Sudah lebih dari lima tahun mereka bertemu. Berteman. Tinggal satu atap, makan bersama, tidur dengan tabiat buruk masing-masing. Bertengkar hebat dan saling berkompetisi, dengan jiwa rival yang tak pernah mampu lepas dan hilang meski sudah berbaikan. Ada rasa iri, cemburu, jijik, juga sayang tiada tara. Semua bercampur jadi satu dalam hati mereka. Bersatu dalam pikiran mereka yang berkecamuk dengan segala rasa dengki dalam lubuk hati mereka. Mereka saling menyayangi, itu sudah jelas. Tapi mereka juga sepenuhnya sadar bahwa mereka memiliki secuil rasa benci terhadap masing-masing, sebab bagaimanapun mereka tak lebih dari rival.
Siapa yang lebih tenar, dia menang.
Jimin telah debut bersama kawan-kawannya. Berdiri tenar penuh kemerlap dunia bintang bersama Yoongi, Seokjin, Hoseok, Namjoon, Taehyung, dan Jungkook. Setelah training yang begitu menguras waktu, tenaga, pikiran, dan emosi, akhirnya mereka mencapai kesuksesan usai merangkak penuh darah. Mereka telah memiliki jutaan penggemar dari tiap benua, dan Jimin tidak pernah berhenti bersyukur. Meski rasanya tak pernah cukup, sebagaimana manusia yang tak pernah puas pada apa yang telah ia miliki. Maka Jimin dan grupnya tidak pernah berhenti untuk terus berkembang.
Pernah suatu waktu, Jimin mengatakan bahwa ia tidaklah hebat. Ia tidak menarik. Ia tidak semengagumkan itu untuk dipuja. Ia berkata bahwa ia tidak setampan atau seseksi itu untuk dijadikan penyebab kericuhan diantara penggemar yang menonton konser Bangtan. Menurutnya, ini semua karena kerja keras semua anggota. Dedikasi Yoongi pada komposisi musik, keteguhan dan kepemimpinan yang luar biasa dari Namjoon, visual Taehyung yang tiada banding, bakat menari Hoseok, keterampilan serba bisa dari Jungkook, dan kasih sayang Seokjin. Jimin hanya tim hore, kebetulan berhasil membentuk tubuhnya seperti atletis dan menampilkan six pack. Suaranya tidak sebagus Jungkook atau sekuat Taehyung. Menurutnya –dan yang lain– suaranya ini cempreng, mudah pecah, dan tidak berwarna. Gerakan dancenya memang bagus tapi tidak sehebat Hoseok atau semenarik Jungkook. Apalagi jika dihadapkan dengan komposisi musik, piano, beat, lirik; bahkan Yoongi kerap marah dan menghina lagunya tanpa pandang bulu.
Pokoknya, Jimin itu bukan apa-apa kecuali wajahnya yang... bahkan diberi ranking ke tujuh.
.
My Dearest
Park Jimin.
And the rest of Bangtan members.
.
Jimin adalah sosok yang rendah hati. Begitu orang menyebutnya, berhati malaikat. Suci tanpa cela, sosok nyata dari anak manis penurut yang menjadi vitamin bagi siapa saja. Meski kadang berisik dan bertingkah konyol, semua orang menyukainya. Jimin lebih dari manusia baik, dia teramat sempurna sebagai teman, sahabat, kakak, adik, keluarga. Dia pekerja keras, lebih keras dari siapapun yang ada di grupnya. Seringkali menetap di ruang latihan, tidur bersama keringat dan udara pengap juga bayang-bayang gerakan tarian mereka yang belum jua ia kuasai. Siapapun tahu bahwa Jimin adalah sosok yang keras kepala berhati lembut. Dan memiliki Jimin dalam hidup mereka, adalah sebuah karunia yang patut mereka syukuri semasa hidup.
.
Jika ditanya siapakah Jimin, maka Seokjin akan menjawab,
"Anak babi."
Adik jarak usia tiga tahun ini memang bertubuh gempal sejak pertama kali mereka berjumpa. Kala itu Jimin nampak seperti bayi dengan pipi bulat, mata sipit, dan rambut hitam mangkoknya. Hampir saja Seokjin berteriak konyol dan menerjangnya sebab ia sungguh gemas dengan visual Jimin. Sampai sekarang, Jimin tetap menggemaskan sih. Terlebih dengan hobi mereka yang sama, yaitu doyan makan apa saja. Seokjin sangat mencintai makan, sebagaimana ia mencintai wajahnya sendiri. Ia tidak begitu peduli tentang diet untuk persiapan debutnya. Ia tidak mau repot mengurangi porsi makannya hanya untuk tampil di panggung dan menari serta menyanyi dengan porsi secuil.
Sejak dulu Seokjin memasang dua wajah. Menurut dan berlagak makan seadanya, semua menu sayur tanpa nasi dan daging sapi atau ayam goreng kesukaannya. Tak ada kue atau puding di pagi hari, atau coklat dan susu manis di waktu senggang. Namun ia akan berubah menjadi Kim Seokjin yang gila terhadap makanan di malam hari. Ketika semua adik-adiknya tidur, maka saat itulah Seokjin bereksperimen dengan semua makanan di dapur dan memanjakan perutnya. Tidak peduli apakah itu jam dua belas malam atau tiga pagi, Seokjin tetap menelan semuanya. Dengan perasaan senang.
Diantara anggota yang lain, hanya Seokjin yang memiliki kemampuan masak yang baik. Seringkali diledek adik termudanya sendiri dengan panggilan 'ibu'. Namun Seokjin hanya mendengus tertawa kala Jungkook mengejeknya demikian. Siapa juga yang tahan marah dengan wajah sepolos itu, yang jelas bukan Seokjin orangnya. Dan yang membuatnya semangat memasak tak lain sebab adik-adiknya menyukai masakannya. Mereka tulus menelan masakannya, dan tak lupa untuk selalu mengatakan betapa lezat hasil karyanya itu. Mereka selalu berdecak kagum, dan memberikan acungan jempol tatkala mengecap kesedapan masakan Seokjin. Dan ia selalu terharu.
"Jimin, kau sakit?"
Seokjin yang pertama menyadari. Dan Jimin tersentak di bangkunya. "Oh? Tidak, hyung."
"Kau hanya mengaduk makananmu," Seokjin mengerutkan dahinya. "Kau harus banyak makan sebab jadwal kita ke depan benar-benar padat. Tubuhmu bisa mudah sakit jika kekurangan asupan nutrisi, walaupun masakanku tidak sesehat itu, sih. Tapi paling tidak, makanlah dengan baik. Lagipula, jika kita sibuk aku tidak akan sering-sering masak untukmu, loh."
"Chim, makanlah yang banyak! Kau semakin kurus, tahu?"
Semua yang ada di meja makan mengiyakan pernyataan Taehyung barusan. Entah mengapa mereka baru sadar kalau Jimin semakin kurus. Tubuhnya yang paling pendek di grup, dan memang nampak berisi dibanding yang lain. Pipinya yang paling kelihatan, jelas begitu bulat. Sedangkan yang dibicarakan menautkan alisnya setengah heran, meski hati terdalamnya merasa canggung dan tak enak hati. Selalu merasa tidak enak ketika sahabatnya mengkhawatirkannya, sebab menurutnya Jimin tidaklah sebegitu penting. Dia hanya tersenyum, lembut sekali. "Aku oke, kok. Kalian saja yang berlebihan."
