BELOVED

(NARUSASU)

Masashi Kishimoto

Satu lagi cerita bertajuk Naruto dan Sasuke hadir diantara intimidasi deadline tugas yang menggunung. Jika suka silakan baca. Judul dan isi tidak saling berkaitan. Penulisan apa adanya. Kesalahan bertebaran dimana-mana.

-af-

.

.

.

"Silakan kerjakan tugas kalian sesuai dengan kelompok yang sudah ditentukan". Guru berkaca mata itu mengakhiri pelajarannya dengan beberapa tugas tambahan untuk kerja rumah. Sembari membereskan alat tulisnya, ia berkata,"Kumpulkan minggu depan dan selamat siang". Bertepatan dengan itu, bel sekolah tanda proses pembelajaran usai berbunyi nyaring. Melegakan tenggorokan yang tercekik sejak tadi.

Hampir semua siswa bergegas pulang. Ada yang meracau tentang betapa menyebalkan tugas dari sang guru. Ada pula yang bersyukur karena hari ini sekolah usai lebih awal. Katanya sih akan ada acara pernikahan salah seorang guru. Karena itu, para siswa dipulangkan lebih cepat.

Seorang siswa bernama Uchiha Sasuke tengah membenahi buku-bukunya ketika panggilan bernada cempreng menyapa telinganya. Inuzuka Kiba berteriak dari bangku paling belakang hanya untuk menarik perhatian sang Uchiha. Dengan segera Sasuke menoleh, dan mendapati wajah penuh aura bahagia dari salah satu teman kelasnya ia merasa tak perlu susah payah menebak apa yang ada dalam kepala Kiba. Semuanya tidak akan jauh dari masalah tugas yang membuat si penyuka anjing –Inuzuka maksudnya, merasa bahagia. Pasalnya murid terpintar, salah satu jajaran dari siswa jenius yang menempati posisi ketiga dalam rangking paralel itu berada satu kelompok dengannya. Berbeda dengan Sasuke yang mendesah lelah mendapat partner kerja macam Kiba yang lebih sering menghabskan waktu belajar kelompoknya untuk bermain video game.

"Aku tunggu kau di rumahku malam minggu nanti jam 7", katanya. Dia berbalik, dan baru saja hendak melangkahkan kakinya keluar kelas ketika merasa sebuah beban bergelayut di tangan kirinya. "Apa?", menyadari seorang Kiba lah yang menariknya, Sasuke bertanya datar.

Kiba nyengir lebar. Sahabatnya satu ini memang selalu kaku dalam urusan apa pun. Tapi mengingat kalau Sasuke memintanya datang ke rumah, berarti ia bisa menikmati camilan khas dari keluarga Uchiha yang selalu setia mendampingi kunjungannya. "Tidak apa-apa". Kiba melepas tautan tangannya. Gigi rungcingnya menyalip keluar kala cengiran itu masih bertengger di wajahnya. "Hanya heran saja". Kiba menyejajarkan langkah dengan Sasuke. Keluar dari ruang kelas yang beberapa jam lalu menyiksa otaknya. "Tidak biasanya kau menawarkan diri mengerjakan tugas kelompok di rumahmu".

Sasuke memalingkan muka. Menatap Kiba yang tengah memanyunkan mulutnya, membuat siulan. Pose yang aneh, pikirnya. "Kau hanya akan merecokiku kalau aku tidak membiarkanmu mengunjungi rumahku dengan alasan tugas kelompok"

Mendengar itu, pelipis Kiba berkedut. Memang sih berbagai macam jenis alasan tidak masuk akal sering Kiba gunakan dalam rangka membobol pertahanan rumah Uchiha. Tidak benar jika Kiba harus meminta izin lebih dulu pada sang pemilik rumah. Akan tetapi delikan tajam Sasuke pasti selalu berhasil membuat punggungnya dilubangi jika ia berkunjung tanpa aba-aba dari pemuda emo tersebut.

"Tapi kan, kau selalu tidak mau jika ada lebih dari dua orang berkunjung ke rumahmu..."

"Lebih dari dua?". Sasuke menghentikan langkah. Mereka sudah sampai di pintu gerbang ketika pertanyaan itu keluar dari mulutnya.

