LUKA

(NARUSASU) MENMA

Masashi Kishimoto

Satu lagi cerita bertajuk Naruto dan Sasuke (Menma) hadir diantara intimidasi deadline tugas yang menggunung. Jika suka silakan baca. Judul dan isi tidak saling berkaitan. Penulisan apa adanya. Kesalahan bertebaran dimana-mana.

-af-

Luka itu menganga terlalu lebar.

.

.

.

pada kenyataannya, dosa itu tak pernah dimaafkan. Puluhan syarat harus diterima dengan lapang dada, agar setidaknya ia punya tempat di Konoha. Meski bukti nyata dari luka-luka di sekujur tubuh telah menegaskan bahwa dirinya pun ikut andil dalam perang dunia shinobi keempat. Namun, sekali lagi, ia menjadi korban atas ketidakadilan dunia. Menjadi terasing dari sosok pahlawan yang pulang dengan jutaan tawa dan rasa kehilangan yang tertinggal di lahan pembantaian. Sasuke malah digiring menemui para tetua, dengan bau amis darah yang belum kering benar. hanya untuk jatuhan hukuman mati yang sudah ada dalam rincian kehidupannya.

yah, mau bagaiaman lagi. setidaknya ia telah melaksanakan janji kakaknya. Menjadi tameng pelindung Konoha dari kehancuran. Melunasi hutang yang dulu kakak laki-lakinya tinggalkan.

Senyum tulus ia torehkan ketika palu keadilan berat sebelah, memukul punggungnya. Sasuke sudah terima. Nasibnya memang tak akan pernah baik, selama Uchiha menjadi nama belakangnya. Entah apa yang dulu leluhur Uchiha lakukan. Demi apa, Sasuke hanya seorang remaja berusia 17 tahun. Ia belumlah mengerti bagaimana dulu kakaknya juga terjerat dengan hukum Konoha. Yang membuatnya merelakan nyawa. Menjadi pengkhianat desa, dan akhirnya mati di tangannya. Sasuke sudah cukup puas. Kata-kata terakhir dan juga sentuhan yang dulu sering Itachi berikan, sempat membekas di dadanya. Mungkin itulah, yang menjadikan senyum khas seorang Sasuke mengukir indah di wajahnya.

Wajah dengan luka menganga. Wajah yang menampilkan gurat lelah akibat pertarungan. Tapi sekali lagi, Sasuke tidak menyesal. Ia sudah cukup mendendam. Dendam yang sebenarnya sia-sia. Setidaknya, perasaan itulah yang dulu Sasuke rasakan. Dan kini, hatinya sudah tidak punya tanggungan apa-apa. biarlah ia menyusul keluarganya. Ia yakin, kalau di tempat lain sana, Uchiha tengah menyambut kedatangannya. Kedatangan dari orang yang berusaha membersihkan nama baik klannya. Meski tak bernilai apa-apa dimata dunia.

.

.

.

Namun, ketika harapan menjadi semu bagi Sasuke. sosok itu datang. Dengan sejuta kehangatan yang ia tawarkan. Mengulurkan tangan dan merengkuhnya dalam kungkungan kebahagian. Temannya. Saudaranya. Rivalnya. Orang yang selalu berteriak akan membawanya pulang. Orang yang menjadi satu-satunya penglipur lara hati Uchiha muda.

Naruto.

Pemuda dengan keeksentrikan tersendiri. Yang mampu menyambangi jiwa nan kedinganan. Menawarkan rasa hangat pada siapa saja. dan menjadi matahri bagi dunia. Sosok pahlawan yang dielu-elukan. Wajah baru bagi Hokage masa depan.

Sasuke tidak tahu, jika label sahabat masih sosok itu titipkan di dahinya. Katanya, Sasuke adalah orang yang sama dengannya. Karena itula, Naruto akan mati-matian mempertahankan Sasuke bagaimana pun caranya. Jika harus sembah sujud di kaki para tetua pun tak apa. asal Sasuke bebas dari tuduhan. Apalagi dari tiang gantungan. Naruto sudah bersumpah, atas nama jiwanya. dia akan melindungi Sasukenya. Sahabatnya. Saudaranya. Rivalnya.

