itu maksudku. Ini mengenai kejadian siang tadi. Bukankah aku terlihat konyol diwaktu itu?" ujarnya, sedikit menuntut.

Sasuke menghela, "Ah, itu. Aku menganggap itu bukan hal besar."

"Maksudmu? Apakah tingkah konyolku dibawah sambaran petir siang tadi adalah sebuah hal kecil? Tidak bagimu. Tapi iya bagi diriku." pria itu menatap Sasuke dengan pandangan yang sulit diartikan, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Kau pasti ill feel padaku."

"Aku tak pernah bilang begitu." Sasuke menyanggah.

"Aku benar-benar tak mengerti." Naruto mengendikkan bahunya dan menggeleng kecil. "Mereka selalu berkata jika penyakit yang kualami ini sangat menjijikkan."

Masih dengan sikap tenangnya, Sasuke menyesap seteguk susu vanilla dari cangkirnya. Ia merilekskan otot-otot tubuhnya yang mendadak tegang dan menghela nafas kemudian. "Dengar, Naruto. Aku memiliki seorang kakak lelaki sepertimu—dia takut petir. Kakakku mengalami hal buruk ketika dia masih kecil. Aku bisa mengerti itu karena kakakku mengalami kejadian buruk ketika hujan badai disertai petir menyambar terjadi didesa kecil kami didekat pantai. Aku tidak mengolok-olok kakakku mengenai itu meskipun teman-temannya selalu menjadikan hal itu sebagai aib yang sangat buruk dan memalukan. Kakakku selalu tertekan dengan kenyataan itu tapi aku berada disana. Mendorongnya untuk maju dan tak sekalipun menjadikan ketakutan itu sebagai kelemahan. Aku memberikan kepercayaan kepada kakakku bahwa dia bisa melawan semua rasa takut itu," Sasuke menatap manik biru Naruto yang balik menatapnya serius, "dan itu berhasil. Walau tidak secara keseluruhan karena disetiap ada badai, aku selalu menunggunya dan menenangkan tubuhnya yang bergetar. Aku memeluknya hingga ia tenang."

Pria itu hanya terdiam. Ia seolah berusaha menelan kalimat panjang yang disuarakan oleh Sasuke.

"Dan satu lagi, itu bukan penyakit menjijikkan. Itu hanya sebuah phobia." Tambah Sasuke dengan menekan kata 'hanya'.

"Aku terlihat lemah ketika saat-saat seperti itu datang." Pria itu berusaha mengelak.

"Manusia itu seperti sebuah koin. Memiliki dua sisi yang berbeda namun saling melengkapi. Itu menandakan setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bukankah kau sendiri yang mengatakan hal itu, Naruto?" Sasuke tersenyum menatap manik biru Naruto yang kini terlihat semakin bercahaya.

Sasuke tak bisa untuk tidak menghela nafas lega ketika pria itu melayangkan senyum menawan yang tampak sangat tulus, "kau benar. Aku hanya perlu menghadapi rasa takutku, melawan rasa takut itu. Bukan mengelak dan justru berakhir dengan rasa takut dan tubuh bergetar menyelimut."

"Ya. Aku percaya penuh padamu. Kau pasti bisa, Naruto."

"Tapi sebelum itu, bisakah aku mendapat pelukan ketika saat-saat itu datang lagi?" pria itu kini tersenyum miring, memberikan kesan menggoda yang lagi-lagi membuat pipi Sasuke memanas.

Sasuke menahan nafas seraya berujar pelan, "jika itu memang sangat diperlukan, tentu. Dengan senang hati akan kubantu." Lanjut Sasuke dengan senyum tulusnya.

Entah mengapa, wajah tampan dengan kulit tan itu memperlihatkan ekspresi terkejut. Pria itu memaki dengan bahasa yang tak Sasuke ketahui. Namun ekspresi itu hanya berlangsung selama tiga detik, karena setelahnya pria itu kembali tersenyum ramah. "Kau sebaiknya tidur. Ini sudah sangat laut dan besok, perjalanan panjang menanti kita." Naruto menarik lembut pergelangan tangan Sasuke dan menuntunnya menuju kamar tamu dilantai dua.

"Selamat malam. Have a nice dream, Sasuke."

