Hei, perkenalkan, Aku adalah seorang pendongeng tua. Sudah lama sekali tidak ada yang mengunjungiku seperti yang kau lakukan sekarang ini, wahai anak muda. Oleh karena itu, karena kau sudah jauh-jauh datang ke sini, biarkanlah aku memberimu sesuatu... ya, aku akan memberikanmu-ah, menceritakan sebuah cerita lama kepadamu. Sebuah kisah lama... tentang romansa yang ada di dunia ninja.
Oleh karena itu, lupakanlah semua fakta yang ada. Anggaplah semua yang telah terjadi saat ini (dimasamu) seolah tak pernah ada, dan hanya dengarkan ceritaku saja.
Kau mengerti?
Karena semua ini, memang hanya sebuah cerita lama semata.
.
.
.
Who is your father?
Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Pair: mmm… tergantung mood saya mau endingnya siapa :v #digantung
Rate: T semi M (mungkin)
HARD WARN: Typo dan alur maksa. Bagi yang ga suka Hinata centric, HARAP TEKAN BACK SEKARANG JUGA :3 damai itu indah ^^
.
Who is your father?
© Hikari No Aoi
.
Baiklah, Semua ini bermula dari seorang gadis muda yang cantik keturunan Hyuuga, Hinata. Kesehariannya sebagai souke di klan membuatnya terampil dalam berbagai hal, termasuk menjadi yamato nedeshiko, calon penerus keluarga (tentu saja, heiress) dan jounin yang disegani sesama nakamanya.
Selain itu, sifatnya yang anggun dan pemalu juga membuatnya terlihat semakin manis dihadapan para pria. Bahkan, diam-diam banyak yang melamarnya dengan mendatangi sang kepala keluarga secara langsung-Hiashi di mansion Hyuuga, untuk meminang Hinata.
Sayangnya, tidak semudah itu untuk mendapatkan restu dari seorang Hiashi Hyuuga. Karena Hinata, putri pertamanya yang mirip dengan mendiang isrinya tersebut tidak akan Hiashi serahkan kepada lelaki sembarangan begitu saja.
Apalagi ia begitu rapuh dan polos. Jadi meskipun statusnya sebagai calon penerus keluarga Hyuuga dan seorang ninja tingkat Jounin, tetap saja putri kecilnya itu masih belum mengerti berbagai hal. Termasuk pernikahan.
Jadi, sepuluh pria yang datang untuk meminang Hinata, harus kandas begitu saja karena tak mengantongi restu dari –harusnya- calon mertua mereka. Bahkan jika tetap memaksapun, Neji Hyuugalah yang akan turun tangan untuk mengusir pemuda yang kebelet menikah itu secara paksa agar menjauh dari Hinata-sama.
Ya, itulah prinsip yang dipegang teguh seorang Hiashi Hyuuga.
Tapi akan beda lagi ceritanya jika tetua Sunagakure dan Konohagakure yang datang ke kediamannya bersama para kage untuk meminta restu darinya. Hal itu merupakan sebuah kehormatan yang tak terkira, terutama bagi klan Hyuuga.
"Jadi, kami juga sudah menentukan tanggal pernikahannya." Kata sang Hokage kelima Konoha, Tsunade-sama. Saat ini ia didampingi Koharu Utatane-sama, dan Homura Mitokado-sama sebagai tetua desa untuk menyampaikan kabar gembira ini padanya.
"Bahkan kami jamin, Hinata akan mendapat perlindungan penuh dari kedua negara. Bahkan kage sendiri." Lanjut sang Godaime berwibawa.
Tentu saja, Hiashi merasa terhormat sekaligus bahagia dengan keputusan tersebut. Dengan terselenggaranya pernikahan ini berarti mengangkat derajat klan Hyuuga sekaligus memberikan perlindungan secara maksimal untuk putri sulungnya. Bahkan seperti kata Tsunade-sama barusan, Pemimpin desa sendirilah yang akan menjamin keselamatannya.
Bukankah itu hal yang bagus?
Berdehem pelan, ayah dari Hinata dan Hanabi tersebut kemudian melemparkan pandangannya pada tetua Sunagakure yang kini juga tengah menatapnya dengan tatapan serius. Lalu, manik pearl yang khas tersebut, mengalihkan perhatiannya pada sang Kazekage muda berambut merah marun-yang tentu saja, sebentar lagi akan menjadi menantunya.
