STAY (INDONESIA)

oOo

Translated by ybbaek cbsky

Original Story

Stay by Exobubz

http/livejournal com/33652 html

(Spasi diganti dengan titik)

Copyright 2014 exobubz

All Rights Reserved

.

.

Chanbaek Sky

Presents

(TWOSHOT)

Pairing:

CHANBAEK, CHANSOO

Summary:

Telah delapan tahun semenjak mereka menikah, namun mereka sesungguhnya telah berpisah selama tujuh di antaranya.

Menikah ketika mereka beranjak 18 tahun, Chanyeol segera menyadari bahwa keputusan itu adalah kesalahan. Ia ingin melakukan hal-hal besar. Segala yang ia inginkan ada di kota. Setelah banyak konflik pernikahan dan kehidupan, Chanyeol memutuskan bahwa ia membenci desa kecil itu dan kemudian pergi.

Selama berbulan-bulan mengencani Kyungsoo, Chanyeol mengirimkan berkas perceraian berkali-kali, namun tiap kalinya, Baekhyun akan mengirimkan mereka kembali; kosong. Kemudian Chanyeol membuat keputusan untuk melamar. Media segera menyantap berita tersebut, namun mereka a belum mengetahui status pernikahan Chanyeol yang sesungguhnya. Kyungsoo juga tidak-Chanyeol tak pernah memberitahunya.
Akhirnya, Chanyeol memutuskan untuk mengakhiri urusan lama.

•••
Warning
SMUT, cursive words, major angst.

.

.

Disclaimer

Buku ini hanyalah translate dari Stay karya Exobubz. Kalian tau ff chanbaek yang melegenda 10080? Yup, dia adalah author yang sama. So get some tissues and read on, fellas!

.

.

.

-Enjoy-

Telah delapan tahun semenjak mereka menikah, namun mereka sesungguhnya telah berpisah selama tujuh di antaranya.

Chanyeol bekerja sebagai seorang penyunting di kota. Baekhyun, di sisi lain, well, Chanyeol tidak benar-benar tahu apa yang dilakukannya lagi.

Terakhir kali mereka berbicara satu sama lain, adalah hari di mana Chanyeol meninggalkan desa pedalaman itu, yang juga hari terakhir ia melihat suaminya.

Menikah ketika mereka beranjak 18 tahun, Chanyeol segera menyadari bahwa keputusan itu adalah kesalahan. Ia ingin melakukan hal-hal besar. Segala yang ia inginkan ada di kota. Setelah banyak konflik pernikahan dan kehidupan, Chanyeol memutuskan bahwa ia membenci desa kecil itu dan kemudian pergi.

Ia menemukan seseorang. Seseorang yang berbeda dari Baekhyun dan merupakan segala yang Chanyeol inginkan dari seorang partner-atau demikian pikir hatinya.

Tidak seperti Baekhyun, Kyungsoo manis dan jelita. Ia peduli akan penampilannya. Baekhyun juga, namun tidak begitu banyak. Tidak dibutuhkan penampilan di desa. Kyungsoo adalah manajer dari beberapa nasabah penerbitan, sedangkan Baekhyun bekerja sebagai kasir biasa di satu-satunya toko pangan di desa.

Selama berbulan-bulan mengencani Kyungsoo, Chanyeol mengirimkan berkas perceraian berkali-kali, namun tiap kalinya, Baekhyun akan mengirimkan mereka kembali; kosong. Kemudian Chanyeol membuat keputusan untuk melamar. Media segera menyantap berita tersebut, namun mereka a belum mengetahui status pernikahan Chanyeol yang sesungguhnya. Kyungsoo juga tidak-Chanyeol tak pernah memberitahunya.

Akhirnya, Chanyeol memutuskan untuk mengakhiri urusan lama.

Berbohong, Chanyeol mengatakan pada Kyungsoo bahwa orang tuanya akan bereaksi berlebihan jika mereka tahu bahwa ia telah bertunangan. Kyungsoo secara ragu-ragu mengerti situasi tersebut, dan Chanyeolpun pergi untuk "mengunjungi keluarga terlebih dulu".

Ketika Chanyeol berkendara ke desa lamanya, ia tidak mampu menahan rasa jijiknya. Beberapa bangunan hancur dan orang-orang berpakaian menyedihkan. Sangat berbeda dengan kehidupan di kota yang telah dibangunnya.

Ia menghiraukan orang tua yang dulu sering ia tolong, dan juga suara tawa yang menjengkelkan dari orang-orang.

Ketika ia akhirnya tiba di rumah yang dulu ia tinggali bersama suaminya, Chanyeol duduk di dalam mobilnya dan memandanginya. Rumah tersebut terlihat kotor. Terdapat beberapa sampah mekanik bersender pada pohon dan pemandangan lainnya terlihat minor.

Chanyeol heran bagaimana ia bisa bertahan sangat lama di tempat seperti itu. Melangkah keluar dari mobil, ia terkejut ketika mendengar gonggongan keras. Seekor anjing hitam di serambi, menggonggong seakan ia penyusup di rumahnya sendiri.

Ketika anjing itu melompat dari serambi, ia tidak menyerang. Anjing itu malah ramah. Tersenyum, Chanyeol mengelus belakang leher anjing itu dan menepuk punggungnya. Pintu depan terbuka, dan Chanyeol mendengar tawa yang familiar.

"Hati-hati, ia akan menggigitmu jika kau tak menimangnya cukup lama."

Ketika Chanyeol menengok, senyum di wajah Baekhyun sirna.