.

.

.

Tapi lagi-lagi. ada pula jutaan cara bagi para tetua gila untuk menggulingkan Uchiha. Sayrat yang tak mungkin Naruto terima. Syarat yang menjungkirbalikan dunia keduanya.

"Nikahi dia", katanya.

Naruto bergeming. Dengan Sasuke di belakang punggungnya melebarkan mata. Binar kebahagaian dua insan manusia itu lenyap seketika. Naruto tidak mungkin menikah dengan keturunan Uchiha. Hatinya telah tertawan dara lain dari klan Hyuuga. Tapi ia pun tidak punya kuasa. Satu-satunya cara agar Sasuke tetap di sampingnya adalah dengan mempersunting sang Uchiha.

Lain Naruto, lain Sasuke. rasa dendam itu memang hilang. Tapi tangannya gatal untuk tidak mencongkel dua biji mata kerutan milik dua tetua di sana. Inginnya Sasuke melesat. Membunuh dan mencabik monster bertitle tetua di hadapannya. Mereka gila, serunya. Tapi seruan itu tertawan angin dan tak pernah ia ucapkan. Lantaran Naruto sudah memotong umpatannya.

"Aku terima!"

Tegas, lugas. Namun penuh keraguan.

Sasuke sadar. Kini ia hanya menjadi biang masalah bagi mataharinya. Naruto tak lagi memasang punggung kokoh untuk melindunginya. Penyesalan akan apa yang telah ia utarakan terekam jelas di retina Sasuke. dua tetua tertawa. Tawa menjijikan yang penuh dengan siksaan mental. Merendahkan keputusan Naruto yang memilih menerima syarat gila yang dua tetua brengsek itu ajukan, daripada mengalah dan melepas genggamannya di tangan Sasuke. meraih Hinata. Bersanding dengan pujaan hatinya.

.

.

.

Benar intuisinya. Sebulan sudah ia tak lagi melihat Naruto mau menatap matanya. Perasaan jijik dan juga jengah yang selalu ia terima. Mungkin juga Naruto enggan untuk ada di sisinya. Sasuke sudah tak lagi berharap untuk melempar ejekan teme dobe yang dulu sering mereka lakukan. Sampai Naruto tidak mengusirnya, Sasuke akan tetap bertahan. Demi janjinya pada sang kakak tercinta. Melindungi Konoha dengan taruhan nyawa. Begitu yang selama ini ia pikirkan.

Tapi, apa yang ada di depan matanya tak pernah bisa ia hiraukan. Naruto dan juga Hinata. Dua muda mudi yang saling cinta. Terhalang karena Sasuke telah mengikat janji setia. Di depan dua tetua gila yang sebulan lalu mengajukan syarat pernikahan agar sasuke tetap di Konoha. Syarat yang dengan bodohnya Naruto terima. Hanya karena kata-kata tolol macam "aku tidak akan menarik kembali ucapanku, itulah jalan ninjaku".

Naruto bodoh. Selalu terapal dalam hati.

Hari demi hari terlewati. Sasuke sudah tak ambil pusing dengan hujatan para warga Konoha tentang betapa menjijikannya ia. Mau menangis pun percuma. Tidak ada yang bersedia dengan sukarela meminjamkan pundak untuknya. Naruto? jangan harap. Orang itu paling tengan berkencan dengan tugasnya. Pelajaran untuk calon Hokage selanjutnya. Dengan Hinata yang selalu setia berada di sampingnya. Menyemangatinya. Membuat derai-derai tawa mengalir dari mulutnya. Sesuatu yang kini tak pernah dan tak mungkin Sasuke lakukan. Karena Naruto memandangnya bagai bangkai tak sedap yang harus cepat-cepat dibuang.

