Pesta pernikahan putri Yamanaka dan putra bungsu Shimura sangat meriah. Para menteri, Saudagar kaya, bahkan pangeranpun datang. Sakura menyeruput tehnya, menikmati tarian dari grup tari terkenal. Senyum gadis itu mengembang saat Itachi duduk di sisinya. Di belakang pria itu ada Uchiha setsuna, pengawal pribadinya. Sakura menatap Setsuna sedikit lebih lama sebelum mengalihkan perhatiannya pada Itachi.

"Pangeran." Sakura menundukkan sedikit kepalanya hormat.

"Kita sedang ada di pesta Haruno-san, bukan di istana. Santai saja." Sakura terkekeh pelan mendengar ucapan sang putra mahkota.

"Anda terdengar mentoleransi hal tidak sopan." Itachi menyeringai menatap gadis di sampingnya yang masih setia menyunggingkan senyum manis.

"Hm, bukankah Haruno-san yang memperlihatkan sikap tidak sopan? Ku pikir mengabaikan seseorang termasuk dalam hal tidak sopan." Sakura tersenyum simpul menyesap tehnya.

"Apa aku melakukannya?" Kernyitan bingung Sakura memudar saat melihat senyum Itachi yang mengalihkan tatapannya pada Sabaku. Sakura pernah mendengar jika putra mahkota bersahabat dengan Kankurou. Dan sepertinya sangat dekat jika Itachi terlihat begitu peduli pada keluarga Sabaku. Matanya menatap Rasa dan Gaara yang sedang mengucapkan selamat pada Inoichi dan Danzo. Gezz Rasa memang penjilat sejati. Seperti tidak tahu cara yang lebih baik untuk memanfaatkan jabatannya. Jika harta yang menjadi tolak ukur, Rasa memang tak memiliki posisi yang bagus di banding menteri lainnya.

"Anda benar pangeran. Sayangnya tak banyak yang bisa ku dapatkan dari Sabaku-san." Lanjut Sakura yang dia tahu pasti tak akan menyenangkan di telinga sang pangeran. Itachi memaksakan senyumnya meski rasanya wajahnya sangat kaku. Jelas gadis di depannya sedang merendahkan keluarga sahabatnya. Ah Kankurou selalu benar jika menyebut gadis ini sombong.

"Ah ku pikir pernikahan terbaik yang di dasari rasa suka. Seperti Sai dan Ino." Lagi, Sakura terkekeh pelan mendengar ucapan Itachi.

"Anda berpikir seperti itu? Bagiku ini sebuah kebetulan. Kebetulan Ino-san dan Sai-san berasal dari keluarga yang sederajat. Kebetulan Yamanaka dan Shimura memiliki kepentingan yang sama. Bukankah itu terdengar sangat beruntung?" Itachi mengrenyit mendengar ucapan Sakura. Gadis itu memandang pernikahan dalam satu sudut. Dan Itachi tak suka. Jika selama ini dia menganggap Rasa lucu karna tak bisa menundukkan Sakura. Sekarang dia sama sekali tak merasa dirinya lucu saat berbicara langsung dengan Sakura. Gadis ini memiliki pemikirannya sendiri, yang Itachi tahu akan sangat sulit di rubah. Mengendalikan Sakura terdengar seperti omong kosong saat ini. Apa benar Rasa memiliki kepercaayaan diri setinggi itu?

"Kau seperti cenayang." Itachi tak menyembunyikan raut kesalnya.

"Ah sepertinya anda harus jalan-jalan agar tahu dunia luar. Itu sangat menarik." Dan mengerikan. Sakura menunduk lalu berpamitan saat Darui sudah berada di belakangnya. Sudah waktunya pulang bagi seorang gadis seperti dirinya. Hanya para pria yang menikmati pesta hingga malam. Mungkin sekaligus penarinya.