Menjadi mertua dari kage Sunagakure sungguh tak pernah terbesit dalam benak Hiashi Hyuuga. Dan, meski semua ini sangat tiba-tiba sampai terasa seperti mimpi yang mustahil, Hiashi harus tersadar sekarang juga dari mimpi tersebut dan menghadapi kenyataan yang ada.
"Sebelum menyetujuinya," kata sang ketua klan Hyuuga nyaring, memecah keheningan ruang tamu Mansion yang begitu tegang. "Bagaimana dengan Kazekage-sama sendiri?"
Ebizo, salah satu tetua Sunagakure menarik tubuhnya untuk duduk tegap. Wajahnya terlihat kurang sependapat dengan pertanyaan ayah Hinata barusan. "Apa anda meragukan kami, Hiashi-sama?"
Hiashi mengepalkan tangan di kedua lututnya, rahangnya mengeras. Namun meski begitu, ia masih cukup sabar menunggu sang tetua menyelesaikan kalimatnya.
Tidak, tidak... Hiashi tidak bermaksud untuk menyulut kesalahpahaman. Hanya saja, sebagai Souke Hyuuga, ia tidak boleh sembarangan dan sampai salah langkah nantinya.
Dan demi kami-sama yang ada di suatu tempat sana, suasana ruangan ini semakin menyesakkan dada.
Sang Godaime sudah membuka mulutnya dan hendak bersuara untuk menjelaskan maksud dari pertanyaan Hiashi barusan, namun... si bocah tanggung yang sudah menjadi Kazekage tersebut, menyela kalimatnya dengan begitu mudahnya.
"Mak—"
"Jawablah dengan setuju atau tidak, Hiashi-san." Ujar pemuda bertato Ai itu lancar-meski sedari tadi ia memilih untuk diam. Bahkan yang Tsunade kejutkan, suaranya terdengar begitu mengimbangi nada bicara sang calon ayah mertua.
Ya, dan jangan lupakan sikap to the pointnya barusan untuk segera mendapatkan jawaban.
Hiashi Hyuuga kemudian terdiam sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan memejamkan mata. Pria berusia hampir empat puluh lima tahun itu tampak sekali menimbang situasi yang kini harus ia hadapi untuk memberikan jawaban yang Calon menantunya itu minta.
Memang, Kazekage dan Hokage adalah dua jabatan penting untuk mengangkat derajat klan Hyuuga. Namun jika calon suami putrinya saja begini, apa benar ia bisa bahagia nanti?
Memikirkannya saja sudah membuat Hiashi merasa bersalah dan ingin memikirkan ulang tentang keputusan yang akan ia ambil sebentar lagi. Meski terdengar menggiurkan, namun ia juga tak mau gegabah soal kebahagiaan anak sulungnya. Hinata itu jauh lebih berharga.
"Sepertinya—"
Kemudian, suara lembut nan merdu itu mengalun hangat bagai mentari pagi yang memecah keheningan di tengah hutan berkabut. Bedanya, suara tersebut meminta izin masuk kedalam ruang tamu, untuk menyajikan makanan dan minuman.
Yah, Hinata tidak sengaja memotong kalimatnya. Dalam hati, Hiashi merasa merasa tidak rela jika nantinya malaikat cantiknya itu harus pergi dari mansion ini dan ikut suaminya.
Well, itu masih nanti, dan ia masih belum memberikan jawaban. Jadi, masih ada waktu. Terkait sopan atau tidaknya menolak lamaran yang wah ini, bisa dipikirkan nanti.
Hiashi kembali berdehem. "Masuklah."
Enam pasang mata yang ada disana, mengamati dengan seksama seorang gadis jelita yang kini masuk kedalam ruangan dengan anggun dan menyajikan minuman untuk mereka. Kecuali Hiashi—tentu saja, souke itu malah mengamati ekspresi calon menantu dihadapannya ini untuk mengetahui bagaimana tatapan matanya terhadap anak sulungnya.
Lihat, manik hijaunya sama sekali tak berkedip melihat gerakan Hinata dalam menyajikan teh.
"Jadi anda yang akan dipinang oleh Gaara-sama?" Bahkan, Ebizo-sama yang sudah berumurpun sampai terpana seperti itu. Ia bahkan sampai mengelus-elus kumis putihnya dan mencondongkan sedikit tubuhnya kedepan supaya bisa melihat dengan lebih jelas."Ternyata anda lebih cantik daripada yang ada di foto, Hinata-sama."
