Jungkook sudah membolos dua hari.
Kekanakan, memang.
Tapi ia tak ingin kemanapun, tak ingin melakukan apapun setiap mengingat bahwa kebahagiaannya akan runtuh sebentar lagi.
Kebahagiaan yang selama ini diselimuti gelembung udara tipis, yang mati-matian ia jaga.

"Jungkookie, buka pintunya..." Dan sudah dua hari pula Taehyung bolak-balik membujuk agar Jungkook mau mendengarkan, walaupun si keras kepala itu tak kunjung menyerah juga.

.

Hening sejenak, sebelum terdengar langkah kaki mendekat lagi, kali ini diiringi suara gemerincing logam. "Aku akan masuk dengan kunci cadangan."

Sudah terlalu lambat untuk bersembunyi, karena Taehyung tiba-tiba saja sudah berdiri menjulang di atas ranjangnya, terlihat begitu berantakan. "Hei, ini hanya Jepang. Aku berjanji akan menelponmu setiap waktu. Aku bahkan akan sering pulang. Aku bisa pulang setiap bulan untukmu. Tidak sulit, sungguh."

Jungkook mempertahankan raut wajah datarnya, mengerjap menatap televisi untuk menghalau air mata yang menggenang.

"Kau bahkan bisa menyusulku tahun depan kan? Kau bisa mengambil gelarmu disana, belajar musik lebih dalam seperti keinginanmu. Lalu kita –"

"Mudah sekali ya bagimu?" Jungkook menyela, mendesis penuh kebencian. Ia tak pernah pandai berbicara, lebih memilih diam daripada memicu konfrontasi, tapi seluruh ucapan dan tindakan Taehyung akhir-akhir ini menggiring kesabarannya ke titik puncak. "Aku hanya tinggal menunggumu, aku hanya tinggal menyusulmu. Gampang. Karena semesta berotasi padamu."

Taehyung mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu Jungkook yang gemetar, "Bukan seperti itu, Jungkook-ah, aku –"

"Aku yang sejak sekolah dasar tak pernah diijinkan untuk ikut dalam perjalanan wisata yang hanya semalam, kiramu akan diijinkan bersekolah ribuan mil dari sini, dengan resiko mati di apartemen saat asmaku kambuh dan tak seorang pun ada disana untuk menolong?"

Bibir Taehyung melengkung penuh sarkasme mendengar pernyataan tak berdasar dari sahabat nya. "Jangan berlebihan. Kau bersamaku disana."

"Aku berlebihan?" Jungkook tertawa dengan air mata mengalir, merasa lucu dan menyedihkan di saat yang bersamaan. "Oh, ya, dan ada kau disana. Jadi selain menjadi pusat semesta, sekarang kau juga menjadi Tuhan? Bisa menunda kematianku? Hebat sekali."

Ini pertama kalinya ia begitu marah, mengatakan hal-hal menyakitkan yang bahkan tak pernah sedikitpun terlintas di pikiran Taehyung. Nafasnya memburu dan ia mulai terbatuk, tanda bahwa Taehyung harus segera menyudahi perdebatan mereka jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi.

"Jungkook-ah..." Taehyung duduk di sisi tempat tidur untuk menggenggam kedua tangan yang dingin itu, tak dapat menyembunyikan sorot putus asa dari matanya. "Aku hanya ingin memperjuangkan kita."

Biasanya, Jungkook akan tersenyum. Ia sangat pemalu, sensitif dengan kata-kata manis, dan akan memerah hingga ke telinga setiap Taehyung menggodanya. Tapi kali ini ia terlalu muak, merasa harus ada yang disalahkan atas kejadian ini.

"Omong kosong, Tae. Kau hanya serakah. Kau ingin memiliki semuanya untukmu sendiri, karena kau pusat semesta, ingat? Keinginanku mana penting bagimu; asal kau punya gelar impian yang menantimu di depan mata, dan orang bodoh menyedihkan yang mencintaimu dengan begitu putus asa." Jungkook terkekeh penuh sarkasme, "Woah, hidupmu sempurna."