Sakura tersenyum saat Inoichi mengantarnya hingga ke gerbang kediaman Yamanaka. Wajahnya begitu ceria dan bahagia. Melihat tingkah manisnya Sakura pikir hadiah darinyalah yang terbaik. Ya, Inoichi selalu tunduk pada harta. Pemberi terbanyak akan mendapatkan kesetiaannya. Setidaknya Sakura akan membuatnya seperti itu.

"Terima kasih atas kedatangannya Haruno-san."

"Tidak, tidak, bagaimana mungkin aku tak datang. Ini hari yang sangat penting bagi Ino-san. Berkunjunglah ke rumah saat ada waktu Inoichi-san."

"Tentu."

Sakura menaiki kereta kuda yang di kusiri Darui. Pria di depannya memang serbaguna. Salahkan saja Sakura yang selalu sulit mempercayai orang. Meski Darui berkali-kali membujuknya agar memiliki pengawal, Sakura tak pernah mendengarkan. Semakin banyak orang di sekitar Sakura, maka akan semakin sulit untuk mengendalikannya. Kadang Darui bisa mengerang frustasi melihat kediaman Sakura yang hanya di jaga sedikit, ralat... sangat sedikit orang. Hey bagaimanapun Sakura adalah saudagar terkaya di kota.

Sakura terlambat bangun pagi ini, tentu saja itu membuat Mabui mengomelinya. Tak baik seorang gadis bangun siang, itu katanya. Sayangnya Sakura bukan pendengar yang baik. Gerutuan Mabui yang menata rambutnya hanyalah musik yang mengawali hari baginya.

Kali ini Sakura menyusuri pasar seorang diri. Matanya memang menelisik barang-barang di toko, namun pikirannya melayang pada Sasori. Mungkin sebaiknya dia mengunjungi pria itu, mengingat sudah lama mereka tidak bertemu. Harusnya kelompok pain sudah bergabung dengan Sasori.

Sakura tersenyum lebar saat sudut matanya menangkap sosok yang berjalan ke arahnya. Uchiha Shisui. Menteri keuangan. Orang yang sangat ingin Sakura temui. Bolehkan Sakura menganggap ini keberuntungan? Dengan anggun Sakura menghampiri pria itu.

"Tuan Uchiha." Sakura sedikit membungkukkan tubuhnya di depan Shisui.

"Wah wah lihat ini, pagi-pagi aku sudah bertemu dengan gadis cantik." Sakura tersenyum simpul mendengar pujian Shisui.

"Jika anda tak keberatan, saya bisa menjadi pemandu di pasar ini."

"Ah tentu saja. Siapa yang bisa menolak seorang Haruno-san. Ah bagaimana dengan Sabaku-san? Kau menerima pinangannya?"

"Saya pikir akan lebih menguntungkan menjadi menantu anda." Shisui terbahak mendengar ucapan Sakura. Tentu saja pria ini akan senang mendengar betapa Sakura merendahkan Sabaku. Mereka memiliki masalah yang cukup sensitif.

Obrolan kecil seputar kualitas dan harga barang juga sesekali menyinggung selera para menteri mengiringi langkah mereka. Shisui adalah pria yang cerdas. Dia merupakan sepupu Fugaku yang di beri jabatan sebagai menteri keuangan. Posisi yang menuntut kepercayaan tinggi. Mungkin itu sekedar peredam agar tak terjadi pemberontakan. Oh, sudut pandang Sakura memang selalu berbahaya.

.

.

.

Shikaku menatap putra Minato yang menghadapnya. Namikaze Naruto. Pria aktif yang menjadi kepala keamanan kota di usia muda. Pria ini memohon izin untuk mencari bibinya yang menghilang sejak beberapa hari lalu. Bahkan sebelum Naruto datang, Kushina sudah datang padanya, memohon agar Shikaku membantunya mencari sepupunya itu. Karna orang-orang Namikaze sama sekali tak menemukan jejak keberadaan Mito di kota ini.

"Kau akan memulai pencarian dari mana?" Naruto mengrenyit sebentar lalu tersenyum.

"Mungkin dari tempat kerja dan teman-teman dekatnya."

"Aa, bawalah beberapa orang terbaik. Kau akan membutuhkannya."

