137darkpinku Present

KYUMIN FANFICTION

TANGLED

BAB 16

Cast: Cho Kyuhyun , Lee Sungmin , and other cast

Rate : M

Warning : Genderswitch , Typo(s)

DLDR

Please enjoy ^^

Disclaimer : Remake Novel karya Emma Chase 'Tangled'.

Ok. Let's check this out !


.

.

.

JOYER

.

.

.


Extra Scene 3 (Kyuhyun's POV)

Kencan itu penting bagi wanita. Terutama bagi wanita dalam suatu hubungan asmara.

Karena ini masalahnya—pria tidak peduli tentang hal semacam itu.

Ketika kami berpura-pura peduli? Ini hanya untuk menghindari pertengkaran yang pasti akan terjadi kalau kami bersikap sebaliknya.

Bagi kami, hanya ada satu hari berharga untuk diperingati. Satu momen yang layak diakui. Hari paling suci yang wajib diperingati.

Aku suka menyebutnya—the Fuckiversary.

Ini hari pertama kau mengunci kesepakatan. Bercinta pertama kali.

Mencapai homerun.

Jadi untuk seorang pria, pertama kali kalian melakukannya pasti adalah hari yang pantas untuk dirayakan.

Dan bagi aku dan Sungmin? Hari itu adalah sekarang, nak. Ini hari besar.

Satu tahun yang lalu, perjalanan hidupku berubah selamanya.

Pondasi dari eksistensiku diguncang.

Begitu juga tiang ranjangku.

Itulah sebabnya aku ada di dapur sekarang. Apakah kalian melihatku? Bersiul, mengiris buah, dan menata berbagai macam keju? Itu semua untuk nanti. Kami akan membutuhkannya—menjaga energi tetap tinggi. Karena, dalam kamusku, kalian tidak hanya mengenang hari fuckiversary. Kalian harus melaluinya. Dan energi bar setara atlet olimpiade yang ditata malam ini? Aku punya pekerjaan yang sangat sulit untuk dilakukan.

Tapi aku selalu siap untuk sebuah tantangan.

Aku tidak ingin kalian berpikir bahwa fuckiversary hanya tentang bercinta. Meskipun posisi itu selalu menyenangkan. Tapi tidak, itu juga tentang tradisi. Perasaan. Hadiah.

Untuk ulang tahun pernikahan pertama, hadiah yang biasanya terbuat dari kertas atau segala macam omong kosong tak berguna seperti itu. Hadiahku jauh lebih baik—Santa pasti akan cemburu.

Sungmin akan terpana ketika dia melihatnya. Rahangnya akan jatuh ke lantai. Dan celana dalamnya akan menyusul tepat di belakangnya.

Pintu depan terbuka.

Pasti si wanita beruntung itu.

Aku meninggalkan kantor di siang hari—harus melakukan persiapan—jadi aku belum melihat dia sejak siang. Aku berjalan ke ruang tamu. Dan di sanalah dia—tas di tangan, mantel panjang melilit tubuh mungilnya. Rambutnya di gelung dan mengkilap. Heels hitam runcing menyelimuti jari kaki lezatnya yang suka kuhisap seperti permen yang keras.

Dia tersenyum.

Dan seperti biasanya—senyumnya menghantamku seperti sebuah pukulan ke perut.

"Halo, boyfriend."

"Girlfriend."

Memuakkan, bukan? Ada tong sampah di pojokan jika kalian merasa ingin muntah.

Aku berjalan kearahnya. "Bagaimana harimu, sayang?"

Dia meletakkan tasnya, tapi tidak melepas mantelnya. "Itu...menganggu."

Aku berniat menanyakan apa artinya, tapi dia memotongku.

"Apa ini?" Dia menunjuk pada lilin yang menyala dan kelopak mawar yang bertebaran disegala penjuru.

Tergantung pada gaya hidup kalian, ada definisi yang berbeda-beda dari kata romantis. Untuk beberapa orang itu berarti musik klasik, pijat kaki, atau seprai satin. Secara pribadi, aku kebetulan berpikir kalau blow job selama pertandingan Yankee sangatlah ideal. Tapi Sungmin adalah jenis orang yang suka keromantisan khas wanita. Jadi ini untuknya.

"Lilin."

Dia menyeringai. "Terima kasih, Captain Obvious. Maksudku untuk apa itu?"