Sampai suatu hari terjadi. dimana semuanya jadi lebih intim. Kamar remang-remang karena Naruto baru saja pulang dari misinya. Misi yang membuat sekujur tubuhnya penuh darah. Sasuke tidak tahu apa yang terjadi. ketika pria blonde yang dua bulan ini menyandang status suaminya itu memeluknya. Mendekap erat tubuhnya. Dan... mulai meciumi bagian tengkuk juga cuping telinganya.

Sasuke kegelian. Suasana akward yang tak pernah terbayangkan. Di mana Naruto menjamah setiap bagian pada tubuhnya. Menjadikannya budak nafsu akan gairah yang ditawarkan calon Hokage masa depan. Deru nafas juga lantunan namanya mengalir indah dari mulut yang kini meliuk di kulit perutnya. Menhadirkan jejak saliva. Membasahi segala ruam yang telah Naruto torehkan. Ingin rasanya Sasuke berhenti. Tapi mungkin ini adalah kali pertama dan terakhir Sasuke dapat menikmati sentuhan intim Naruto. sentuhan yang tak diselingi perasaan jijik yang akhir-akhir ini Naruto berikan untuknya. Juga sentuhan yang menyampingkan nama Hinata.

Ya! Naruto hanya menyebut namanya. Ketika ia memberi kissmark dan bitemark. Ketika Naruto menjamah bagian selatan tubuhnya. Ketika Naruto memasukinya.

"Sasuke... Sasuke... Sasuke..."

Tapi Sasuke tak bersuara. Ia takut jika Naruto medengar suaranya, pria pirang itu sadar telah melakukan sesuatu pada tubuhnya. Apalagi saat ini mereka telah mencapai nikmat nirwana. Sasuke tak ingin berhenti. Tak mau berhenti. Paling tidak sampai Naruto meneriakkan namanya seperti...

"SASUKE!"

Dan malam itu, Naruto melakukannnya berkali-kali pada tubuh berpeluh Sasuke.

.

.

.

"Kau hamil Sasuke!", kata Sakura. Di suatu siang yang terik. Dengan matahari bagai membakar kulit. Kabar mengejutkan Sasuke terima dari kunoici berambut pink. Tapi itu seperti lecutan untuknya. Hamil? Apa Sakura harus menelanjanginya agar gadis itu percaya bahwa Sasuke itu pria sejati?

"Aku sudah berkali-kali mengeceknya. Tes urinemu mengatakan kalau ada janin dalam perutmu"

Suara halilintar berngiang di auditori Sasuke. matanya sudah tak cukup lebar lebih dari ini. terkejut. Sangat malah. Kenapa ia? Hamil? Bahkan tanpa kehamilan ini pun Sasuke sudah dipandang hna. Kini urat malunya harus benar-benar putus agar Sasuke bisa bertahan. Derita apalagi yang harus ia tanggung ke depannya? Sasuke sudah tidak kuat. Ia sudah sangat lelah dengan penolakan Naruto yang semakin nyata setiap harinya. Kebencian pemuda yang selama ini menyinari hari-harinya sudah menjadi cambuk untuknya sad bahwa ia tidak diinginkan. Ditambah sekarang ia harus mengandung? Buah dari kesenangannya dengan Naruto beberapa minggu lalu? mungkin bukan lagi jijik, atau penolakan yang ia terima. Bahkan hujatan yang selama ini tak pernah terlontar dari mulut Naruto, sebentar lagi akan ia dengar.

"Kau yakin, Sakura?", tanyanya. Mencoba menebak bahwa ini bukanlah sebuah keseriusan yang seperti Sakura tunjukan lewat sorot matanya.

"Aku yakin Sasuke. kau hamil"

Sudah tak bisa lagi disangkal. Sakura melihat kengerian di mata Sasuke. bukan ia tidak tahu apa yang terjadi dengan mantan cinta pertamanya. ia hanya terlalu disibukkan dengan rumah sakit dan misi. Sehingga Sakura tak pernah ada untuk menjadi tumpuan keturunan akhir Uchiha itu. menyesal? Tentu saja iya. Sakura sangat menyesal karena terlaru larut akan pekerjaan Shinobinya hingga ia tidak pernah menyempatkan diri berbincang dengan Sasuke. jadilah ia hanya mendengar dari mulut ke mulut. Sasuke yang sekarang lebih pendiam dari sebelum-sebelumnya.

