LUKA

(NARUSASU) MENMA

Masashi Kishimoto

Chapter terakhir.

Penulisan apa adanya. Kesalahan bertebaran dimana-mana. Penggambaran karakter sangat jauh dari aslinya.

Satu lagi maaf kalau makin aneh saja.

-af-

.

.

.

Naruto melempar tatap tajam pada siapapun yang menghalangi jalannya. Ada banyak amarah perlu disalurkan. Terkhusus menghantamkan tinju pada Koharu dan Hamura. Wajah panas itu kelam. Rautnya menjanjikan kematian. Penghakiman terhadap siapa saja yang berani memnoreh luka pada lelaki Uchiha.

Serentak, semua kegiatan di tempat itu terhenti. Lantaran mendapati rupa Hokage teramat kacau dengan bercak darah di sana-sini. Beberapa mulai berbisik mencari tahu kiranya apa yang terjadi. Sebagian lain mencoba tidak peduli meski penasaran setengah mati. Satu per satu, dari mulut-mulut itu muncul bermacam spekulasi. Gerangan apa sampai Hokage bertandang ke tempat investigasi. Sadar tidak sadar, berpuluh rupa itu menampilkan satu ekspresi.

TAP.

Langkah Naruto tersendat. Seorang rekan dengan sangat berani menghadang. Lelaki pucat menjabat kaki tangan. Dengan tenang menatap tajam pada biner samudra.

"Sai?", suaranya dalam. Naruto memanggil dalam penekanan.

"Sudah kukira kaudatang ke sini."

Satu hembus nafas lolos dari sosok lelaki yang menghalang satu-satunya pintu di sana. Memboikot akses masuk untuk orang nomor satu Konoha. Sai memang tidak tahu apa jelasnya. Ia hanya ingat Naruto lari setelah Ino datang membawa berita tentang rencana tetua. Pun dirinya tidak ikut serta dalam pencarian Naruto terhadap kekasih hatinya. Guru Kakashi sudah memberinya perintah untuk mengamankan remua aktifitas ANBU di bawah pimpinan Koharu dan hamura.

Namun begitu, ada satu hal ganjal dalam perasaannya. Naruto bukan orang bodoh sepetri dulu Sai mengenalnya. Lelaki itu sudah bertransformasi menjadi lebih dewasa. Akan tetapi, mungkin juga ini hanya firasat. Jika memang sesuatu terjadi pada Uchiha, tidak menutup kemungkinan kalau-kalau Naruto kalap dan menghajar tetua. Oleh karena itu, setelah semua teratasi dan Ne sudah dibekuk bawahannya. Sai segera menuju tempat di mana para tetua berada. Benar saja, setelah bosan menunggu, akhirnya sosok itu datang berlumurkan darah. Serta penuh dengan amarah.

"Minggirlah. Jangan menghalangi jalanku."

Nah, kan? Lihat bagaimana iris biru itu menajam. Dirinya sampai harus merasakan gentar. Walau hanya sedikit, tetap saja seorang Sai tidak mungkin bisa memadamkan rasa marah pada pemimpin desa.

"Aku tidak berniat menghalangimu. Hanya saja, ada hal yang kupikir harus kukatakan padamu. Percuma! Apa yang akan kaulakukan nanti tidak akan mengubah fakta bahwa saat ini Sasuke tengah terbaring meregang nyawa. Kauhanya akan jadi seperti mereka jika melampiaskan amarahmu sekarang.", katanya –mencoba tenang. Yah, berdoa saja Naruto masih bisa diajak kompromi sekarang. bagaimanapun juga, sang kapten ANBU tidak mengharapkan keributan. Namun jika ia harus turun tangan demi mencegah Naruto berbuat onar, apa boleh buat, kan?

Makin membaralah ia. Binar matanya memicing, menantang. Seolah siap adu pedang jika Sai berani menghalangi jalannya. "Kautidak berhak mengaturku!"

Hela nafas si pria pucat mengudara. Untuk saat ini, ketenangan adalah lawan yang pantas bagi bara amarah dalam diri Hokagenya. Sai tahu, mendebat pun percuma. Hanya saja, sungguh, pantaskah seorang Naruto, ninja nomor satu itu tenggelam dalam murka. "Bukankah lebih baik, menunjukkan pada mereka bahwa Sasuke baik-baik saja. Kurasa itu teror yang pantas bagi para tetua."

.

.

.

"Jadi? Bagaimana keadaan kekasihmu, tuan Hokage?"

Adalah pertanyaan pertama yang Naruto dengar sesaat setelah ia menginjakkan kaki di tempat penahanan para tetua. Suaranya penuh akan sindiran. Seolah merasa menang atas apa yang telah terjadi pada kekasih hati orang pria di hadapannya. Tanpa perlu lagi dirinya melihat atau mendengar, Koharu dan Hamura sudah bisa menebak. Dari raut wajah lelaki itu, bahwa sang Uchiha kini hanya tinggal nama.

"Oh... apa saat ini dia sekarat? Atau malah sudah menyusul keluarganya? Ck ck ck. Begitu lah akhir seorang pengkhianat."