Untaian kata yang Jimin katakan selalu sama, dan reaksi sahabatnya selalu sama. Tersenyum penuh gurat khawatir yang menghantui setiap detik. Jimin memang mengatakan bahwa ia baik-baik saja, entah memang merasa begitu atau hanya menutupinya. Dia akan kembali mengaduk makanannya tidak minat kemudian makan pelan sekali, bukan tipikal seorang Park Jimin. kemudian menjadi yang pertama bangkit dan mencuci piringnya, lalu pergi ke ruang latihan. Jika ditanya, maka ia akan beralasan bahwa Guru Song menunggunya. Hari ini pun sama, Jimin selesai paling awal, mencuci piringnya kemudian melangkah ke kamarnya. Keluar dengan pakaian yang sudah diganti, lebih rapi dibanding sebelumnya. Semua yang masih di meja makan tahu, bahwa Jimin akan latihan menari. "Hati-hati, Jimin."
Yoongi yang memulai, meski sering diam, sebenarnya ia peduli. Yang paling peduli.
Jimin hanya tersenyum tulus dan pamit.
.
.
Kira-kira sudah empat puluh menit Jimin menyendiri.
Pada awalnya ia berlatih menari, atau sekadar bersenang-senang mencoba beberapa freestyle dengan lagu-lagu yang ia putar secara random. Tahu-tahu tubuhnya merengek lelah, ada sesuatu dalam tubuhnya berteriak bahwa ia tidak kuat. Jimin terbiasa, terlalu paham bahwa ini karena ia tidak banyak mengisi perutnya. Sedikit menyesal namun ia hanya mendengus saja. Ia masih lebih takut dengan ancaman dan perintah. Ia terlalu lemah untuk membangkang.
Maka, ketika tubuhnya sudah di ambang batas capai, ia terduduk lesu. Jatuh ke dalam kubangan keringatnya sendiri yang bercecer di lantai licin. Ia melepas sweater hitamnya dan mengipasi tubuhnya. Wajahnya berpeluh hebat dan memerah, napasnya megap-megap. Namun pikirannya terus saja mengawang tidak jelas. Ia ingin melakukan sesuatu yang berarti namun apakah itu ia tidak tahu. Seketika teringat tubuh atletis Jungkook tatkala tak sengaja ia melihat tubuh bagian atasnya usai mandi beberapa minggu lalu. Meski ia laki-laki, Jimin tidak malu-malu untuk menganga dan terpasung seperti dungu ketika menatap tubuh Jungkook. Benar-benar bagus dan nyaris sempurna. Maksudnya, astaga, bahkan Jungkook jauh lebih muda darinya dua tahun dan lihat betapa hebat tubuhnya terbentuk seperti pria usia dua puluh lima. Sejak saat itu, Jimin tidak begitu berani umbar-umbar tubuhnya jika di dorm.
Tiba-tiba Jimin juga teringat Taehyung. Teman sebayanya itu beberapa kali absen kegiatan grupnya sebab sibuk dengan dramanya. Pikirannya membayangkan bagaimana sahabat konyolnya itu berakting. Memang Jimin akui, pria itu hebat jika jadi aktor. Ia tertawa ketika sekali lagi mengingat bahwa Taehyung main dalam drama kolosal. Dan ia masih ingat wajah memerah malu Taehyung tatkala Jimin tertawa melihat poster drama yang Taehyung jalani. Taehyung dengan rambut panjang lusuh –astaga ia terlihat konyol dimatanya. Ia jadi iri, apa Jimin juga bisa berakting seperti Taehyung? Bahkan saat melihat usahanya di beberapa musik video grupnya, ia meringis malu. Ia tidak pandai akting seperti Taehyung, malah, terlihat aneh dan wajahnya jadi jelek. Menangis tidak jelas di bathtub, dan menggigil... menurutnya itu sungguh memalukan.
"Jimin?"
Ia asyik melamun sampai suara klik pintu terdengar, juga suara yang memanggilnya. Ia mendudukkan dirinya dengan tegak dan menatap kaget pada sosok tinggi yang dihormatinya. Itu Seokjin, datang dengan kaos putih lengan panjang dan celana selutut berwarna coklat tanah. Ada gurat tidak senang, sedih, dan khawatir di wajahnya. Jimin mengernyit heran sebentar, namun hanya diam sampai Seokjin duduk dihadapannya dan membuka kotak makan. Menyiapkan sumpit dan mengapit kimbap. Sorot matanya dibuat tajam dan menyodorkan makanan itu pada Jimin. "Hyung?"
"Makan."
"...Aku tidak faham,"
Seokjin mendengus kasar. Kemudian menyodorkan kimbapnya lagi, lebih memaksa. "Tidak usah berkata demikian. Pokoknya makan. Sekarang. Buka mulutmu lebar-lebar sebab aku sudah capek membuat ini semua dan aku tidak mau tahu, kau harus menghabiskan semuanya." Ia melirik kearah kotak makannya, jika tidak salah kalkulasi, ia menyiapkan dua puluh potong kimbap disana. Sudah terpampang cantik disana, Jimin benar-benar kurang ajar jika menolaknya. Ia akan mencubit tubuhnya juga menepak bokongnya. Bahkan kernyitan di dahi Jimin benar-benar membuatnya kesal setengah mati. Apa karena terlalu lama bergaul dengan Jungkook, Jimin jadi tertular menyebalkan?
"Aku... sudah makan, ingat?"
"Aku tahu." Seokjin nyaris merengek. "Sekarang makan."
Jimin hanya mengerjap pelan meski Seokjin sudah setengah marah. Jarang sekali kakak tertuanya nampak kesal terhadap sesuatu sampai mendengus kasar dan menampilkan wajah serius. Meski banyak yang membuatnya sebal biasanya ia akan menghela napas dan terlelap. Melihatnya begini membuatnya tidak enak hati, namun ada kalimat dalam benaknya yang membuatnya tetap bersikukuh untuk menolak. Jimin benar-benar ingin melahapnya untuk menghargai Seokjin, namun ada ucapan dibenaknya yang membuatnya tidak ingin lagi. Bukan perkara serius tapi cukup membuat nyalinya ciut.
"Aku tidak mau dengar soal diet atau apapun,"
Ketika Seokjin memulai, Jimin mendongak. Menatap mata Seokjin yang sedikit berkaca. Ada desah napas yang kacau disana, juga tangan yang sedikit gemetar. Jika sudah seperti ini, Jimin benar-benar jatuh. Ia sungguh tidak enak hati dengan kakaknya ini. Namun dengan berat hati, Jimin menggeleng. Menghasilkan dengusan tawa Seokjin yang terdengar menyebalkan, "Park Jimin. Berhenti hidup dalam perintah orang lain. Kau dua puluh dua, sekarang. Jangan biarkan orang lain mendiktemu seperti bocah. Kau hanya hidup sesukamu, dan apa itu salah? Kau hanya melakukan yang kau suka, dan apa itu salah? Dengar, kau ini bisa hidup karena apa?"