"Oh, itu kau," Baekhyun mengerutkan dahi. "Aku nyaris tak mengenalimu dengan rambut dicat dan pakaian disainer itu."

Chanyeol mendapati tanda dari sarkas yang pahit. "Oh kulihat, kau tak berubah," ia lontarkan sembari melihat kaos dan jeans simpel Baekhyun.

"Dan kulihat kau berubah terlalu banyak," Baekhyun menggigit balik.

"Aku berubah untuk yang lebih baik," debat Chanyeol.

Baekhyun mengangkat bahunya. "Whatever you say, Tuan penyunting besar."

Ketika ia berjalan kembali ke dalam rumah, tangan Chanyeol mengepal.

"Kau tahu, kau tak nampak cocok di sini," kata Baekhyun dengan punggungnya menatap Chanyeol.

"Mengapa kau tak kembali ke kota?"

Bibir Chanyeol menipis. "Aku ke sini karna kau tak mau menandatangani berkas perceraian!"

Berbalik badan dengan cepat, Baekhyun berjalan ke ujung serambinya dan menatap Chanyeol.

"Jadi untuk itukah bokong emasmu datang kemari? Kau ingin aku menandatangani berkas kasihanmu?" Muntahnya.

"Ya! Aku telah mengirimimu berkas ini berbulan-bulan, tapi kau tak menandatanganinya!" pekik Chanyeol.

"Dan kau ingin aku menandatanganinya sekarang," ucap Baekhyun, mengarahkan jarinya pada Chanyeol. "Itu yang kau inginkan dariku?"

"For the love of God, yes!" kata Chanyeol, gusar.

Baekhyun menatapnya sejenak. Kemudian berkata, "Tidak."

Chanyeol menganga. "Apa?"

Baekhyun tertawa, "Tidak. Aku tidak akan memberikan apa yang kau inginkan." Lagi, Baekhyun berjalan pergi, meninggalkan Chanyeol berdiri di tanah berlumpur dan berbatu.

"Baekhyun!" pekiknya. Ketika Baekhyun tidak merespon dan membuka pintu, Chanyeol menjadi marah. "Kembali ke sini, kau bajingan rendahan!"

"Pergi," gumam Baekhyun.

Dengan marah, Chanyeol meninggalkan semua formalitasnya dan melompati serambi, berlari ke arah pintu. Sebelum ia mendapatinya, Baekhyun telah menguncinya. Segera setelahnya, mereka berdiri berhadapan tanpa apapun kecuali kaca transparan di antara mereka.

"Buka pintu sialan ini," perintah Chanyeol.

"Menyingkirlah dari propertiku," Baekhyun mendengus.

"Ini propertiku juga sepertimu jadi buka pintu ini sebelum kuhancurkan," ancam Chanyeol.

"Kau tidak tinggal di sini selama 7 tahun, sialan. Aku bahkan tak mampu memanggilmu pemilik tempat ini," ucap Baekhyun. Sebelum Chanyeol dapat merespon, Baekhyun menarik penutup jendela turun. Dia mencoba, setidaknya. Penutup jendela terlepas dan jatuh ketika ia tarik, menyisakan Baekhyun yang bertatapan canggung dengan si raksasa di luar.

"Kau tahu apa? Ada lebih dari satu jalan masuk ke rumah bobrok ini," kata Chanyeol.

Baekhyun berpura-pura acuh sambil menonton Chanyeol meninggalkan serambi depan. Setelah ia tak terjangkau pandangan, Baekhyun berlari cepat ke pintu belakang.

Dengan tergesa mengunci semua pintu di belakang, Baekhyun mengunci masing-masingnya.

Setelah menghela napas lega, ia bergerak perlahan ke dapur. Ia biasanya tidak minum, namun setelah melihat suaminya yang asing, ia mengambil kaleng bir emergency dari kulkas. Sebelum ia dapat meneguk apapun, ia mendapati sebuah figur di pinggir pandangannya membuat Baekhyun nyaris menjatuhkan kalengnya.

"Lain kali jika kau mencoba mengunci seseorang di luar, pastikan orang itu tidak tahu di mana kau menyimpan kunci cadangan."

Menyerah, Baekhyun menghentakkan kaleng itu. "Kau menyelundup!"

"Berhentilah menjadi ratu drama. Rumah ini atas namaku, juga."

Baekhyun terdiam sejenak. "Kau benar-benar menginginkanku menandatanganinya sebegitunya?"

"Ya!"

Baekhyun memandangnya. "Kau datang jauh-jauh hanya untuk sebuah tanda tangan. Aku bertaruh orang tuamu bahkan tak tahu kau di sini."

"Orang tuaku bukan urusanmu," kata Chanyeol.

"Mereka urusanku ketika semua orang di desa tahu kau tak mengunjungi mereka sama sekali," gertak Baekhyun.

Gusar, Chanyeol memberungut. "Apa sih yang kau inginkan dariku, Baekhyun? Yang kuinginkan hanya kau menandatangani berkas itu."

"Kau pikir aku akan membuat ini mudah bagimu untuk pergi dan melupakan semua orang di sini," Baekhyun tertawa. "Well, tidak akan."

Chanyeol menggerutu.

"Jika kau ingin berkas itu?" Baekhyun memulai. "Mulailah dengan menapakkan bokongmu di rumah orang tuamu dan katakan halo!"

Meskipun Baekhyun jauh lebih kecil dibanding Chanyeol, dia mampu mendorongnya keluar pintu.

"Kembali ketika kau telah mengunjungi semua orang yang telah kau gantungkan," gumam Baekhyun sebelum menutup pintu dan meletakkan kursi untuk menghalanginya.