Satu kecupan kupu-kupu mendarat dipunggung tangan kanannya, membuatnya mematung seketika. Sasuke sukses tidak bernafas dan degub kencang dalam rongga dadanya adalah satu hal yang membuatnya yakin ia masih bereksistensi didunia ini.

Sasuke masih mematung didepan pintu ketika pria dua puluh lima tahun itu berbalik sebelum mencapai kenop pintu. Pria itu tersenyum lalu berujar, "Oh…by the way, suaramu sangat bagus, Sasuke. Kau memiliki bakat sama besar dengan kemampuan menulismu. Aku sangat takjub siang tadi dan aku berjanji akan mengenalkan seorang produser rekaman kepadamu—itupun jika kau berminat."

Sasuke berusaha menampilkan senyum terbaiknya tapi yang terlihat justru sebaliknya. Ia enggan mengakui tentang suaranya, tapi memang itulah kenyatannya.

Pria itu tak lagi berkata selain tersenyum dan berbalik menutup pintu kamarnya.

"Ya tuhan…" Sasuke menghela nafas, mengelus dada.

Pria itu sungguh tak bisa diabaikan dan itu membuat Sasuke takut. Sasuke takut jatuh semakin dalam sementara pria itu terlalu misterius untuk dikenali. Hanya gambaran sempit yang Sasuke ketahui mengenai pria itu: baik, tanpa pamrih, penyayang, dan mapan.

Tapi benarkah begitu?

Sasuke tidak meragukan kebaikan pria itu, tapi masalahnya Naruto terlalu kaya untuk ukuran seorang pemilik apotek.

Sasuke memiliki seorang teman gadis yang juga membuka toko obat, Ino namanya. Itu berada dipusat kota Koshu—kota yang bersebelahan dengan kota dimana Sasuke tinggal, dan apoteknya juga besar. Namun yang Sasuke ketahui, Ino tak sekaya Naruto.

Sasuke takut jika, pria itu—Naruto, ternyata menjual obat-obat ter—

"Aku terlalu banyak berfikir negative. Huh, sadarlah, Sasuke!"

.

.

.

.

.

"Perjalanan dari Shinjuku ke Yamanasi sangat jauh, apalagi jika harus mengendarai mobil. Itu pasti sangat melelahkan. Sebenarnya aku baik-baik saja jika harus pulang sendiri. Menaiki kereta juga terdengar baik." Sasuke menyuarakan kegundahan hatinya mengenai keputusan Naruto. Ia merasa sangat bersalah telah merepotkan pria itu berkali-kali. Dan Sasuke tidak ingin menambah rasa bersalah itu ketika Naruto hendak mengantarnya pulang. Hey, jarak antara Shinjuku ke Yamanasi sangat jauh. Perlu waktu lebih dari lima jam dari Shinjuku untuk melewati tujuh kota besar menuju Yamanasi.

"Tidak," keseriusan dan keteguhan Naruto akan keputusannya membuat Sasuke tak bisa berkutik. "Aku sangat ragu kalian berdua pulang selamat mengingat kau jatuh tidur sementara bayimu hampir jatuh dari dekapanmu. Bagaimana jika sewaktu kau tertidur seseorang menculik bayimu? Aku yakin kau tak akan pernah berhenti menangis sepanjang waktu."

Sasuke kalah telak dengan perkataan Naruto pagi itu.

Jadi, tepat pukul sepuluh pagi, Naruto mengantarnya pulang. Tidak hanya pria itu, karena Kakashi menyuarakan keinginannya untuk ikut. Naruto mengiyakan saja keinginan pamannya itu untuk berjaga-jaga apabila Naruto lelah menyetir dan membutuhkan pengganti sementara.

Jadilah selama perjalanan, kedua pria itu bertukar posisi. Sasuke tidak bisa membantu karena selain harus menjaga Menma, Sasuke mengakui bahwa ia sama sekali tak bisa menyetir mobil.

"Jangan berwajah jelek seperti itu, Kakashi. Tersenyumlah! Berbahagialah karena kau akan menjadi ayah tak lama lagi." Suara Naruto terdengar menggoda dan itu Kakashi menatap Naruto dengan tajam dari kaca spion.

"Kau mengejekku, ha? Aku selalu tersenyum hanya saja kau yang tidak pernah tahu."

"Siapa suruh kau memakai masker jelek itu." Naruto berujar santai seraya menyandarkan punggungnya.

"Kakashi sudah menikah?" Sasuke menyela dengan nada tak percaya.