Jemari Naruto mengepal. Ia hampir lepas kendali sekarang. kalau tidak ingat apa kata Sai sebelum menginjakkan kakinya, sudah lebih dulu pukulan bicara. Sesungguhnya pun dirinya sangat ingin menghajar rupa reot yang tengah menyeringai di sana. Namun urung lantaran dirinya merasa, bahwa kata-kata ketua ANBU tadi ada benarnya. Teror yang sebenar-benar teror bagi dua bangkotan itu adalah hidup seorang Sasuke Uchiha.

"Mungkin kapan-kapan aku akan berbaik hati memberikan karangan bunga untuk pemakamannya. Hahaha!"

Masih dalam delusi berkepanjangan. Hamura bicara seakan-akan dia telah menaklukan dunia. Menggenggam pembalasan ternikmat yang pernah dia rasa. Menagih hutang klan Uchiha yang dulu pernah membuat huru-hara. Padahal kabar kematian keturunan terakhirnya saja belum dia terima. Tapi memang dasar dirinya sudah gila, yang dia lakukan kini hanya tertawa.

"Sayang sekali.", Naruto bicara tenang. Membalas kata Hamura dalam riuh rendah nada sarat kebencian pada sang lelaki tua. "Akan kupastikan Sasuke bahagia di atas penderitaan kalian berdua. Tawa Sasuke akan menghantui kalian selama sisa hidup kalian di penjara." Dengan sukses membungkam segala ocehan tak berdasar milik Hamura.

"A-apa?!". Tidak hanya si lelaki yang terperanjat, namun juga Koharu yang sejak tadi diam. Mendengar Naruto begitu tegas mengatakan itu, membuat darah mereka mendidih sampai di kepala.

"Percayalah! Saat ini Sasuke sudah baik-baik saja.", ulang Naruto penuh keyakinan.

"Laki-laki itu pantas mati. Dia yang berniat menghancurkan Konoha pantas mati!", serunya. Masih tidak terima jika Sasuke baik-baik saja. "Tidak! Lelaki terkutuk pasti saat ini sudah membusuk di neraka!", begitu pikirnya.

"Kalau begitu bermimpilah, Hamura. Bermimpilah."

Setelah berkata seperti itu, Naruto berbalik pergi. Meninggalkan Hamura dan Koharu yang terbelalak ngeri.

.

.

.

Senyap dalam ruang kerja Hokage dipecah ketukan pintu. Sosok lelaki berkuncir nanas yang rupanya bertamu. Sukses menghentikan segala lamunan bisu. Naruto terhenyak untuk sejenak, kemudian bertanya hendak apa gerangan kedatangan Shikamaru.

"Kita tidak akan bisa menyembunyikan apa yang terjadi kemarin. Suara ledakkan itu pasti sampai ke telinga warga.", katanya setelah sampai di seberang meja. Memberi tatap apatis pada teman sebaya yang pikirannya entah di mana. "Beberapa orang mulai berbisik tentang kejadian kemarin. Aku hanya berpikir bagaimana menjelaskan bahwa Sasuke Uchiha sudah kembali."

Ah!

Ada sedetik jeda sampai Naruto benar paham apa yang dikatakan pemimpin klan Nara. Memang benar ia sedang tidak bisa berpikir rasional sejak Sasuke terbaring dalam kesakitannya. Kabar terakhir, kalau sampai lusa Sasuke masih juga memejamkan mata, kemungkinan yang terjadi adalah koma. Naruto juga belum bertemu dengan buah hatinya. Menma mungkin saja masih syok lantaran chakra besar yang dikeluarkannya. Tubuh belianya sudah pasti tidak akan kuat setelah ledakkan chakra campuran Namikaze dan Uchiha. Belum lagi ada kemungkinan kalau malaikat kecilnya itu memiliki darah keturunan Ashura dan Indra. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana dulu Sasuke menyegelnya. Kalau ingat kata guru Kakashi setelah peristiwa kemarin, Sasuke mengerahkan seluruh chakranya untuk menyumbat aliran chakra Menma.

Entahlah. Terlalu runyam. Banyak benang kusut dalam kepalanya. Sedikit kelegaan bahwa keadaan Menma tidak parah sehingga kini remaja itu sudah sadar. Yah, walau tetap saja mereka belum bersua.

"Mungkin bagi anggota Rocky tidak masalah, yang jadi masalah adalah mereka yang membeci para Uchiha."

Suara Shikamaru memecah lamunan. Naruto terkesiap sebelum sedetik kemudian memfokuskan atensinya. Kini ia dengarkan penuh apa keluhan Shikamaru tentang bagaimana menjelaskan perihal Sasuke pada warga desa. Takutnya, mereka akan menolak bahkan sampai melakukan tindak anarkis mengingat bagaimana dulu Sasuke pernah mengancam keselamatan Konoha.

"Kalau begitu lebih baik aku mengundurkan diri saja. Aku tidak mau ambil resiko kehilangan Sasuke untuk kali ketiga.", ucapnya setelah cukup lama mendengar Shikamaru bicara. Tanpa pikir dua kali, Naruto akan mempertahankan Sasuke walau harus melepaskan cita-cita. Pria Uchiha itu lebih penting dari sekedar jabatan pemimpin desa. "Bahkan jika harus menerima caci maki pun aku siap. Asal tidak lagi kehilangan Sasuke, apapun akan kulakukan."

