Disclaimer:

Fatal Frame © TECMO-KOEI

Kamikaze Kaguya © Author Gianti-Faith

Black Flower AKB48 & Akimoto Yasushi


Summary

Sudah 3 bulan berlalu sejak insiden Manor of Sleep. Rei, Miku, Kei, Mio dan Mayu menjalani hidup yang damai sejak itu. Namun, saat asisten Kei, Kaguya, pergi seorang diri ke Pulau Yuugure mereka kembali dihadapkan pada fenomena paranormal yang bahkan jauh lebih berbahaya dari inisiden Manor of Sleep. Apakah yang menunggu mereka di pulau terpencil itu?


This Story Follows:

Fatal Frame: Canon Ending

Fatal Frame Deep Crimson Butterfly: Promise Ending

Fatal Frame III The Tormented: Photograph Ending


Gianti-Faith Present:

Fatal Frame: The Cursed Melody

First Movement

~Amakura Mayu~


"Kaguya-oneesan betul-betul ikut?"

Aku tersenyum kecil mendengar suara Mio yang terdengar senang itu. Sejujurnya, aku juga ikut senang Kaguya-oneesan ikut dengan kami dalam proyek Kei-ojisan kali ini. Sebelumnya, Kaguya-oneesan sering datang untuk mengerjakan proyek bersama Kei-ojisan. Aku dan Mio sudah menganggapnya sebagai kakak perempuan sendiri. Bagiku dan Mio, Kaguya-oneesan adalah orang yang menyenangkan. Ia murah senyum dan sangat baik, ia kadang memasakkanku dan Mio makan malam kalau Kei-jisan ketiduran dan kadang ia membantuku dan Mio mengerjakan PR kami.

Setelah insiden Manor of Sleep beberapa waktu yang lalu, Kaguya-neesan jarang datang ke rumah lagi – untuk satu alasan yang jelas tapi tentu saja yang menyadarinya hanya aku dan Mio.

"Iya." Kudengar Kei-jisan menjawab Mio sambil terkekeh. Aku meletakkan piring terakhir di rak piring dan kembali ke ruang tamu untuk bergabung dengan kembaranku dan pamanku di ruang tamu.

Sebagai saudara kembar, rupaku dan Mio tidak begitu berbeda. Kami mempunyai wajah yang serupa, persisi malahan. Rambut kami juga sama-sama pendek walau dipotong dengan model yang berbeda. Hal satu lagi yang membedakan kami adalah kakiku yang diperban sementara kaki Mio tidak. Kulihat saudara kembarku masih mengobrol dengan pamanku, maka aku duduk di sebelahnya untuk mendengarkan apa yang mereka perbincangkan.

"Kei-jisan, apa tidak ada rencana untuk cari calon istri?"

Aku hampir menyemburkan air yang hendak kuminum. Aku menatap Mio, kaget dengan pertanyaannya yang kelewat jujur itu.

"Ha? Kenapa tiba-tiba kita membicarakan ini?"

Mio memutar bola matanya dan jujur aku juga ingin melakukannya, namun aku menahan diri karena itu kurang sopan.

"Karena jisan sudah 30 tahun. Nggak takut apa sendirian seumur hidup?" Tanya Mio.

Kulihat paman Kei berpikir sejenak. "Yah… Bukannya begitu Mio, tapi aku belum menemukan orang yang tepat."

Mio berdecak kesal. "Kalau mau nunggu sampai paman dapat cewek yang sesuai dengan tipe paman, paman keburu karatan duluan."

Nah, benar itu. Adik kembarku memang hebat!

"Lagipula," Aku ikut berbicara, ingin membantu argumen adikku. "Sudah ada calon yang baik di depan mata paman, paman mau tunggu apa lagi?" Kataku, berharap Paman Kei sadar siapa yang kumaksudkan. Tapi seperti biasa Paman Kei lagi-lagi menunjukkan sifat bebal dan tidak pekanya itu kepada kami.