Aku berjalan di dekatnya, mataku membelai setiap lekuk tubuhnya dengan perlahan—seperti halnya tanganku akan melakukannya dengan segera. Lalu aku membungkuk dan berbisik di samping telinganya, "Ini adalah bagian dari kejutanmu. Karena hari ini adalah hari yang sangat, sangat istimewa."

Dia merinding—dengan cara yang bagus. Dan suaranya berubah rendah. "Aku tahu. Satu tahun yang lalu, aku mengguncang duniamu."

"Kau mengguncang duniaku?"

Dia mengangguk, dengan berkilau mata. "Yup. Langsung keluar dari porosnya."

"Aku cukup yakin itu terjadi sebaliknya."

Lidahnya terjulur keluar dan membasahi bibirnya. "Sayangnya kau keliru, Tuan Cho."

Aku bergerak mendekat. "Mungkin kau butuh penyegaran, Nona Lee."

Dia memiringkan kepalanya, mendongak memandang mataku. Menantangku.

"Kurasa penyegaran adalah yang kubutuhkan."

Tanganku menjalar di lehernya, menariknya mendekat kearahku. Dan bibir kami melebur bersama. Setahun yang lalu, aku tidak menghargai makna dari berciuman. Itu hanya pemikat—seperti aliran tiada henti dari cuplikan film yang harus kalian tonton di bioskop sebelum kalian menonton film utamanya.

Tapi dengan Sungmin, berciuman adalah acara keseluruhan itu sendiri. Bagaimana dia rasanya. Bagaimana dia mengerang. Bagaimana dia meluncurkan lidahnya ke bibirku. Ini sungguh memabukkan.

Tanganku naik untuk melepas mantelnya, tapi dia meraih tanganku. Dan dia menarik diri, sedikit kehabisan napas. "Tunggu. Belum. Aku meninggalkan kantor lebih awal hari ini—untuk menyerahkan beberapa barang. Untukmu."

"Aku punya sesuatu untukmu juga. Bisa aku melakukannya lebih dulu?"

Aku suka menjadi yang pertama. Ini adalah sifatku.

"Oke."

Aku berdiri di depannya. Lalu aku perlahan membuka kancing kemejaku, menjaga kontak mata dengan Sungmin sepanjang waktu.

Sungmin mencoba menebak. "Apakah kau ikut kursus striptease?"

Aku tersenyum. "Tidak. Tapi aku akan mengingatnya untuk tahun depan." Kemejaku menyentuh lantai. Aku mengangkat t-shirt putih keluar dari kepalaku. Dan tangan Sungmin naik kedadaku dan menelusuri bagian bawah perutku. Aku mundur dan menggoyang-goyangkan jariku. "Sabar, Sungmin."

Dia menghentak kakinya dan merengut. Dan aku ingin mengatakan pada Sungmin di mana tepatnya dia bisa menaruh bibir cemberutnya itu.

Tapi aku tidak mengatakannya. Hadiah harus diutamakan.

Kemudian sekarang giliranku.

Ha—kalian melihatnya?

Aku berdiri menyamping dan melepas perban yang menutupi bisep kanan atasku. Dan kemudian dia melihatnya. Matanya berkaca-kaca, dan rahangnya berubah kendur.

Dan dia berbisik, "Kau pasang tato...dengan namaku?"

Ini berbentuk cambuk hitam—yang bertuliskan SUNGMIN.

Kuharap kalian tidak berpikir bahwa aku akan memberikan cincin pertunangan atau semacamnya. Persetan dengan itu. Dijaman sekarang ini, cincin tidak banyak berarti. Tanyakan pada setiap pria yang sudah menikah yang sering pergi ke bar striptease—mereka melepas cincinnya.

Tapi tato? Itu abadi. Permanen—kecuali jika kalian menyukai gagasan yang melibatkan beberapa lapisan kulit kalian dikerok.

Jari Sungmin meluncur disekitar tatoku dengan tak percaya. "Aku menyukainya, Kyuhyun. Ini adalah hal yang paling menakjubkan...yang pernah dilakukan untukku. Aku mencintaimu."

Aku menangkup pipinya dengan tanganku. "Tidak seperti aku mencintaimu."

Dia tersenyum sejenak. Tapi kemudian ekspresinya berubah. Dan dia terlihat...kecewa.

"Apa? Ada apa?"

"Tidak ada...hanya saja...kau mencap namaku di tubuhmu. Kurasa aku hanya merasa sedikit bodoh. Yang akan kuberikan padamu hanyalah mainan."

