Author's Note : Maaf updetnya lama sekali! huhu... akhir-akhir ini memang sibuk... hehe.
Aku benar-benar tidak menyangka akan ada banyak orang yang menikmati cerita ini. Terimakasih semuanya! Aku cinta kalian semua... love love
Terimakasih kepada reviewer: aka-chan, Labrador Eksentriks, Shiro-theo21, choikim1310, 7D, Classical Violin, Shiro-theo21 (again, thank you so much), gici love sasunaru, fyodult, Diena Luna no Azalea, negisama, ppkarismac, michhazz, uzumakinamikazehaki, Libra, hanazawa kay, KJhwang, desm88, versetta, Furihata719, D, Leethakim, AySNfc3, 134.
Terimakasih juga kepada yang sudah fave dan follow cerita ini.
Enjoy~
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Pairing : SasuNaru
Rate : M
Genre : Romance, Drama.
Warning : Yaoi, Sho-ai, Typos, sex scene, Lemon kurang asem, dll.
Ai wa Kurutteiru
yukka-keehl
Chapter 6
Naruto terpaku sejenak mendengar perkataan Sasuke mengenai kakaknya itu. Ia tak menyangka kakaknya jadi anak hilang.
"Tidak mungkin!" Naruto langsung bangkit dari kasur, mengabaikan semua rasa sakit yang ia rasakan. "Aku akan mencarinya langsung!"
"Jangan tergesa-gesa dulu, Naruto." Sasuke pun ikut bangkit. "Kau sedang cedera."
"Ta-tapi kakakku-" lirih Naruto. Ia benar-benar kaget kakaknya tidak ada di kota ini. Dan memang Naruto juga sadar kalau di setiap sudut rumahnya ada satu lapis debu, itu berarti kakaknya tidak pulang ke rumah.
"Aku mengerti kekhawatiranmu, Naruto... dan mengenai audisi kakakmu itu, tidak pernah ada audisi apapun."
"Apa?! Jadi selama tiga hari ini dia kemana?" Naruto menggigit bibirnya panik, dia juga bertanya pada diri sendiri akan kemana kakaknya itu pergi.
"Aku akan menemukannya, Naruto. Para informanku yang terbaik di negara ini."
Naruto hanya mengangguk. Dia berdoa dalam hati semoga informan Sasuke dapat menemukan kakaknya dengan cepat.
"Menurutmu, kemana kakakmu pergi?"
Naruto berpikir lagi. "Kakakku tidak punya banyak tempat untuk dituju... dia tidak mungkin pula pergi kepada orangtua kami, dia pasti akan kena marah. Ada satu, sebuah desa di Hakone, tempat makam kakek kami berada. Ya! Dia pasti ada disana!"
"Begitu." Kata Sasuke. "Aku akan menghubungi infomanku untuk mencarinya disana. Dan apabila dia memang benar ada disana, besok pagi kita berangkat."
"Ya, aku tidak sabar untuk menendangnya karena dia telah membuatku khawatir."
Sasuke tertawa. "Benar, wanita itu memang gila. Dia memanfaatkanmu untuk liburan."
"Benar sekali, pasti dia sekarang sedang mandi di onsen."
"Ponselnya sengaja dimatikan agar tidak mendengar ocehanmu, mungkin."
"Haa?! Aku tidak banyak mengoceh!" protes Naruto.
"Oh ya. Aku baru tahu." Sasuke tersenyum sarkastik. Tentu saja hal itu membuat Naruto kesal.
Naruto kembali berbaring tidur menghadap dinding kamar. Sasuke menuruti Naruto dan memeluk pinggang Naruto dari balik punggung. Tidak ada protes dari Naruto. Oleh karena itu, Sasuke semakin merapat. Menyesap tengkuk Naruto, menciumnya tanpa sadar.
"Sasu..ke...?" Naruto melirik ke belakang, dia kaget dengan tindakan Sasuke yang tiba-tiba. Hari ini Sasuke telah berhasil membuat wajah Naruto merona berkali-kali.
"Ah, maafkan aku Naruto. Kau membuatku gila. Sulit sekali bagiku untuk menahan diri." Meskipun Sasuke telah meminta maaf, tapi ia kini tengah menyesapi setiap senti leher Naruto. Naruto dibuat geli, ia bergerak-gerak resah akibat tindakan Sasuke. Namun gerakannya tertahan oleh pelukan Sasuke.