"Aku, Naruto, Sai dan Sakura". Kiba menjelaskan sambil lalu. Bersamaan dengan itu, sesuatu menabrak punggung Sasuke.

BUK.

"Ah"

Sesosok tubuh tinggi tegap dengan bagian bawah kemeja sekolahnya yang dibiarkan keluar. Berdiri menunduk untuk mengambil benda pipih berwarna hitam yang baru saja dijatuhkan. Uzumaki Naruto.

Sasuke dan Kiba menoleh bersamaan. Mendapati sejumput rambut pirang, mereka mengerenyit heran. Mungkin dalam kepala mereka berputar, apa yang tengah pemuda itu lakukan. Sedang sang objek sendiri tanpa merasa telah menarik perhatian dua sosok di hadapannya mulai menegakkan tubuh. Cengiran lebar bermakna kelegaan terlampir di wajahnya. Sepertinya bersyukur karena telepon pintar miliknya baik-baik saja. Terbukti dari "Fuuuhhh..." yang keluar dari mulutnya.

Merasa mendapat perhatian, Naruto menoleh. Mempertemukan dua netra biru miliknya dengan dua pasang netra berbeda warna. Kembali cengiran menawannya tampil setelah sempat pudar karena ketidakmengertiannya mendapat dua tatapan keheranan dari dua pemuda di depannya.

"Apa yang barusan kau lakukan, Naruto?", Kiba bertanya penasaran. Pasalnya Naruto tidak juga menghilangkan senyum penebar pesona pada mereka. Belum lagi tatapan Naruto lebih menjurus pada Sasuke. Tatapan yang sulit diartikan.

"Eh haha.. aku hanya mengambil hp-ku. Kalian tiba-tiba berhenti jadi..."

"Sejak kapan kau di belakangku?". Kalimat Naruto terputus karena sarkasme Sasuke. Ia sudah sepenuhnya berbalik berhadapan dengan Naruto. Diikuti Kiba yang kini juga memusatkan perhatiannya pada si bocah pirang itu.

"Sejak tadi. Saat kalian baru keluar dari kelas". Ini bukan Naruto yang jawab. Tapi seorang laki-laki seumuran mereka, berkulit pucat yang melebihi Sasuke, dan selalu menebar senyum kemana-mana. Salah satu teman satu kelas Sasuke yang kalau tidak salah namanya Shimura Sai.

Sai berjalan perlahan. Menghampiri mereka bertiga yang kini fokusnya telah berpindah padanya. Jemarinya bertaut mesra dengan jemari lain milik siswi bersurai merah muda. Haruno Sakura. Kekasihnya. Mereka adalah pasangan paling fenomenal abad ini. Sakura yang cantik, dan Sai si pemuda tampan penyayang dengan segudang keahlian dalam hal seni lukis. Keduanya berjalan beriringan. Tidak peduli pada kernyitan tidak suka yang ditampilkan Sasuke secara cuma-cuma.

Kiba yang mulai mengerti keadaan saat ini, mencoba menjelaskan pada Sasuke. Bocah satu itu sepertinya siap melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris seperti...

"Apa yang kalian lakukan?". Tuh kan, baru saja Kiba berpikir demikian. Namun rupanya, respon Sasuke sangat cepat. Secepat otak encernya bekerja menyelesaikan tugas-tugas matematika dan sejenisnya.

"Bukannya tadi Kiba sudah bilang kalau kita satu kelompok?". Naruto kembali bicara. Menjawab pertanyaan Sasuke dengan ringan tanpa terpengaruh tatapan mematikan yang kini tengah dilayangkan sang bungsu Uchiha.

Anggukan dua kepala lain memperkuat argumen Naruto. Sai dan Sakura membenarkan apa yang baru saja Naruto katakan sebagai jawaban dari pertanyaan Sasuke. "Kami hanya ingin tahu kapan dan dimana tepatnya tugas kelompok kita dikerjakan", sambung Sai.

"Bukannya tadi Sasuke sudah bilang kalau kita akan mengerjakan tugas dari guru Ibiki di rumahnya jam 7 besok?", Sakura menimpali kata-kata kekasihnya dengan pertanyaan yang sebenarnya juga ingin dikatakan Naruto.