"Calon? Siapa yang kalian maksud?"

Aku menatap pamanku dengan tatapan kesal. Bukannya aku mau menghinanya, tapi kadang-kadang cowok itu memang bebal.

Masa' dia tidak sadar Kaguya-oneesan menyukainya sih? Aku dan Mio sudah menyadarinya dari lama. Gerak-gerik Kaguya-oneesan itu tidak susah untuk ditebak. Aku dan Mio sering memergokinya diam-diam mencuri pandang ke Paman Kei dan kadang-kadang saat berbicara dengan Paman Kei, ia tidak menatap matanya langsung dan wajahnya merah padam. Mio sering sekali menggodanya hingga wajahnya berubah semerah tomat.

Tapi rupanya ketidak pekaan pamanku ini sudah berada di level yang lain.

"… Paman Kei… Dasar tidak peka…" Kata Mio dengan nada lelah.

"Iya…"

Kasihan Kaguya-oneesan.

.

.

.

"Hufth… Kalau begini terus mereka berdua tidak akan ada kemajuan." Kata Mio kesal sambil membaringkan diri di sebelahku. Kamar kami bukanlah kamar yang begitu luas. Hanya ada dua tempat tidur, sebuah meja kecil diantaranya, dua meja belajar, satu rak buku dan dua lemari. Kadang kami tidur seranjang saat kami merasa takut akan sesuatu atau saat kami ingin mendiskusikan sesuatu. Seperti saat ini.

"Mau bagaimana lagi? Paman Kei kan tidak peka." Jawabku yang juga ikut kesal dengan sifat paman kami yang sangat tidak peka itu.

"Aku tahu, tapi bagaimana kalau Paman Kei begitu karena dia suka sama gadis lain?" Kata Mio sambil menatapku dengan pandangan khawatir.

Aku mengerutkan kening. "Maksudmu?"

"Oneechan, masa' Oneechan tidak sadar sih? Untuk ukuran pria berumur 30 tahun, Paman kita itu termasuk dalam kategori tampan, tidak mungkin tidak ada gadis yang tidak tertarik padanya." Tandas Mio.

Aku terdiam. Kalau dipikir-pikir itu benar juga sih… Paman Kei memang tampan, badannya bagus dan dia pintar. Kalau saja dia sedikit peka mungkin dia bisa dikategorikan sebagai pria sempurna.

"Apalagi sekarang dia dekat dengan Kurosawa-san dan Hinasaki-san."

Aku langsung merinding mendengar nama belakang itu. "Jangan panggil dia begitu…" Kataku.

"Ah, maaf…" Kata Mio. "Maksudku, Rei-san dan Hinasaki-san." Aku mengangguk. Aku agak sensitif dengan nama Kurosawa. Nama itu mengingatkanku akan roh jahat yang dulu mencelakaiku dan Mio. Aku bahkan tak mau mengingat rupa gadis itu lagi. Aku ingin melupakannya, selamanya kalau bisa.

"Oneechan…" Aku merasakan Mio menggenggam tanganku. "Maaf, aku tak bermaksud…"

"Tidak apa-apa Mio…" Kataku sambil memberikannya seulas senyum. "Jadi kita mau bagaimana? Mau menyamar sebagai Cupid dan memepersatukan mereka?" Kataku, mengalihkan topik.

"Kalau bisa kulakukan sih, akan kulakukan." Kata Mio sambil menggembungkan sebelah pipinya. "Atau kita bisa mendekatkan mereka selama proyek ini? Kau tahu, membiarkan mereka jalan berdua atau semacamnya." Usul Mio.

"Itu ide yang bagus, tapi jangan lupa kalau Rei-san dan Hinasaki-san juga ikut. Kan tidak sopan kalau kita meminta mereka untuk tidak mendekati mereka berdua." Kataku mengingatkannya.

"Ah benar juga." Kata Mio kecewa. "Aihh… Susah juga jadi Cupid."