Terngiang perintah Baekhyun, Chanyeol dengan kesal pergi dan mengunjungi orang tuanya. Ibunya sama seperti dulu, kekanakan dan penuh kasih sayang. Ia nyaris menangis ketika melihatnya berdiri di luar rumah. Ayahnya menonton ibunya berlari dan memeluknya.

Sembari ia berjalan ke atas beranda, ia mendapat pelukan kasar dari ayahnya sebelum ditarik ke dalam rumah oleh ibunya.

"Kau ingin sesuatu untuk dimakan, sayang?" Tanya ibunya. "Kau ingin aku memanaskan sesuatu?"

Chanyeol melihat sekelilingnya sambil menggelengkan kepala. "Tidak..."

Setelah beberapa saat, ia berkata, "Tidak ada yang berubah."

Ayahnya tertawa. "Itu tidak benar. Kemarilah," katanya, memanggil Chanyeol.

"Ibumu memberiku kursi ini," katanya. "Duduklah." Dengan enggan Chanyeol duduk, dan tiba-tiba kursi tersebut bersandar ke belakang, mengejutkannya. "Bukankah ini bagus?" kata ayahnya lagi.

"Tentu," gumamnya. "Sekarang dorong kursinya kembali. Aku ingin berdiri."

Ketika ayah Chanyeol mengatur kembali kursinya, Chanyeol mendengus dan melompat pergi.

"Sudahkah kuceritakan padamu Baekhyun sedang berpikir untuk membeli satu juga?" kata ayahnya. Ketika nama Baekhyun disinggung, Chanyeol memutar matanya.

"Jangan sebut dia," gumam Chanyeol sambil berjalan ke dapur kecil.

"Mengapa tidak?" tanya ibunya tenang. "Aku tahu prioritasmu, Chanyeol," katanya. "Baekhyun, perceraian dan kemudian pulang."

"Aku hanya menuntaskan urusan lama," balas Chanyeol.

"Baekhyun baik-baik saja," tambah ayahnya. "Dia baik. Pria itu going places."

Chanyeol mendengus mendengar mimpi itu. Baekhyun tidak akan going places. Jika benar, ia pasti sudah mencapainya bertahun-tahun lalu.

"Kenapa kau memutar matamu?" kata ibunya.

"Karna aku tak ingin berbicara tentang dia," kata Chanyeol. Kemudian, setelah beberapa saat, ia bertanya, "Mengapa kau tak pernah mengunjungiku?"

Sembari ibunya meletakkan makanan di oven, ia tersenyum. "Pintu berdayun ke dua arah, tidakkah kau pikir?"

Chanyeol terdiam. Kejam seperti kenyataan, ia tahu ibunya benar. Mereka tak pernah mengunjunginya. Hatinya penuh dengan kebencian akan desanya. Ia tak melihat poin dari mengunjungi masa lalu-mengunjungi desa tua yang sama, wajah tua yang sama, dan suami yang ditinggalkannya.

Setelah menetap semalam di tempat orang tuanya, Chanyeol bangun keesokan harinya membuat beberapa panggilan pada atasannya dan Kyungsoo sambil berjalan ke desa. Sambil ia mencoba menjelaskan situasinya, ia mendengar klakson di belakangnya. Dalam kurang dari sedetik, ia berbalik dan melontarkan cacian hanya untuk menyadari bahwa itu teman lamanya-Kris.

"Kutelpon lagi nanti, oke?" kata Chanyeol.

"Hei! Apa yang kau lakukan di sini?" Jerit Kris, tertawa sembari memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. "Nyaris tak mengenalimu!"

"Rambutku?" Chanyeol menyeringai.

"Dan pakaian kota," Kris tersenyum simpul. "Kau berubah-Kau terlihat keren."

Chanyeol tersenyum. "Kau juga..."

"Jadi apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Kris, memiringkan kepalanya.

"Uh, hanya mencoba untuk mengurus beberapa hal dengan Baekhyun," Chanyeol mengangkat bahunya.

"Apa kau balikan dengannya sekarang?" Senyumnya.

"Ah, tidak," kata Chanyeol, menggelengkan kepalanya. "Aku seebenarnya telah bertunangan."

"Bertunangan?!" Kris mendentikkan lidahnya. "Kau sangat sibuk... Jadi kau di sini untuk perceraian?"

Chanyeol mengangguk. "Proses..."

Kris memandangnya. "Baekhyun... Dia belum menandatanganinya?"

Chanyeol mendengus. "Tidak. Dia sangat sulit."

"Oh, benarkah..."

"Yeah, well, hei, aku harus pergi. Aku harus mengambil uang. Aku akan menetap di sini lebih lama dari yang kupikir," Chanyeol menghela napas.

"Baiklah! Sampai ketemu lagi," kata Kris, melambaikan tangannya.

"Later!"

"Bye."

Seketika di dalam bank, Chanyeol menemukan sesuatu yang menyenangkan. Karena mereka masih dalam status menikah, semua yang ada di akun Baekhyun juga masih miliknya. Akun Bank itu adalah akun bersama.

Ketika diberitahu total yang dimiliki Baekhyun di akunnya, Chanyeol terkejut atas jumlah uang yang dimiliki kasir toko di desa. Kemudian ia ditanya berapa banyak jumlah yang ingin diambilnya, Chanyeol dapat sebuah ide.

"Semua. Aku ingin semuanya."

Ketika Baekhyun pulang dari kerjanya, ia terkejut melihat Chanyeol di dalam rumahnya, usai memasak daging sapi panggang.

"Welcome back, Baek," kata Chanyeol sambil meletakkan makanan.