Hening menjawab, Jimin menunduk.
"Makan," Seokjin menjawab pertanyaannya sendiri. "Kau kehilangan abs, lalu apa itu sebuah masalah? Kau kehilangan otot mengagumkan, apa itu masalah? Kau tidak sekekar saat debut dulu, apakah itu perkara hebat? Kau tidak bisa selalu mendengarkan kata orang, Jimin. Kau layak hidup seenakmu, kau layak makan sesukamu tanpa peduli dengan gunjingan maupun tuntutan orang. Kau bisa jadi gemuk seperti dulu, kau bisa jadi anak babiku –"
"Tapi aku tidak bisa," Jimin menyela. "Aku tidak bisa."
Memang akan selalu berakhir begini. Seokjin termasuk orang yang keras kepala. Mungkin karena ia yang tertua di grup, kalimatnya banyak didengar adik-adiknya. Dan ia memang dituntut jadi dewasa atau semua akan kacau sebab Namjoon pun sebenarnya masih bocah dan suka bikin kericuhan. Dan hal yang paling menguras emosinya adalah melihat Jimin tidak makan dengan benar. Ia benar-benar benci kala Jimin kembali murung secara mendadak, kemudian mengurangi porsi makan. Jika bukan manager, pasti PD-nim. Bisa jadi fans juga sih. Tapi, karena siapapun itu, Seokjin tetap saja sebal. Jimin itu terlalu lemah dengan tuntutan. Sebagian besar atau kadang semuanya, Jimin selalu mengalah dan mengatakan iya untuk semua tuntutan yang ditujukan untuknya. Seokjin selalu gemas pada sifat menurut Jimin yang tidak berada pada tempat yang tepat. "Jimin –"
"Kau tidak merasakannya, hyung."
Jimin menggerakan bola matanya gelisah. "Tidak peduli sebanyak apapun kau makan, kau tidak mudah gemuk. Kita berbeda, hyung. Tubuhku ini mudah sekali gendut. Jika aku tidak mengatur pola makanku, aku bisa dikeluarkan dari Bangtan sebab terlalu konyol untuk menari di atas panggung."
"Bicara apa kau?!" Seokjin berteriak, Jimin berjengit kaget. "Aku tidak suka! Dikeluarkan; apa-apan ucapan konyolmu itu, siapa yang mengajarimu bicara kurang ajar begitu? Apa ada yang berani mengeluarkanmu dari grup hanya karena kau sebesar kudanil? Akan aku penggal kepalanya jika sampai benar itu terjadi."
"Hyung,"
"Makanya jangan bicara seperti tadi!" Seokjin memekik. Matanya menyalang, Jimin menciut. "Tidak ada bedanya dengan kau gendut atau menjadi kekar. Kau tetaplah Park Jimin yang memberi kehangatan, bersama Hoseok jadi vitamin yang menghidupkan suasana jadi lebih menyenangkan. Bangtan tidak akan sama jika tanpamu. Berani sekali kau mengatakan hal hina seperti tadi, aku benar-benar marah, tahu? Jangan sekali-kali kau mengatakan itu lagi!"
Jimin terdiam sebentar kemudian mengangguk. Baru tahu ia Seokjin bisa marah. "Memperbaiki pola makan bukan berarti tidak makan, bodoh. Kau tetap harus makan dengan baik, bukan seperti ini. Kau hanya menyiksa diri. Kau tidak punya cukup energi untuk beraktifitas, tubuhmu bisa kacau jika begini. Ini hanya memperburuk keadaanmu, tahu?" Seokjin berdecih sebentar. "Bahkan kau tidak mampu bertahan selama tiga puluh menit, kan?"
Mendengarnya, Jimin terpaku. Dalam diam merasa malu sebab Seokjin ternyata sudah ada disini sejak lama, memantaunya dari luar.
"Hyung,"
"Kumohon, makan." Seokjin jengah, separuh jengkel. "Aku tidak akan tanggung jawab kalau kau sakit seperti dulu. Juga hilangkan kebiasaan melamunmu itu! Kau ini bodoh atau apa? Banyak yang bisa kau kerjakan daripada bengong seperti itu! Dan kau harus makan, benar-benar harus makan atau aku akan memukul bokongmu dengan rotan."
"Hyung –"
Seokjin memantulkan refleksi khawatir dari bola matanya. "Aku khawatir. Begitu pun dengan semuanya, Yoongi, Namjoon, Hoseok, Taehyung, dan Jungkook... mereka memang diam. Tapi mereka berpikir tentangmu setiap saat. Merasa tidak adil ketika hanya kau, yang disuruh mengurangi makan. Hanya kau yang dapat ancaman untuk menurunkan berat badan dan kembali membentuk abs. Kami seratus persen khawatir, kami sedih kau diam saja. Kami berharap kau merengek dan diam-diam makan di tengah malam. Namun apa ini; kenapa kau melakukannya dengan sukarela? Apa sesempit itu pandanganmu tentang acaman itu? Apa menurutmu penilaian orang lain tentang penampilan sebegitu penting, sampai kau tidak memerhatikan dirimu yang sudah rapuh begini? Aku... kami... yang seharusnya tidak faham."
Mendengarnya Jimin hanya menunduk. Takut untuk menyangkal.
"Kau tidak memerlukan tubuh sempurna untuk menjadi bintang," Seokjin menambahkan. "Sungguh tidak. Kau disini, bernyanyi dan menari bersama kami sebagai Bangtan bukan semata-mata sebab kau tampan atau punya sixpack sempurna. Kau berjuang disini, kau bertahan disini sebab kau mampu. Kau memiliki segudang bakat yang amat sayang diabaikan. Kau ada disini bersama kami selama hampir empat tahun sebab kau berguna. Kau tidaklah hanya Park Jimin yang seksi diatas panggung. Sungguh bukan. Kau adalah Park Jimin, anggota Bangtan yang pekerja keras, baik hati, penuh senyum, ceria, suara semanis madu, dan tarian memikat. Kau tak hanya sekadar pelengkap, kau bagian inti dari sebuah kesempurnaan. Kau bukan hanya pengindah, kau ini berarti. Bukan karena wajah atau tubuhmu, tapi karena kau memiliki kualifikasi yang baik. Kau sopan, pandai bernyanyi dan menari. Kau lebih dari sekadar penghias di sebuah grup. Kau lebih dari sekadar penambah, Jimin."
Jimin menggigit bibirnya dalam-dalam.
"Jika bicara tentang pelengkap, seharusnya itu aku." Seokjin menghela napas, nyaris menertawai sebuah fakta menyakitkan yang sejak dulu menghantam kepalanya tanpa ampun. "Dibanding kau, aku lebih pantas dipanggil penghias. Aku disini hanya karena wajah dan tubuhku, bukan begitu?"
"Tidak, kau tidak begitu, hyung."