Sesungguhnya Sasuke-lah yang telah membuat Naruto gila. Naruto lurus, tidak pernah ia berpikir akan jatuh cinta pada sesamanya. Tidak pernah ia berpikir bahwa jantungnya akan bergerak secepat ini ketika berada dengan sesama jenisnya. Terlebih orang itu adalah Sasuke.
Naruto mengakui Sasuke menawan, hanya sebatas itu. Layaknya perempuan-perempuan yang mengejar Sasuke karena wajahnya saja, atau hartanya saja atau mungkin keduanya. Naruto tidak tahu apa yang membuatnya jatuh cinta pada Sasuke. Sasuke tak memiliki dada sebesar Hinata, kulitnya tidak sehalus Hinata, pahanya tidak seindah Hinata. Ah-tapi mengapa Naruto merasa gila?
Naruto menyukai Hinata bukan karena parasnya apalagi tubuhnya, tapi karena hati yang dimiliki Hinata. Apakah mungkin itu pun bekerja pada Sasuke?
Tapi Sasuke itu sinting, pria mesum, tidak ada yang bagus darinya. Wajahnya saja yang juara.
Tapi, mengapa?
Mengapa...?
"Kau menungguku, Sasuke?" pertanyaan itu keluar dari mulut Naruto. Menurut Sasuke, pertanyaan itu pertanyaan yang liar.
"Ya, Naruto. Aku selalu menunggumu."
"Bagaimana jika aku berkata 'ya'?"
"Aku akan sangat bahagia."
Naruto melepas tangan Sasuke yang ada di pinggangnya, ia membalik hingga sekarang berhadapan dengan Sasuke.
"Aku ingin kau bahagia." Naruto tersenyum lembut pada Sasuke. Ini pertama kalinya Naruto melakukannya.
Dalam sedetik Sasuke kaget, tapi kemudian senyuman merekah di mulutnya. "Aku mencintaimu, Naruto." Ungkapnya. Sasuke mulai mengambil mulut Naruto dengan bibirnya. Ciuman yang berbeda sekali dengan ciuman-ciuman sebelumnya. Mungkin itu karena perasaan mereka yang sudah mulai menyatu dan merapat, mengikat satu sama lain.
Naruto senang mendengar pernyataan Sasuke. Ini kali pertamanya Sasuke berucap demikian. Dia tak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung.
Ciuman berakhir, Sasuke merangkak ke atas tubuh Naruto. Dia mengecup tangan Naruto lembut.
"Aku tahu tubuhmu penuh memar, tapi aku kesulitan menahan diri." Kata Sasuke.
"Pria mesum sepertimu pantas menerima hukuman."
"Kau boleh menghukumku, tapi tidak sekarang." Sasuke mengecup dahi Naruto, turun ke mata, lalu ke bibir, mencium lebih ganas lagi. Satu desahan keluar dari mulut Naruto, desahan keluar lagi. Naruto tak bisa mengendalikannya walaupun ia mau.
Tangan Sasuke menyusup ke dalam baju Naruto dengan sangat hati-hati takut melukai Naruto. Tapi gerakan yang pelan itu membuat Naruto tidak nyaman, rasa gelinya menjadi lama. Naruto yang tidak nyaman mendorong Sasuke, ciuman maupun lengan Sasuke ikut lepas. Sasuke protes. Tapi kemudian ia melihat Naruto membuka baju atasnya sendiri.
"Kau terlalu lama, sialan. Aku tak apa-apa!" bentak Naruto.
Sasuke menyeringai. "Oh, Naruto kau agresif sekali." Sasuke sangat senang, dia kemudian mendekatkan wajahnya pada wajah Naruto. "Mari kita tunda ucapan 'selamat tidur' kita."
Naruto tersenyum dan mengangguk pelan. Dia membuka bajunya sendiri karena gemas saja. Dia kemudian membiarkan Sasuke bertindak sesuka hati.
Sesuka hatinya, Sasuke menelusuri tubuh Naruto yang sudah polos, mengecup memar disana sini dengan hati-hati dan lembut. Tak lupa membuat kissmark di tempat yang tidak memar.