Shikamaru tersenyum maklum mendengar tutur sahabatnya. Cinta itu benar adanya. Lalu apa yang Shikamaru ragukan? Kalau pun setelah ini hanya ada kemungkinan terburuk, dirinya yakin bahwa Naruto akan tetap mempertahankan sang Uchiha. Jadi, sebagai sahabat yang baik akan ia usahakan sebisanya. "Jangan buru-buru. Akan kuusahakan semampuku agar warga desa menerima Sasuke.", begitu katanya.

Dan Naruto merasa beruntung bahwa ia memiliki sahabat yang begitu pengertian.

"Terima kasih, Shika."

.

.

.

Hari ketiga.

Sasuke masih dalam lelapnya. Ada rasa takut kalau sampai waktu yang Sakura katakan dan Sasuke masih saja setia memejam mata. Naruto tidak akan sanggup menghadapi kenyataan semacam itu. Apalagi barus berpura-pura kuat untuk meredam pilu.

Derit pintu bilik kamar rawat Sasuke dan Naruto melangkah masuk. Bisa dilihatnya Menma tengah menunggu. Menatap nanar dalam bisu. Dari tempatnya sekarang, identikal netra itu menyendu. Selarik dua larik nafas terdengar memburu. Sepertinya bocah itu sebisa mungkin menahan air mata agar tidak gugur satu-satu.

Greb.

Menma tersentak. Biru samuderanya menyorot sosok Naruto yang kini menjulang beberapa langkah. Ada canggung serta segan. Ingatkan mereka bahwa interaksi terakhir adalah saat di mana Menma mengetahui bahwa Naruto adalah ayahnya. Kenyataan yang sedikit banyak membuat hubungan keduanya sedikit merenggang. Walau sama-sama tahu, hati mereka tidak menolak bahwa mereka memiliki hubungan darah.

"A...", Menma terbata. Ingin memanggil namun kelu di lidah. Sedang Naruto menunggu verbalisasi yang hendak Menma beri untuknya. Dari gelagat itu, bolehkah Naruto berharap kalau kata yang sangat ingin ia dengar itu terucap. Naruto menunggu.

Kemudian dua silabis kata yang sangat ingin Naruto resapi, sangat ingin Naruto patri. Menelusup lambat melalu celah auditori. Rasanya hangat dalam hati. Seolah sebagian benan Naruto terangkat pergi.

"A... Ayah."

Senyum merekah di wajah yang telah melukiskan usia tiga puluhan walau sinar ketampanan belum luntur di sana. Langkahnya ditatih, mendekat perlahan pada Menma yang kini menunggu dalam diam. Sembari memejam mata. Takut kalau penolakan yang akan ia terima. Namun salah. Bagaimana bisa Naruto menolak apa yang selama ini ia inginkan? Sungguh bodoh jika sampai Naruto melakukannya.

"Boleh ayah memelukmu?"

Menma terperanjat. Mendapati senyum Naruto, perlahan tapi pasti, lelehan bening itu berderai cepat. Dalam tangisnya, dengan kekuatan penuh ia tubrukkan tubuhnya pada sosok yang lebih besar.

Berbeda dengan malam kemarin, ketika ia baru saja tahu bahwa sang Hokage adalah ayahnya. Menma dengan sangat sadar memeluk erat seolah itulah satu-satunya pegangan. Penguat bagi kesedihan yang kini tengah ia rasa. Tempat di mana ia ingin berbagi segala kesah dalam dada. Kecemasan, ketakutan, juga kengerian. Serta kenyataan bahwa sampai saat ini ibunya belum sadar.

"Hiks... hiks... ayah..."

Naruto sadar bahwa ia cengeng sekarang. melihat bagaimana putranya menangis begitu lepas, air matanya pun ikut keluar. Sembari membelai sayang pucuk kepala Menma, Naruto mencoba kuat. Untuk dirinya dan juga putra semata wayang.

"Huaa..."

"Shhh... tidak apa-apa. Menangislah. Semua akan baik-baik saja."

"Huaa...a..a..."

Satu yang tidak mereka sadari. Saat itu, adalah di mana Sasuke merespon setelah tiga hari berdiam dalam mimpi.

.

.

.

"Sasuke! Sasuke! Sasuke!"

"Bu! Ibu! Ibu! Bu!"

Sakura pening. Kupingnya berdenging.

Kronologisnya adalah ketika Naruto mendobrak ruang kerjanya, mengatakan dengan tergesa bahwa Sasuke mulai membuka mata. Mereka berlari ke kamar rawat Sasuke dari ruang kerja Sakura. Hanya untuk mendapati Menma panik serta mata Sasuke yang berkedip terbuka.

Dengan sigap Sakura melakukan prosedur pengecekan. Namun niatnya harus urung lantaran pria muda dan tua yang ada di sana berseru panik bersama. Memanggil nama Sasuke bagai orang gila. Mengganggu kinerja Sakura.

"Tenanglah kalian berdua! Biar aku cek kondisi Sasuke dulu.", teriaknya. Setelah ketidakpekaan ayah dan anak bahwa Sakura terganggu akibat huru-hara mereka.