Seokjin tersenyum sedih, "Aku mengerti, Jimin-ah. Kau tahu aku tidak pandai bernyanyi sepertimu atau Jungkook yang mampu impromptu atau nada tinggi. Juga tidak bisa menari sehebat Hoseok atau paling tidak, sebagus Yoongi. Sejak awal aku hanya sebagai visual disini, aku lah yang pelengkap. Penghias. Tugasku hanya mempercantik Bangtan." Nyaris saja ia menangis mengingat perjuangannya di masa lalu yang dibalas begini menyakitkan, kalau Jimin tidak segera meremas jemarinya. Bola mata Jimin nampak begitu bening dengan airmata yang menggenang disana. Kepalanya digelengkan pelan, nyaris Seokjin memekik lucu tatkala menyadari betapa manis Jimin saat ini. "Hyung disini karena kerja kerasmu. Kau bisa menyanyi dengan baik, ingat? Awake selalu menemaniku tidur. Kau sudah membuktikan kemampuan menarimu diatas panggung. Kau jauh lebih baik ketimbang pertama kita bertemu. Hyung jauh lebih hebat dibanding Kim Seokjin yang dulu. Kau jauh berkembang dibanding pertama aku nyaris tertawa melihatmu menari. Jangan berkata begitu lagi, hyung."
"Apa kau mengerti yang kurasakan terhadapmu?"
Jimin terdiam sebentar sambil terisak kemudian mengangguk pelan. Mengundang senyuman tulus dari Seokjin kemudian pemuda itu mengelus kepala Jimin penuh sayang. Terkekeh pelan ketika ia dengan jelas mendengar Jimin menangis dan merengek 'hyung' dan 'maafkan aku' yang kacau. Ia menangkup wajah Jimin dan mengelap pipinya yang basah. Tersenyum sebentar sembari menatap mata Jimin yang sembab dan merah, masih ada beberapa bulir airmata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia mengusak rambut Jimin kemudian kembali mengapit kimbap, menyodorkannya pada Jimin. "Jadi, kau mau makan sekarang, untukku... dan untuk Bangtan?"
Sesak memenuhi relung dada Jimin. Ia ingin menangis lagi. Ia benar-benar lemah jika berurusan dengan sahabatnya, terlebih Bangtan... ia nyaris tidak bisa. Dengan menahan tangis yang mendesak ingin dikeluarkan sejak tadi, ia mengangguk dan membuka mulutnya. Seokjin memasukkan satu potong kimbap kemulutnya kemudan mengusak rambut Jimin saat Jimin mengunyahnya sembari terisak. Tertawa kecil melihat tingkahnya yang konyol. Ah, seharusnya ia membawa kamera tadi.
"Untuk Bangtan."
Waktu senggang yang dimaksud Yoongi hanyalah malam hari. Ketika matahari terbit, waktunya Bangtan jadi monyet untuk kesana kemari tampil ini itu di atas panggung, menghadiri variety show, atau sekadar interview. Maka ketika schedule mereka selesai dan bisa menginjak dorm, Yoongi tanpa seribu kata langsung membersihkan diri, mengambil keripik tortilla dan cola, kemudian kabur ke studio. Menggarap belasan lagu yang belum selesai, atau menyicil mixtape buatannya yang rencananya akan ia keluarkan. Melihat reaksi penggemar dan dunia terhadap Agust D beberapa waktu silam, motivasinya meningkat drastis. Seketika dadanya membara ingin membuat lagi, lagi, dan lagi.
"Yoongi hyung?"
Yang dipanggil tak mendengar, ia mengenakan headphone. Namun diam-diam ia merasa ada langkah kaki mendekat, memang sudah lama sekali mereka tinggal bersama hingga hanya deru napas masing-masing saja mereka tahu. Dan tak perlu waktu lama hingga Yoongi melepas headphonenya dan menoleh ragu, semakin kaget begitu mendapati Jimin berdiri di hadapannya. "Apa yang kau lakukan disini?"
"Melihatmu," Jimin bergurau, tertawa kecil melihat reaksi Yoongi. "Lagipula apa sih yang hyung lakukan malam-malam begini? Yang lain menunggumu sejak tadi. Kita akan main jenga, tadinya. Tapi intuisi Seokjin hyung memang bagus, karena ia pikir pasti kau disini dan coba lihat ini," ia berdecak malas, berkacak pinggang menatap Yoongi yang hanya mengumbar raut wajah malas dan datar seperti biasa, menghembuskan napasnya kesal. "Seingatku dua hari lalu Kakaknya Holly ini baru saja demam,"
"Aku sudah sembuh, ingat?"
Jimin duduk di seberang Yoongi, meski jaraknya tetap saja dekat. "Iya, sih. Tapi kau masih harus istirahat, kan. Siapa tahu demamnya kambuh, kan kita juga yang repot." Kemudian mengerucutkan bibirnya pelan, yang lebih tua mendengus geli. Mematikan laptopnya dan memutar bangku, memilih duduk berhadapan dengan adiknya ini. "Lagipula aku bukan anak SD lagi, Jiminie. Kau pasti tahu kalau Seokjin hyung selalu menyiapkan obat dimana pun. Aku bisa meminum satu, dan tidak ada yang lebih lebay menghadapiku kecuali kau, kurasa."
"Aku hanya khawatir, hyung."
Suaranya terdengar lirih, nyaris membuat Yoongi merasa bersalah luar biasa. Memang kelemahan terbesarnya selain keluarga dan Holly, ya Park Jimin. Adiknya ini sangat baik padanya, perhatian, dan selalu mengkhawatirkan dirinya –maksudnya, semua anggota. "Aku tahu, maafkan aku." Ujarnya kemudian, sebab tidak tahan dengan wajah memelas Jimin yang begitu lucu minta dikecup. Kadang Yoongi pun nyaris lupa diri, hingga biasanya ia langsung keluar dan berteriak nelangsa tanpa suara sebab keimutan Jimin yang bisa membunuhnya. "Aku tidak butuh itu, aku ingin hyung segera angkat kaki dari sini dan mari habiskan waktu dengan yang lain. Atau paling tidak tidur saja," Jimin melirik jam dinding disana kemudian mengerucutkan bibirnya lagi. "Sekarang sudah jam satu pagi."
"Kenapa tidak kau lakukan sendiri?" Yoongi menantang. "Kau punya daya tahan tubuh terlemah. Tidur sana, kau tahu –siapapun tahu aku sudah terbiasa seperti ini."
"Kalau begitu aku temani."
Awalnya Yoongi ingin menolak, tapi tidak tega. Tidak mau juga, sih. "Terserah saja, tapi jangan ganggu aku dengan suara tawamu. Kau tahu, aku butuh fokus supaya cepat selesai." Ingatnya pada Jimin yang menggeser bangkunya mendekat. Yoongi kembali pada laptop, mengaktifkan software music makernya, dan membuka file yang barusan ia simpan, masih tiga puluh persen. "Bisa kau ajarkan aku juga, hyung?"
Yang ditanya mengernyit. "Aku... juga ingin,"
"Taehyungie bisa," Jimin menambahkan. "Jungkookie juga bisa, bahkan Seokjin hyung bisa. Hanya aku yang tidak bisa melakukannya sendiri. Kadang aku bingung pada diriku, kapan aku bisa membuat laguku sendiri. Maksudnya, aku senang sih dengan Lie, tapi... itu membutuhkan banyak bantuan. Khususnya darimu, hyung. Yang aku inginkan bisa membuat lagu sebagus First Love, So Far Away, dan Agust D –ah, tidak. Aku tidak bisa rapp."