Baekhyun menatapnya dengan waspada. "Apa yang kau lakukan?"

"Tidak ada. Hanya memasak sesuatu yang enak untukmu," kata Chanyeol dengan senyum yang membutakan, yang tidak ingin dipedulikan Baekhyun. "Apa kau ingin bir, suamiku?"

Baekhyun mengernyitkan dahinya. "Keluar dari sini, Chanyeol."

"Sekarang mengapa aku akan meninggalkan suami tersayangku?" Kata Chanyeol, berpura-pura polos.

"Kau telah melakukannya sebelumnya. Ini tidak akan berarti apa-apa untuk yang kedua kalinya."

Chanyeol menahan cercaan. "Kau galak. Mungkin kau butuh bir."

"Tidak ada bir di rumah ini jadi pergilah, sialan."

Chanyeol berjalan ke kulkas. "No beer? I beg to differ."

Membuka pintu kulkas, Chanyeol menunjukkan Baekhyun isinya. Dari ujung ke ujung, tiap rak dipenuhi kaleng bir.

"What the fuck!"Pekik Baekhyun, berlari dan mendorong Chanyeol. "What the hell, Chanyeol!"

Bergerak ke belakang, Chanyeol tertawa. "Apa kau kecewa? Apa kau ingin lebih? Karna aku membeli 30 tong penuh dan meletakkannya di gudang bodohmu."

Baekhyun menatapnya dengan pisau belati. "Apa ini lelucon? Karna ini tidak lucu!"

"Kau mau tahu apa lagi yang lucu?" Kata Chanyeol, "Aku menjual beberapa furnitur dan potrait seni tua bodohmu."

Ketika Chanyeol mengucapkan itu, Baekhyun segera melihat sekelilingnya dan mendapati itu benar. Beberapa lukisannya hilang dan kursi favoritnya juga. Ketika ia kembali menatap Chanyeol, ia nampak ingin membunuh.

"Siapa yang memberimu ijin untuk menjual barang-barangku dan menyumbat rumahku dengan alkohol?!"

"Aku tidak butuh ijinmu karna aku suamimu, sayang!" Cemooh Chanyeol.

"Kau bukan suamiku!" Jerit Baekhyun.

"Kau tidak menandatangani kertas itu, jadi coba tebak, Baek?!" Pekik Chanyeol. "Kau ingin seorang suami? Kau mendapatkannya!"

Baekhyun mencengkeram kepalannya, marah. Melajukan pandangannya ke sekeliling ruangan, kemudian ia bertanya, "Uang siapa yang kau gunakan untuk membeli kotoran ini?"

Chanyeol mendengus. "Kita." Ia tertawa. "Dua kata, Baek. Akun bersama."

Dengan dada yang berat, Baekhyun berusaha untuk menenangkan dirinya. "Berapa banyak... Berapa banyak yang kau ambil?"

Chanyeol mendengus lagi untuk kesekian kalinya. "Semuanya."

Segera, Baekhyun menyerangnya, berusaha mencakar wajahnya. "What the hell! Itu uangku, bajingan!"

Mendorong Baekhyun dengan kuat, Chanyeol memandangnya cemberut. "Lagipula apa yang akan kau lakukan dengan uang sebanyak itu?!"

Baekhyun tertegun. Ia hanya terus menatap.

"Mengapa orang sepertimu memiliki uang sebanyak itu?!"

"Bukan urusanmu, Yeol," gumamnya.

"Apa kau melakukan hal-hal ilegal?" Tanya Chanyeol. "Itukah yang selama ini kau lakukan?"

Baekhyun melihat ke arah lain sambil menggigit bibirnya. Dengan napas terhela, ia mencengkeram kepalannya. "Kau ingin tanda tangan? Baik. I'll fucking sign it."

Dengan cibiran kepuasan di wajahnya, Chanyeol mengeluarkan berkas tersebut dari laci terdekat dan memegangnya untuk diambil Baekhyun. Merenggutnya dari tangan Chanyeol, Baekhyun berjalan dari dapur ke ruang tamu dan duduk di sebuah kursi. Chanyeol bersender pada dinding dan menyilangkan tangannya, mengamati Baekhyun yang mengecek berkas itu. Dia menjadi gelisah ketika Baekhyun mulai membaca. Namun ketika Baekhyun terhenti tepat sebelum menandatanganinya, Chanyeol terpaku.

"Kau tahu..." kata Baekhyun, dengan suara menanjak kencang. "Aku lupa aku punya kencan malam ini,".

"A-apa?" Chanyeol kebingungan.

"Aku akan menandatanganinya ketika aku pulang," kata Baekhyun, meletakkan penanya dan berkas tak bertanda tangan itu di atas meja kopi sambil Ia bangkit berdiri.

"Baekhyun, kau mau ke mana?!" Tanya Chanyeol, berjalan untuk menangkap Baekhyun yang telah mengeluarkan mantel dari lemarinya, bersiap pergi.

"Aku ada kencan malam ini dan aku tidak akan membuatnya menunggu," balas Baekhyun, memakai mantelnya dan beranjak ke pintu.

"Apa kau bercanda? Hanya butuh sedetik untuk menandatangani itu!" Kata Chanyeol sambil mengikutinya.

"Kau tahu, aku menunggumu kembali selama tujuh tahun, jadi menunggu sehari hanya untuk berkas itu tak akan membunuhmu," kata Baekhyun sembari meninggalkan rumahnya.

Chanyeol menghabiskan sorenya di rumah kecil milik orang tuanya sampai ia dipaksa keluar untuk "bersenang-senang".