Wah, kakek bau tanah yang satu itu benar-benar... apa ia sudah lupa yang dikatakannya beberapa saat lalu?
"Ehm." Hiashi kembali berdehem-kesekian kalinya-untuk memperingatkan. Namun, sepertinya deheman itu kurang ampuh untuk mencegah tetua itu diam hingga membuat putrinya tersenyum dan memberikan hormat padanya.
"T-terimakasih, Ebizo-sama, dan—ya, sa—saya adalah Hinata."
"Gaara-sama sangat beruntung ya?" Chiyo-sama ikut nimbrung dan tersenyum lebar. Ia bahkan memeluk gadis bermahkota indigo tersebut dengan hangat. "Tolong berusahalah untuk mendampinginya ya? Meski Gaara-sama minim ekspresi, tapi dia penyayang loh."
Sebentar, yang sudah menyetujui lamaran ini memangnya siapa?
Setelah melihat calon istrinya datang dan menjamu di ruangan ini dengan begitu anggunnya, Gaara tak mau menunggu lebih lama lagi. Ia kemudian mengarahkan kembali pembicaraan yang sepertinya mulai keluar jauh dari lintasan ini dengan menatap sang calon ayah lekat.
"Jadi Hiashi-san, apa jawaban anda?" Tanyanya untuk yang kedua kali. "Semakin cepat semakin baik."
Tsunade-sama mengangguk, mulai setuju dengan ucapan sang bocah Kazekage barusan. Sejujurnya, ada acara lain lagi yang harus ia urus setelah ini, jadi memang lebih cepat selesai lebih baik. "Berhubung Hinata-san ada disini, biarkan dia mengetahuinya sekalian."
Heiress bertubuh mungil tesebut kembali menyajikan teh untuk sang calon suami-Gaara, setelah Chiyo-sama melepaskan pelukan singkatnya. Dan seperti kemarin-kemarin, ia telah melatih dirinya untuk tidak ceroboh di hari yang penting ini.
Ia bahkan tidak berkomentar apapun mengenai pernikahan yang akan ia jalani beberapa waktu lagi.
"Si-silahkan,"
"Saya sangat menghargai lamaran ini." Jawab Hiashi pada akhirnya. Bagaimanapun juga ia harus memutuskan dengan segera setelah melihat putrinya yang menerima pernikahan ini begitu saja tanpa adanya penolakan atau kalimat keberatan.
Dan tentu saja, jawabannya adalah Tidak. Karena putri kecilnya itu masih sangat polos dan masih terlalu menggemaskan jika harus memiliki suami sekarang, ia belum boleh menikah!
"Tapi—"
"Tapi Hinata sudah terlanjur hamil anak saya." sambung Gaara kalem.
Pyarr!
Tidak. Itu bukan gelas berisi teh yang Hinata sajikan untuk Gaara yang tumpah-bahkan pecah. Gelas keramik warna cokelat muda itu masih aman dan selamat sentosa di tangan Hinata.
Sedangkan yang pecah barusan juga bukan milik Tsunade-sama dan para tetua yang ada di sana, Melainkan milik Hiashi sendiri.
"Kau—"
Tsunade langsung tersedak setelah mendengar penuturan bocah Kazekage barusan, hingga ia tak bisa berkata-kata. Dan keempat tetua yang ada disana juga bingung harus bagaimana. Dua tetua Konohagakure sibuk menolong sang pemimpin desa, sedangkan dua lagi dari Sunagakure, hanya bisa melongo dengan jawaban Kazekage mereka.
Wajah desa mereka, mau ditaruh dimana?
Kening Hiashi berkedut. Rahangnya kembali mengeras dan tangannya kini mengepal kuat. "K-kau tadi... bilang—apa?"
"Hinata. mengandung anakku. Chichi-ue." Dan tentu saja, Gaara dengan senang hati mengulang perkataannya. Apalagi jika ditambah penekanan seperti itu.
"Iya kan, Hinata sayang?"
.
.
.
Who is your father?
.
.
.
Apa yang dikatakan oleh Gaara barusan tidak sepenuhnya salah, dan tidak sepenuhnya juga benar. Dan tentu saja, hal itu membuat kepala Sasuke terasa semakin ngilu saat memikirkannya.
Secara harfiah, Hinata memang mungkin tengah mengandung. Dan itu, masih belum jelas bayi siapa dikarenakan mereka bertiga-ya, Dia dan Gaara, melakukannya secara bersamaan tanpa sengaja atau memang disengaja dengan Hinata.
argh, mengapa semua kalimatnya ambigu seperti ini? Yang jelas anak yang dikandung Hinata itu harus miliknya. Bukan anak dari pemuda Suna yang bermata panda.