Taehyung tak mengatakan apapun.
Tangannya berada di pundak Jungkook, menekannya lembut untuk menahan agar sahabat nya tak terbawa emosi lebih jauh lagi.

"Ikuti saja apa yang kau mau. Aku tak peduli."

"Aku hanya mau kau."

Bisikan lembutnya bahkan membuat Jungkook semakin marah. "Persetan, Tae! Bahkan jika sekarang kau mengatakan bahwa 1 ditambah 1 sama dengan 2, aku tak akan percaya. Tahu kenapa? Karena semua yang kau katakan omong kosong!

Ingin bersamaku selamanya? Ingin selalu melindungiku? Bullshit! Bagaimana bisa kau melakukannya ribuan mil dari sini? Kau pikir kau superman atau semacamnya?"

Ia menyentak tangan Taehyung yang kini menggenggamnya, berteriak dengan mata berkaca, "Aku menyesal menyerahkan seluruh hatiku untukmu! Aku menyesal mempercayaimu!" Ia memastikan memberi satu tatapan penuh luka tepat pada samudera indah Taehyung, "Sungguh, aku menyesal mengenalmu."

Dengan seluruh umpatan berbisa tadi, sebenarnya yang Jungkook inginkan hanyalah permintaan maaf Taehyung. Ia ingin Taehyung meminta maaf lagi dan lagi, meyakinkannya dengan cukup baik hingga ia berhenti berteriak dan mereka berakhir berpelukan seperti pertengkaran yang sudah-sudah.

Karena sebesar apapun rasa benci Jungkook pada orang itu, rasa cintanya akan selalu lebih besar. Selalu.

Prospek masa depan mereka memang terlihat kabur karena jarak yang tiba-tiba saja terbentang. Tapi Jungkook mau berjuang. Taehyung hanya perlu terus meyakinkannya dan mereka akan baik-baik saja. Bahkan, merekamungkin bisa memiliki akhir yang bahagia sebagai sekian persen dari total pasangan hubungan jarak jauh yang berhasil.

Namun, ucapan tadi nampaknya menyakiti Taehyung lebih dalam dari yang Jungkook kira, karena sahabatnya itu kemudian berdiri, menatap nanar ke arah Jungkook, "Maaf sudah hadir di hidupmu."

Dan Jungkook terlalu sibuk tertegun daripada menahan Taehyung agar tidak pergi.

.

.


Si keras kepala Jungkook memilih mati-matian menunjukkan bahwa ia baik saja, dibanding meminta maaf. Ia berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali esoknya, malas mendapat tatapan simpati dari semua tetangga yang mengetahui bahwa satu-satunya orang yang mau berteman dengan Jungkook, berakhir pergi juga.

Itu berlanjut hingga berminggu-minggu kemudian, hingga ia mulai terbiasa dengan ketiadaan Taehyung di hidupnya. Iya, ia pikir begitu.

Tapi ketika ia terbangun, dan kalender di ponselnya menunjukkan angka 31, tiba-tiba saja Jungkook tidak ingin bangun lagi. Tinggal beberapa jam hingga Taehyung benar-benar pergi, bukannya sekadar tak menemuinya seperti sebelumnya.

Tak akan ada lagi tetangga berisik yang menjaganya sebaik seorang kakak, mendengarkan ceritanya seperti seorang ibu, dan selalu ada untuknya seolah seluruh keberadaannya didedikasikan untuk Jungkook.

Sebenarnya, setelah dipikir lagi, mungkin, mungkin saja jarak tak seburuk itu. Toh apa arti ribuan kilometer selama ia tahu bahwa hati Taehyung tak akan kemana-mana? Di sana, Taehyung berdiri di bawah langit yang sama dengannya, bernafas dengan udara yang sama, dan mencintainya seperti Taehyung yang sama. Kalau saja Jungkook tidak mengacaukan ini semua.