"Ya, makanya kau meminta Namjoon membantumu, kan."
Jimin menoleh cepat dan merengut. "Hyung masih marah? Ayolah, aku tidak serius." Kemudian menggoyang pelan lengan Yoongi sambil merengek kecil, dilihatnya Yoongi hanya melirik malas dan mendengus sebal saja. "Namjoon tidak pernah main-main dengan ucapannya, dan yah, aku tahu lagu dan lirikku memang tidak sebagus milik leader,"
"Hyung!"
Gertakan kecil dari Jimin membuat Yoongi meneguk ludahnya pahit. Meski pun ia hanya diam dan mengalihkan pandangan. Kembali fokus pada music makernya, mencoba beberapa drop dan beat hingga ia nyaris gila. Ia tidak bisa fokus jika dalam suasana tidak enak begini, ia jujur merasa bersalah pada adiknya, tapi jauh dalam lubuk hatinya ia masih kesal. Beraninya Jimin merubah lirik buatannya untuk Muster kemarin. Tanpa sepengetahuannya, dan meminta bantuan Namjoon. Inginnya, jika Jimin membutuhkan pertolongan, ia bisa datang pada Yoongi. Toh ia akan tampil bersamanya, lalu kenapa Jimin justru lari kepada Namjoon dibelakangnya? Ini penghinaan. "Maafkan aku,"
Lagi, suara lirih itu membuatnya tidak enak hati.
"Iya, aku salah. Maafkan aku," Jimin melanjutkan. "Aku tidak bermaksud. Aku hanya –hanya... yah, kau tahu aku tidak bisa. Aku benar-benar tidak mahir dalam hal seperti ini. Aku tidak bisa sebegitu mudahnya masuk dalam duniamu, dunia rapp. Meski telah hidup sebagai Bangtan selama tiga tahun lebih, aku tetap tidak bisa. Menyanyi saja aku masih kalah dengan Jungkook. Aku ini payah jika disuruh seperti itu, nyaris aku menangis kemarin. Kau terus menyemangatiku dan aku tidak bisa menyerah, namun aku tetap takut. Aku takut sekali," jemarinya bergetar pelan. "Makanya aku minta tolong Namjoon hyung, aku takut mengecewakanmu. Sebab aku tidak bisa, aku benar-benar tidak bisa."
"Jadi maksudmu, lirikku hanya jadi beban buatmu?"
Buru-buru Jimin menggeleng kuat. "Justru karena lirikmu adalah yang terbaik, aku terlalu takut. Aku takut menghancurkan tiap frasa yang sudah susah payah kau buat untukku. Biarlah aku simpan sebagai hadiah untukku seorang, lirik itu sangat indah dan dalam. Dan aku hanya khawatir bisa merusaknya dalam sekejap hanya karena kepayahanku dalam rapp." Ia mengaku, diliriknya Yoongi menatapnya dengan raut tak terbaca. Ia semakin takut sebab Yoongi tetap bungkam. "Maafkan aku, jika itu mengganggu pikiranmu. Tidak ada maksudku untuk membuangnya dan lebih memilih Namjoon hyung untuk membantuku. Aku tidak ingin kau merasa... kecewa padaku yang bisa saja gagal –"
"Bisakah kau sekali saja," Yoongi memotong. "Merasa kau itu bisa?"
"Hyung,"
Yoongi menutup laptopnya keras. Membuat Jimin berjengit kaget. "Aku lelah, dan sudah tidak tahan lagi mendengarnya, Park Jimin." ia mengurut pangkal hidungnya. "Apa kau bisa, sekali saja dalam hidupmu untuk mengatakan bahwa 'Aku bisa melakukannya dengan baik'? Aku sungguh ingin mendengarnya meski hanya satu kali seumur hidupku. Kau tahu apa masalahmu?"
"Kau terlalu lemah."
"Kau lemah, Park Jimin. Kau terus saja tenggelam dalam rasa tidak percaya diri yang membuatku nyaris gila itu. Kau tidak bisa selamanya begini, paham? Aku muak mendengarmu berkata, bahwa kau tidak bisa. Bahwa kau benar-benar tidak bisa melakukannya. Bahwa kau tidak mampu. Rasanya aku ingin mencongkel kepalamu dan mendaur ulang otak udangmu itu dengan seluruh stempel yang besar dan bertuliskan bahwa," Yoongi meraup napas panjang, menatap Jimin sedih. "Park Jimin bisa."
Yang lebih muda menatap Yoongi dalam diam. "Kau bisa, Jimin-ah. Kau mampu melakukan apapun. Permasalahannya ada pada rasa percaya dirimu yang sekecil upil. Berhenti merasa kau itu payah, kau itu rendah, kau itu tidak bisa. Kau hebat, Park Jimin. Aku memilihmu bukan asal memilih, sebab aku benar-benar ingin membuktikan, setidaknya pada dirimu sendiri bahwa kau bisa. Kau bisa melakukan semua hal yang kau inginkan." Ia mengelus rambut Jimin pelan, "Hentikan rasa takutmu itu. Tidak ada artinya sama sekali buatku, juga anggota yang lain. Apa ini, Park Jimin yang di elu-elukan the hottest idol in Summer?"
"Hyung, berhenti."
"Hentikan dulu rasa khawatir berlebihanmu itu," Yoongi menantang. "Berhenti berpikir bahwa kau tidak bisa. Semua membutuhkan waktu, dan kau tidak akan pernah dan memang tidak pernah bisa melakukannya sendiri. Taehyung dan Jungkook membuat lagunya dengan bantuan banyak pihak, kau pun turut menulis beberapa bagian untuk album, kan? Itu membuktikan bahwa, kau bisa. Kau hanya perlu waktu untuk terus belajar dan berkembang. Hentikan pikiran konyolmu bahwa kau payah. Kau bisa, Park Jimin. Dengar dan camkan baik-baik kataku ini; kau hebat dan kau bisa."
Jimin menahan mati-matian airmata di sudut matanya. Mengangguk sembari mengulum bibirnya kuat-kuat menahan isak tangis. Yoongi memang berbeda, dan itu membuat Jimin sangat sayang pada Kakaknya yang satu ini. Ia memeluk Yoongi tanpa malu, tanpa peduli meski Yoongi akan melepasnya dengan hentakan kuat atau marah. Sebab ia tahu, Yoongi tidak akan begitu pada seseorang yang memeluknya dengan sayang. "Maafkan aku, Yoongi hyung."
Disana, Yoongi tersenyum dan mengusak rambut Jimin. "Hentikan maafmu atau kutendang kau keluar."
"Kau tidak akan tega,"
Ya, tentu Yoongi tidak akan tega melakukannya. Mana tega ia meninggalkan Jimin dalam keadaan mengenaskan nyaris menangis seperti ini. Bodoh jika ia melakukannya. Ia pun melepas pelukannya dan menangkup wajah bulat Jimin, menekan dan menepuk pipinya main-main dan terkekeh tatkala Jimin merengek dengan nada yang lucu. Ah, nyaris ia lupa diri. "Kau mau membantuku?"
"Hm!" Jimin mengangguk semangat, "Apa yang bisa kulakukan?"