Setelah semua prosedur dilakukan, dari rekasi mata sampai detak jantung normal. Barulah Sakura tersenyum lega. "Semuanya normal.", katanya. Dia juga menambahkan tanya, "Akhirnya. Bagaimana perasaanmu?"

"Ha-us...". Hanya itu yang bisa Sakura tangkap dari gerak bibir mantan cinta pertamanya.

.

.

.

Ada saat di mana manusia merasa bahwa dunia tidak adil baginya. Takdir memusuhinya. Kenyataan adalah belati yang menghunus telak hatinya. Dan bagi Haruno Sakura... saat itu adalah sekarang.

"Sakura, kakiku. Aku tidak bisa merasakan... kaki kiriku."

Setelah siang itu Sasuke sadar, malamnya Sakura berniat untuk mengecek ulang.

Kamar rawat Sasuke sudah sepi, Menma menginap di rumah guru Iruka sedangkan Naruto telah kembali. Itu pun butuh sedikit kekerasan untuk menyeret lelaki pirang itu pergi. Yakin lah Sakura, bahwa Naruto akan memaksa tinggal meski sudah diperingati bahwa Sasuke harus istirahat total hari ini. Setidaknya sampai besok, karena kawan-kawan lain juga pasti ingin bertemu setelah bertahun lamanya Sasuke tak pernah kembali. Walau dengan keadaan seperti sekarang pun, mereka, para anggota rocky juga berhak tahu bahwa Sasuke telah ada di sini.

Namun bukannya kabar baik ia dengar. Malahan sebuah kenyataan pahit harus ia terima. Sontak saja sakura melakukan pengecekan. Menggunakan segala teknologi kedokteran masa kini, akhirnya Sakura mengetahui ada luka yang luput dari perhatian.

.

.

.

Segera Sakura mengabari Naruto dan Menma. malam itu kabar bahwa kaki kiri Sasuke bermasalah di sampaikan. Ada pula guru Iruka.

Bukannya Sakura ingin menyampaikan kabar duka. Hanya saja, sebagai dokter sudah sepantasnya ia mengatakan hal terkait pasien yang ditanganinya. Termasuk hal yang mungkin tidak bisa Naruto dan Menma terima dengan lapang dada. Karena Sakura juga merasakannya.

"A-pa?"

"Cedera di tulang belakangnya. Sepertinya membuat kaki kiri Sasuke lumpuh permanen."

Dunia Naruto seolah runtuh seketika. Menma menangis meraung dalam peluk Umino Iruka. Mengapa setelah Sasuke sadar, mereka harus mendengar kabar demikian? Pantaskah Sasuke menerimanya? Setelah segala ketakadilan menyertainya sedari kecil hingga dewasa.

"Apa tidak bisa diobati? Terapi? Atau bagaimana dengan nenek Tsunade. Dia pasti bisa menyembuhkannya kan?"

Suaranya retak. Tangis Naruto hampir pecah. Wajah bergaris itu begitu kacau sehingga Sakura tidak sanggup menatap.

"Aku sudah mengabari guru Tsunade. Beliau akan pulang sebentar lagi. Aku akan mencoba menyembuhkan Sasuke."

Sayangnya, itu hanya kata. Sakura takbisa menjanjikan apa-apa.

.

.

.

"Kakek Iruka?"

"Hmm?"

Dalam sendu Menma bertanya. Sebuah tanya yang seharusnya tidak bocah belia itu utarakan. Terlalu berat. Terlalu sulit untuk merangkai jawab. Di mana si lawan bicara harus pandai menyusun kata sebagai penguat. Menjadikan dirinya perekat akan hati kecil yang perlahan patah. Hanya tinggal kepingan. Berserakan.

Iruka tidak tahu harus apa dan bagaimana.

"Apa dosa ibu di masa lalu terlalu besar? Sampai dia harus mengalami ini semua? Apa ibu tidak berhak bahagia? Apa kesempatan untuk memperbaiki semuanya benar-benar tidak ada?"

Malam ini, setelah kabar dari Sakura Menma menanyakan tentang dosa. Sebuah penyesalan mendalam dari seorang pria yang kini harus menanggung konsekuensi atas masa lalunya. Namun benarkah ini semua setimpal? Apakah harga yang harus ibunya bayar begitu banyak. Sampai-sampai bilah usianya tertutup luka. Lalu siapa yang bisa memberi secuil suka? Apakah ia?

"Kenapa Menma bicara begitu?"

"Apa boleh, kalau aku saja yang menebusnya?"

Air mata Iruka tumpah ruah karenanya. Si remaja sampai berpikir untuk menebus semua dosa yang bukan miliknya. Menawarkan pundak pada orang terkasihnya. Dengan begitu lapang dada, bertanya. seolah beban itu begitu ringan sampai-sampai tubuh mudanya bisa menanggung semua.

"Dengar. Menma percaya bahwa ibumu orang baik kan?"

"Hn.", anggukan Menma berikan. Menatap tepat pada manik Iruka.

"Kalau begitu, percaya saja bahwa semua ini hanya ujian. Ibumu itu sangat kuat. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa menandingi Hokage. Jadi, semua akan baik-baik saja. Mengerti?"

Malam ini, di tempat yang hanya bersekatkan pintu antara ia dan ibunya, Menma berdoa. Agar benar apa yang dikatakan Iruka. Bahwa ini hanyalah ujian. Akan tiba saatnya mereka bahagia.