Telingaku berdiri. Seperti anjing mendengar gemerisik tas makanan.

"Mainan? Apakah mainan ini...bersifat...nakal?"

Sungmin menggigit bibir. Dan mengangguk.

Ya Tuhan. Mulutku menjadi kering. "Bisa aku...melihatnya?"

Beberapa orang tidak suka mainan. Dildo—dengan segala fitur tambahannya mereka—dapat mengintimidasi. Tapi tidak bagiku.

Aku menganggap mereka sebagai alat perdagangan. Perkakas listrik, tepatnya, dan tidak ada rasa malu dalam menggunakannya. Bahkan tukang kayu tidak akan berusaha membangun rumah tanpa gergaji tangan dan palu, bukan?

Sungmin mengambil kantong dari tasnya. Dia merogoh dan mengeluarkan cambuk berkuda pendek dengan ujungnya terbuat dari bahan beludru.

Dan kejantananku bangkit seperti monster Frankenstein.

Dia menyerahkannya padaku. "Ingat beberapa minggu yang lalu? Di ruang tamu ketika kau...kau tahu...dengan tanganmu?"

Suaraku terengah-engah. "Ya."

Tentu saja aku ingat. Kalian mungkin tidak mengetahuinya saat menatap dia, tapi jauh di lubuk hatinya, Sungmin adalah wanita penggoda yang sesungguhnya. Dia suka membuatku jengkel— melihatku marah. Dan pada hari itu, dia terus menggodaku sepanjang pagi, berjalan-jalan mengenakan tank top mungil tanpa bra dan celana dalam. Pada suatu saat, dia duduk di pangkuanku dan menggoyang tubuhnya.

Lalu ia melompat turun mengatakan bahwa dia tidak punya waktu untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai karena ia punya pekerjaan yang harus dilakukan.

Dan aku kehilangan kesabaranku. Aku menariknya, melemparkan tubuhnya di atas pahaku dan memukul pantatnya.

Seperti layaknya gadis nakal. Tapi itu menyenangkan.

Sungmin tersenyum malu-malu. "Aku menyukainya."

Oh, baby—dia bukan satu-satunya orang yang menyukainya.

Sungmin menjangkau kembali ke dalam tas dari surganya. Dan menarik keluar sebuah silinder kecil berwarna perak. Ini vibrator. Hampir terlihat seperti salah satu lelucon bel listrik yang kita semua miliki ketika kita masih anak-anak. Dia menyerahkannya padaku.

"Ini disebut—"

"Bullet," aku menyelesaikan untuknya. "Ya, aku tahu." Aku menatapnya. Dan gambaran Sungmin menggeliat di bawahku—berada di ambang kegilaan dan memohon untuk orgasme—mengisi kepalaku.

Suaraku berubah serak, tapi memuja. "Kau adalah kekasih yang paling mengagumkan yang pernah ada."

Aku membungkus lenganku di tubuh Sungmin dan menciumnya. Ini lama, pelan dan penuh penghargaan.

Sungmin menarik diri dan tersenyum lebar. "Ada satu lagi. Aku menyimpan yang terbaik untuk yang terakhir."

Dia melepas sabuk mantelnya dengan perlahan dan menggenggam kerahnya dengan kedua tangannya. Kemudian, dalam satu gerakan yang lancar, dia menjatuhkan mantelnya ke lantai.

Dan aku hampir klimaks saat itu juga.

Banyak wanita berpikir lingerie adalah unsur ajaib dalam merayu.

Mereka membeli sesuatu pakaian berenda yang mahal dan mengharapkan kami para pria yang akan meneteskan air liur ke pangkuan kami. Tapi itu sesungguhnya tidak seperti itu caranya.

Kecuali untuk ini.

Ini erotisme yang elit.

Fantasi tertinggi.

Oh ya—ini adalah bikini Putri Leia.

Mulutku ternganga. "Oh...aku...persetan."

Sungmin berputar perlahan. Dengan bangga. "Apa kau suka?"

Aku terdiam.

Serius. Aku tak bisa berkata-kata. Aku cukup yakin setiap tetes darah dalam tubuhku telah beralih ke kejantananku, jadi tidaklah cukup tersisa di otakku untuk membentuk kata-kata.

Suara Sungmin pelan dan menggoda. "Kalau kau berjanji untuk bersikap baik...Aku akan mengijinkanmu merantaiku seperti yang Jabba lakukan pada Leia."