"Begitu ya...". tangannya meremat kencang bagian celananya. Sasuke mati-matian menahan air mata. Ia tidak akan lagi menangis di depan orang lain. Sasuke bukan lah seorang lemah seperti dulu. ia adalah pemuda yang kini harus bisa membedakan mana yang benar dan salah. Dan kata hatinya, bayi dalam perutnya bukanlah kesalahan. Ia hanya mendapat kesialan pertama, bahkan sebelum lahir, dengan mendekam di perut mantan missing-nin macam dirinya. "Lalu, bagaimana keadaannya? Apakah sehat?"

"Ya". Sakura menjawab lemah. Mata sasuke tak bisa membohonginya. Tapi sakura juga bingung harus bagaimana. Seandainya... seandainya saja ia bisa menjadi sandaran bagi sasuke. "Usianya baru tiga minggu. Datanglah lagi nanti. Aku akan memberikan obat anti mual untukmu. Jangan lupa, konsumsi susu ibu hamil. Makanan berprotein juga baik untuk pertumbuhannya".

"Aku mengerti". Sasuke beranjak. Merasa tak lagi ada yang perlu dibicarakan. Mengingat ia datang kemari juga sendririan. Dan Sasuke tidak ingin terlalu lama berada di ruang dokter yang serba putih. Tidak cocok dengan dirinya yang kini tak lebih dari 'kotoran'. Sasuke harus pergi, sebelum ruangan Sakura terkontaminasi oleh bakteri seperti dirinya. "Ah ya Sakura... terima kasih"

Dengan itu, Sasuke menghilang dari pandangan mata hijau sang gadis. "Sasuke..."

.

.

.

Sasuke terpaku di ambang pintu rumahnya sendiri. Pemandangan di depan sana sangat mengguncang. Niat hati ingin menenangkan diri di dalam bilik kamarnya. Bukan malah harus melihat tontonan gratis seperti ini. Naruto dan Hinata. Berciuman. Di rumahnya.

Cepat atau lambat Sasuke tahu hal ini akan terjadi. tapi kalau secepat ini? ia baru saja mendapat kabar mengejutkan. Dan sekarang di tambah tontonan mengejutkan. Dua mata berbeda warna yang juga balik menatapnya tak kalah kaget. Hinata yang merangkul Naruto mesra. Serta Naruto yang memeluk pinggang Hinata intim. Tidak ada kah yang lebih buruk dari ini? misalnya dua pasangan itu tengah bergumul mesra di peraduan yang dulu menjadi saksi atas pergumulannya. Tanpa menyadari kehadirannya. Bukan malah sebaliknya. Sasuke membatu. Begitu juga Naruto dan Hinata. Mungkin. Seandainya guru Kakashi tak datang menjadi penengah, hal itu akan berlangsung lebih lama dari sekarang.

"Yo!". Sembari membalikan tubuh Sasuke. merangkul bahu melorotnya. Membuat Sasuke ingat bagaimana bernafas. Setelah beberapa detik lalu ia kehilangan caranya. "Aku datang ingin menemui Sasuke. tapi sepertinya waktunya tidak tepat ya?". Senyum menyebalkan menjadi penutup sapaan guru Kakashi.

Hinata yang pertama melepas rangkulan. Mungkin kikuk ketahuan melakukan hal yang tidak-tidak. apalagi dengan suami orang. Warna merah secepat kilat menjalar di bilah pipinya. Tapi tidak ada raut bersalah sama sekali. Gadis itu lebih berani dari yang Kakashi kira. Cinta memang mengalahkan segalanya. Sampai logika juga hilang entah kemana.

"Bisa lepaskan aku, guru Kakashi?"

"Eh?"

"Kurasa kita harus segera pergi. Bukankah kau yang bilang ada urusan denganku. Taman Konoha sepertinya tempat yang cocok untuk bicara".