Yoongi menarik Jimin mendekat, menunjukkan pekerjaannya di laptop, mengarahkan Jimin untuk melakukan ini itu. Sekalian mengenalkan Jimin beberapa fitur yang belum pernah ia temukan, hingga Jimin memekik riang dan senang sekali. Atau menyuruh Jimin menekan tuts piano yang ada di sampingnya dan menciptakan nada, menyuruhnya menggumam nada dan menyanyikan liriknya, berusaha menemukan nada dan ritme yang pas. Terus seperti itu sampai mereka lupa bahwa hari sudah berganti sejak tadi. Mereka lupa bahwa ini sudah pagi. Dan Yoongi baru sadar kala ruang kerjanya terasa begitu sepi dan sunyi. Ia merelaksasikan tubuhnya, dan melotot kaget begitu tahu sekarang sudah hampir pukul enam. Ia berencana pulang dan mengajak Jimin, yang nyatanya sudah tidur lebih dulu.
Tubuhnya telungkup bersandar pada piano, pipinya tertekan tangan yang ditumpuknya. Membuat wajahnya jadi lebih bulat dan lucu. Ada sedikit liur disana, tapi Yoongi hanya tertawa. Iseng membuka ponselnya dan mengambil gambar dari berbagai sudut. Tertawa konyol melihat hasilnya, ah, Jimin memang lucu dari sudut manapun. Kemudian ia mengelus rambut Jimin dan menegakkan tubuhnya, bergumam nada yang tadi Jimin nyanyikan. Dengan enteng menggendong tubuh lemah Jimin dan pergi keluar, tidak mau tahu soal mengunci pintu studio. Toh dua jam lagi Namjoon akan kemari.
"Ah, Jimin, tentu kau bisa." Yoongi memperkuat gendongannya. "Kau bisa membuatku gila."
"Hei, Jimin."
Yang dipanggil menoleh, tersenyum kecil mendapati Hoseok berjalan pelan kearahnya. Menggeser tubuhnya sedikit ke kiri memberi ruang untuk Kakaknya turut duduk. Jimin melepas sebelah earphonennya dan menunggu Hoseok bicara. Ia sempat ditawari pocky cokelat, namun Jimin menggeleng tidak mau. Meskipun Hoseok tetap memaksa memasukkannya ke dalam mulut Jimin, sih. Ditatapnya Hoseok yang sedang fokus menonton sesuatu di ponselnya. "Apa itu?" Jimin bertanya, namun tidak perlu jawaban sebab ia sudah melihatnya juga, Hoseok menonton live performance mereka.
"Kau terlihat seksi, Chim."
"H-ha?" nyaris saja Jimin tersedak. Memang biasa kalau mereka saling memuji seksi, ganteng, atau imut sekali pun. Tapi hanya di depan kamera, bukan di dunia nyata. Apalagi dengan nada dan wajah serius Hoseok itu, bagaimana Jimin tidak merasa kaget. "Kau juga seksi, kok, hyung. Wonhae manhi manhimu luar biasa keren dan seksi. Itu killing part kita kan?"
Hoseok mendelik sebentar, Jimin mengernyitkan dahi. "Kau... bagaimana bisa seseksi ini?"
"A-apa?"
Jujur saja saat ini Jimin merasa tidak nyaman. Hoseok itu orang yang ceria dan suka tebar senyum, dan bercanda sampai rahangnya mau copot karena tertawa. Namun hari ini, tepatnya detik ini, ada Jung Hoseok di hadapannya yang menatapnya intens tanpa senyum dan mengatakan bahwa Jimin itu seksi sekali. Ia nyaris tertawa konyol, pasti Kakaknya ini salah makan. "Coba kau lakukan dihadapanku."
"Melakukan... apa?"
"Mengusak rambutmu ke belakang." Ucapnya final, dan Jimin terbengong sebentar. Sebelum akhirnya mendengus menahan tawanya. Ia menutup mulut dan wajahnya, tertawa tertahan sedangkan Hoseok merengut tidak suka, menatap Jimin dengan raut sebal. "Apa, sih? Ada yang salah dengan ucapanku memangnya? Ah, lupakan saja." Baru saja Hoseok akan pergi, namun Jimin mencekal lengannya dan menariknya kembali duduk dan tertawa lagi melihat wajah konyol Hoseok. "Jadi hyung melihat video kompilasi Park Jimin mengusak rambut kebelakang, atau...?"
Diinterogasi seperti itu membuat Hoseok diam. Kehabisan kata untuk menjawab apalagi menyangkal. Lagipula ia juga baru merasa dirinya bodoh. Entah kenapa hari ini ia sangat senang melihat Jimin, rasanya wajah itu begitu enak diperhatikan. Semua terjadi begitu saja ketika jemarinya malah menekan tombol watch pada video berjudul How Sexy Park Jimin is on Stage di Youtube. Dan itu membuatnya terus menonton video khusus Park Jimin di sana. Berkelana tanpa henti mencari video fancam Park Jimin dan malah terjerumus pada kompilasi Park Jimin dengan tabiat buruknya; mengusak rambut.
Bukan perkara hebat, sebenarnya. Sudah biasa jika Hoseok dan kawan-kawan melihat Jimin bertingkah seksi di atas panggung. Belakangan ini, Jimin senang sekali mengusak rambutnya kebelakang. Ini berawal dari tingkah keras kepalanya yang ogah memangkas rambut sejak mereka promosi I Need U. Berlanjut ke promosi Dope dimana poninya terlalu panjang hingga diberi style terbelah, Jimin sudah menunjukkan gelagat-gelagat. Puncaknya pada promosi Run lah Jimin bertingkah. Sejak itu Jimin jadi trend dengan tabiatnya. Dan menurut Hoseok itu amat sangat keren, seksi, dan cocok untuk Jimin yang memang sedang dalam fase dewasa dan seksi.
"Menurutmu itu seksi, hyung?"
Hoseok hanya mengangguk polos. "Sangat," ujarnya kelewat polos. Membawa tawa renyah dari Jimin hingga matanya tenggelam. Cantik sekali sampai Hoseok terperangah. Astaga, seksi pantas, cantik pun pantas. Ia dibuat heran oleh keberadaan Jimin ini; mengapa bisa begini sempurna. "Kalau aku yang melakukannya mungkin akan jadi aneh, ya?"
"Dulu hyung terkenal dengan sexy forehead, ingat?"
"Omong-kosong," Hoseok mendecih, kembali menggerus pocky coklatnya. "Kudengar, mereka sudah tidak menganggapku ganteng dan seksi lagi. Ah sial dengan pipi ini," kemudian menepuk-nepuk pipinya sendiri dengan gemas dan menggerutu ringan. Tanpa tahu bahwa Jimin tertawa lagi karenanya. Ia melirik Jimin yang tersenyum dan merangkul pundaknya. "Katanya sih dulu aku sangar, apalagi dengan masker duri-duri itu. Seperti aku leadernya, dan model rambutku yang seperti tertiup angin itu. Ah, semakin dibicarakan aku jadi rindu masa itu. Seingatku dulu pun aku seksi,"
Merasa tenggorokannya gatal, Jimin melanjutkan makan pocky milik Hoseok. Sudah kepalang lapar juga jadinya. Ia baru ingat belum makan siang. "Sekarang seksi, kok, hyung." Ucapnya santai, berbeda dengan Hoseok yang masih mendelik dan memukul jidatnya dengan pocky. Mendengus sebal dengan ucapan adiknya yang justru membakar amarahnya. "Kau tidak mengerti apa yang kubicarakan, ya?"