"Apa salahnya memastikan. Mengingat Sasuke selalu beraura menyeramkan bila bertemu orang-orang yang dianggap asing olehnya". Kiba setuju dengan pendapat Sai kali ini. Sahabat kentalnya itu terkadang tidak bisa menolerir kehadiran sosok lain di sekitarnya. Kecuali mereka-mereka yang telah Sasuke anggap aman –dalam konteks lain adalah yang membuatnya nyaman seperti keluarganya. Kiba saja perlu waktu satu tahun pendekatan hanya untuk berteman dengan orang dingin macam Sasuke. Katakanlah mereka selalu satu sekolah semenjak TK, itu membantu juga dalam keakraban mereka sebagai sahabat saat ini.

"Baiklah sudah diputuskan kalau malam minggu besok kita mengerjakan tugas di rumah Sasuke". Suara bernada ceria itu membahana. Naruto pelakunya. Ia dengan semangat 45' menyanggupi usulan Sasuke ketika masih di kelas yang mengatakan soal mengerjakan tugas di rumahnya.

"Sejak kapan kau yang memutuskan?". Sasuke hampir berang. Alasannya, "Yang kuingat, aku hanya mengundang Kiba saja?". Ya bisa dikatakan memang awalnya Sasuke mengundang Kiba selaku teman satu kelompoknya. Ia tidak tahu kalau ada embel-embel tiga nama lain yang menjadi bagian dari tugas tersebut.

"Tapi kami kan satu kelompok denganmu?"

"Bukan berarti aku..."

"Sudahlah Suke...". Kiba menyela cepat. Sasuke kalau lagi berdebat suka panjang urusannya. Pemuda itu memiliki sifat pesaing yang tinggi dalam darahnya. Mungkin keturunan, Kiba tidak mau memikirkannya. "Apa salahnya mengundang teman satu kelas untuk belajar di rumahmu kan? Bibi pasti juga tidak keberatan?"

Sasuke menatap Kiba. Satu-satunya sahabat yang ia perbolehkan mengusik kehidupan tenangnya itu membela orang lain. Hal itu membuatnya kesal, tentu saja. Tapi memang apa yang dikatakan Kiba ada benarnya. Hanya saja, Sasuke belum terbiasa. "Terserah. Tapi kalau terlambat, jangan harap aku akan membuka pintu untukmu". Dengan perkataan itu, Sasuke berbalik pergi.

"Hahhhh...", Kiba mengehla nafas. Tidak habis pikir dengan sikap Sasuke satu ini yang belum juga berubah. "Dia marah lagi..."

"Apa selalu seperti itu?". Kiba menoleh hanya untuk mendapati Naruto menatap punggung ramping sahabatnya yang perlahan menjauh.

"Siapa?"

"Sasuke".

"Tidak juga. Mungkinmoodnya sedang buruk hari ini". Ia mengikuti arah pandang Naruto. Sasuke sudah jauh. "Oh ya, kalian tahu rumah Sasuke kan?".

Tanpa perlu jawaban pasti, Kiba sudah yakin lewat gelengan kepala tiga orang disana, bahwa mereka tidak tahu alamat rumah Sasuke. Alhasil, dia hanya terkikik geli. Pasalnya mereka menggeleng dengan ekspresi mirip bocah TK yang mendapat pertanyaan sulit dari gurunya.

"Kalau begitu, aku akan tunggu kalian di perempatan jalan Ame. Kita ke rumahnya sama-sama". Kiba beranjak setelah mengatakan itu. Namun baru beberapa langkah, ia kembali menoleh. "Satu lagi, usahakan jangan telat. Atau kita tidak akan dipersilakan masuk seperti katanya barusan".

.

.

.

Tidak dipungkiri oleh empat sosok yang kini mematung di depan rumah keluarga Uchiha itu, bahwa malam ini sedikit lebih dingin dari biasanya. Padahal siang tadi cuaca masih terik seperti sebelumnya. Kiba meraptakna jaketnya. Mulutnya masih komat-kamit tidak jelas. Lantaran tadi ia harus menunggu lebih lama dari jam ketemuan yang sudah mereka sepakati bersama.

Sekarang yang jadi permasalahan adalah, apakah si bungsu Uchiha itu mau membukakan pintunya atau tidak. Yah, meski mereka hanya telat lima menit. Tapi mengingat bagaimanawatak bocah itu, Kiba tidak yakin kalau acara belajar kelompok kali ini akan berjalan lancar. Belum lagi Sasuke sempat badmood padanya.