Sasuke membuat Naruto mengerang sebanyak-banyaknya ketika ia mengulum tonjolan pada dada Naruto. Naruto menggigit bibirnya, dia tidak menyangka akan membiarkan Sasuke berbuat sejauh ini.
Lalu celana Naruto diturunkan oleh Sasuke. Semua pabrik yang menempel pada Naruto terlepas, Naruto telanjang bulat. Sedangkan Sasuke baru membuka baju atasannya saja. Naruto tak dapat menahan malu, ia menutup matanya dengan kedua tangan ketika melihat wajah Sasuke yang sangat menawan dengan dada telanjang. Selain menutup mata, Naruto juga mengatupkan pahanya yang polos.
"Tak usah malu, Naruto..." bisik Sasuke. Sasuke membuka tangan Naruto, Naruto menurut dan tidak menutup matanya lagi. Tangan Sasuke beranjak pada paha Naruto, membuka lebar pahanya. Naruto pasrah lagi. Wajahnya makin merona.
Naruto tak tahu pukul berapa ini, dia tak tahu pula kebenaran keberadaan kakaknya itu. Tapi Naruto memutuskan untuk melupakannya sejenak, hanya sejenak saja sampai ini semua berakhir.
.
.
Sasuke mulai memasukinya. Naruto terpaksa harus menahan sakit luar biasa.
"Sakit... Sasuke..." lirih Naruto. Ia menggigit bibirnya lagi meskipun sudah dilarang Sasuke sebelumnya.
"Tahanlah sebentar, Naruto." Pinta Sasuke. "Jangan gigit bibirmu." Sasuke pun melahap bibir Naruto agar Naruto tak lagi menggigit bibirnya. Tangannya meremas milik Naruto yang menegang membuat Naruto melenguh. Sedikit melupakan sakit yang menerobos dinding berkerutnya.
Sasuke melepaskan pagutan mereka, ia fokus pada miliknya yang sudah hampir setengah masuk. Tangan Naruto meremas seprai kasurnya. Sebuah gerakan kecil ia lakukan karena kesakitan juga nikmat akibat Sasuke menyentuh miliknya.
"Kau besar sekali... Sas..." kata Naruto. "Apa sudah masuk semua?"
"Sedikit lagi, Naruto. Bersabarlah."
Kemudian sebuah lesakan cepat Naruto rasakan hingga membuat ia memekik keras. Naruto memelototi Sasuke dengan marah.
"Kau-"
"Maafkan aku, Naruto. Kau sempit sekali, kalo tidak ada dorongan kuat, aku tak akan bisa masuk."
Naruto menghela nafas berat. Sekarang secara penuh milik Sasuke ada di dalam dirinya. Mengingat itu Naruto jadi semakin merona.
"Berada di dalammu hangat sekali, Naruto." Ujar Sasuke. Sasuke mulai mengecup leher Naruto, menghisap dan mengigitnya.
Naruto lagi-lagi mendesah.
"Boleh aku bergerak?" Sasuke berbisik pelan. Naruto menjawab dengan anggukan pelan.
Ranjang berderit. Rasa sakit lenyap menjadi rasa nikmat membuat Naruto melambung tinggi.
Semua suara Naruto, dari mulai lenguhannya, erangannya, desahannya menjadi musik indah bagi Sasuke.
Naruto tidak merasakan sakit pada kakinya yang terkilir, mungkin obat penahan sakit sudah bekerja. Atau mungkin rasanya tergantikan oleh rasa nikmat yang ia rasakan.
Sasuke selalu menyerang titik yang sama sebelum masuk lebih dalam, titik yang membuat Naruto mengerang tak karuan. Sampai Naruto capek dan muak mendengar rintihannya sendiri.
Naruto mulai memeluk leher Sasuke. Punggungnya terangkat, membuat mereka semakin merapat. Kemudian satu hentakan membuat mereka menarik nafas cepat.
Ronde pertama telah selesai. Keduanya terengah, muka merah yang seksi menghiasi.
"Cairanmu di dalamku, aku bisa sakit perut, tahu!" protes Naruto.