Ia memutuskan untuk pergi ke bar-satu-satunya bar di desa itu. Tidak begitu mengejutkan untuk melihat Baekhyun di sana dengan pasangan "kencan"nya. Melangkah melewati semua orang, Chanyeol dengan instingnya membuntuti Baekhyun, dan dengan tampannya bersender pada sebuah meja.

"Well, lihatlah siapa yang dibawa setan kemari," kata Baekhyun dengan senyum sarkas.

Mengabaikannya, Chanyeol tersenyum pada gadis yang dikencani Baekhyun malam itu.

"Hai, aku Park Chanyeol," katanya. "Aku suami-"

"Segera menjadi mantan suami," Baekhyun dengan cepat memperbaikinya.

"Mantan suami sesegera sialan itu memutuskan untuk menanda tangani berkas," kata Chanyeol dengan seringai terpaksa.

"Oh, aku mengerti. Aku Tiffany-"

"Ah, sweet heart," sela Baekhyun. "Bisakah kau ambilkan minuman kita?"

Tiffany tersenyum. "Tentu!" Kemudian Ia bertanya pada Chanyeol, "Apa yang kau-"

"Tidak, tidak," kata Baekhyun. "Kita itu kau dan aku. Bukan dia dan aku."

"Ohhh, oke gotcha," katanya sambil mengedipkan mata.

Hyper dan ceroboh, Tiffany tak sengaja menabrak beberapa orang di perjalanannya menuju ke bar.

Ketika Chanyeol melihat itu, Ia mengejeknya. "Tangkapan bagus, Baekhyun."

"Lebih baik dari yang kudapat 8 tahun lalu," kata Baekhyun tanpa emosi.

Ketika Tiffany kembali, Baekhyun mendesak mereka berpindah, namun melihat ukuran bar yang tidak begitu besar, Chanyeol selalu terlihat di sekitar. Tenggukan demi tenggukan, Chanyeol akhirnya ditarik masuk ke sebuah permainan, dan Baekhyun sudah lebih dulu masuk.

Tidak seperti suaminya yang kecil, Chanyeol jauh lebih dalam keadaan sadar. Terlepas dari keadaannya, Ia mampu untuk mencapai ke dua finalis. Sebelum Ia mengetahuinya, hanya tersisa Ia dan Baekhyun, sama-sama berusaha untuk menang.

"Baiklah, baiklah," kata Kris, yang telah memutuskan untuk menghabiskan malam cutinya di bar. "Sekarang permainan ini telah ditetapkan untuk Baekhyun dan Chanyeol."

Di sekeliling mereka, orang-orang bersorak, namun Baekhyun hanya fokus pada Chanyeol.

"Jangan sempoyongan dan meleset," celanya.

"Aku tidak akan meleset," debat Chanyeol sembari Ia menyiapkan isyarat tetapnya.

Sambil Chanyeol mengetahui tempat permainan itu, Kris tertawa. "Tidakkah ini mengingatkanmu ketika kita di sini menonton Olympic Games 8 tahun lalu? Ingat? Tepat seperti ini. Kau versus Baekhyun," kata Kris, bernostalgia.

Chanyeol mengambil sebuah gelas dan menyeringai. "Bagaimana aku bisa lupa?" Ia memandang Baekhyun. "Itu adalah malam aku menidurimu di mobilku."

Dengan segera, waktu di bar itu seperti melambat dan hanya berfokus pada mereka berdua. "Ahh, yeah, Chanyeol. Di situ! Fuck yeah," ejek Chanyeol.

Genggaman baekhyun pada tongkat billiardnya semakin kencang sembari Ia merasakan semua mata tertuju pada mereka berdua. "Urusanmu telah selesai di sini, Chanyeol."

"Kenapa?" Pekik Chanyeol. "Aku hanya memberi tahu semua orang tentang malam di mana aku memutuskan untuk menikahimu. Delapan belas tahun dan sangat terbuai cinta-dan juga bodoh!"

Baekhyun menggigit bibirnya dan melihat ke arah lain. Mata semua orang seperti melubangi dirinya dan genggamannya pada tongkat billiard itu pun mulai menggelincir. Chanyeol menenggak minumnya lagi dan saat itulah ia tersandung.

Meletakkan tongkatnya, Baekhyun beranjak dan menopang Chanyeol. Menyeretnya keluar bar dengan kasar, Baekhyun meraih kantong Chanyeol dan mengambil kunci mobilnya. Membuka pintu truk tuanya, Baekhyun mendorong Chanyeol masuk.

"Berikan kuncinya padaku, Baekhyun," gumam Chanyeol. "Aku mau pulang."

"Dengan mabuk? Tidak. Kau akan membunuh dirimu sendiri." Cekcok Baekhyun. Sambil menutup pintu, Ia menghela napas ketika melihat Tiffany.

Ia kemudian berjalan ke pintu masuk bar, dan tersenyum lembut. "Nampaknya kencan ini harus terpotong," Ia meminta maaf.

"Tidak, tak mengapa! Kita bisa kencan lagi lain kali," Tiffany memandang Chanyeol yang mabuk di dalam mobil Baekhyun. "Kau harus membawanya pulang."

"Iya. Aku harus melakukannya sebelum ia mun...tah..." Baekhyun menatap ngeri Chanyeol yang menumpahkan isi perutnya di dalam mobilnya, ia memandang Tiffany. "Maaf...lagi."

"Oh, tidak masalah!" Tiffany tertawa.

"Mungkin lain kali?" Baekhyun mengangguk.

"Iya... Goodnight."

"Goodnight."