Suara pintu membuyarkan acara Kiba merapal kata umpatan untuk kesialannya kali ini. Seorang wanita berwajah lembut penuh aura keibuan membuka pintu dengan bunyi derit yang sangat halus. Tipe wanita yang menjunjung tinggi kesopanan. Kiba neyengir lebar. Bersyukur kalau ibu Sasuke lah yang menyambut kedatangan mereka.

"Malam bibi", salamnya.

Uchiha Mikoto terheran sekejap. Sebelum kemudian merasa familiar dengan suara dari orang yang baru saja menyapanya. Kerah jaket Kiba hampir menutupi sebagian wajahnya. Membuatnya tidak mengenali sahabat putra bungsunya itu.

"Kiba? Ada apa? Dan siapa mereka?"

"Kami mau belajar kelompok, bi. Dan mereka teman satu kelompok kami. Sasuke ada?"

"Oh". Teringat sesuatu, Mikoto membuka pintunya lebih lebar. Menyilakan empat muda-mudi itu untuk memasuki rumahnya. "Masuklah. Sasuke ada di kamarnya", katanya. Gesture menutup pintunya saja sudah sangat anggun, pikir Sakura. Satu-satunya wanita dalam kelompok mereka. "Anak itu, tidak bilang apa-apa kalau akan ada tamu!". Gerutuan Mikoto masih terdengar empat orang itu ketika mereka mulai melangkah di tangga rumah Uchiha. Nyonya Uchiha sendiri sudah menghilang ke arah dapur, mungkin hendak menyiapkan jamuan atau apa.

Kiba berjalan paling depan, menuntun teman-temannya menuju kamar Sasuke. Sesekali tubuhnya menggigil. Mungkin akibat terlalu lama diluar ketika menunggu tiga orang lainnya ke tempat janjian.

"Lukisannya bagus". Sai angkat suara. Tidak heran kalau dia mengatakan seperti itu. Lagi pula, keluarga Uchiha memang punya beberapa lukisan yang dipajang di dinding kediaman mereka. Apalagi Sai selaku orang yang memiliki minat tersendiri pada dunia seni lukis, pasti tidak mungkin tidak memberi sanjungan pada lukisan-lukisan itu. Kiba sih tidak ambil pusing. Dia sudah sering melihat lukisa-lukisan itu ketika berkunjung kemari.

"Kau bisa bertanya pada kak Itachi tentang lukisan-lukisan itu", katanya. Ia melirik sedikit sosok Sai yang berjalan paling belakang. Di sebelahnya Sakura setia menggandeng tangan pacarnya mesra. Sedikitnya Kiba merasa iri karena gebetannya adalah tipe orang cuek dan sangat pemalas, pacar Kiba lebih memilih tidur daripada dirinya. Naruto sendiri berjalan tepat di belakangnya. Beberapa kali pemuda pirang itu tersenyum seperti orang gila entah karena apa.

"Siapa dia?"

"Kakak Sasuke. Salah satu maniak lukisan sepertimu. Kalau tidak salah ia juga kuliah di jurusan itu".

"Benarkah?"

"Ya". Kiba menjawab tak minat. Tanpa sadar mereka sudah berdiri di depan pintu kamar Sasuke. Sebuah gantungan dengan tulisan UCHIHA SASUKE tertempel disana. Tambahan sebuah ukiran rumit di bawahnya mempercantik sebuah figura bertuliskan nama pemilik kamar. "Jangan kaget. Kalian akan tahu seperti apa si pendiam Uchiha sebentar lagi", katanya. Membuat tiga orang lain terheran-heran.

.

.

.

Bagi Naruto, tidak ada satu orang pun yang berhasil membuat peralihan pada dunianya. Tidak seorang pun. Selama ini, dirinyalah yang sering mengalihkan dunia orang lain. Berbekal ketampanan, tubuh atletis juga otak encernya. Mudah baginya membuat setiap orang berpaling padanya. Baik itu perempuan maupun laki-laki. Dari yang muda sampai yang tua.

Tentunya, Naruto menikmati hal itu. Menjadi populer di kalangan para siswi, membuat ia serasa di awang-awang. Belum lagi kini ia menjabat sebagai ketua tim basket di sekolahnya. Semakin membuatnya menjadi perhatian publik. Tidak seorang pun berani mengalihkan perhatian darinya.