Sasuke tertawa. Dia menyibak poni Naruto ke belakang. "Maafkan aku, Naruto. Kau lucu sekali, aku tak tahan. Aku jadi ingin meninggalkan benihku didalammu."
Naruto tak menjawab. Dia hanya menenggelamkan wajahnya pada dada Sasuke. Posisi mereka saat ini duduk, Naruto menduduki Sasuke dengan benda Sasuke masih ada di dalamnya.
"Jadi bagaimana, apa kita berpacaran sekarang?" tanya Sasuke.
"Ya."
"Jadi kau milikku sekarang?"
"Ya."
"Suatu saat nanti kau mau menikah denganku?"
"Er... ya." Yang terakhir dijawab ragu oleh Naruto. "Apakah bisa?"
"Bisa." Jawab Sasuke mantap. "Kita tinggal pindah ke amerika atau kemanapun yang mengijinkan kita untuk menikah."
"Aku tak punya banyak uang untuk itu."
"Aku punya banyak uang untuk itu."
Naruto mengangkat wajahnya menghadap Sasuke dengan menautkan alisnya. "Itu uang orangtuamu, aku yakin."
"Aku akan mencurinya, jika mereka tak mau memberiku uang."
Naruto tergelak. "Kau sinting." Saat Naruto tertawa, dia sadar kalau milik Sasuke masih tertanam di dalam dirinya. "Er... bisa kau lepaskan ini?"
"Jika aku lepaskan, cairannya akan meluap keluar."
"Er... aku tak mau mengotori kasurku sendiri."
"Kalau begitu aku akan mengangkatmu ke kamar mandi dalam posisi ini."
"Ha?! Yang benar saja!"
"Kenapa tidak?" Dengan berkata seperti itu, Sasuke melakukannya. Dia mengangkat Naruto menuju ke kamar mandi. "Ah, tapi aku masih ingin mengisimu dengan cairanku."
Ronde kedua-pun dilakukan di kamar mandi.
-0-0-0-0-0-
Naruto kecil berlari-lari. Berusaha menerbangkan layangannya yang sudah ia hias sendiri secara kreatif. Saking kreatifnya layangan tak kunjung terbang, berat sebelah hingga oleng ke kanan dan tersangkut di pohon.
Naruto marah, kesal sekali karena layangan yang baru ia hias sekarang tergantung di pohon, hampir sobek. Ia memutuskan untuk menaikinya, Naruto kecil tak ingat bagaimana ia menaiki pohon. Yang pasti sekarang ia sudah berhasil berada di dahan pohon.
"Naruto! Apa yang kau lakukan?!" Naruko kecil berteriak. Ia terengah-engah habis berlari cepat mencari adiknya yang nakal yang sekarang sedang berada di dahan pohon.
"Aku cuman mau mengambil layanganku, kak." Jawab Naruto. Ia kemudian melangkahkan kakinya untuk mencapai layangan.
"Berhenti! Jangan bergerak!" Teriak Naruko lagi. "Lupakan layangan jelekmu itu, kau bisa jatuh."
"Layanganku tidak jelek!" Kesal Naruto, ia tanpa sadar telah mengguncang pohon, kakinya terpeleset.
"NARUUTOOO!" Naruko refleks berlari ke arah dimana adiknya terjatuh, ia menjulurkan tangannya berharap dapat menangkap Naruto. Tapi tangannya yang kecil tentu saja tak mampu menahan jatuh tubuh Naruto akibat gravitasi dan berat badan.
Naruko ikut terjatuh, tangannya tertindih badan Naruto. Naruto membeku dalam sedetik, lalu menangis kencang. Sedangkan Naruko hanya meringis sakit karena tangannya tertindih Naruto.
"Jangan menangis, Naruto..." Naruko mencoba menenangkan Naruto. Ia membantu Naruto untuk berdiri, meskipun dia sendiri kesulitan berdiri.
Kedua lutut Naruto berdarah, telapak tangannya sedikit tergesek.
Naruko menghela nafas, ia kemudian menggendong Naruto di punggungnya.
"Sakit ya, Naruto?" tanya Naruko. Naruko hanya mendapat tangisan keras dari Naruto.