Jadi saat tahu bahwa Gaara sudah mencuri start duluan dengan meminang Hinata hingga membawa tetua desa Suna, ia yang hanya sebagai missing-nin bisa apa? Mengamuk dengan Susanoo dan menghancurkan desa untuk menculik gadis-ah, wanita Hyuuga itu supaya bersamanya? hahaha, tentu saja tidak. Itu tidak akan membuat akhir yang bahagia.
Ia yang menculik Hinata, memperko-uhuk, Menikahinya dan memiliki keturunan mata terkuat, Uchiha-Hyuuga adalah strategi yang kurang bijaksana. Oleh karena itu sebentar lagi ia akan bergerak untuk merebut kembali heiress Hyuuga itu kedalam pelukannya dan menjadi miliknya. Dengan sedikit improvisasi tentunya.
Ingat, hasil itu selalu butuh usaha dan perjuangan di baliknya. Kecuali, kamu bejo (Beruntung) orangnya.
Oke, kembali ke Pemuda berambut raven itu yang hanya berdiri terdiam di salah satu dahan pohon, menatap desa kelahirannya dengan pandangan datar namun begitu dalam.
Ya, dia akan membawa Hinata keluar dari sana sekarang juga. Ingatlah bahkan kalau perlu garis bawahi atau bold bahwa, dalam kamus Sasuke, menculik dan membawa itu berbeda!
beda tipis maksudnya.
.
.
.
Hari sudah malam begitu Tsunade selesai memeriksa Hinata. Godaime Hokage itu bahkan tak mempunyai semangat lagi untuk melanjutkan pekerjaannya yang masih menumpuk di ruang kerja kantornya. Karena tenaganya, sudah terkuras habis untuk mencegah terjadinya perang dunia ketiga antara klan Hyuuga dengan Rai Gaara.
Bahkan, dua tetua yang mendampingi masing-masing kage, Suna dan Konoha, sekarang hanya bisa terkapar lemas di ruangan satunya.
Wanita kuat bertanda wajik di dahinya itu membuka fusuma kamar Hinata dan menatap si bocah berambut merah yang kini sedang berdiri di sebrang calon mertuanya, dengan santainya. Seolah-olah, tidak ada beban sama sekali dipundaknya.
"Apa?" Tanya bocah kurang ajar itu padanya.
Hiashi mengabaikan sang Kazekage kelima dari Suna, dan menghampiri Hokage kelima dari Konoha untuk bertanya mengenai kondisi putrinya.
"Bagaimana Hinata?" Tanya sang kepala keluarga cemas. "Apa benar—"
Tsunade menggeleng pelan, mimik wajahnya berubah ketika berhadapan dengan ayah dari Hinata yang terlihat begitu nelangsa. "Dia masih belum sadar."
Mendengar jawaban dari Tsunade-sama barusan membuat Hiashi terdiam. Ia bahkan tak bertanya apapun lagi untuk mengetahui bagaimana kondisi putrinya sekarang—apalagi, mengenai bayi yang ada dalam rahimnya. Karena semuanya sudah jelas.
Sebagai seorang ayah, ia sudah gagal.
Gagal mendidiknya agar tidak dekat-dekat dengan pria sembarangan, Gagal membimbingnya supaya tidak termakan bujuk rayu setan, dan Gagal melindunginya dari laki-laki brengsek yang sudah kebelet nikah dan kebelet punya momongan.
Ya, ia sudah gagal.
"Begitu."
Kata Hiashi pada akhirnya. Namun dari gestur tubuhnya yang mulai melemas, Tsunade tahu bahwa pemimpin klan Hyuuga itu tengah terpukul hebat sekarang. Oh yeah, semua itu karena siapa lagi kalau bukan bocah tanggung yang sudah menjadi Kazekage di sebelah sana?
"Masih terlalu dini untuk menyimpulkan." ujar Tsunade menenangkan. "Bisa saja apa yang dikatakan Gaara belum terjadi."
Sontak, kening Gaara mengernyit. "Apa maksudnya dengan belum terjadi?"
Melemparkan pandangan menusuk pada pemuda berusia tanggung itu, Tsunade tak habis fikir bagaimana ia bisa menjadi pemimpin Suna dengan sifat sembrononya itu. "Tentu saja, masih ada kemungkinan Hinata tidak hamil."