"Jungkook-ah?" suara ketukan lembut, tapi bukan dari Taehyung. Seorang wanita paruh baya masuk dan duduk di sisi tempat tidur, mengelus kepala Jungkook penuh sayang. "Eomma sudah menelpon sekolah untuk meminta izin, tidurlah lagi."

Keheningan menyelimuti. Jungkook memejamkan mata, berusaha meredam sesak yang melingkupi dadanya. "Eomma?"

"Ya?"

"Taehyung…sudah pergi kan?"

Jungkook tidak butuh jawaban. Ia hanya butuh pengakuan bahwa luka, kesakitan, dan mimpi buruk ini nyata. Perihnya mencabik, dan Jungkook kewalahan berpegangan pada apapun untuk sekadar bertahan.

Tak ada jawaban, seperti yang ia inginkan. Ibunya bangkit, menghela nafas, "Kau mau eomma memberimu waktu untuk sendirian?"

Sebuah anggukan, dan pintu ditutup dari luar, menyisakan Jungkook dan dunia kecilnya yang luluh lantak. Bahkan jika ia punya seluruh waktu di dunia, itu tak akan mengingkari kenyataan bahwa Taehyung sudah pergi. Taehyung pergi. Belasan tahun kesabarannya dibalas dengan makian tanpa henti dari Jungkook, seolah mengejar mimpinya adalah dosa besar.

Mawar itu masih tergeletak di luar jendela, tidak terjatuh meskipun sejak pagi angin tak bertiup main-main. Mawar yang sama dengan 31 tangkai lain yang sudah dikeringkan dan disimpan dengan baik oleh Jungkook. Mawar merah segar yang diantar Taehyung setiap pagi sejak mereka berhenti berbicara, seolah sebagai pesan, "Aku mungkin marah sekali, tapi bukan berarti itu cukup untuk membuatku berhenti mencintaimu."

Sudah dicintai sedemikian hebatnya, namun entah bagaimana Jungkook masih punya cukup banyak ego untuk tidak meminta maaf.

Dan kini ia baru merasakannya, penyesalan terdalam. Ia mendekap mawar pemberian Taehyung di dada, membiarkan air matanya berjatuhan dan isakan memenuhi ruangan karena esok hari tak akan ada lagi mawar segar di ambang jendela. Tak akan ada lagi Taehyung.

Jungkook hanya satu langkah lagi menuju kehancuran batin, ketika mendadak pintu kamar terbuka dan sepasang lengan kokoh menguncinya dalam pelukan dari arah belakang yang menyesakkan.

Tidak ada yang sehangat dan senyaman ini selain Taehyung. Tidak ada.

"Oke, aku kalah. Aku minta maaf." Suara itu bagai melodi, mengalun lembut di telinga Jungkook yang masih kesulitan membedakan angan dan kenyataan. "Aku hanya ingin berdiri di luar kamarmu dan pergi ketika siap, tetapi ketika isakanmu terdengar, aku tak bisa menahan diri untuk berlari kesini."

Nyata. Nada rendah yang lembut itu nyata, dekapan erat di sekujur tubuhnya nyata, wangi aftershave musk itu nyata. Taehyung nyata, dan tidak kemana-mana. Jungkook berbalik untuk balas memeluk kebahagiaan hidupnya, air matanya berderai membasahi kemeja Taehyung. Persetan dengan ego. "Kau tidak jadi pergi?"

"Tentu saja jadi, konyol." Taehyung mengeratkan pelukannya. "Aku menggantinya dengan penerbangan besok pagi, karena aku tidak bisa membayangkan pergi jauh tanpa berbaikan terlebih dahulu."

"Prioritas, Jungkook-ah."

Déjà vu, dan Taehyung tersenyum.

"Kau masih nomor satuku."

.

.