"Sudah sejak lima tahun lalu." Naruto lah yang menjawabnya. "Berhati-hatilah, Sasuke. Kakashi itu pria pedophile yang menikahi anak-anak. Dia—"

"Hey!" Kakashi menyela dengan nada tak terima. "Obito berusia dua puluh tahun ketika kami menikah, dan itu bukan usia anak-anak."

"Tapi jarak usia kalian sepuluh tahun. Sepuluh tahun."

"Cinta itu tak mengenal usia."

Perdebatan itu tetap berlanjut hingga membuat Sasuke tertawa dengan tingkah mereka berdua. Mereka sama-sama keukeuh dan keras kepala, tak ada satu pun yang berniat mengalah.

"Sasuke, katakan pendapatmu mengenai hal ini!" Kakashi berujar semangat dari bangku kemudi.

Sasuke terdiam, berfikir sejenak, "Cinta itu buta. Tak mengenal apapun ketika telah jatuh terlalu jauh. Berfikir semua akan baik-baik saja ketika bersama. Pantangan, larangan, bahkan cemoohan pun dianggap angin lalu ketika berbagi waktu."

"Itu artinya kau setuju!" Kakashi memberi tatapan penuh kemenangan kepada Naruto.

"Aku tidak pernah berkata jika aku melarangnya Kakashi." Ujar Naruto disertai dengusan.

"Aku penasaran kenapa Kakashi memakai masker sepanjang hari." Sasuke menatap Kakashi dari balik kaca spion.

"Tidak. Ini hanya satu bulan lagi, dan ini akan segera berakhir. Aku bisa menikmati udara bebas tanpa terhalang masker konyol ini." Kakashi mengendikkan bahu sebelum kembali melanjutkan, "istriku sangat sensitive semenjak awal kehamilan dan ia selalu menuduhku tebar pesona kepada siapapun. Padahal.. ya tuhan, aku tidak pernah seperti itu. Aku pria setia dan menduakan istriku yang sempurna adalah sebuah kematian bagiku." Pria bersurai kelabu itu mengeluh dengan helaan nafas membuat Sasuke tidak bisa untuk tak terkekeh kecil.

"Jika kau berada disini, berarti istrimu sekarang berada dirumah sendiri?"

Kakashi memberikan gelengannya. "Tidak. Istriku berada dirumah orangtuanya di Tokyo sejak tiga hari lalu."

"Nah," suara Naruto terdengar mengejek, "tak sekalipun istrinya memberi kabar. Itu mengapa Kakashi tampak uring-uringan."

Mereka berbincang dengan akrab sedangkan si kecil Menma sibuk berceloteh sambil memukul-mukul kaca jendela mobil menggunakan kepalan tangan mungilnya.

Dua jam kemudian, perjalanan mulai tenang. Si mungil Menma telah meringkuk didada Sasuke, terlelap dengan nyenyak setelah menyedot sebotol susu hangat.

Sasuke pun begitu. Kelopak matanya mulai memberat dan tak lama kemudian ia tertidur. Kepala Sasuke jatuh bersandar dibahu Naruto dan itu mempermudah pria pirang itu untuk mendekap dan mengelus lembut rambut hitam Sasuke.

"Kalian terlihat seperti sebuah keluarga yang harmonis." Komentar Kakashi dari bangku kemudi.

"Ya. Itu akan terjadi tak lama lagi." Balas Naruto dengan senyum miringnya.

"Akan ada tangis massal jika begitu."

"Aku tak peduli. Yang penting aku bisa terlepas dari paksaan-paksaan pria tua bangka itu."

Kakashi hanya sanggup tertawa mendengar balasan bernada datar dari Naruto itu.

.

.

.

End of Bab II

.

.

.

.

Big thanks to:

Park RinHyun-Uchiha, dieNsl, nareswaribach, Libra,justaz, d14napink, Habibah794, Kirakira Holic, saera, Gatsuki. Ipeh, Caramely, Kagehoshi Nao, ppkarismac, kiyokiyo, Lady Spain, ririn, shin, Apriyani601, megumi-chan, Guest, NS, Hwang635, Sapphire Hatsuki Blue, humusemeuke, danielkeanumadegani, Reina Putri, XOXO, D, und, LangitJia, Ruth nana, bellaclaw, dodomppa, Yanti.

Thanks for read, fav, foll, and review!