.

.

.

Sore pada hari berikutnya. Ketika Naruto menyambangi kembali tempat Sasuke berada. Lelaki itu tengah duduk bersandar pada kepala ranjang. Wajahnya menoleh pada sisi jendela di sebelahnya. Fenomena di mana Naruto bisa melihat jelas kontur wajah itu lebih seksama. Sasuke baginya, ialah sosok ketidaksempurnaan yang membuatnya jatuh cinta.

"Ehm!"

Bahu Sasuke tersentak. Atensinya berubah total. Manik malam itu menemukan seorang pirang dengan samudra pada netranya tengah melepas senyum tak berapa jauh dari tempatnya. Naruto datang dengan sebuket bunga. Sasuke tidak tahu itu apa. Hanya saja, untuk pemilihan warna, sepertinya Naruto bisa memadupadankan keserasian yang memanjakan mata.

"Naruto?!"

Langkah kaki itu perlahan mengikis jarak. Naruto dengan tenang dan senyum cemerlang, mendekati sasu-satunya sosok lain di sana. Meski begitu, yang jadi pengamat tahu ada sirat kesedihan dalam matanya. Sekali waktu, memang, dan untuk banyak orang, Naruto bisa menyembunyikannya. Namun di mata Sasuke, apa yang Naruto rasa jelas terlihat. hal itu sudah berlangsung sejak lama. Sejak mereka masih remaja. Lelaki pirang itu adalah buku terbuka.

Sempat Naruto meletakkan rangkaian bunga yang ia bawa di meja nakas dekat ranjang. Sekaligus melakukan konversasi kecil seperlunya.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Tidak terlalu buruk."

"Syukurlah."

Kemudian duduk, memusatkan perhatian. Menatap tepat manik mata itu. Menguncinya sehingga Sasuke mau tidak mau balas memperhatikan eksistensi si pirang. Jubah Hokagenya sedikit berkibar. Sasuke tersenyum mengingat satu dua kenangan ketika Naruto dengan lantang menyeru dirinya ingin menjadi Hokage masa depan.

Itu saja. sebelum keduanya menarik diri dan mencipta keheningan lama. Sampai Sasuke memecah sunyi dengan seuntai kalimat.

"Kudengar, kalau hari itu ada chakra aneh keluar dari tubuh Menma. Kupikir kalau aku sudah menyegel kekuatan itu, tapi sepertinya segel itu bisa terlepas di saat-saat tertentu. Ini yang kutakutkan. Dia masih sangat kecil. Menanggung beban kekuatan sebesar itu, pasti sangat berpengaruh pada psikisnya.", nada khawatir jelas dalam getar suaranya.

"Menma baik-baik saja. Dia terlihat menerima apa yang terjadi padanya.", Naruto cepat menjawab. Memang benar kan. lelaki cilik itu baik-baik saja. Kecuali kenyataan yang sempat menhempas harap kecil dalam dada. Menma bisa menerima semua. "Sementara kaukhawatir pada hal yang tidak perlu, apa kau sudah memikirkan akan bagaimana mulai saat ini?"

"Apa maksudmu?". Ada kerenyit penasaran. Sasuke sedikit banyak menerka kemana Naruto akan membawa cakap mereka.

"Kembalilah padaku Sasuke."

Benar kan?

"Demi Tuhan, biarkan aku menjagamu dan Menma."

Ini, yang Sasuke tidak suka dari diri seorang Naruto Uzumaki. Kekeraskepalaan pria itu selalu berhasil menarik ulur hati. Kadang bisa sampai sangat menyebalkan sehingga Sasuke banyak-banyak bersabar setengah mati. Dia pikir, sifat itu sudah hilang sejak mereka mendewasakan diri. namun sepertinya ia salah, Naruto dan keras kepala sudah tidak bisa dipisahkan lagi.

Nafas dihela dalam waktu cukup panjang. Lelaki Uchiha mencoba bersabar. Harus dengan kehati-hatian agar ia tidak jatuh dan kalah. Tidak. "Aku sudah bilang alasanku kan, itu tidak mungkin. Semua sudah berubah. Kau, aku, dan semua yang terjadi di antara kita."

"Tidak ada yang berubah Sasuke.", Naruto membalas cepat. Sasuke juga sama sepertinya. Sama-sama keras kepala. "Tidak ada. Baik kau dan aku. Perasaan kita tidak berubah. Aku memang terlambat menyadarinya. Tapi apa, yang kulakukan saat kehilanganmu? Hanya mencari. Sama seperti ketika kaupergi pada Orochimaru."

"Naruto, ingat apa yang kukatakan? Bagiku menikah hanya satu kali, kita sudah lama berpisah. Aku tidak bisa kembali."

"Tapi aku tidak pernah ingat menceraikanmu Sasuke!?"

Pada detik ini, Sasuke hampir tidak percaya pada kesungguhan mata Naruto. sirat keyakinan untuk membawanya dalam pelukan. Menjaga serta menjajikan bahagia. Tapi sekali lagi ia ingatkan, dirinya tidak mau jatuh dan kalah. Oleh karena itulah, "Apa yang membuatmu bersikeras memaksaku kembali? Pahami lagi perasaanmu Naruto. Atau kauhanya akan menyesal.", Sasuke memancing tanya.