Berjalan ke arah mobilnya, Baekhyun dihadapkan dengan Chanyeol yang mabuk.

"Tanda tangani berkas itu, sialan," gumamnya. Baekhyun menghiraukannya dan Chanyeol menggoncangkan badannya ketika Baekhyun berusaha memakaikan sabuk pengamannya. "Kenapa kau tidak mau menanda tanganinya, kau brengsek? Kenapa kau-"

Letih akan sikap Chanyeol, Baekhyun berputar bertatapan dengannya dan memukul wajahnya, membuatnya tak sadarkan diri.

"Kau bicara terlalu banyak," Baekhyun berkomat-kamit sambil menghidupkan mobil itu. "Idiot."

Keesokan paginya, Chanyeol bangun ditemani rasa sakit. Hidungnya ngilu dan kepalanya berputar-putar. Di dalam keadaan linglungnya, ia menatap sekelilingnya. Sembari ia berusaha mengenali keadaan sekitarnya, ia merasakan sentuhan yang familiar; kertas.

Mengedipkan matanya, ia memfokuskan pandangannya pada benda itu. Sebuah ombak lega memandikannya namun di dalam dirinya, kenyataan dingin menampar wajahnya layaknya tinju Baekhyun semalam.

Baekhyun telah menandatangani berkas perceraian mereka. Mereka telah resmi dalam proses berpisah.

Ketika ia berjalan keluar kamar, ia sadar bahwa ia sedang berada di rumah Baekhyun, namun Baekhyun tak ada di manapun. Setelah mencuci wajahnya dengan cepat, ia melangkah keluar rumah itu dengan maksut untuk pergi meningallkannya namun ia bersimpangan dengan Baekhyun yang duduk di tanah dekat kolam dengan ibu jarinya mencuat. Perlahan, Chanyeol menghampirinya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanya Chanyeol penasaran.

Kaget, Baekhyun melihat ke belakangnya. "Oh... tidak ada."

"Itu bukan tidak ada. Aku melihat kau menahan tanganmu di udara," gumam Chanyeol.

Bangkit dari posisinya, Baekhyun menghela napas. "Aku hanya sedang stretching." Mengganti topiknya, Baekhyun berkata, "Apa kau sudah cukup kuat untuk pulang?"

Bibir Chanyeol menipis. "Iya..."

"Mungkin kau lebih baik pulang sekarang." Kata Baekhyun padanya.

Chanyeol memandanginya. "Aku harus."

Setelah Chanyeol melangkah mundur dari kolam, Baekhyun berkata, "Berkas itu... Aku sudah menandatanganinya."

"Aku tahu.. Aku melihatnya," balas Chanyeol. "Terima kasih.." Tepat ketika ia mau membalikkan badannya dan pergi, ia melihat sebersit memori yang menyakitkan.

Berbalik lagi, ia memandang Baekhyun. "Aku minta maaf-tentang semalam. Tentang semua yang kukatakan."

Bibir baekhyun melengkung dan ia mengeluarkan sebuah tawa halus. "Bagian mana?" tanyanya lembut.

"Bagian ketika aku mengejekmu pada malam itu," kata Chanyeol ragu-ragu. "Bagian di mana aku mengatakan... Aku menyesal pernah menikahimu."

Baekhyun melihatnya dengan mata yang merengus lembut. "Kau tidak perlu meminta maaf untuk bagian yang kedua. Aku sudah tahu."

"Baek—"

Menarik napas panjang, Baekhyun tersenyum padanya. "Kau harus pulang sekarang, kembali ke orang tuamu."

Chanyeol ragu untuk beranjak tapi ketika Baekhyun memandang ke arah lain, ia memaksa dirinya untuk berbalik berjalan ke mobilnya dan pulang ke rumah.

Chanyeol mengunjungi orang tuanya sekali lagi sebelum ia pergi-pikirnya. Setelah banyak membujuk, ibunya berhasil untuk membuatnya menetap lebih lama.

"Apa kau telah mengunjungi Ny. Kim? Wanita itu telah menunggumu datang," katanya.

Chanyeol memberinya tatapan lunak. "Tidak. Mungkin aku harus."

Ibunya mengangguk. "Ia yang dulu merawatmu, kau tahu. Dia bahkan memberimu dan Baekhyun perangkat Cina itu untuk pernikahan kalian."

Chanyeol terhenti. "Kita tak pernah menggunakannya."

Ibunya mencibir. "Well, tidak... Baekhyun yang menggunakannya. Ia menggunakannya berulang kali."

Chanyeol menatap ibunya. "Kapan?"

Ibunya hanya mengangkat bahu. "Di sana sini. Di beberapa acara pembukaan, ia menggunakannya untuk menghemat pengeluaran."

"Apa yang sedang kau bicarakan?" tanya Chanyeol. "Pembukaan apa?"

Menyadari bahwa anaknya tidak tahu, ia tersenyum. "Tidak begitu penting. Apakah kau akan pergi ke pameran besok malam?"

"Iya. Aku merindukan pameran itu..." Chanyeol menghela napas.

"Well, aku senang kau merindukan sesuatu dari tempat ini," ibunya sedikit bercanda.

Chanyeol merengut dan terdiam. Kemudian ia bertanya, "Apakah kau pikir aku ini orang yang kejam?"

Ibunya membalikkan badan. "Mengapa kau bertanya demikian?"

Chanyeol menghiraukan pertanyaan itu. "Aku meminta perceraian dari Baekhyun karena itulah yang kami berdua inginkan."

"Kau yakin begitu?" tanyanya.