"Terima kasih tuan." Naruto undur diri. Izin sudah di dapatkannya. Naruto tak akan melepaskan kasus ini. Siapapun yang berurusan dengan keluarga besarnya tak akan berakhir dengan mudah.

Sementara itu Shikaku menatap arah kepergian Naruto cukup lama lalu menghela nafas. Pria itu terlalu muda, mungkin saja akan melakukan tindakan tanpa di pikir masak. Meski begitu, sudah seharusnya kepala keamanan kota menghadapi masalah yang tidak ringan. Tinggal lihat saja segigih apa pria muda itu menyelesaikan masalahnya.

"Naruto seorang yang tak sabaran dan tak mudah menyerah. Apa kau akan tetap berada di ketenanganmu?" Bisik Shikaku seraya mengukir senyum lebarnya. Pria gagah itu kembali menyesap tehnya.

Seorang gadis bercepol entah muncul dari mana membungkuk di belakang Shikaku. Pria itu hanya diam tersenyum menatap pohon Sakura yang hanya tinggal ranting. Ah sebentar lagi salju akan turun.

"Apa kau menemukan sesuatu?"

"Tidak. Gerakan mereka terlalu sulit di ikuti. Hanya saja ada seorang yang menjadi kurir dan menemui Haruno-san. Seharusnya tidak sulit mengikuti remaja itu, hanya saja selalu ada orang lain yang mengganggu."

"Remaja?"

"Ya tuan. Dan dia sangat mirip dengan yang mulia raja." Shikaku mengrenyit mendengar penjelasan gadis di belakangnya. "Saya hanya bisa melihatnya jelas sekali, karna orang-orang yang seolah melindunginya selalu menyerang dengan brutal."

"Kau terluka?" Shikaku menoleh pada gadis itu.

"Bukan saya, tapi lee. Lukanya cukup serius." Shikaku menghela nafas. Seharusnya dia tahu apapun yang berhubungan dengan gadis merah muda itu tak akan mudah.

"Tenten."

"Ya tuan."

"Hentikan sementara gerakan kalian."

"Baik." Tenten pergi setelah melihat isyarat tangan Shikaku.

Lagi-lagi Shikaku menghela nafas. Remaja yang mirip dengan yang mulia raja? Seharusnya dia sudah menduganya. Putra bungsu rajanya tak mungkin di bunuh begitu saja lima belas tahun yang lalu. Dan jika benar, kemungkinan besar remaja itu memang pangeran kedua. Uchiha Sasuke.

.

.

.

Sasuke mendengus sebal saat menyadari gadis yang duduk jauh di depannya lagi-lagi terang-terangan memperhatikannya. Rasanya dia jadi tak bisa menelan makanannya karna tatapan gadis berambut merah di depannya sana. Gadis yang datang bersama rombongan pain kemarin. Sasuke menyesalkan kenapa gadis itu tidak ikut para pria yang entah di perintah Sasori pergi ke mana.

"Ck, rasanya aku ingin mencongkel matanya. Dia tak berhenti menatapku sejak kemarin." Desah Sasuke jengkel.

"Dia rombongan pain Sasuke. Sasori-nii tak akan membiarkanmu melakukan itu." Sahut Juugo kalem. Dia mengerti jika Sasuke terganggu oleh ulah gadis itu, sayangnya tak ada yang bisa mereka lakukan. Karin termasuk dalam rombongan para wanita dan anak-anak yang di bawa pain.

"Sasori-nii harus melakukan sesuatu." Dengus Sasuke dan beranjak mencari pria berambut merah. Orang nomor satu di tempat ini.

Sasuke menanyai zetsu putih tentang keberadaan Sasori. Dan dia harus kecewa saat mendengar Sasori pergi bersama Zetsu hitam. Ck, dia harus menemukan tempat untuk menunggu Sasori tanpa di ganggu tatapan gadis berambut merah yang masih mengekorinya jauh di belakangnya.