Telapak tangan Sasuke digenggam. Meyakinkannya lewat sentuhan. Mengalirkan kepercayaan diri pada sang kekasih bahwa Naruto sungguh ingin mereka bersama. "Setelah mencarimu selama sepuluh tahun? Bagian mana dari perasaanku yang tidak kumengerti?". Tubuh condong ke depan. Wajahnya meretas jarak dengan seraut porselain di hadapan. Hampir bersinggungan. Jika saja tidak dibatasi oleh satu dua nafas.

"Bisa saja ini hanya rasa bersalahmu kan? Kau menikahiku juga karena alasan tetua. jangji konyolmu dulu yang membuatmu terjebak denganku."

"Kalau ini memang rasa bersalah, biarkan aku menebusnya seumur hidup dengan menjagamu."

"Kautidak mengerti Naruto. Jangan bebani dirimu!"

"Dengar Sasuke,", remasan tangan diperkuat. Dengan segala cara akan Naruto buat Sasuke kembali padanya. "Aku mencintaimu. Perasaan ini bukan rasa bersalah atau apapun."

"Naru-"

"Ssstt! Jadi, kembali ya?"

"Naruto!". Sasuke geram. Naruto dan keras kepala adalah kombenasi paling menyulitkan.

"Astaga Sasuke! Apalagi yang harus kukatakan agar kaupercaya padaku.". Kali ini genggam tangan dilepaskan. Ganti bahu Sasuke diremat sebagai dasar bahwa Naruto tidak hanya bermain dengan kata. Namun dengan seluruh sumpah yang dia punya. Dirinya ingin Sasuke kembali dalam pelukan. bersama Menma, Naruto siiap mengabdikan diri untuk membuat pujaan hatinya berlimpah bahagia.

"Tsk. Aku tidak bisa.", hentak bahu diberikan. Sasuke mencoba lepas dari determinasi iris samudera. Wajahnya dibuang sembarang. Ada siluet lelah akan tingkah Naruto yang seenaknya.

"Hei! Tatap aku!", Naruto meletakkan telapak tangan kasar miliknya pada bilah pipi pucat. Menuntun wajah Sasuke untuk kembali beradu pandang. "Kaubisa. Kauhanya takut. Hilangkan perasaan itu dan kita bisa bahagia selamanya."

Satu tarikan nafas panjang. Sasuke memberi sanggahan yang ia yakini sebagai alasan kuat agar Naruto menyerah pada tujuannya. "Aku cacat. Aku tidak sempurna."

Namun dia salah. Naruto malah memberi senyum menenangkan. Serta jawaban singkat namun sarat keyakinan.

"Maka aku akan menyempurnakanmu."

"Bagaimana dengan posisimu. Kau Hokage, dan aku mantan kriminal kelas dunia."

"Akan kulepas semua titel itu."

"Warga desa akan menjauhimu."

"Dan aku akan menjauhi mereka."

"Naruto!"

Pujaan hatinya hampir kalah. Senyum penuh kemenangan melengkung indah di wajah.

"Sasuke!"

"Bagaimana dengan Menma! Kaubahkan tidak tanya pendapatnya!"

"Hei! Dia akan mengerti. Percaya padaku."

"Ck! Kenapa kausangat kerasa kepala?!"

"Karena itu nama tengahku.". Sebaris kalimat tadi diiringi senyum andalan. "Jadi, kembali ya?", Naruto menghitung dalam hati sampai tiga.

Satu...

Dua...

Tiga...

"Kau!"

Sasuke telah sepuhnya kembali dalam pelukan. Kini lelaki itu malah hampir menangis saking lelahnya. Dua kali, Sasuke dibuat 'pulang' untuk kali kedua. Oleh orang yang sama. Oleh lelaki yang memberikan cinta sebesar dunia untuknya. Mataharinya. Satu-satunya yang meyakinkan bahwa Sasuke berhak mencinta dan dicinta.

"Hei... jangan menangis oke!"

"Bakadobe!"

"Aku tahu!"

"Urusatonkachi!"

"Aku juga mencintaimu!

"Brengsek!"

"Itu kau, teme!"

.

.

.

Mulanya ia ingin masuk. namun melihat interaksi orang tuanya, Menma urung. Ketika sepasang kakinya sampai di depan pintu dan telinganya mendengar ada seseorang di kamar sang ibu. Suara yang diyakininya milik sang ayah –Menma sudah tidak canggung lagi memanggilnya begitu. Perlahan dalam senyap, ia mundur. Memberi privasi bagi sepasang sejoli yang akan bersatu. Atau setidaknya ayahnya lah yang memaksa sang ibu setuju.

"Menma?"

"Ssshhh"

Telujuk kanan ia letakkan di bibir. Membuah kernyitan pada si penanya. Iruka heran mengapa cucu kesayangan masih di sini. Bukankah ia ingin bertemu ibunya. "Kenapa tidak masuk?"

Kerling mata Menma arahkan. Iruka mengikuti penasaran. Lewat celah yang sengaja Menma buka untuk melihat lebih jelas. Lelaki paruh baya itu mendapati Sasuke dan Naruto tengah bersiteru entah apa. Sampai pada kata dobe teme yang hanya bisa ia dengar. Mengusik kembali kenangan lama.