Dan ini benar-benar malam terakhir, malam terakhir sebelum semuanya berubah. Mungkin saja tidak akan berjalan lancar, tapi Jungkook terlalu bahagia untuk khawatir. Setidaknya malam ini saja, ia ingin tertidur dengan tenang pelukan Taehyung.

"Tae, kalau aku tidak punya asma, apakah kita berdua bisa meraih mimpi di tempat yang sama?"

"Kau tahu sendiri aku pemuja takdir, Kookie." Taehyung tersenyum. "Aku percaya, dimanapun kita berdiri saat ini, sudah direncanakan sejak dulu. Kita hanya perlu mengikutinya. Mengalir bersama air daripada repot-repot berusaha menentukan alur kita sendiri. Hidup seperti itu akan melelahkan.

Meskipun, yeah, aku tetap akan terus memperjuangkanmu walau itu melelahkan."

Bukankah Taehyung itu sempurna? Jungkook tidak tahu kebaikan macam apa yang pernah ia lakukan di kehidupan yang lalu, hingga mendapat keajaiban seperti Taehyung setelahnya.

Taehyung mengelus punggung Jungkook pelan, berusaha mengurai bahunya yang tegang. Jungkook mendekap sahabatnya lebih dekat, menyandarkan kening di dadanya yang hangat. "Maaf, aku hanya terlalu khawatir, kau tahu?"

Taehyung tidak menjawab, memilih mengelus rambut Jungkook, menyalurkan ketenangan absolut. "Kau selalu menjadi manusia super positif dengan senyuman lebar, dan segerombolan orang yang dengan senang hati bergaul denganmu. Kau selalu begitu keren, dewasa, dan segala poin plus lain yang membuat semua orang tertarik. Padahal…" Jungkook menggigit bibir bawahnya gugup, "aku hanya ingin kau untuk diriku sendiri."

Seharusnya Taehyung tidak tersenyum, karena Jungkook sedang berbicara serius saat ini. Tapi melihat orang yang paling berarti di hidupnya berkata jujur untuk yang pertama kalinya, membuat Taehyung tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas.

"Dan bahkan, diantara orang-orang itu, kau memilihku. Aku yang benci bersosialisasi, berbadan lemah yang selalu menyusahkanmu. Dan aku yang tak pernah cukup baik, tapi selalu kau perlakukan seolah akulah yang menggantung bintang-bintang di langit.

Tanpa sadar, aku menjadi begitu posesif. Aku tidak ingin kau bertemu orang lain, aku tidak ingin kau sadar bahwa di dunia ini ada jutaan orang yang lebih pantas dipilih, aku tidak ingin kau jatuh cinta dengan orang lain."

Jeda sejenak karena Taehyung masih butuh beberapa detik untuk menghilangkan senyuman dan memasang raut serius, "Nonsense."

Ia mengecup sisi kepala Jungkook, kembali tersenyum, karena; damn, ia sangat bahagia. "Satu, kau tidak menyusahkanku. Dua, kau bahkan lebih penting dari orang yang menggantungkan bintang-bintang, well, jika ada orang seperti itu. Tiga, memang ada 7 miliar manusia lain di dunia ini, tapi tak ada yang mencuri hatiku sepertimu. Dan empat, aku mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu, Jeon Jungkook, selama yang kuingat, dengan seluruh jiwaku. Dan tidak, aku tidak akan jatuh cinta dengan orang lain. Jika bisa, tentu sudah kulakukan sejak dulu."

Mereka bertatapan dengan kening menyatu, menyelami samudera Jungkook yang masih memerah bekas tangisannya tadi. Ia terisak sekali, mengerucutkan hidung lucu, "Tae...aku ini siapa untukmu?"