"Mereka bilang aku imut," Hoseok memulai. "Rambutku yang jadi seperti gulali macam Yoongi hyung, pipiku bertambah bulat, dan semua orang tahu aku punya lesung pipi, dan segala aegyeo buatanku. Mereka menyimpulkan aku ini menggemaskan sekarang. Cantik dan manis," ujarnya separuh mengeluh tidak suka. Ia tidak suka dibilang cantik, manis, ataupun imut. "Aku kehilangan kharismaku,"
"Hei, kenapa tiba-tiba begini?"
Hoseok melirik Jimin sebentar sebelum akhirnya menunduk. "Aku ini rapper. Sudah mengeluarkan mixtape-ku yang sangar dengan 1Verse. Aku ini satu dari Kakak tertua di grup. Aku lebih tua ketimbang Namjoon kalau kau lupa," kemudian kembali sebal pada beberapa orang yang terus salah paham posisinya dengan Namjoon. Sering salah sangka siapa yang Kakak siapa yang Adik. "Aku tidak masalah sih kalau itu membuatku terlihat awet muda. Tapi aku ini Kakak tertua ketiga, betul? Aku merasa kehilangan wibawa kalau orang terus berpikir bahwa aku manis."
"Orang juga sering mengatakan Yoongi hyung manis,"
"Tapi dia kan galak, dan semua orang tahu." Hoseok mengelak, Jimin berpikir sebentar. "Seokjin hyung sering sekali dibilang cantik, seperti wanita, lembut, dipanggil Mama." Dan Jimin tersenyum pelan kala Hoseok hanya terdiam dan merengut. Merenungi ucapan Jimin yang memang ada benarnya juga. "Tapi semua orang masih menyadari kalau dia yang tertua di Grup. Dan dengan bahunya yang lebar itu, semua orang langsung lupa dengan segala kefeminiman yang dimilikinya. Juga, trend Car Door Guy itu –aku saja menganga melihat kedewasaan Seokjin hyung."
Jimin tertawa kecil. "Tidak usah cemberut begitu. Begini pun kau juga oke, hyung. Jangan cemburu pada siapapun, apalagi pada sesama anggota. Kita ini keluarga, masa cemburu." Ujarnya dengan nada lembut tanpa maksud menggurui Kakaknya. Pasalnya Hoseok ini sebenarnya sensitif, salah bicara bisa membuat Hoseok marah hebat atau justru menangis sedih. Jimin mana tega membuatnya seperti itu. "Masih banyak yang bilang hyung itu seksi. Belahan baju untuk promosi ini kan luar biasa. Juga gerakan dancemu yang wah aku sampai berliur. Jangan lupa tentang Intro: Boys Meet Evil."
"Ah... itu –"
"Lihat aku," Jimin menepak perutnya sendiri. "Absku lumer tidak tahu kemana. Dan kau mempunyainya, hyung. Sixpack sempurna yang –hm, anggap saja kau tidak sengaja memamerkannya."
Dihadapannya Hoseok melotot, "Aku tidak sengaja!"
Melihat reaksi lucu itu, Jimin tertawa saja. "Ya, aku percaya padamu." Ucapnya penuh jenaka hingga Hoseok mendengus sebal lagi dan merengut. "Kau pun seksi, hyung. Kau keren, sejak dulu sampai sekarang kau selalu keren di mataku dan semua orang. Kau masih Jung Hoseok alias J-Hope di atas panggung dengan dance move yang luar biasa dahsyat dan seksi. Yoongi hyung, Seokjin hyung, Namjoon hyung, Taetae, dan Jungkookie juga seksi. Bangtan itu seksi, dan kalau memang fans mengatakan hyung cantik dan manis, memangnya kenapa?" Jimin menggerus pockynya. "Hyung memang cantik."
Hening sebentar sampai Hoseok mengernyitkan dahinya.
"Kau jauh lebih cantik," ujarnya kemudian. Membuat Jimin terbatuk oleh kunyahan pocky-nya sendiri. Terkejut bukan main dengan pernyataan tiba-tiba serta tatapan membunuh dari hyungnya barusan. Nyaris Jimin mati tersedak jikalau ia tidak bisa mengatur pernapasannya sendiri. Dan ia bergeming menatap Hoseok yang balas menatapnya diam dan serius. Pandangannya menelisik dan tajam, "Kau jauh lebih manis dibanding aku. Ah, tidak. Kau yang paling cantik dan manis."
"Uh... hyung?"
Dalam diam Hoseok menggerakkan jemarinya mengusak rambut halus Jimin kebelakang dengan gerakan perlahan. Metanya menatap lekat wajah Jimin yang nampak sudah memerah sedikit demi sedikit. Matanya bulat jika sedang diam, garisnya tipis namun tegas, dan tatapannya berbinar. Benar-benar cantik tatkala rambutnya bermain di tangannya begitu lucu. "Dulu kau itu pemalu. Wajahmu dulu tidak begini, aku ingat betul." Dirabanya wajah Jimin dengan pelan. "Dulu pipimu tidak sekurus ini. Berisi dan bulat, nyaris sama dengan bakpao. Putih bersih, benar-benar lucu seperti anak bayi. Tapi apa ini, apa yang membuatmu berubah begini banyak? Apa begini caranya pubertas bekerja?"
Ditatapnya lekat-lekat wajah Jimin yang kian memerah.
"Hanya dengan sentuhan make up membuatmu menjadi orang lain, Jimin-ah. Kau berubah jadi pria gagah yang tampan dan seksi di atas panggung," Hoseok berucap pelan. "Tapi aku tahu –kita semua tahu, kau tidak begitu di luar panggung dan di luar nama Bangtan. Kau sebagai Park Jimin adik kecil kita di dorm itu –adalah bayi. Kau ini bayi, Jiminie. Kau tidak bisa berlagak keren jika hanya bersama kami, kau tidak bisa bertingkah seksi jika bersama kami saja."
"Uh..."
Hoseok menekan pipi Jimin gemas. "Coba lakukan padaku. Usak rambutmu kebelakang dan bertingkah seksi didepanku, sebagaimana biasa kau melakukannya di panggung."
"Memangnya aku tidak bisa, apa?"
"Coba dulu, baru bicara." Hoseok menantang, dan Jimin merengut sebal sebentar. Sebelum akhirnya mendegus dan memundurkan tubuhnya sedikit. Memberi ruang untuknya beraksi, matanya melirik Hoseok yang melipat tangannya dan menunggu tidak sabar. Baru kali ini ia lihat Hoseok mood swing, tingkahnya berantakan dan berubah-ubah dalam sekejap. Tapi merajuk, lalu marah, lalu gemas, lalu sedih; sebenarnya Hoseok ini sedang kenapa. Tapi Jimin tidak mau repot peduli, mungkin Kakaknya ini tengah lelah dan banyak hal yang mengganggunya. Jadilah ia disulap sebagai mainannya.