Saat itulah matanya melihat Suigetsu masuk ke ruangan yang biasa di gunakan pria itu menunggu Sasori. Dengan cepat Sasuke menyusul Suigetsu masuk lalu menutup pintu. Suigetsu menyunggingkan senyumnya melihat Sasuke, memamerkan gigi-gigi runcingnya.

"Sui bagaimana kabar Sakura-nee?" pria berambut putih itu mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Sasuke.

"Kau tak menanyakan kabarku?" Dengus Suigetsu jengkel. Sasuke terkekeh.

"Aku sudah lihat kau baik-baik saja. Jadi, bagaimana kabar Sakura-nee?" Lagi-lagi Suigetsu mendengus jengkel. Sasuke memang tak memperdulikan hal lain selain latihan pedang dan Sakura. Bahkan dia seperti tak peduli pada Suigetsu. Padahal mereka mendapatkan pelatihan yang sama untuk menjadi kurir dari orang berpakaian hitam yang tak pernah mereka tahu wajahnya. Mereka di latih untuk bergerak tanpa kuda namun tak kalah cepat dengan orang yang menunggangi kuda. Intinya mereka di latih untuk menjadi kurir terbaik.

"Kau bahkan jauh lebih sering bertemu dengan Haruno-san daripada aku."

"Benarkah? Bukankah kau tinggal di kota? Ku pikir kau akan sering bertemu dengan Sakura-nee." Suigetsu terkekeh mendengar ucapan Sasuke. Baginya Sasuke terlalu polos. Bahkan mungkin teman sesama kurirnya itu tak tahu apa-apa tentang segala yang mereka lakukan.

"Kau tahu, aku bekerja pada tuan Darui. Hanya tuan Darui yang bisa menemui Haruno-san." Sasuke cemberut mendengar itu. Duh, rasanya dia ingin sekali menggantikan posisi Darui.

Sasuke dan Suigetsu keluar saat mendengar keributan. Terlihat beberapa orang terlibat perkelahian. Fokus dua remaja itu adalah Pain dan Sasori yang saling menghunuskan pedang. Dalam beberapa detik baik Sasori maupun Pain melakukan gerakan memotong berbahaya. Sasuke sampai menahan nafas melihat dua orang itu saling serang. Hingga Sasori berhasil menendang dada Pain dan membuat pria berpiercing itu terjungkal. Dengan cepat Sasori menginjak leher Pain.

"Hentikan!" Bentakan Sasori membuat adu jotos di sekelilingnya berhenti. "Aku bisa mematahkan lehermu dalam sekejap Pain." Ancam Sasori. Tak di hiraukannya raut tersiksa Pain karna tekanan di lehernya.

"Di sini, kau dan anggotamu harus mengikuti aturanku." Desis Sasori tajam. "Aku tak pernah suka bercanda Pain, dan harusnya kau tahu, aku bisa menghabisi kalian semua dalam waktu singkat." Sasori mengangkat kakinya. Manik hazelnya menatap tajam pria yang sedang terbatuk-batuk.

"Kau tahu setiap keputusan selalu beresiko. Dua kali kesalahan terlalu banyak Pain, ku harap ini kesalahanmu satu-satunya." Sasori berjalan ke arah Sasuke meninggalkan Pain dan yang lainnya. Kesetiaan memang seharusnya di lahirkan, tapi ada saatnya kita harus membentuk paksa kesetiaan itu.

Sasori mengacak rambut Sasuke lalu mengisyaratkan agar Suigetsu mengikutinya masuk. Sementara itu Sasuke yang menunggu di luar melihat Pain yang mengumpat. Wajah pria itu begitu mengerikan karna di landa amarah. Sasuke tak mengerti ada masalah apa pria itu dengan Sasori. Dan dia tak akan mencari tahu apapun. Baginya Sakura dan Sasori adalah kebenaran mutlak.

Sasuke menghela nafas dan mondar-mandir menunggu Sasori keluar. Tidak biasanya pria itu begitu lama membereskan urusannya dengan Suigetsu. Dia berharap Sasori akan mengirimnya pada Sakura. Sasuke benar-benar merindukan gadis itu.