"Oh hahaha... baiklah. Sampai jumpa, Hinata, Naruto"

Naruto terduduk di kursi ruang tamu. ia memijat pangkal hidungnya. Kepalanya tiba-tiba pening. Melihat ekspresi Sasuke yang seolah terluka. Entah mengapa membuat dadanya berdenyut sakit. Hatinya berdentum mendapati Sasuke ada di ambang pintu. Menyaksikan percumbuannya dengan Hinata. Naruto tidak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan.

Benar. tak sekali pun Naruto melupakan malam itu. malam panasnya dengan Sasuke beberapa minggu lalu. dengan ia memasuki Sasuke berkali-kali. sejak itu dirinya tak pernah bisa mengenyahkan sosok Sasuke yang terbaring pasrah dibawahnya. Meredam desahan dengan menggiit bibir bawah hingga berdarah. Mengingat itu, membuat Naruto berpikir ulang. Sebenarnya sosok mana yang ada dalam hatinya? Ia yakin kalau cintanya hanya untuk Hinata. Tapi mengapa? Ketika dirinya tengah berada pada masa sulit akibat misa yang mengharuskan salah satu anggotany terluka parah sampai nyaris mati, nama Sasuke lah yang terlintas di benaknya. Di bahu pemuda itu lah Naruto ingin bersandar dengan segala kesah di dada. Dan Naruto memang melakukannya. Melampiaskannya dengan menyetubuhi Sasuke brutal. Meneriakan namanya berulang-ulang. Sampai habis suara di tenggorokan.

Namun, pagi pada hari berikutnya. Seolah ada bongkahan batu besar saat matanya menangkap potret Sasuke tanpa sehelai benang tidur di sampingnya. Ia berpikir ulang dengan kelakuannya. Benarkah itu hanya pelampiasan? Tapi lebih dari setengah suara hatinya mengatakan jika ia memang sudah sepantasnya melakukan hal itu dengan Sasuke. Sasuke istrinya. Sasuke belahan jiwanya. orang yang kini menyandang marga Uzumaki di akhir mnamanya. Akan tetapi, bagian lain seolah menentang semua kenyataan yang ada. Karena itulah ia bertindak dengan mencumbu Hinata. Gadis yang sampai sekarang dia anggap mejadi cintanya. Dan Naruto sadar. Setelah apa yang ia lihat di mata Sasuke. bahwa ada yang salah dengan hatinya. Entah sejak kapan. Dan mungkin sampai kapan. Sosok Sasuke tak bisa digantikan. Bahkan dengan Hinata yang kini ia percayai sebagai cintanya.

"Naruto..."

"Maaf Hinata, bisakah kau tinggalkan aku sendiri?"

.

.

.

"Kupikir saat kau bilang taman Konoha, kita akan benar-benar ke sana?"

Suara Kakashi memecah hening tak berkesudahan. Sasuke membolak-balik berkas yang ada di tangannya. Tak peduli raut bosan Kakashi yang ingin segera beranjak dari sana. Tempat angker yang kata sebagian besar orang terkutuk itu, kini tengah ia sambangi bersama muridnya.

Sasuke masih fokus. Dengan terampil satu buku telah berpindah dari pangkuannya. Berganti dengan buku baru yang sudah sangat usang. Meski demikian, tiap katanya masih dapat di cerna. Setiap baris demi baris yang menyimpan jutaan sejarah klan Uchiha. Dan ketika matanya jatuh pada lembar pertengahan buku kedua belas yang saat ini ia baca. binar matanya berubah. Dari serius ke senang. Dari senang, sendu kemudian. Dengan sekali hentak, lembaran itu ia sobek paksa. Menyimpannya dalam saku celana. Barulah Sasuke berdiri dan menghadap guru Kakashi yang memandangnya berkerut dahi.

"Sudah?", tanyanya. Melihat Sasuke yang tersenyum jumawa. Senyum yang sangat lama tak pernah nampak di wajahnya. Senyum yang dulu selalu lontarkan ketika melempar ejekan dengan lawan mainnya. Siapa lagi, Naruto orangnya.