Pemuda bertato Ai itu kembali terperanjat, namun ia bisa menguasai dirinya kembali dengan cepat. "Tidak, katamu?"
Hiashi Hyuuga yang masih berduka, memilih untuk menulikan pendengarannya dan berjalan menuju kamar gadis kecilnya. Ia ingin melihat dengan kepalanya sendiri bagaimana kondisi putri sulungnya sekarang. Terserahlah, para kage itu mau berdepat apa. Yang jelas, kondisi Hinatalah yang paling utama.
"Apa maksudmu?" Tsunade memincingkan manik madunya. Mulai tersulut kembali emosinya dengan tingkah kekanakan pemuda yang ada di hadapannya.
"Kenapa anda mengatakan tidak dengan sangat yakin, Tsunade-sama?"
"Apa?" kini, giliran sang Godaime yang terkejut dengan sikap Gaara. "Jadi maksudmu—"
Pemuda itu berjalan mendekat, dan tatapan matanya sama sekali tidak bersahabat. "Anda adalah seorang ninja medis yang tak lagi diragukan kemampuannya. Lalu mengapa bisa salah mendiagnosa bahwa Hinata tidak hamil anak saya?"
Namun, setelah mendengar ucapan bungsu dari keluarga Rai barusan, Tsunade kemudian tersenyum dan berkacak pinggang. "Oh, anak muda… tahu apa kau tentang dunia medis?"
Kembali, kening Gaara mengernyit. "Tentu saja aku tahu—"
"Tidak. Kau tidak tahu." Potong Tsunade cepat. "Yang kau tahu hanya melakukan itu, dan dia akan hamil kan?"
Hell yeah, nafas Kazekage itu tercekat sekarang. Siapa suruh bocah tanggung sepertinya melawan legenda sannin yang tersemat pada dirinya?
"Kau—"
"Untuk mengetahuinya, kau harus menghitung kapan masa subur Hinata. Kemudian rentang waktu dari saat kalian berhubungan, sampai Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)nya."
Gaara mencelos.
"Dan dari raut wajah yang kau tunjukkan sekarang, kau sama sekali tidak mengetahuinya kan, Gaara-sama?"
Sialan, nenek lampir berpenampilan vulgar di hadapannya ini benar-benar…
"NEJI!"
Pekikan keras dari Hiashi Hyuuga membuat keduanya segera menoleh dan melupakan kejadian barusan. Mereka berdua bahkan serempak berlari bersamaan untuk mendekat ke kamar Hinata demi melihat bagaimana keadaan heiress Hyuuga tersebut.
"Ada apa?" Dan sekarang, dua Kaze itu kompak bertanya.
Tak lama kemudian, Neji Hyuuga masuk dan langsung menghadap pemimpin klan yang ada didepannya. Dengan patuh, ia siap menerima perintah gawat darurat yang akan Hiashi berikan kepadanya—karena sampai saat ini, hanya dua kali Hiashi-sama berteriak nyaring seperti tadi.
Yang pertama, saat Hinata-sama berulang tahun yang kelima dan dipeluk oleh seorang bocah berambut pantat ayam dengan wajah polosnya, dan yang kedua… adalah saat ini.
Apa ada yang memeluk Hinata-sama lagi?
"Ya, Hiashi-sam-"
"HINATA DICULIK! KERAHKAN SELURUH ANGGOTA KLAN UNTUK MENCARINYA!"
Tentu saja, kalimat atau bisa dikatakan teriakan dari Hiashi Hyuuga barusan membuat Tsunade dan Gaara terbelalak lebar. Bahkan kembali terkejut ketika mendapati ranjang—tempat Hinata tadinya beristirahat, kosong melompong tanpa adanya sosok wanita lemah lembut yang berbaring diatasnya.
Brengsek!
.
.
.
TBC
.
.
.
Special thanks to; Lia Andarwati-san, Fitri Yanah-san, Aprillia Daichi-san, dan Erina Bi-san (L-nee) yang sudah membantu mengeluarkan saya dari jalan buntu.
Terimakasih juga atas dukungan yang sudah kalian diberikan ^^ saya sadar chap ini masih sangat pendek dan membuat saya ngutang fict lagi, but… yeah, itulah seorang Hikari no Aoi. Hahaha :3
Semoga terhibur, See you next Chap! : )
Salam hangat, Hikari No Aoi.