"Kakek? Apa ayah dan ibu selalu begini?", matanya asyik mengintip interaksi lucu kedua orang tuanya.

"Entahlah." Iruka tersenyum. Ekor matanya melirik pada bocah lebih pendek itu. "Kebersamaan mereka dulu hanya berisi pertengkaran. Jadi, ini adalah kali pertama kakek melihat mereka berangkulan. Tapi apapun itu, perasaan ayah dan ibu sudah dipupuk sejak lama. Keberadaan satu sama lain tidak bisa dipisahkan."

"Aku tidak tahu harus senang atau sedih."

"Kenapa? Menma tidak mau ayah dan ibu bersatu lagi?"

"Bukan."

"Lalu?"

Ada segelintir tawa dari dalam. Namun fokus Iruka adalah pria kecil yang terlalu serius menyaksikan. Penasaran akan jawaban. Mengapa perasaan senang dan sedih harus dipertanyakan, sedangkan saat ini, di dalam sana, orang tuanya tengah saling bergenggam tangan. Bersama mengurai tangis dan suka. Bukankah seharusnya Menma pun senang. Sasuke dan Naruto kembali bersama, keluarganya akan lengkap sempurna.

"Setelah tahu kalau ayahku seorang dobe dan ibuku seorang teme, entah bagaimana perasaanku kini."

Iruka speechless seketika. Keturunan teme dobe memang tidak bisa diterka sifatnya.

.

.

.

"Hah!"

Shikamaru mengorek telinga. Keterkejutan Naruto benar bisa jadi polusi udara. Apa pula ekspresi minta ditampol pakai jurus bayangan itu, jengah dia.

"Jangan mangkir dari tugasmu Naruto! Peresmian jalur kereta api Suna-Konoha sudah mundur satu bulan gara-gara ulahmu! Jadi, besok kauharus berangkat ke Suna selama satu minggu."

"Tapi, kenapa mendadak? Dan lagi, lusa Sasuke keluar dari rumah sakit kan? Aku tidak bisa pergi begitu saja."

Padahal kan sudah ia agendakan dari minggu lalu. Dasar otak dobe, harusnya Naruto berterima kasih padanya karena sebagian besar berkas di meja sudah dperiksa. Bukan mengeluh. Beneran deh, Shikamaru memang harus memberinya pelajaran. Kalau tidak, si pirang bodah itu bakal berbuat seenaknya. Mentang-mentang punya alasan menemani Sasuke yang masih di rawat. Semua pekerjaan dengan seenak jidat Naruto limpahkan. Dia kira menjabat pemimpin desa bisa seenaknya. Yang kalau apa-apa bisa tunjuk-tunjuk perintah kemudian pergi tanpa kata.

"Tentu saja bisa."

"Tapi Shika, setelah sepuluh tahun berpisah, masa mau bermesraan saja harus ditunda. Selama Sasuke di rumah sakit, aku harus hati-hati menyentuhnya."

Naruto pasang wajah memelas. Sayang seribu sayang, Nara satu ini tidak akan termakan akal bulusnya. Jangan harap Naruto bisa lari dari tugas.

"Itu deritamu. Tidak ada urusannya dengaku."

"Ayolah Shika, bisa kaumundurkan jadwalnya? Seminggu lagi saja. Gaara juga pasti mengerti."

Ini juga. Tidak akan mempan. Mata dibesar-besarkan. Nada suara dibuat semenyakinkan bahwa Naruto saat ini merana. Cih! Shikamaru itu kebal, men! Trik murahan itu tidak berlaku untuknya.

"Maaf saja. Aku yang tidak mau."

"Shikaaaa..."

"Tidak! Dan cepat bereskan kerjaanmu karena kauharus berangkat pagi sekali, atau aku akan menyeretmu!"

"Ck! Masa aku tidak boleh istirahat? Kapan aku bisa nambah momongan!"

Momongan dia bilang. Bahkan selama menggantikan tugas Naruto, Shikamaru juga harus menganggurkan pasangan hidupnya. Demi berlembar berkas di meja, yang Naruto tinggalkan. Beberapa hari sudah ia puasa sentuhan. Padahal hasratnya juga sama tinggi dengan si pirang. Jadi, Naruto juga harus merasakan bagaimana tertahannya keinginan untuk saling sentuh dan raba.

"Setelah apa yang kaulakukan? Meninggalkan berkas pekerjaan menumpuk di meja? Tidak ada kata istirahat untukmu!"

Dengan cemberut yang tidak ada imut-imutnya, "Dasar rusa!", Naruto misuh-misuh tidak terima. Keputusan sang Nara tidak bisa diganggu gugat.

Shikamaru balik badan. Dia masih ada pekerjaan. Namun begitu tubuhnya hampir hilang ditelan pintu, kata-kata penuh aroma surga dunia mengalun dari mulutnya. "Tapi kalau kau melakukan perkerjaan dengan baik dan menyelesaikan peresmian minggu ini, akan kuusahakan kau bisa ambil cuti beberapa hari."

Naruto mengerjap sekali. kemudian senyum lebar hadir sampai bilah pipi. "Kaumemang teman terbaikku Shika!"