"Kau sudah terlalu tua, guru. sampai berdiri lama saja, kakimu sudah pegal-pegal". Nada itu juga tak lupa Sasuke sematkan pada suaranya. Kakashi terdiam dengan perubahan nyata Sasuke. "Ayo pergi!", perintahnya mutlak.

"Hhh...", menghela nafas. tak habis pikir dengan sikap Sasuke barusan. Muridnya ini kadang tak bisa ia cerna pikirannnya. Kata siapa Sasuke seperti buku yang terbuka. Sasuke itu penuh misteri sekarang. Tak lebih dari manusia pendiam yang teramat pandai menyembunyikan perasaan. Sejak menyandang marga Uzumaki tepatnya. Tak lagi selintas pikiran tentang apa yang akan Sasuke lakukan dapat dengan mudah Kakashi prediksikan. "Kemana lagi?"

"Traktir aku ramen."

"Hahhh?"

Mereka suda keluar dari pemukiman klan Uchiha. Sasuke berjalan di depan, sedangkan Kakashi mengekorinya di belakang macam anak itik mengikuti induknya. Sesekali matanya mencuri pandang pada punggung Sasuke yang lebih kurus ketimbang sebelumnya. Memang sih, sejak kembali ke Konoha, bocah itu tak pernah sekali pun mendapat misi seperti teman sejawatnya yang lain. Jangankan misi, sejanta macam kunai saja Sasuke sudah tidak pernah menyentuhnya. Apalagi Kusanagi yang dulu tersemat di pinggangnya. Salah satu syarat yang di ajukan para tetua gila. Menurut mereka, Uchha bisa jadi sumber masalah selanjutnya. Sasuke jadi mirip tahanan rumah.

Mungkin itulah sebab mengapa tubuh itu makin kurus saja. Kakashi hanya pura-pura tidak tahu, siksaan mental dari Naruto lah yang sebagian memengaruhi penurunan tubuh Sasuke. Sasuke bukan tipe manusia yang suka dikasihani. Hanya saja, tak mungkin ia tak menampilkan mata penuh iba, jika bertemu Sasuke. karena itulah, pilihannya jatuh pada simpati atas apa yang ditanggung Sasuke dari para tetua. Kakashi tidak mau menambah beban di punggung pemuda itu. sudah cukup baginya tersesat di jalan penuh darah dan dendam. Kakashi tidak lagi ingin kehilangan murid berharganya.

"Sejak kapan kau suka ramen, Sasuke?". mereka kini telah duduk bersebelahan di kedai paman Teuchi. Pembuat ramen terbaik Konoha. Dengan semangkuk ramen ekstra untuk Sasuke. dan semangkun ramen biasa untuk Kakashi. Asapnya bahkan masih mengepul, membuat Sasuke harus ektra sabar agar lidahnya tidak terbakar saat menyantap makanan berlemak itu.

"Baru saja. apa terlihat aneh kalau aku makan ramen, guru?", jawabnya. Suapan kelima untuk Sasuke. Kakashi tidak menyentuh ramennya.

"Kau biasanya tidak suka dengan ramen. Hanya heran saja".

"Kalau begitu, sekarang guru sudah tahu kan. aku hanya tidak membencinya. Tapi juga bukan harus setiap hari makan ramen". Lirikan kecil Sasuke berikan. Gurunya menatap jijik bagaimana cara ia makan. Dalam pikiran Kakashi, saat ini Sasuke tak ubah seperti Naruto yang tengah kelaparan. Makan dengan cepat. Penuh noda di pipi dan wajah. Juga suara slurppp kuah ramen itu. Uhhh rasanya Kakashi sudah kenyang.