Aku melepaskan diri dari kerasukan karena terangsangku. Aku meraih lengan atasnya dan menyeret dia kearahku.

"Baby, satu-satunya hal yang kujanjikan adalah besok kau tidak akan bisa berjalan."

Aku mengangkatnya dan melemparkan tubuh Sungmin diatas bahuku. Dia menjerit. Dan tertawa. Dan aku berjalan menyusuri lorong, melewati nampan makanan ringan yang sudah disiapkan.

Karena, sungguh—siapa yang membutuhkan makanan?

.

.

.

Aku meluncurkan Sungmin turun dari bahuku, mencengkeram pantat manisnya ketika menurunkannya. Aku memutar tubuhnya sehingga punggungnya menhadap kearahku. Lalu aku menekuk cambuk berkudanya dan membiarkannya lepas.

Plakkk.

Mendarat pada kulit yang terbuka di pipi pantatnya, dan ia melonjak dengan menjerit.

Kemudian dia cekikikan. "Mungkin ini bukan ide yang bagus. Kekuasaan besar mendatangkan tanggung jawab besar, Batman."

Aku melepas celana panjang dan boxerku dalam waktu singkat.

"Jangan khawatir, sayang. Aku berencana untuk memuaskan setiap tanggung jawab yang aku punya, lagi dan lagi dan lagi sebagai tambahannya. Sekarang naiklah di tempat tidur."

Dia melakukannya—Merangkak. Rambutnya jatuh di atas salah satu bahunya, dan matanya tertuju padaku. Oh Tuhan, lihat dia. Semua sudah siap—hanya untukku—menunggu.

Aku merasa seperti seorang anak kecil di toko permen.

Satu-satunya pertanyaan adalah: di mana akan memulai terlebih dulu? Itu selalu menjadi teka-teki yang luar biasa. Setiap aset milik Sungmin layak mendapat perhatian. Bahkan bagian belakang lututnya juga seksi.

Aku meluncurkan ujung cambuk beludru di dadanya, di antara payudaranya, dan turun keperutnya. Aku berhenti di antara kedua kakinya.

Dan menggeseknya.

Keindahan dari memakai alat semacam ini adalah bahwa semua syaraf bereaksi ke bagian mana pun yang disentuhnya, membuat kulit sangat sensitif. Tegang—seperti senar gitar disetel kencang yang sangat ingin dipetik.

Mata Sungmin tertutup, dan kepalanya miring ke belakang. Aku mengusap cambuk di atas kemaluannya, maju mundur.

Lalu aku memukul perlahan.

Dan dia terengah-engah.

Aku mendekat ke tempat tidur, di atas tubuhnya, dan mencium menjalari tulang belakang Sungmin dan di sekitar lehernya.

Aku menarik bikini berwarna emasnya turun dari salah satu payudara montoknya dan mengunci bibirku di sana.

Lezat.

Putingnya sudah keras berwarna merah muda, tapi aku tetap menjentikkan lidahku di atasnya. Sungmin merintih. Dan mengangkat satu tangan ke belakang kepalaku.

Aku memukul pantatnya dengan cambuk. "Jangan bergerak."

Tangannya terkunci kembali ke tempat tidur.

Ini adalah...penyerahan. Ini bukan tentang degradasi atau mempermalukan—itu tentang keyakinan. Membiarkan diri kalian benar-benar terbuka, benar-benar terekspos. Menawarkan segala sesuatu yang kalian punya, seluruh tubuhmu, kepada orang lain.

Membiarkan mereka melihat kalian yang sesungguhnya, bukan hanya orang yang kalian inginkan. Setiap dosa, setiap fantasi, karena kalian tahu mereka tidak akan menghakimimu. Tidak pernah menyakitimu. Beberapa orang menjalani seluruh hidup mereka tanpa mengetahui apa makna sebenarnya dari kepercayaan.

Tapi aku tahu.

Aku memilikinya.

Dengan Sungmin. Hanya dengan dia.

Aku memberi satu putingnya jilatan terakhir dan berpindah. Aku menaruh cambuknya dan menyalakan vibrator. Lalu aku berpindah ke pantat Sungmin. Sebuah tanda merah terang disalah satu pantatnya. Aku menyejukkannya dengan mulutku. Dan membawa bullet mendengung antara kedua kakinya, bergerak dalam lingkaran lebar dan lambat—mendekati klitorisnya namun tidak benar-benar menyentuhnya.