Naruko pun menggendong Naruto menuju rumah dengan terseok, karena lutut Naruko pun berdarah, sama-sama tergesek tanah. Tapi selama itu kakaknya malah bernyanyi meskipun dengan sangat jeleknya untuk membuat Naruto melupakan sakit.
.
Naruto terbangun dari mimpi masa kecilnya, matanya berair.
"Eh? Kenapa aku menangis?" bisik Naruto kepada dirinya sendiri. Baru kali ini ia bermimpi tentang kakaknya. Rasa pedih menyerang hatinya, selama ini ia telah lupa bagaimana kakaknya itu selalu menahan tangis, berusaha terlihat ceria kapanpun.
Setelah menghapus air mata, ia melihat ke samping tempat tidurnya, ada Sasuke disana, masih terlelap.
Ponsel Sasuke berdering. Bukan alarm pagi, melainkan sebuah panggilan. Namun Sasuke tak bergeming, masih tidur nyenyak. Naruto menguncang Sasuke keras tanpa belas kasihan. Itu karena Naruto merasa panggilannya pasti penting sekali.
"Bangun, Sasuke!" Teriaknya tepat di telinga kanan Sasuke. Sasuke kaget, telinganya berdengung. Dia pun membuka matanya.
"Kau- begini caramu membangunkan orang yang baru saja bercinta denganmu, hm?"
Mengabaikan Sasuke, Naruto langsung mengambil ponsel Sasuke dan memberikannya kepada si pemilik ponsel. "Aku rasa panggilannya penting."
Sasuke mengambil ponsel itu dengan sedikit kesal. Harusnya acara paginya dia dan Naruto dilalui dengan romantis, misalnya kecupan kecil atau pelukan. Sasuke menghela nafasnya dengan berat, ia pun menggeser logo hijau untuk mengangkat telepon.
"Ya...?" tanyanya malas. Dalam beberapa detik wajahnya berubah terkejut setelah mendengar jawaban dari informannya.
Naruto melihatnya dengan cemas. Ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, dan ingin segera menanyakannya pada Sasuke.
"Aku akan kesana sekarang, tolong urus semuanya, panggil doktor terbaik!" Sasuke berdiri bersiap untuk pergi. Memutus sambungan telepon, ia menoleh kepada Naruto. "Kakakmu dalam keadaan kritis."
Naruto membeku. Lalu bibirnya yang kelu memilih untuk bertanya kembali. "Ha?"
Sasuke mengambil jaket milik Naruto, kemudian memakaikan jaket itu kepada Naruto. "Mari kita pergi."
Naruto masih tidak percaya dengan pendengarannya. Dia pun berdiri, namun hendak terjatuh, untungnya Sasuke ada untuk menahannya. Bukan hanya karena kakinya yang terkilir, tapi juga bokongnya yang sakit membuat dia sulit berdiri.
Semua ini salah Sasuke. Naruto selalu berpikir demikian meskipun ia sendiri tahu hal tersebut tidak semuanya benar. Naruto hanya ingin menyalahkan seseorang, dia sudah menyalahkan dirinya sendiri namun tak cukup.
Ya, seharusnya ia tidak menerima ide gila kakaknya itu.
Seharusnya ia sekolah saja seperti biasa. Kalau bisa tak usah kenal Sasuke.
Dengan begitu kakaknya tak akan pergi jauh hingga dia ada dalam keadaan kritis yang tak Naruto ketahui penyebabnya.
Sayangnya waktu tak pernah bisa diulang. Hanya bisa disesali setelah berlalu.
Mereka pun menuju mobil milik Sasuke. Naruto memakai baju tidur dan jaket, sedangkan Sasuke memakai baju yang ia pakai kemarin. Sasuke mengisi bensin di pom terdekat, lalu melaju kencang tak peduli batas maksimal kecepatan.
Selama perjalanan Naruto hanya bisa berdoa untuk keselamatan kakaknya (dan dirinya sendiri karena Sasuke ngebut sekali). Dalam waktu lima puluh menit mereka sampai. Naruto dan Sasuke segera memasuki ruang VIP rumah sakit. Di depan pintu ada tiga orang berjas yang akhirnya Naruto ketahui sebagai informan milik Sasuke. Naruto pun memasuki ruangan diikuti Sasuke dan satu informan. Dia melihat kakaknya sedang menutup mata, wajahnya pucat sekali. Selang-selang memasuki hidung dan tangannya. Ada alat monitor jantung, tekanan darah, nadi, juga saturasi oksigen disampingnya.