Itu sebelum semuanya terjadi. Pertemuannya dengan seorang siswa dingin dengan mata kelam yang menyiratkan misteri di tahun keduanya di SMA. Membuat Naruto berpikir ulang akan eksistensinya. Pemuda itu memang tidak ada apa-apanya dibanding ia yang memiliki bakat alami dalam menebar pesona. Pemuda itu cenderung pasif dalam bergaul, dan tidak suka terlibat dalam hal apapun. Misterius, pikirnya. Entah apa yang menarik seorang Uzumaki Naruto sepertinya untuk selalu memerhatikan sosok itu. Tidak ada.

Pemuda pendiam yang diamatinya hanya bicara seperlunya saja. Pemuda dengan segala hal biasa layaknya seorang siswa SMA. Mungkin yang membedakan adalah tidak adanya teman akrab selain siswa bernama Inuzuka Kiba. Dan tidak tahu kenapa, tapi Naruto merasa terganggu dengan kenyataan kalau pemuda itu memiliki kedekatan khusus dengan si Inuzuka.

Uchiha Sasuke namanya. Siapa yang tidak kenal. Pemuda jenius peraih peringkat ketiga dalam rangking paralel di sekolahnya. Tentunya ia yang menempati posisi kedua, sedang yang pertama mutlak milik pemuda malas bernama Shikamaru Nara dari kelas sebelah. Selain keunggulan itu, tidak ada yang menarik dari seorang Uchiha Sasuke. Namun lagi-lagi, pikirannya berkata sebaliknya. Mata biru samudranya tidak pernah mau lepas perhatian dari sosok itu jika mereka bertemu di kelas.

Mungkin karena keacuhan sikapnya, atau hal lain yang Naruto sendiri tidak ketahui. Dan lagi, dia berbeda. Uchiha Sasuke tidak pernah menganggapnya sosok luar biasa seperti yang sebagian besar muris SMA Myouboku pikirkan tentangnya. Uchiha Sasuke satu-satunya orang yang tidak menjerit histeris ketika mereka berada di kelas yang sama. Uchiha Sasuke yang tidak berusaha menjadi teman sebangkunya sampai harus berebut dengan sesama siswa lainnya.

Kepasifan itulah yang mungkin menarik bagi Naruto. Tapi entahlah. Naruto sendiri enggan memikirkannya. Tidak mau direpotkan dengan segala macam perasaan tidak menentu ketika tanpa sengaja mereka berpapasan mata. Atau sentuhan sederhana yang pernah terjadi ketika mereka mengantri undian tempat duduk di kelas dua. Saat itu Naruto sempat berdo'a untuk bisa satu bangku dengannya. Meski do'a itu tidak pernah dikabulkan Tuhan.

Kembali pada keadaan dimana Naruto memandang Sasuke sebagai pribadi yang berbeda. Saat Naruto mendengar namanya dipanggil dalam urutan kelompok yang sama dengan Sasuke, tanpa sadar hatinya bersorak. Namun pada detik berikutnya ia heran. Mengapa ia bisa begitu senang berada satu kelompok dengan pemuda Uchiha itu? Mereka bahkan tidak akrab sama sekali. Pertanyaan seputar itu mengganjal di otaknya. Namun ia tidak mau memikirkannya lebih jauh saat bel pulang sekolang berbunyi. Menyadarkan ia dari kekhawatiran tentang betapa rasa senang sesaat itu membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.

Dan begitu Kiba memanggil nama Sasuke tepat ketika bocah itu membenahi buku-bukunya. Naruto tidak harus merasa dirinya aneh karena mengamati aktifitas keduanya. Bagaiman tanggapan Sasuke tentang cengiran Kiba. Menjadi hal menarik tersendiri untuk tidak dilewatkan. Kemudian saat sasuke dengan lantang berkata, "Aku tunggu kau di rumahku malam minggu nanti jam 7", Naruto merasa sebuah desiran aneh di tubuhnya. Sebuah desiran menyenangkan yang mengalir di setiap sel darahnya. Memicu kerja jantung dua kali lebih cepat. Juga sebuah perasaan menggelitik yang berpusat di perut ber-abdomen sempurna miliknya.