Antisipasi, kepuasan—kenikmatan dan rasa sakit—itu adalah keseimbangan. Ketika dikombinasikan dalam jumlah yang tepat, sensasinya bisa tak tertahankan. Dan karena aku seorang ahli terhadap tubuh Sungmin, aku tahu bagaimana memainkan tubuhnya.

Kapan harus menambah kecepatan dan kapan harus melambat. Jika Sungmin adalah sebuah orkestra, aku adalah maestronya.

Dia merintih dan menggoyangkan pantatnya, mencoba untuk memindahkan hot spot-nya lebih dekat dengan mainan yang bergetar. Tapi aku tidak mengijinkannya.

Belum.

Aku mencengkeram bagian bawah bikini berwarna emas dari belakang, menarik ke bawah pinggulnya dan melemparkannya ke lantai. Aku menggerakkan bullet dalam lingkaran yang semakin kecil di

depannya. Dan kemudian aku menenggelamkan kepalaku di antara kedua kakinya yang terbuka dari belakang. Aku menggigitnya dari luar, berlama-lama. Kemudian, aku menjulurkan lidahku jauh di dalam dirinya.

Bullet itu akhirnya mencapai klitnya—dan aku menekannya dengan kuat.

Sungmin mengerang saat ia orgasme. Dahinya menyentuh tempat tidur, kedua lengan dan kakinya gemetar oleh getaran susulan. Dia terengah-engah, "Kyuhyun...tolong...aku ingin...Oh Tuhan..."

Untuk semua burung bulbul di luar sana? Mereka harus bunuh diri dengan senapan burung berukuran BB.

Karena suara Sungmin yang memohon adalah suara termanis yang pernah diciptakan Tuhan.

"Apa, baby...apa yang kau inginkan?"

Alih-alih memohon kejantananku, seperti yang kupikir dia akan lakukannya, Sungmin mengubah sasarannya kearahku. Dia berputar, dan sebelum aku bisa berkedip, kejantanan keras yang menyakitkanku sudah berada di tenggorokannya.

Kepalaku mendongak kebelakang. Dan aku cukup yakin aku baru saja buta.

"Oh Tuhan...Sungmin."

Dia menghisap dengan keras dan menggerakkan bibirnya naik turun dengan cepat. Namun tidak seluar biasa sempurna seperti mulutnya.

Aku mendapatkan kekuatan untuk menariknya keluar, aku membalikan tubuhnya, memegang pinggulnya dengan kedua tanganku, dan mendorong masuk ke dalam dirinya dari belakang.

Dia mengerang panjang dan rendah. Dengan lega dan puas.

Atau mungkin itu adalah suaraku.

Kami berdua begitu terangsang—aku tak bisa menjelaskannya lagi.

Dia mendorong mundur kearahku saat aku menghentak ke depan. Kepala Sungmin bersandar rendah, dan ayunan rambutnya seperti pendulum saat kami bergoyang dan menumbuk terhadap satu sama lain. Saling beradu. Doronganku bertambah keras. Mendorong tubuh kami kedepan.

Tapi aku ingin lebih. Aku ingin merasakan Sungmin—lebih dekat. Aku mendorongannya lebih jauh ke tempat tidur dan naik di belakangnya.

Kemudian, masih terkubur di dalam, aku menarik Sungmin dengan kedua bahunya dan menekuk lututku sehingga dia mengangkangiku—tapi memunggungiku.

Dadaku menekan punggungnya. Rambutnya menggelitik wajahku saat bibirku melahap lehernya. Dia ada di mana-mana—melingkupiku. Aromanya, rasa tubuhnya menempel ditubuhku, rasa kulitnya, suaranya meneriakkan namaku.

Ini menyita pikiranku.

Meluap-luap.

Seperti tenggelam.

Dan jika kalian ingin melakukannya? Percayalah—ini adalah caranya.

Kedua lenganku terlipat di atas dada Sungmin dan tanganku di bahunya, mendorongnya turun saat pinggulku mendorong dengan keras.

Dan kata-katanya keluar bernada tinggi dan mendesak.

"Kyuhyun...Kyuhyun...Aku datang."

"Persetan...aku tahu...aku bisa merasakanmu."

Dinding kewanitaannya mengencang di sekitar kejantananku seperti ular Boa yang sedang kelaparan.