.

.

.

"Menma! Bisa bantu ibu menata meja?"

"Siap bu!"

Ada konversasi di dalam sana. Naruto memutuskan untuk perlahan membuka pintu dan masuk dalam senyap.

Setelah satu minggu penuh dirinya absen dari Konoha, berada di Suna demi meresmikan jalur kereta. Akhirnya ia pulang dengan lelah yang sangat. Namun semua itu sirna begitu dirinya menginjakkan kaki di depan pintu rumahnya. Rasa hangat melemaskan otot sendinya. Suara orang-orang yang dicintainya berasal dari balik pintu yang ia buka.

"Bisa kaubawa ini ke sana?"

"Ok bu!"

Melepaskan sepatu, masih dalam diamnya, Narto melangkah. Bukan mengendap. Hanya menikmati momen di mana rasa senang merajai hati karena akhirnya, setelah sekian lama, ada orang yang menunggunya pulang.

"Hati-hati! Jansan sampai tumpah!"

"Beres bu!"

Naruto menuju sumber suara. Sinar lampu dalam ruang makan itu menjadi penanda bahwa ini bukan halusinasi belaka. Memang benar, apa yang ia dengar alah suara Sasuke dan Menma.

"Sudah selesai?"

"Sudah."

Begitu sampai, lagi-lagi, senyum terpoles di wajahnya. Naruto lega. Ini adalah nyata. Sasuke dengan celoteh perintah, serta Menma sedia melaksanakan.

"Bagus sekarang duduklah, kita akan malam bersama."

"Roger!"

Sasuke, dengan menyeret satu kakinya – ia menggunakan tongkat – duduk di meja makan. Menma, ia sudah siap dengn sumpit di tangan.

Dua orang itu tidak sadar, kalau Naruto sudah sejak tadi memerhtikan.

"Seharusnya ayahmu pulang malam ini. Mungkin seben-ah!"

Sasuke tersentak. Akhirnya menyadari kalau orang yang mereka tunggu sudah datang. Wajahnya melirik pada sosok yang menyembunyikan separuh badannya di balik tirai dalam diam.

Diikutu Menma, keduanya berucap. "Ayah/Naruto, okaeri."

"Tadaima."

.

.

.

TAMAT

.

.

.

Yo! Saya kembali dari bersemedi. Sudah berapa bulan fic ini terbengkai? Dengan kesoksibukan saya, akhirnya fic ini selesai dengan tidak elitnya. Entahlah. mencoba menciptakan momen romantis serta sedikit humor itu susah. Apalagi dengan sifat teme dobe yang berubah total. Semoga saja kaka-kaka sekalian puas dan menikmati cerita yang saya suguhkan. Meskipun ada banyak lubang di sana-sini, saya harap tidak mengurangi kenikmatan jalan ceritanya #bungkukterimakasih.

Akhir kata, saya berterima kasih untuk kaka-kaka yang udah komen, fav dan follow, yang diam-diam baca juga, yang nungguin sampai tamat. Maaf kalau akhir ceritanya hambar dan tidak mengena. Segala kritik dan sara saya terima dengan lapang dada –asal tidak pakai bahasa kasar.

Untuk fic saya yang lain, khususnya yang ISTRI KEDUA (itu juga kalau ada yang nungguin) bakal saya prioritaskan. Karena eh karena, alur cerita masih segar dalam pikiran. Kalau yang lain mah, udah karatan. Tapi juga bakal saya garap kapan-kapan #kapanyakapan? Itu kalau masih sempat, kalau tidak ya... begitulah.

Kiranya itu saja yang dapat saya sampaikan #sokformal. Kurang lebihnya saya tunggu di kolom komentar. Salam sayang dari pika chuu muachh muachh.

.

.

.

Omake

.

.

.

"Mau kemana?"

"Ke rumah Shikadai."

"Jangan pulang setelah makan malam."

"Aku mau menginap. Tadi siang, paman Shikamaru bilang mumpung besok liburan. Aku boleh main PSP baru dengan Shikadai sampai pagi."

"Sejak kapan Shikamaru membiarkan anaknya main-main?"

"Ayah dan anak tidak jauh berbeda kan? Bukankah dulu Shikamaru suka main shogi?"

"Aku tidak menemukan korelasi antara shogi dan PSP?"

"Jangan dipikirkan."

"Oh iya! Paman Shikamaru bilang kalau ayah boleh ambil cuti dua minggu ke depan. Jadi, manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Begitu katanya."

"Uhuk!"

"Kalau begitu, Ittekimasu!"

.

.

.

Menma berhenti sejenak, ia melirik di mana ruang keluarga berada. Senyum bocah kecil itu umbar. Sangat jelas perdebatan kecil terjadi di anatara ibu dan ayahnya.

Adalah 'rumah', di mana ia menemukan bahagia. Saat ibunya tertawa. Saat ayahnya pulang dengan salam hangat. Dan mereka duduk bersama. menikmati hidangan makan malam dalam satu meja.

Setelah berlalunya 'luka', Menma harap kedepannya mereka akan bahagia. Meski jalan tidak akan selalu mulus seperti dalam cerita.

"Ah! Aku bisa telat ke rumah Shikadai."

Pintu tertutup dalam derit pelan.