.

.

.

Kiba mengetuk pintu kamar itu sebanyak tiga kali. Setiap ketukan yang ia buat, semaksimal mungkin diusahakan untuk tidak terlalu keras maupun lirih. Sedang-sedang saja. Kiba tidak mau jika dirinya kena semprotan amarah Sasuke yang tadi merasa kesal padanya. Tabiat ini sudah Kiba ketahui sejak awal. Berpura-pura seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa malah akan membuatnya semakin menyulut emosi Sasuke.

"Kenapa kau mengetuknya terlalu pelan?". Sakura bertanya heran. Spekulasi dalam kepalanya adalah bahwa Kiba bukanlah bocah sabaran dan sembrono. Jadi tidak mungkin pemuda pemilik tato segitiga merah di pipinya itu, punya ekstra kesabaran untuk tidak menjebol pintu kamar Sasuke.

"Sebaiknya kau menurut saja apa yang kulakukan. Atau monster yang ada di dalam sana mengamuk tidak karuan". Kiba tidak menoleh. Matanya terfokus pada daun pintu yang tak kunjung terbuka. Apa Sasuke tidur ya?, pikirnya.

"Lho, kalian belum masuk?". Suara lembut yang sama dengan suara yang menyambut kedatangan mereka di pintu rumah. Uchiha Mikoto tengah membawa nampan berisi hidangan untuk tamu anaknya. Tapi ia malah bingung karena keempat tamu itu masih berdiam diri di depan kamar anaknya. "Ah! Apa Sasuke tidur lagi?"

Kiba tahu kebiasaan ini. Tepat pukul lima setiap hari libur sekolah, Sasuke pasti tidur lebih dulu. Kemudian akan bangun pada jam makan malam. Hal itu sudah dilakukannya semenjak mereka kenal di TK dulu. Kiba juga mengetahuinya tanpa sengaja, saat ia berkunjung ke rumah keluarga Uchiha untuk pertama kalinya. Kakat asang ibu, kebiasaan Sasuke itu menurun dari ayahnya yang dulu juga sering tertidur pukul lima setiap hari libur. Maklum, kepala keluarga Uchiha cukup sibuk dengan bisnis restorannya sehingga beliau selalu memanfaatkan hari libur untuk beristirahat total.

"Pegang ini Kiba, biar bibi bangunkan dulu". Kiba dengan senang hati menerima nampan tersebut. Di sebelahnya Mikoto bersiap dengan tangan terangkat, guna mengetuk pintu kamar Sasuke. Kiba merasa kewas-wasannya menghilang. Pasalnya, Sasuke tidak akan mengeluarkan protes apapun jika sang ibulah yang menggedor pintunya. "Suke? Bangun sayang... ada Kiba".

"Hnnnn"

Gumaman dari dalam kamar menandakan kalau masih ada kehidupan di sana. Mikoto berbalik. Memberi senyum lembut pada empat muda-mudi itu, kemudian berkata, "Bibi tinggal dulu ya, tunggu saja Sasuke sebentar lagi keluar kok!".

Bersamaan dengan itu, Mikoto berbalik. Hendak kembali berkutat dengan urusannya sendiri. Keempat muda-mudi itu mengiringinya dengan ucapan terimakasih secara bersamaan. Disertai bungkukan badan tiga lainnya, dan senyum lebar yang sering Mikoto dapat dari sahabat putrannya, Kiba.

Baru saja Mikoto menghilang di tikungan tangga, pintu kamar Sasuke perlahan terbuka. Menampilkan sosok Sasuke khas bangun tidur. Rambutnya acak-acakan meski masih berdiri menantang grafitasi. Mata sayunya terlihat jelas. Kaus putih yang sedikit melorot pada bagian kiri bahunya. Memperlihatkan leher jenjang berkulit putih yang menggiurkan. Belum lagi celana pendek di atas lutut. Secara keseluruhan, tampilan Sasuke berubah 180 derajat dari sosok dinginnya selama di sekolah. Sasuke saat ini terlihat err...

BRAK!

Dengan kasar Sasuke menutup kembali pintunya. Sepertinya sadar kalau penampilannya cukup memalukan untuk menjadi tontonan. Kiba yang berdiri tepat di depan pintu sampai kaget dibuatya. Tangannya hampir saja menjatuhkan nampan yang tadi dititipkan ibu Sasuke padanya.