Lagipula melakukan tabiatnya itu bukan perkara sulit. Ia sering melakukannya bahkan saat mereka lengkap bertujuh. Saat latihan di ruang tari, berpose seksi di depan cermin maupun kamera perekam, bukan hal yang susah. Toh, ia tidak keberatan melakukannya. Ia hanya merasa aneh pada Kakaknya yang tengah tidak stabil ini. tapi ia hanya diam tanpa berani tanya. Maka dengan mantap ia menggerakkan lengan dan jemarinya perlahan, diawali dari kepala yang ia tundukkan dan jemarinya mulai masuk merambat ke dalam rambutnya yang sedikit lepek. Dengan segala persiapan akan mengangkat wajahnya seksi dan tegas dan mengusak rambutnya maskulin. Nyaris sebelum tiba-tiba ia merasa kaget dan malu.
Park Jimin malu.
"Ah, aku tidak bisa." Kemudian Jimin menutup wajahnya dengan jemari gemuknya. Disana ia mendengar Hoseok berseru konyol dan tertawa renyah. Terdengar seperti sorak kemenangan sebab prediksinya benar, bahwa Jimin tidak bisa melakukannya dengan seksi. "Argh... hyung, berhenti tertawa."
"Aigoo, bayiku sayangku Park Jimin~"
Barulah sikap Hoseok yang seperti biasa kembali. Dengan heboh meraup wajah Jimin dengan telapak tangannya yang besar. Dimainkannya wajah gembul Jimin meski lemaknya sedikit hilang. Bahkan Hoseok sudah menggumam seperti ia sedang mengurus anak bayi. Jemarinya ia gunakan mengacak rambut Jimin main-main hingga empunya merengek lucu, mengakibatkan Hoseok yang semakin gemas dan mencubit seluruh wajah Jimin tanpa ampun, menangkup, dan menekan pipi Jimin begitu kerasnya sampai napasnya ikut sesak. Wajah Jimin semakin memerah dan lantas membuat Hoseok nyaris lupa dunia.
Ah, wajah menggemaskan itu.
"Argh –! Hentikan, Hobi hyung~!" rengekannya terdengar begitu manja. Mendorong Hoseok untuk memeluknya erat dan mengusap-usap punggung Jimin begitu cepat dan gemas. Ia benar-benar gemas dengan Park Jimin sampai rasanya ia nyaris gila. Kebaikan apa yang ia tanam hingga memetik sebuah keimutan yang begini sempurna. Ia tidak akan pernah menyesal debut bersama Bangtan. "Habisnya kau itu lucuuuu sekali! Apa kau bahkan pernah melihat refleksi wajahmu sendiri di cermin? Itu benar-benar manis, Jiminie. Aku nyaris sesak napas melihatnya. Apa jadinya kalau ada Seokjin dan Taetae disini, habis sudah wajahmu di cubit-cubit."
"Tidak usah mereka, kau pun melakukannya, hyung."
Hoseok tertawa saja. "Pasalnya kau amat menggemaskan. Jungkookie juga dulu begitu, ingat, dahulu. Sekarang lihat tingkahnya itu, menyebalkan dan sok ganteng. Astaga, aku tahu dia sudah lewat dua puluh tapi apa harus dia umbar-umbar tubuh kekarnya yang –aduh, aku gemas ingin mencongkel seluruh otot babi di lengan dan kakinya." Ucapnya menggebu, membuat Jimin terkekeh. "Tapi kau tidak. Kau dulu memang kekar, di panggung seksi. Tapi sejak dulu selalu berakhir menggemaskan di luar panggung. Kau selalu begini manis kala bersama kami. Kau benar-benar jadi cantik dan imut,"
"Hyung~"
"Lihat, rengekanmu bahkan begini," Hoseok menekan pipi Jimin lagi. "Bagaimana bisa kau menyangkal semua ini, astaga. Kau amat sangat cantik dan manis. Ah, entah sudah berapa kali aku mengatakannya hari ini tapi siapa peduli? Kau sangat manis, Park Jimin. benar-benar adikku yang manis dan imut."
Jimin kembali merengek kala Hoseok mencubit pipinya. "Aduh, hyung –hentikan, dong!"
"Tidak mau, kau bayiku." Ujar Hoseok begitu santainya dan dengan gerakan secepat kilat mencium pipi Jimin, berlanjut pada ribuan ciuman seterusnya diselingi tawa konyol. Jimin nampak lemah dan tidak bisa menghalangi Hoseok untuk berhenti, ia kepalang geli dengan sentuhan Hoseok di tubuhnya. Ia hanya mampu terpingkal hebat dan menyuruh Hoseok berhenti, meski tahu Hoseok akan sangat lama berhenti bercanda seperti ini. Tidak akan berhenti sebelum tenaganya habis, itulah Hoseok jika sudah bercanda. Jadi Jimin hanya membiarkan saja Hoseok mencium seluruh wajahnya. Tidak apa jadi sedikit basah oleh liur atau belepotan cokelat pocky. Rasanya menyenangkan dan hangat, nyaris sama dengan bagaimana Ayah dan Ibu mencium pipinya dulu. Sudah lama tidak ada yang menyentuhnya sedekat ini, dan Hoseok memang satu dari sekian kawannya yang berani melakukan skinship intim semacam ini. Jimin pasrah saja, toh, ia menikmati seluruh kecupan kupu-kupu yang lembut ini.
"Aigoo! Wajahmu memerah~"
Dan Jimin yakin ini akan lama berakhir.
.
.
.
To Be Continue
.
[edisi: sesi panjang lebar]
Noun; cuap-cuap
...
Selamat ulang tahun untuk diri saya!
Fanfiksi ini saya buat untuk November squad, sebab saya member yang ultahnya paling akhir di bulan November. Ah, akhirnya November mau selesai, ya? cepat sekali waktu berjalan. Kebetulan UTS saja sudah selesai, alhamdulillah berjalan dengan baik. Semoga hasilnya memuaskan, Aamiin.
Kenapa Jimin? karena keracunan Jimin. akhir-akhir ini sering lihat Jimin di elu-elukan member Bangtan. Membuat saja meringis, Jimin memang malaikat baik hati. Bahkan Namjoon sudah mengakui kalau Jimin itu malaikat saat 3rd Muster kemarin. Dan juga... Jimin jadi... ah, membuat saya hilang fokus. Sialan, memang pesonanya bukan main ya Park Jimin ini.
Ah, ini rencananya akan ada dua lanjutan lagi. Ini baru sampai hyung line saja, kan? Selanjutnya akan ada dongsaeng line dan keseluruhan member. Jadi harap ditunggu, ya. karena menjadikan satu cerita dalam kepala dan model ketikan saya, itu tidak mungkin. Saya punya tabiat manjang-manjangin adegan jadi kalau enam-enam member dijadiin satu one shot, mungkin langsung jadi novel, lol.
Teruntuk November squad; Kirameku-14, Yellow-ssi, Springyeol, Chevalo. Selamat ulangtahun, ya para sunbaenim. Semoga selalu diberi berkah dan diberi keselamatan dunia akhirat. Makin cinta Bangtan pokoknya, harapannya sih bisa ketemu langsung saat BTS konser di Jakarta. Lengkap satu keluarga grup kalo bisa, hahahaha.
Udah kali itu aja,
[copyright-sugantea]