"Sasuke." Dengan cepat Sasuke menoleh saat mendengar suara Sasori. "Panggil si kembar kemari." Sasuke mengangguk dan bergegas melaksanakan perintah Sasori. Dia sangat suka jika berguna bagi Sasori. Karna itu jugalah Sasuke sangat rajin berlatih pedang agar bisa melindungi Sasori dan Sakura suatu saat.

Entah apa perintah yang di berikan Sasori pada si kembar, tapi Sasuke bisa menduga jika itu pastilah sangat penting melihat betapa seriusnya wajah si kembar saat pergi. Sasuke tersenyum lebar saat Sasori menghampirinya. Sementara Suigetsu sudah melesat pergi. Pria itu memang selalu pergi saat urusannya dengan Sasori sudah selesai.

"Kau sudah makan?" pria raven itu langsung cemberut mendengar pertanyaan Sasori.

"Ah Sasori-nii harus melakukan sesuatu pada gadis berambut merah itu. Dia menatapku sepanjang hari, membuatku kesulitan melakukan apapun. Bahkan hanya untuk menelan makanan." Omel Sasuke yang membuat Sasori terkekeh.

"Lakukan apa? Bukankah menyenangkan di perhatikan seorang gadis?"

"Ck, sama sekali tak menyenangkan." Sasuke duduk di hadapan Sasori dan menerima sepiring makanan yang di sodorkan pria itu.

"Hoo aku akan mengatakannya pada Sakura..." Sasuke mengangkat kepalanya menatap Sasori tak mengerti. "..jika kau tak suka di perhatikan."

"Issh aku tak bilang begitu. Jangan mengada-ada Sasori-nii." Ucap Sasuke kesal. Sasori makin tergelak melihat tingkah manis Sasuke.

"Oke. Oke. Selesaikan makanmu dan pergilah ketempat Sakura. Katakan padanya 'mulailah menjaring' oke?" Sasuke mengangguk antusias. Tiba-tiba dia seperti merasakan semangatnya datang lagi. Sakura seperti mantera yang akan membuat Sasuke melakukan apapun. Pria raven itu tak menyadari tatapan Sasori yang menekuri tiap inci wajah cerianya. "Apapun yang terjadi, ku harap kau akan selalu manis seperti ini." Ucap Sasori lembut.

"Aku tak manis Sasori-nii. Aku ini tampan." Sasori tergelak mendengar protes Sasuke lalu melanjutkan makan.

.

.

.

Kankuro memasuki rumahnya. Langkahnya terhenti saat mendengar perbincangan ayahnya dengan Gaara. Apalagi jika bukan tentang nona Haruno itu. Sepertinya mereka tak menyerah. Kankurou jadi penasaran, sebenarnya apa yang ada di dalam otak dua pria itu.

"Aku harap kau bisa menundukkan gadis itu secepatnya. Bagaimanapun dia masihlah seorang gadis. Aku yakin Daruilah yang berada di balik bisnis Haruno."

"Haruno-san sangat keras kepala, ayah. Ku pikir tak akan mudah mengendalikannya."

"Wanita yang jatuh cinta sangat mudah di kendalikan. Dan tugasmu membuat dia jatuh cinta padamu Gaara. Sisanya biar aku yang urus."

"Ya ayah."

Kankurou mendesah melanjutkan langkahnya. Dia memang tak pernah sepaham dengan ayah juga adiknya. Gaara terlalu menurut pada keinginan ayahnya. Dan ayahnya selalu berambisi mengungguli Haruno menjadi pemasok nomer satu kebutuhan istana. Kankurou tak mengerti kenapa dia begitu gelisah melihat ayahnya mencoba mengusik gadis itu. Bukan hal baru ayahnya menginginkan sesuatu. Bahkan terkadang melakukan sabotase. Hanya saja, perasaan Kankurou selalu tak nyaman setiap bertemu dengan Saudagar terkaya di kota itu. Seperti gerak-geriknya di batasi.

"Mungkin aku hanya terlalu berlebihan." Gumam Kankurou.