Naruto langsung mendekati Naruko dengan terseok karena kakinya masih sakit, lalu memandang wajah Naruko lekat.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Sasuke kepada salah satu informan tersebut.
"Membaik." Jawabnya. "Tapi butuh waktu tiga sampai empat hari untuk dia bisa membuka mata."
"Mengapa kakakku bisa seperti ini?" tanya Naruto.
Sang informan tak langsung menjawab. Ia memberi jeda sedikit. "Dia... hendak bunuh diri."
Naruto melotot tak percaya. "Kau pasti bohong."
"Dia makan banyak sekali obat, berniat bunuh diri dengan overdosis."
"Bohong..." Naruto masih tidak percaya. Dia tak menyangka kakaknya berniat bunuh diri.
Sang informan kemudian mengodok sakunya, ia mengeluarkan sebuah kertas. "Ini surat untukmu, sepertinya dia tinggalkan sebelum berniat bunuh diri."
Naruto mendengus kecil saat menerima surat itu. "Aku tidak akan membacanya sekarang, akan kubacakan keras-keras nanti saat dia membuka mata, biar tahu rasa."
Mendengar itu, Sasuke sedikit tertawa. "Kau tahu persis cara membuat kakakmu malu."
Naruto mengangguk. "Kakakku harus diberi pelajaran." Naruto pun duduk di sofa dengan dibantu Sasuke. Ruang VIP memang lengkap sekali, tidak ada fasilitas yang terlewatkan.
"Tapi sebaiknya kau baca suratnya terlebih dahulu, Naruto. Sepertinya ada hal yang ingin kakakmu sampaikan bukan hanya ucapan selamat tinggal." Saran Sasuke.
"Kau benar." Naruto pun hendak membuka suratnya tapi terhenti. "Aku lupa, aku belum bilang orang tuaku mengenai keadaan Naruko."
"Aku sudah memberitahu orang tuamu, mereka akan datang sebentar lagi."
"Wah, kau cekatan sekali." Puji Naruto.
"Tentu, aku tak mau mengecewakan pacarku." Kata Sasuke dengan tatapan menggoda kepada Naruto.
"Aissh..." Naruto mengalihkan pandangannya dari Sasuke kepada surat yang ia pegang.
Untuk adikku sayang,
Mungkin saat membaca surat ini, aku sudah tiada.
Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku melakukannya.
Ah, aku hanya capek saja.
Kau mungkin sudah dikerjai atau disakiti selama menjadi diriku. Maafkan aku soal itu.
Aku tidak menyelesaikan masalah itu karena aku takut mencari tahu siapa orangnya.
Aku hanya pengecut. Sekarang pun yang bisa aku lakukan hanya melarikan diri.
Ah, sampaikan salamku juga kepada Sasuke. Meskipun dia pasti kesal sekali padaku, aku menikmati pacaranku bersamanya selama satu minggu.
Sayang, dia tidak pernah mencintaiku.
Padahal aku begitu mencintainya sampai aku mencari tahu titik lemahnya dan mengancamnya. Aku tahu dia pecinta sesama jenis, tapi aku ingin membuat dia mencintaiku walaupun berakhir dengan kegagalan.
Aku tahu aku lemah. Aku tahu aku ini pecundang. Aku hanya bisa merepotkan ayah ibu dan kau. Memaksakan semua kehendakku tapi pada akhirnya aku seperti ini. Menyerah pada dunia.
Aku tahu aku ini idiot sekali. aku egois. Berharap akan ada kehidupan lebih baik setelah mati. Meninggalkan semua yang sudah pasti.
Aku tidak ingin merepotkan kalian lebih jauh lagi.
Sekali lagi maafkan aku.
Aku mencintaimu, Naruto.
Selamat tinggal.
Naruto menarik nafasnya panjang lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Mengetahui kakaknya menyukai Sasuke, hatinya menjadi tak nyaman. Ada rasa bersalah yang mulai memenuhi hatinya.