"Kau seperti orang ngidam", ungkap Kakashi sambil lalu. tangannya meraih sumpit, mematahkannya dan mulai menikmati ramen yang sudah lebih hangat dari pada yang tadi. "Selamat makan"

Kakashi hanya tidak sadar kalau mata Sasuke sempat membulat barang satu detik. Guru nyentrik itu luput dari pemandangan bahu tegang Sasuke. kata-katanya barusan menyentak sanubari Sasuke. benarkah ia tengah ngidam? Apa ini rasanya hamil? Keinginannya harus dituruti. Dan begitu apa yang diinginkannya tersaji, rasa bahagia menjalar di dadanya. Tidak buruk juga. Walau begitu, tetap saja janggal. Mendengar seseorang tanpa sengaja menyindir apa yang sedang kita lakukan, Sasuke merasa kapan saja gurunya itu bisa membaca gerak-geriknya.

"Apa terlihat begitu?", tanyanya. Tanpa sadar tangannya sudah ada di perut, mengelus lembut bakal calon bayinya.

"Hanya orang ngidam saja yang meminta sesuatu yang tidak wajar. Seperti kau sekarang. Yang kutahu, Sasuke itu tidak suka ramen. Tapi mendadak kau jadi ingin memakannya dengan porsi besar. Bukankah itu aneh?"

"Aneh ya?"

"Eh?"

Perubahan mimik wajah Sasuke, tak ayal menimbulkan tanda tanya besar di kepala Kakashi. Kenapa dengan bocah ini? Apa aku baru saja mengucapkan sesuatu yang salah? Dan apa-apan dengan tingkahnya itu. mengelus perut ratanya sendiri. Mirip seperti orang hamil.

DEG!

Satu pemikiran absurd yang melintas di benak Kakashi barusan. Seolah menampar sisi warasnya. Sasuke itu laki-laki kan? jadi tidak mungkin hamil. Tapi kelakuan aneh macam apa ini. apa yang saat ini Kakashi lihat, mirip dengan gaya moodswing orang hamil. Juga sensitivitas Sasuke yang naik turun. Tidak! tidak mungkin. Sasuke masih lah murid laki-lakinya. Jadi tidak mungkin kalau... tapi tidak ada yang tidak mungkin. Lalu perasaan apa tadi. Semacam ada aliran cakra lembut yang menguar ketika Sasuke mengusap perutnya perlahan. Cakra hangat yang sedikit mirip dengan milik gurunya dulu. Hokage keempat, Namikaze Minato. Juga sedikit lembut seperti juniornya di ANBU. Uchiha Itachi. Sasuke... tidak mungkin dia...

"Tambah!"

Suara Sasuke membawa Kakashi kembali dari transnya.

.

.

.

Rencana sudah matang disusunnya. Sedikit perbekalan cukup untuk perjalanan selama tiga hari tiga malam. Untuk malam selanjutnya akan sasuke pikirkan nanti saja. yang terpenting sekarang keputusannya sudah bulat.

Sasuke beridiri di depan pintu rumahnya sendiri. Nafas berat sudah sejak satu menit lalu di hembusnya keras. ini pilihannya. Mulai saat ini tidak akan ada lagi sosoknya berkeliaran di kehidupan Naruto. menjadi beban orang lain bukanlah gayanya. Sasuke akan lebih memilih menjauh sejauh-jauhnya daripada merepotkan banyak orang. Dulu ia sudah pernah merasakannya. 'Berbeda' di depan mata ayahnya. Jadi semuanya akan baik-baik saja. Sasuke hanya harus mengucapkan terima kashi dan pergi. Menghilang dari Konoha. Dari dunia Shinob. Dan dari Narutonya.

"Terima kasih. Sudah mau menjadi temanku selama ini. menjadi rival yang mengalihkanku dari dendam. Dan menjadi Naruto, orang yang kucintai", ucapnya. Tubuhnya membungkuk 90 derajat.

"Maaf, selama ini hanya bisa merepotkanmu. Membawamu pada kondisi meyakitkan saat aku pergi meninggalkan Konoha dulu. membuatmu berjanji akan membawaku pulang. Janji yang menjadi boomerang untuk dirimu sendiri. Aku sangat sadar. Seharusnya dulu kau tak meraih tanganku, dan membiarkanku mendekam dalam jeruji besi. Kalau bisa biarkan aku berkumpul dengan Uchiha yang lain. Itu lebih baik daripada harus di benci olehmu". Suaranya bergetar. Entah sejak akapn, air mata menganak pinak di pipinya. Tanpa isakan.