Pria itu tersentak saat membuka pintu ruangannya dan mendapati Temari di sana. Kankurou menghela nafas lalu duduk di hadapan kakaknya. Dia cukup prihatin dengan nasib wanita di depannya yang harus merelakan dirinya menjadi selir raja karna perintah raja juga ambisi ayahnya. Saat itu bahkan Temari baru berusia enam belas tahun. Maksudnya hampir sepuluh tahun lalu saat raja menginginkannya menjadi selir ketiganya.

"Temari-nee." Kankurou duduk di hadapan kakaknya. Seorang pelayan meletakkan meja kecil di hadapannya dengan teh dan beberapa kue di atasnya.

"Kali ini obat apa yang berhasil kau buat?" Tanya Temari setelah pelayan meninggalkannya.

"Apa nee-san sudah mendapatkan izin dari yang mulia raja untuk berkunjung?"

"Tentu saja. Ayah selalu mengingatkanku agar tak membuat masalah." Kankurou menatap Temari yang menyesap tehnya. Wanita itu mengunjungi rumah ini hanya dua kali dalam setahun. Setidaknya Kankurou bisa melihat kakaknya bertambah cantik meski sorot matanya kadang menyiratkan keengganan. "Kankurou, aku menemukan pria yang ku inginkan."

Kankurou tersedak ludahnya mendengar ucapan Temari. Mungkin dia akan berpikir Temari sudah gila jika tak melihat raut tenang nan serius wanita itu. Bukankah dia bilang tak akan membuat masalah? Lalu kenapa sekarang mengatakan hal yang sangat berbahaya? Selir raja adalah wanita terlarang bagi semua pria.

"Nee-san..."

"Jangan pasang wajah seperti itu. Aku belum berencana melakukan apapun." Kekeh Temari.

"Belum?" Wajah Kankurou semakin pias mendengar betapa setiap ucapan Temari berbahaya.

"Entahlah. Kau tahu, selama menjadi selir aku merasa hidupku bagai di neraka." Kankurou tak mengerti. Ini pertama kalinya Temari mengucapkan hal mengerikan itu. Kankurou pikir selama ini Temari baik-baik saja. Tapi wajah tenang wanita itu jelas menyimpan luka. Apa yang sebenarnya terjadi di istana para selir?

"Nee-san apa yang terjadi padamu?"

"Sudah waktunya bagiku menemui ayah. Jaga kesehatanmu Kankurou. Ku harap kau juga bisa menjaga Gaara agar tak menjadi korban dari ambisi ayah." Selesai mengucapkan itu Temari berdiri dan meninggalkan Kankurou yang masih terdiam. Pria itu sama sekali tak mengerti kenapa kakaknya tiba-tiba mengatakan hal mengerikan.

"Apa aku melewatkan sesuatu? Jika benar, bukankah aku adik yang buruk?" Gumam Kankurou. Harusnya dia tak melewatkan apapun yang terjadi pada kakaknya. Dan sepertinya mulai sekarang dia harus mencari tahu sendiri apa saja yang pernah di alami kakaknya selama berada di istana para selir. Selain itu, mungkin dia harus mempertimbangkan ucapan Temari. Tentang Gaara yang mungkin akan menjadi korban dari ambisi ayahnya.

.

.

.

Sasuke sudah sampai di depan jendela kamar Sakura. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Itu membuat Sasuke ragu, tak apakah jika dia membuat Sakura terbangun? Atau dia harus menunggu sampai besok? Sasuke berdecak sebal dengan kebingungannya. Klek. Pria raven itu langsung menoleh saat mendengar suara kunci jendela di buka.

"Sasuke? Kenapa tak masuk?" Wajah Sasuke menghangat melihat Sakura.

"Uhm ku pikir tak baik mengganggu tidur Sakura-nee."