Ia tidak seharusnya berhubungan dengan Sasuke. Pada nyatanya memang hubungan mereka tabu. Kakaknya pasti sangat mencintai Sasuke sampai rela ditindas. Tapi akhirnya dia menyerah dan hendak bunuh diri.
Apa yang sebenarnya kakakku lakukan?
Bukankah dia gila sekali?
Apa pula yang sudah aku lakukan?
Aku bahkan lebih gila dari kakakku...
Naruto melirik Sasuke, ia ingin menyalahkan Sasuke kembali. Mengapa Sasuke dapat membuat hampir seluruh wanita mencintainya? Bahkan ia membuat Naruto yang-seorang-pria jatuh cinta padanya.
Naruto melipat surat dari kakaknya tersebut lalu ia simpan di saku jaketnya. Ia mengurungkan niatnya untuk menertawakan Naruko. Yang ada adalah ia ingin membuat kakaknya bahagia ketika ia bangun nanti.
Kemudian dokter tiba untuk mengecek Naruko. Naruto pun berdiri dan memberi hormat kepada sang dokter.
"Sensei..." sapa Naruto.
"Kau saudara kembarnya ya?" tanya sang dokter.
Naruto mengangguk.
"Aku ingin berbicara denganmu mengenai kondisinya."
"Bagaimana kakakku, sensei?" tanya Naruto dengan hati gelisah.
"Apa tidak masalah aku menceritakannya pada banyak orang seperti ini?" tanya sang dokter melihat ada Sasuke dan seorang informan.
Sasuke pun menyuruh informan untuk keluar dari kamar, sedangkan Sasuke ingin mendengar penjelasan dokter.
"Saudari Naruko mempunyai penyakit kanker tulang. Masih stadium awal." Ujar sang dokter membuat Naruto dan Sasuke kaget.
"Mana mungkin, sensei! Kakakku sehat! aku yakin!" bantah Naruto.
"Memang sulit dipercaya, kanker tulang memang penyakit yang langka. Namun begitulah kenyataannya." Ucap sang dokter dengan raut muka tidak menyenangkan. Memang selalu tidak menyenangkan ketika dokter harus mengatakan penyakit seseorang yang sebenarnya dan membuat keluarga bersedih.
"Tidak mungkin..." Kaki Naruto rasanya lemas. Mulutnya mulai kelu, dan air mata mulai muncul.
"Kakakmu sering datang kemari untuk meminta obat penahan sakit, dia menolak untuk menjalani kemoterapi atau terapi radiasi, dan lama kelamaan kondisi jiwanya terganggu." Jelas dokter. "Dia mulai depresi, dan semakin depresi hingga berniat bunuh diri dengan memakan obat penahan sakitnya secara berlebihan. Sepertinya ia depresi bukan hanya karena penyakit yang ia derita tapi ada hal lain yang membuat ia semakin depresi."
Naruto tak dapat berkata apapun lagi. Dia hanya bisa menangis mengetahui kondisi kakaknya. Sasuke memeluknya erat, membiarkan Naruto menangis di pundaknya.
Sang dokter lalu pergi membiarkan mereka setelah menghimbau agar Naruto memaksa Naruko untuk menjalani terapi setelah ia bangun. Naruto masih menangis. Mengapa Naruko tak mau menceritakan kesakitannya pada dia? Bukankah Naruto itu adiknya?
Naruto melepaskan pelukan Sasuke, lalu menghampiri kakaknya, memegang tangan kakaknya erat.
"Kau bodoh sekali, kak..." lirih Naruto. "Aku tak mau memaafkanmu jika kau memilih mati..."
.
.
Satu jam kemudian, kedua orang tua Naruto datang tentu dengan air mata dan kesedihan. Terlebih lagi sang ibu. Naruto pun menceritakan kondisi kakaknya pada ayah dan ibunya sesuai dengan penjelasan dokter. Membuat ayah dan ibu tentu saja kaget luar biasa.
Kondisi tak bisa terkendali, sang Ibu menangis tak henti-hentinya.
"Bu, jangan menangis... Naruko pasti akan sehat kembali." Kata sang ayah, Minato.
"Yang aku lakukan hanya bekerja dan bekerja, tak tahu kondisi anakku sendiri, aku yang salah..." Tangis sang Ibu.