"Aku akan pergi. Walau takdir tetap menjadi misteri. Aku tidak bisa menjajikan bahwa aku akan menghilang dari hidupmu. Kematian bukanlah pilihanku saat ini. karena ada sosok suci yang mendekam dalam tubuhku. Paling tidak, dengan ketakhadiranku, kau bisa meraih mimpimu. Menjadi Hokage yang disegani semua orang. Untuk itulah, kuucapkan selamat atas apa yang nanti akan kau raih".

"Naruto... sekali lagi terima kasih".

.

.

.

Angin berhembus cukup kencang malam ini. Sasuke meredam suara kakinya agar tak membangunkan penjaga gerbang Konoha. Matanya memandang tajam bentangan jalan yang kini ada di depannya. Pikirannya berputar ke tempat aman dimana dirinya bisa hidup bebas. Tujuannya memang belum jelas. Tapi, ia sudah memikirkan apaapa saja yang akan ia lakukan. Jenius sepertinya harus matang dalam bertindak.

Sosok Pakkun menghalangi jalan Sasuke. anjing milik Kakashi itu menatap datar Sasuke yang balik mengerenyitkan alis padanya. beberapa detik dilalui hanya untuk saling diam tanpa banyak bicara. Menelisik apakah kiranya yang masing-masing dari mereka lakukan.

"Kakashi memintaku menemanimu", kata anjing itu setelah berdeti-detik berlalu. "Dia pikir kau akan melakukan hal luar biasa seperti yang pernah kau lakukan dulu. bedanya, bukan Sakura yang mencoba mencegahmu".

Sasuke makin tidak mengerti dengan kata-kata anjing itu. ia mencoba melangkah. Mengacuhkan ocehan dari Pakkun yang menurutnya tidak ada gunanya. Baik dulu maupun sekarang tidak ada bedanya. Jika Sasuke ingin pergi, maka itulah yang harus dilakukan. Biarlah orang berkata dirinya pengecut. Atau kembali melabeli dirinya menjadi missing-nin. Kepergiannya kali ini bukan untuk itu.

"Aku tidak akan mencegahmu". Sasuke berhenti. Kernyitan semakin dalam di dahinya. "Kakashi bilang percuma melakukan hal itu. karena itu lah, aku hanya akan menemanimu. Mengawasi semua yang akan kaulakukan. Termasuk menjadi teman seperjalananmu".

"Kau tidak berpikir aku akanmengizinkannya kan?"

"Kakashi juga bilang, apapun rencanamu untu kabur dariku, itu tidak akan berhasil. Kau sudah seperti adik untuknya. Karena itu, biarakan dia melakukan hal ini. paling tidak dengan adanya aku di sampingmu, kepalanya tidak akan tambah beruban seperti sekarang".

Kembali detik terlewati dengan keheningan. Pakkun sudah berjalan lebih dulu. meninggalkan sasuke yang terdiam macam orang linglung.

"Oi!", seruan itu mebuyarkan pikiran Sasuke. ia mempercepat langkah untuk menyusul si anjing yang kini jauh di depannya. Bukannya ia yang ingin pergi? Kenapa malah Pakkun yang terlihat lebih bersemangat sekarang.

"Kau serius?", tanya Sasuke memastikan.

"Ya!"

"Hhhh... terserah saja lah"

"Jadi... kemana kau akan pergi?"

"Tempat yang mungkin tidak akan pernah dicari Shinobi Konoha"

"Hn?"

"Kau akan tahu nanti"

Dan malam semakin larut. Ketika dua bayangan itu menghilang tanpa seorang pun yang tahu. di lain pihak. Di mana Naruto tengah tertidur dengan peluh membanjir sekujur tubuh. Nama yang keluar dari igauannya adalah...

"Jangan pergi... Sasuke".

.

.

.

Bersambung...?

Silakan beri komentarnya...