Hening. Taehyung menatapnya dengan ekspresi terkejut yang kentara, dan untuk beberapa alasan Jungkook merasa kecewa. Matanya kembali memanas, dan ia menunduk, kehilangan kemampuan untuk berbicara lancar. "M–Maksudku, a-aku tidak –"

Taehyung mendadak terbahak-bahak, tak mempedulikan Jungkook yang panik. Ia menangkup kedua pipi gembil itu dengan telapak tangannya yang besar, lalu mencuri sebuah ciuman dari bibir Jungkook. "Kukira aku harus puas dengan sebutan 'sahabat' seumur hidup."

Lalu Taehyung tertawa lagi, begitu lepas, kehabisan alasan untuk tidak bahagia. "Aku mutlak milikmu. Pasangkan saja status apapun yang kau mau, yang jelas aku milikmu." Seperti biasa, giliran berbicara manis diambil alih oleh Taehyung sepenuhnya. Ia meraih jemari Jungkook dan menggenggamnya erat, "Dan kau milikku juga, Jeon Jungkook. Rumahku, tempatku kembali. Tak peduli seberapa jauh pergiku nanti, pelukanmu yang harus pertama kali menyambutku pulang. Oke?"

Jungkook mengangguk berkali-kali, kehabisan kata-kata. Ia menyeka matanya yang kembali basah dengan sebelah tangan, dan mengacungkan kelingking dengan tangan yang berbeda. "Janji?"

"Janji."

Percakapan tengah malam mereka berakhir dengan keduanya yang terlelap berpelukan di halaman belakang rumah Jungkook, berbalut selimut tebal dan pelukan erat untuk menghalau udara dingin. Mungkin di depan nanti buku takdir sudah menuliskan jalan yang berbeda untuk rencana mereka, tapi sementara itu belum terjadi, mereka menolak khawatir.

Karena

" –jarak hanya angka, tapi kau segalanya."

.

.

.


Esoknya, selimut yang semula membungkus dua orang, menjadi hanya membalut satu orang.

Koper-koper yang kemarin ditinggal secara asal di kamar Jungkook, sekarang sudah tidak ada.

Ketika samudera indah itu membuka dan berkelana mencari Taehyung, yang ia temukan hanya tanah gembur bekas galian di antara rerumputan, tempat sebatang tanaman dengan daun kecil-kecil menyembul ke permukaan. Terlihat seperti baru ditanam.

Secarik kertas yang tergantung di salah satu daun menjelaskan segalanya;

.

.

Good morning, sleepyhead.

Aku akan pulang ketika mawar pertama mekar,

dan menaruhnya di jendelamu.

.

.

Yang mencintaimu selalu,

Taehyung

.

.

.


END


.

.

Hai haiiii!

Happy new year and happy Taehyung day! Telat y hehe. Ciee, liburannya habis cie, gimana rasanya balik ke kost? Nyesek y? Sama :')

Soriii super late update, bahkan nggak sempet edit, sori banget ya ada banyak kerjaan TT Feel free buat negur typos dan ketidafaedahan fic di atas, sans aja oqe cuy?

Curhat dikit gpp y? Udah 2 tahun nih sejak resmi nulis di ffn huhu, sebelumnya cuma berani teriak teriak di kolom review para master. Waktu itu tahun baru dan nggak bisa pulang, nonton film di laptop sampe pas denger suara kembang api baru sadar kalo tahunnya udah ganti :')

Itu dua tahun lalu y, waktu aku nggak doyan otp lain selain taoris(walaupun udah karam /sob/). Tapi tahun baru 2016 alias setahun lalu amat berfaeda karena pas mau mutusin hengkang dari dunia nista perfujoan ini, eh malah nemu ffnya kak ales dan jatuh cinta setengah mati sama vkook. Sampe sekarang :') Sampe kenal kalian kalian manusia asyique yang baeq banget mau mampir dan ngerecokin kolom review :') Unch kucinta kalian banget pokoknya.

Selamat setahunan sama w pokoknya y(khusus shipper bangtan), dan selamat dua tahunan cinta pertama q(khusus taoris shipper(itupun kalo ada/sob/)). Duniaku indah diisi kalian! Luph yu /heart/ /heart/