"Hahhhh dasar", Kiba merutuk. Sasuke itu kadang suka berbuat seenaknya. Kalau posisinya tidak memegang apapun sih dia ok-ok saja. Tapi kalau saat ini, bagaimana jika nampannya jatuh? Bukan hanya dapat ceramah tentang keterlambatannya, dia juga bakal kena semprot karena mengotori pintu kamar Sasuke. "Bocah itu..."

"Aku yang salah lihat? Atau Sasuke memang sangat menggemaskan?". Sakura mengatakannya dengan kesadaran penuh akan apa yang baru saja dilihatnya. Gadis itu masih syok dengan keadaan Sasuke barusan. Tidak menyangka jika bocah dingin macam Sasuke benar-benar berbeda jika mengenakan kaus biasa.

"Lebih tepatnya mengenaskan!", Kiba bicara sangsi dengan apa yang baru saja Sakura ungkapkan. Dari mananya terlihat menggemaskan coba. "Aku sudah melihatnya berkali-kali dengan keadaan yang lebih buruk dari ini".

"Berkali-kali?". Sai bertanya dengan kernyitan. Membuat Sakura heran dengan kekasihnya sendiri. Sai tidak pernah merasa tertarik pada apapun kecuali kanvas dan cat-catnya.

"Ya, kalian bisa anggap kalau aku itu teman kecilnya. Jadi, hal seperti ini sudah sering terjadi"

"Oh... kurasa aku harus minta tolong padamu untuk memotertnya kapan-kapan", Sai kembali bersuara. Wajahnya kembali ke keadaan semula. Tersenyum seperti biasanya. "Kurasa aku membutuhkannya untuk ancaman. Mengingat bagaimana dinginnya Sasuke pada semua orang. Setidaknya mengancam Sasuke dengan foto mengenaskannya , aku bisa bertemu kakaknya", tambahnya.

Sakura hanya geleng kepala. Alasan mengapa kekasihnya minta foto Sasuke rupanya tak lepas dari kanvas dan cat-catnya. Ia ingat kalau Kiba mengatakan bahwa kakak Sasuke salah satu maniak seni sepertinya. Sakura lega karena Sai tidak tertarik pada penampilan Sasuke tadi yang menurutnya menggemaskan.

"Yeah... kalau begitu kau harus siap dengan satu galon es jika Sasuke tahu". Kiba menjawabnya bosan. Tidak mengerti jalan pikir si pemuda pucat itu. "Sasuke akan sangat mengerikan jika marah. Kalau kau mau tahu. Dan mungkin dia tidak akan puas hanya dengan beberapa lebam di wajahmu".

Obrolan mereka terhenti saat pintu kembali terbuka. Sasuke sudah sedikit lebih normal dari yang tadi. Kaus biru tua berkerah menjadi penutup tubuh atasnya. Dipadukan celana training dengan warna senada. Rambutnya sudah tertata menyerupai pantat bebek –atau ayam? Wajahnya juga lebih terlihat wajar dari pada tadi saat pintu terbuka untuk pertama kalinya.

Kiba melenggang masuk tanpa diminta. Sai dan Sakura mengikuti tepat di belakangnya, masih dengan bergandengan tangan. Sedang Naruto terdiam di muka pintu tanpa berencana melangkahkan kakinya.

Si pemilik kamar tentunya heran. Mendapati pemuda blonde itu terdiam kaku sembari menelusuri penampilannya dari atas ke bawah. Sasuke merasa risih mendapat tatapan Naruto yang sulit diartikan. Tangannya terangkat. Mencoba menarik perhatian dari sang Uzumaki. Tapi Naruto masih tergugu tanpa sedikitpun mengedipkan mata.

"Naruto?". Gagal dengan usaha pertama, Sasuke mulai menyerukan nama pemuda pirang itu. Tapi Naruto masih saja bergeming. Seolah nyawa pemuda itu tidak ada di tempat. Tiga orang lain yang ada di kamar Sasuke ikut penasaran pada apa yang terjadi dengan temannya. Mereka serempak mengerenyit heran tanpa diminta.

"Narut.."

"Cantik sekali..."

"Eh?"

.

.

.

Bersambung...?

Silakan beri komentarnya...