"Hanya membuka jendela bukan hal sulitkan Sasuke. Memangnya kau akan di luar sampai pagi?" Sakura keluar kamar membiarkan Sasuke duduk manis menunggunya. Tak lama gadis itu kembali membawa seteko teh hangat. Lalu menuangkannya untuk Sasuke. Dia juga meletakkan sepiring kue di depan pria tampan itu. "Seminggu tak bertemu sepertinya kau bertambah tinggi."

"Tentu saja. Bahkan tinggi kita sekarang sama." Ucap Sasuke dengan bangga. Sakura tersenyum manis mendengarnya.

"Aa begitu. Bagaimana dengan latihan berpedang? Sudah sekuat apa kau sekarang?"

"Uhmm aku tak terkalahkan di antara teman-temanku."

"Dan siapa temanmu?"

"Juugo."

"Hanya satu?"

"Tidak. Tentu saja tidak. Hanya saja karna dia yang sering berlatih denganku, jadi dia yang paling ku ingat." Sakura menyesap tehnya sembari mendengarkan lanjutan celotehan Sasuke. Mendengar keseharian dan perkembangan pria raven di depannya seperti hiburan tersendiri bagi Sakura. Sampai-sampai Sakura pikir dia akan bisa memaklumi apapun yang di lakukan Sasuke. Sakura mengulum senyumnya menertawakan pikiran bodohnya.

Sedangkan Sasuke selalu suka menceritakan sedikit banyak perkembangannya. Dia tak peduli jika Sakura tak mengerti tentang pedang -sangat jarang gadis yang memegang senjata saat itu- yang Sasuke butuhkan adalah tatapan kagum Sakura dan pujian dari gadis cantik itu. Bagi Sasuke pujian Sakura bisa membuatnya melambung tinggi dan membuatnya ketagihan.

Setelah menyampaikan pesan Sasori yang hanya di sahuti senyuman penuh arti dari Sakura, Sasuke melangkah dengan enggan ke arah jendela. Dia benar-benar tak rela pergi begitu saja. Pertemuan singkat ini membuatnya serakah ingin lebih lama bersama Sakura.

"Mau menginap?" Tanya Sakura yang melihat keengganan Sasuke pergi. Mendengar itu Sasuke tersentak.

"Bo.. boleh?"

"Tentu saja. Tapi kau harus pergi sebelum ada orang yang bangun besok. Kau tahu maksudku?" Sasuke mengangguk antusias dan tersenyum lebar.

Sakura menggelar satu futon lagi di samping futonnya untuk Sasuke. Dia memberikan selimut pada pria itu. Tak butuh waktu lama bagi Sakura untuk terlelap. Sasuke pikir Sakura pasti kelelahan karna semua pekerjaannya. Sepanjang malam Sasuke tak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Dia memiringkan tubuhnya menatap Sakura yang juga menghadap ke arahnya.

Sasuke mengulum bibirnya menahan senyum girangnya. Dia bisa melihat Sakura yang sedang tertidur. Bagaimana mungkin dia bisa memejamkan matanya selagi pemandangan indah terhampar di depannya. Tak akan mungkin.

Pria itu mendesah kecewa saat mendengar kokok ayam. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Sasuke bahkan belum puas memandangi wajah Sakura. Dengan hati-hati tangannya terulur menyentuh helaian pink panjang di depannya. Helaian yang selalu di kaguminya. Sasuke mengutuk detak jantungnya yang terlalu kuat, dia takut jika Sakura mendengar dan terbangun.

Sekali lagi kokok ayam terdengar. Sasuke benar-benar harus pergi. Dengan ragu dia mengecup menghirup wangi surai Sakura. Sasuke tersentak dan menjauh saat sadar apa yang di lakukannya. Wajahnya memanas. Dengan terburu-buru namun tanpa menimbulkan suara, Sasuke meninggalkan kamar Sakura. Menghilang di kabut dini hari dengan perasaan tak karuan.

Tbc...

Cat:

Sakura 22 tahun

Sasuke 17 tahun

Sasori 25 tahun

Itachi 25 tahun

Temari 26 tahun

Gaara 22 tahun

Kankurou 24 tahun

Makasih buat fav, foll sama komennya. Sampai ketemu di chap depan...