Dan meskipun aku ingin bertahan, meskipun aku belum ingin mengakhirinya—atau tidak ingin—kejantananku ternyata punya ide yang lain, dan aku meledak di dalam dirinya.

Kedua tanganku jatuh di pinggang Sungmin, menariknya lebih dekat ketubuhku, kepalanya bersandar pada lututku, dan mulutku di punggungnya.

Kami berdua terengah-engah, kehabisan nafas.

Tapi aku lebih dulu memperoleh suaraku.

"Hadiah...terbaik...yang pernah kuterima"

Sungmin tertawa di kedua kakiku. "Aku mendukungmu."

.

.

.

Lama setelah itu, Sungmin dan aku berbaring di tengah ranjang, di atas selimut. Kekusutan dari tubuh yang lemas dan kulit berkeringat.

Aku suka bagian ini.

Itu mungkin terdengar banci untuk mengakui, tapi mari kita melihat kenyataan. Nama Sungmin tertato di lenganku. Mencoba berpura-pura bahwa dia tidak memiliki bolaku di dalam tasnya? Sungguh tak berguna pada saat ini.

Kepalanya bersandar di dadaku. Dan aku merasakan senyumnya sebelum ia berbisik, "Ceritakan sesuatu tentangmu. Sesuatu yang tidak ada orang lain yang tahu."

Aku menatap ke langit-langit. Dan mengingat rahasia gelap terdalamku.

"Aku punya lagu Justin Bieber di IPod-ku."

Dia cekikikan, "Benarkah?"

"Ya. Lagu 'As Long as You Love Me'. Dan jika kau sampai memberitahu teman-temanku, aku akan menyangkalnya sampai hari kematianku."

Dia menelusuri bisepku dengan jemarinya. Lalu aku berkata, "Sekarang kau. Katakan sesuatu yang aku belum tahu."

Dia mencium dadaku perlahan saat ia berpikir, lalu ia mendongak menatapku, "Tidak ada. Kau tahu segala sesuatu tentang diriku."

"Baiklah. Lalu...jika kau punya tiga permintaan. Apa yang kau inginkan?"

Aku pernah memberitahu Sungmin aku ingin membuat semua mimpinya menjadi kenyataan. Dan aku tidak berpikir permintaannya bisa terlaksana pada saat itu, tapi dia lebih berarti bagiku sekarang dibanding saat aku mengatakan padanya malam itu. Jadi jika ada sesuatu yang dia inginkan, sesuatu yang dia butuhkan? Surga dan neraka lebih baik berhati-hati—karena aku akan menghantam keduanya untuk mewujudkan keinginan Sungmin.

Dia berpikir lagi. Dan ketika dia bicara, suaranya berbisik dengan terkejut dan penuh rasa syukur. "Aku tidak mengharapkan apa-apa."

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, pada saat ini, aku memiliki semua yang kuinginkan. Ibuku bahagia, aku mencintai pekerjaanku. Dan sesuatu yang melebihi apa yang kuharapkan...ada di sini di depanku."

Aku menelan ludah. Apakah kalian mendengar jawaban itu? Ini lebih baik dibanding sekarung penuh sex toys.

Oke—mungkin bukan cambuk berkuda.

Tapi itu pasti mendekati.

Aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku dan menciumnya.

Hidup itu lucu, tahu? Maksudku, apakah kalian sungguh berpikir satu tahun yang lalu—saat Sungmin dan aku akan bercinta untuk pertama kalinya, terjatuh melalui pintu apartemenku—bahwa kami pernah akan berakhir di sini? Pada saat itu, kupikir itu akan menjadi one night stand yg lain. Menakjubkan—tidak perlu dipertanyakan—tetap fantastis untuk mengobati dahaga panjangku.

Namun, di sinilah aku.

Berkomitmen.

Monogami.

Sepenuhnya tergila-gila.

Dan aku tak bisa lebih berbahagia lagi.

Dan ini baru satu tahun. Tidak akan melakukan apa yang ada di the Notebook untuk kalian, tapi Sungmin dan aku memiliki banyak tahun untuk dilalui di depan kami. Senilai seumur hidup.

Dan aku berencana untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.


.

.

.

THE END

.

.

.


Selesai juga ^^

Aku mau ngucapin terima kasih untuk kalian semua yang sudah baca, review, follow dan fav fanfict ini ^^

See you in next fanfiction ! Still JOYER …