"Iya... iya begitu," gumam Chanyeol. "Kami terpisah bertahun-tahun lalu. Tak satupun dari kami berusaha mencoba lagi."

Untuk sesaat, keduanya terdiam. Ibunya kemudian tersenyum padanya. "Aku berharap kau bersenang-senang di pameran besok. Kalau kau melihat Baekhyun, bersikap baiklah."

Ketika Chanyeol tiba di tempat itu, semuanya tepat seperti yang ada dalam ingatannya. Orang-orang berdansa sambil bernyanyi; anak-anak berlarian bermain; orang dewasa minum-minum. Ia mengenali banyak teman lamanya di meja piknik dan memutuskan untuk menghampiri mereka. Ketika Baekhyun melihatnya, ia menyeringai.

"Well, lihat siapa yang memutuskan untuk datang ke pesta orang sederhana," katanya sambil tertawa.

Salah satu dari teman-temannya, Luhan, memukul lengan Baekhyun sambil menawarkan Chanyeol sebotol bir. "Jangan hiraukan dia," katanya.

Chanyeol menurutinya namun otaknya tidak. Ia tak bisa menjaga pikirannya dari pria yang menyambutnya dengan tanpa kehangatan.

Luhan menyadari hal itu setelah beberapa menit, dan ketika Baekhyun sedang melihat ke arah lain, ia menyikut Chanyeol.

"Jangan berpikir terlalu buruk tentangnya," kata Luhan dengan senyum yang sungguh-sungguh. "Aku melihat itu di raut wajahmu. Baekhyun tak pantas mendapatkan itu."

Chanyeol merengut. "Apa maksudmu?"

Luhan terhenti. "Semua orang di desa tahu tentang perceraianmu..." Menaikkan bahunya, Luhan menatap ke arah Baekhyun di mana dia tertawa dengan beberapa teman yang melontarkan candaan sembari mendorongnya.

"Ia telah mencoba, kau tahu," kata Luhan pelan. "Ia telah mencoba sampai ke titik ini." Melihat kembali ke arah Chanyeol, Luhan menatap matanya. "Ia pergi mengejarmu. Mengemas tas punggungnya dan menuju Seoul untuk mendapatkanmu lagi."

Tertahan, degup jantung Chanyeol semakin cepat. "A-apa?"

Luhan mengangguk untuk mengkonfirmasi semua yang baru saja ia katakan. "Ia pergi setahun setelah kau meninggalkannya dan melihat kota untuk pertama kali. Itulah ketika ia sadar bahwa tak cukup sekedar permintaan maaf untuk membawamu kembali. Ia sadar ia harus menjadi seseorang yang kau banggakan, kau tahu," Luhan menghela napas. "Itulah mengapa..."

Tercekat atas kata-katanya, Chanyeol bertanya, "Apa? Itulah mengapa apa?"

Kesunyian menghampiri mereka untuk sesaat.

"Itula mengapa ia terus mengirimkan kembali berkas perceraian itu kosong. Ia belum siap untuk menyerah dan melepaskanmu."

Chanyeol merasakan tenggorokannya mengering. "Baekhyun pergi ke Seoul," gumamnya. "Aku tidak tahu."

"Well, dia benar-benar pergi," kata Luhan sambil mengangguk. Chanyeol tak sempat merespon. Ia ditabrak dari belakang dan ketika ia berbalik, ia melihat seorang teman.

"Hi, Yeol!" Sehun tertawa. "Kudengar kau kembali. Ku tahu kau pasti ke sini."

"Uh, iya. Aku tinggal untuk beberapa hari lagi," katanya.

"Aku bersyukur kau di sini sekarang." Tersenyum, Sehun berteriak pada Baekhyun. "Baek, pameran seninya dibuka sekarang!"

Mencuri dengar, Chanyeol menatap Luhan penasaran. "Pameran seni?"

Luhan mengkonfirmasi dan menunjuk ke sesuatu di belakang mereka. Chanyeol melihatnya dan mendapati sebuah bangunan desa dengan keramaian berjalan keluar masuk.

"Kau ingin melihatnya?" tanya Luhan.

Chanyeol melihat kembali ke arah Baekhyun yang sedang tertawa girang sambil berbicara dengan teman-teman lama mereka.

"Tentu. I'd love to," kata Chanyeol. Ketika mereka berjalan dari bar terbuka, Chanyeol bergumam, "Aku masih tidak percaya dia pergi."

"Itu sudah lama sekali," kata Luhan dengan lembut.

"Tapi terakhir kali ia mengirim kembali berkas itu adalah enam bulan lalu," gumam Chanyeol lagi. "Jadi itu berarti—"

"Aku tak tau apa artinya," potong Luhan dengan senyuman. "Hanya ada satu Baekhyun di dunia ini dan hanya dialah yang tahu perasaannya."

"Ya, kurasa begitu."

Saat mereka meraih karcis masuk dan mulai berjalan berkeliling, Chanyeol tak dapat menutup mulutnya. Terhadap jumlah karya seni yang tak terhingga, Chanyeol tak kuasa menahan napasnya.

Ada beberapa lukisan dari alam di sekitar desa. Ada lukisan dari anak-anak. Di satu kanvas, sebuah kolam dilukiskan, namun Chanyeol tak mampu melawan rasa kesepian yang dipancarkan dari warna-warna hampa yang digunakan. Dalam kekagumannya, Chanyeol tak sempat menyadari tatapan yang Luhan berikan padanya ketika ia beberapa kali menatapnya, seolah menunggu reaksi raksasa itu.

Semakin jauh mereka melangkah, Chanyeol mulai menyadari mood dari lukisan-lukisan itu menjadi lebih muram dan sedih.