Saat seperti ini semua orang hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Ayah, Ibu, dan Naruto pun demikian.
Butuh waktu yang lama agar Ibu Naruto berhenti menangis. Setelah itu suasana kamar Naruko menjadi tenang kembali.
"Terimakasih telah memberitahu kami, em... siapa namamu...?" tanya Kushina kepada Sasuke.
"Panggil aku Sasuke saja." Jawab Sasuke.
"Apa kau pacar Naruko?" Tanya Kushina, nadanya ceria, tapi matanya masih sembab.
"Buk-"
"Ya, dia pacar kakak!" teriak Naruto. Ia kemudian melirik Sasuke tajam.
"Wah... Naruko beruntung sekali punya pacar sepertimu, Sasuke-kun."
Sasuke tak menjawab. Suasana menjadi canggung.
"Dan kau kenapa, Naruto?" Kali ini yang bertanya adalah sang ayah. Minato memandang Naruto yang penuh perban juga kaki kanannya yang dibungkus perban elastis.
"Aku..." Naruto bingung harus menjawab apa.
"Apa kau bertengkar lagi dengan temanmu?"
"Tidak." Jawab Naruto buru-buru. "Aku bukan anak nakal, yah."
"Lalu?"
"Aku hanya terjatuh dari tangga. Itu saja."
"Kau memang ceroboh, selalu membuat kakakmu kerepotan." Ucap Kushina.
Naruto tidak menjawab. Orang tuanya memang selalu bersikap berbeda terhadap dia. Jika Naruto sakit, Naruto malah dimarahi. Apabila Naruko yang sakit, mereka cemas dan melakukan apapun agar Naruko cepat sehat.
Satu-satunya keluarga yang berada di sisinya hanyalah Naruko seorang. Naruko selalu merawat Naruto. Meskipun mereka berumur sama, tapi Naruko selalu bersikap lebih dewasa.
"Kami keluar dulu, ayah, ibu." Naruto berdiri mengajak Sasuke. Sasuke menurut. Mereka pun keluar dari kamar menuju taman rumah sakit. Meskipun kaki Naruto masih sakit, tapi Naruto tak mempedulikannya.
"Berpura-puralah menjadi pacar Naruko kepada ibuku, Sasuke." Pinta Naruto. Kali ini jalan Naruto melambat.
"Tapi pacarku adalah kau, Naruto." Tolak Sasuke.
"Untuk kali ini saja, oke?" Bujuk Naruto.
Sasuke mengangguk dengan berat hati. Padahal tidak masalah jika memang Sasuke bukan pacar Naruko, bukan? Kenapa Naruto memintanya untuk berpura-pura mengenai hal itu?
"Sasuke, aku lapar. Ayo cari makan." Ajak Naruto lalu berjalan mendahului Sasuke.
"Jangan makan ramen."
"Ah, aku baru mau bilang makan ramen."
Sasuke mendengus. "Kau benar-benar hopeless, Naruto."
"Em... ya... aku benar-benar hopeless..." Ada getaran pada suara Naruto. Sasuke langsung menangkap bahu Naruto, membuat Naruto menghadap pada dirinya.
Naruto menangis.
"Maaf." Naruto menghapus air matanya, tapi air mata lain muncul kembali. Naruto mencoba untuk tertawa, tapi yang ada hanya rengekan keras.
Sasuke langsung memeluk Naruto erat. "Maafkan aku Naruto, aku tak bermaksud untuk membuatmu menangis."
"Ini bukan kesalahanmu, Sasuke." Lirih Naruto, ia kemudian membalas pelukan Sasuke. "Aku hanya berpikir, andai saja penyakit Naruko bisa dipindahkan padaku, itu akan lebih baik..."
"Itu sama sekali tidak baik."
"Orang tua dan kakakku bisa bahagia."
"Mereka akan menangis, Naruto."
"Aku akan bahagia, jika mereka bahagia."
"Tapi kau tak pernah bahagia..."
Sasuke tahu betul keadaan Naruto dalam keluarganya setelah mendengar perbincangan mereka barusan. Ia pun memeluk Naruto semakin erat. Yang Naruto lakukan hanya menumpahkan air matanya pada pundak Sasuke.
To Be Continue
Foot's Note : Mind to RnR?