Aku tergelak mendengar kalimat Mio. "Sudah, sudah. Lebih baik kita tidur saja dulu. Masih ada banyak waktu sebelum kita berangkat ke pulau Yuugure kita masih bisa menyusun rencana hingga saat itu tiba."

"Oke deh. Oyasumi Oneechan." Kata Mio seraya ia kembali ke ranjangnya.

"Oyasumi." Aku lalu menarik selimutku dan menutup mataku dan bersiap menyambut alam mimpi yang menghampiriku, berharap aku tak lagi melihat mimpi buruk tentang desa terkutuk itu atau tentang Mio yang hampir tewas karena kutuka tatto di tubuhnya atau semacamnya.

Kelopak bunga hitam…

Berguguran menandakan…

Selamat tinggal…

Aku langsung membuka mataku.

Suara barusan…

Barusan aku mendengar suara nyanyian… Suaranya terdengar lembut dan menenangkan, terdengar seperti lagu pengantar tidur… Tapi… Siapa yang menyanyi malam-malam begini?

Aku melirik ke arah ranjang Mio. Mio tertidur pulas. Tidak ada perempuan lain di rumah ini selain aku dan Mio. Jadi siapa—

Ada sebuah bunga…

Yang tak dapat terlihat…

Berayunan…

Bunga pembentuk takdir…

Suara itu lagi!

Aku lalu bangun dari ranjangku dan susah payah menyeret diriku ke arah jendela untuk melihat keluar kalau-kalau ada orang di luar yang menyanyikan lagu tersebut… Namun, bukannya mustahil kalau misalnya siapapun yang menyanyi di bawah suaranya bisa terdengar sampai ke lantai dua? Atau mungkin aku hanya salah dengar karena terlalu banyak pikiran?

Layu dan membusuk…

Kembali ke dalam bumi…

Agar suatu saat…

Dapat terlahir kembali…

Lagi…

Mendadak, perasaanku menjadi tidak enak… Perasaan itu datang lagi… Perasaan yang selalu datang saat aku merasa mereka ada di sekitarku. Perasaan tidak enak yang menyergapku saat aku dan Mio terperangkap di desa terkutuk itu. Perasaan saat aku dirasuki oleh gadis itu.

Mendadak kurasakan hawa dingin membelai tengkuk leherku dan hawa di sekitarku berubah dingin. Dengan amat perlahan, kugeser tirai yang menutupi jendela dan melihat keluar. Jalanan di depan rumahku kosong dan gelap, cahaya yang ada hanyalah cahaya dari lampu-lampu jalanan yang mulai meredup. Aku mengerutkan kening. Apa lampu-lampu itu rusak?

Lampu yang tadinya redup, kini mati total, lalu kemudian menyala lagi. Mati. Menyala. Mati. Menyala. Terus begitu. Aku mulai merasakan firasat buruk. Pandanganku lalu jatuh kepada sosok yang berada di bawah salah satu lampu jalan.

Sosok itu adalah seorang perempuan.

Aku menyipitkan mata. Entah kenapa rasanya aku mengenal sosok itu.

Haruskah aku turun?

Sebelum aku sempat memutuskan apa aku harus turun atau kembali tidur, sosok itu mendekat.

Ia mendekat…

Semakin dekat…

Dan saat ia berdiri di depan rumah kami, barulah aku bisa melihat wajahnya dengan jelas dan aku terperangah.

Dia…

Kelopak bunga hitam…

Mereka semua mati…

Kelopak bunga hitam…

Namun aku masih hidup…

To be continued


Pojok Author:

Udah pendek, cliffhanger lagi :v author jahat emang. Wkwkwkw
Omong-omong lagunya author terjemahin dari lagu
Black Flower AKB48 soalnya cerita ini terisnpirasi dari lagu itu :3 dan… Kira-kira siapa yah yang dilihat Mayu~? Tunggu aja kelanjutan ceritanya yah~ XD