Akhirnya, di satu ujung, ada satu lukisan yang digantung di dinding. Lukisan itu berbeda dengan yang lain untuk satu alasan simpel. Tak sama dengan semuanya, terdapat sebuah jubah menyelubunginya, menutupi lukisan itu dari mata para pengunjung. Di bawahnya terdapat sebuah logam. Melangkah maju, Chanyeol membaca tulisan yang terukir di sana.

"'Lost'" gumamnya. Melihat ke bawah judulnya, ia membaca kalimatnya. "'A treasure that I lost that I'm desparately searching to find again',"

Luhan memandanginya. "Lukisan itu ditutupi dengan mantel hitam untuk menunjukkan bahwa sang seniman masih belum menemukan apa yang ia cari."

"Bertahun-tahun lalu, ia bilang ia akan menunjukkannya ketika ia telah mendapatkannya kembali," Luhan menghela napas. "Semua orang di desa sudah tahu apa yang ada di belakang barang itu, sih."

Chanyeol merengut. "Aku tidak mengerti. Bagaimana kau bisa tahu kalau lukisan itu tak pernah diperlihatkan?"

Luhan mengangkat bahunya. "Itu sangat jelas." Merubah suasana muram, Luhan tersenyum. "Kau ingin kembali?"

Meskipun ia tak mampu untuk melepaskan pandangannya dari lukisan misteri itu, Chanyeol mengangguk. Ketika mereka kembali ke bar terbuka di luar, mereka disambut oleh ejekan teman-temannya.

"Bagaimana tadi?" tanya Sehun.

Dengan tulus, Chanyeol tersenyum padanya. "Aku benar-benar menyukainya. Semuanya bagus—um, apa aku boleh bertanya, siapa pelukisnya?"

Semua orang terhenti dan memandanginya. Chen, di belakang, tertawa tertahan. "Kenapa kau ingin tahu?"

"Aku sedang mempertimbangkan untuk membeli beberapa lukisannya," kata Chanyeol. "Akan terlihat bagus di apartemenku."

Mencela, Baekhyun mendorong Chen sehingga ia terjatuh. "Mengapa membeli lukisan seniman desa ketika kau punya yang lebih hebat di Seoul?" tanyanya.

"Mungkin karena kau tak bisa melihat hal seperti ini di kota, Baek," kata Chanyeol dengan tenang. "Ini berbeda."

Baekhyun melengkungkan bibirnya dan menengguk sedikit dari botol birnya. "Oh begitukah?" gumamnya.

"Aku tak masalah menjadi penyokongnya," kata Chanyeol.

Meletakkan botolnya, Baekhyun tertawa. "Oh, dia tak butuh penyokong."

Tiba-tiba, terdengar suara alunan musik dan orang-orang mulai beranjak ke tengah area untuk mengikuti kegiatan festival itu. Mencepak bibirnya sekali, Baekhyun menatap Sehun. "Berdansalah denganku, Sehun. Ayolah!" Katanya dengan senyum lebar.

Ditarik oleh Baekhyun, Sehun tak punya pilihan. Bukannya murung, ia malah menyeringai. "Apa kakimu lincah, Baek?"

"Kau telah mengenalku sangat lama. Kau tahu aku cukup terampil." Dengan senyuman, Baekhyun memimpin Sehun ke dalam keramaian.

Luhan duduk di atas sebuah kursi, namun sedetik kemudian, Chanyeol-setelah melihat Baekhyun mulai melepaskan dirinya dan bersantai berdansa—menawarkan tangannya pada teman lamanya.

"Bagaimana menurutmu? Mau ke sana juga?" tanya Chanyeol.

"Ah, aku bukan pedansa yang baik," kata Luhan.

"Baekhyun dulu selalu bilang aku berdansa seperti idiot," kata Chanyeol sambil tertawa. "Ayolah."

Menarik Luhan ke keramaian, mereka berdua tertawa sambil bergerak mengikuti musik. Terdapat momen yang tak terhitung di antara putaran, dan banyak orang bertukar pasangan. Untuk sebagian besar bagian, Chanyeol tetap bersama Luhan tapi ketika musik berubah ke tempo lebih pelan, Chanyeol mendapati partner barunya; Baekhyun.

Ketika pasangan lain bergerak dan bergoyang di sekitar mereka, keduanya hanya menatap satu sama lain dengan halus untuk beberapa saat.

Tak satupun dari mereka tahu apa yang harus dilakukan. Perasaan itu bukanlah canggung. Nampaknya mereka berdua sama-sama terlalu takut untuk bergerak. Kemudian, Baekhyun memiringkan kepalanya dan menawarkan tangannya.

"Bagaimana? Kau ingin berdansa, my dancing idiot?"

Tangan Chanyeol menggelepar. Mulutnya terbuka untuk merespon, namun ketika ia tak kunjung bergerak, Baekhyun kembali tersenyum. Menarik kembali tangannya, Baekhyun tersenyum sambil memasukkan tangannya ke dalam saku. "It's okay. Sorry."

"Aku—Baek, Aku—"

"Ah, aku harus pergi," kata Baekhyun dengan canggung. "Aku lupa... Aku ada urusan. Nikmatilah pameran ini," katanya dengan suara yang dibuat-buat. "I hope you have a good time."

Sebelum Chanyeol sempat mengatakan apapun, Baekhyun pergi, meninggalkannya di antara keramaian.

-TBC-

Reiew juseyoooo~

Semakin banyak review semakin cepat aku update chapter endig nya.

Semakin cepat tamat semakin cpat juga upload ff lainnya.

Xxo.