CHAPTER : 6
JUST FULFILL
MARKHYUCK/MARKCHAN
FT BABY LELE
.
.
.
Selamat Membaca.
... ... ... ...
Siang itu Chenle menangis dengan sangat keras, membuat Mark yang menggendongnya kewalahan untuk menenangkan.
"Sstt..." Mark mengajak sang anak untuk keluar dari area rumah karena takut membangunkan tidur siang milik Donghyuck. Istrinya sedikit demam dan sekarang sedang tidur siang.
"HUUWAAAA SAKIIIT!" Suara tangisan Chenle semakin menggelora. Bocah lima tahun itu terus memegangi kepalanya yang memerah karena terantuk pintu lemari. Berawal dari keinginannya yang hendak mengambil pensil warna baru yang disimpan di dalam lemari ia malah tersandung dan berkhir dengan terantuk pintu lemari yang ada di depannya.
"Mana yang sakit? Ssstt... Sudah ya, anak daddy yang baik jangan menangis lagi ya. Ssst..." Mark menaikkan badan milik Chenle dalam gendongannya dan sesekali ikut mengelus permukaan dahi milik sang anak yang memerah.
"DADDDDYYY SAAKIIT! WAAAAAA." Wajah milik Chenle semakin dibanjiri oleh air mata, kini bahkan bukan dahinya saja yang memerah, melainkam hampir seluruh permukaan wajahnya. Dimulai dari pipi, mata, area sekitar mata dan hidungnya semua telah memerah.
"Besok-besok biar daddy saja yang mengambilkan Lele pensil warna, sudah jangan menangis lagi." Mark memeluk Chenle dengan erat saat merasakan lehernya telah didekap dengan erat oleh tangan kecil milik sang anak.
"Hiks... Rasanya sa-kit hik. Lele tidak mau mengambil pensil warna yang baru lagi. Lele takut jatuh lagii. Wuaaaa daddddyyyyy! Rasanya sakiiiit!" Chenle terisak di leher dan bahu milik sang ayah. Mark hanya memakluminya, pria itu semakin mendekap sang anak sambil berjalan pelan.
"Iya. Lain kali biar daddy saja yang ambil." Mark terus berjalan keluar area kompleks rumah. Dia melihat ada mobil dan sesekali kendaraan lain melintas di depannya, dan sekarang ia ingin mengajak sang anak untuk jalan-jalan. Tujuannya agar sang anak bisa berhenti menangis dan melupakan kejadian tadi.
"Astaaggaa~~ Ayah Lele dan Lele mau pergi kemana?" Seorang wanita paruh baya dengan berkantong-kantong belanjaan di tangan berpapasan dengan Mark dan Chenle. Mark tersenyum kepada wanita itu lalu menghentikan langkah untuk beramah-tamah dengannya.
"Selamat siang Park Ahjumma. Hei, Lele sayang, Park Ahjumma baru pulang belanja, ayo disapa dulu." Mark meminta Chenle untuk menyapa wanita itu. Tapi, sang anak malah diam. Chenle terus menunduk dan menyembunyikan wajahnya di bahu milik sang ayah. Membuat Mark hanya tersenyum maklum, berpikir bahwa Chenle sedang malu karena wajahnya masih merah dan berlinang air mata.
"Dia baru selesai menangis, aku mengajaknya keluar untuk jalan-jalan." Mark akhirnya memberi penjelasan pada si Park Ahjumma tersebut. "Ahjumma sendiri? Kenapa tidak keluar bersama Sena?"
"Cucuku itu masih sibuk di sekolahnya. Jadi aku keluar sendiri. Tidak apa-apa, lagipula belanjaanku hanya sedikit." Kilah Park Ahjumma dengan santai, "Lele menangis kenapa? Coba sini Ahjumma lihat." Park Ahjumma mengelus kepala milik Chenle dengan halus, namun hal itu tidaklah mempan untuk membuat sang bocah mau mengangkat wajahnya.
"Dia terantuk pintu lemari, dahinya memerah." Mark berbicara pelan, hanya gerak bibir saja. Namun Park Ahjumma masih bisa memahami maksud dari pria itu, ia mengangguk paham kepadanya dan tersenyum tipis.
"Lele, Ahjumma punya Pocky." Park Ahjumma mengambil satu bungkus Pocky dari kantong belanjanya, "Lele mau tidak? Kalau mau, ini untuk Lele. Tapi janji jangan menangis lagi ya."
"Terima kasih Ahjumma, ayo ambil dan bilang begitu, sayang." Mark sekali lagi membujuk sang anak untuk mau menampakkan wajah. Tapi Chenle tetap kekeuh tidak mau.
"Ya sudah tidak apa-apa. Ahjumma duluan ya, Ayah Lele dan Lele hati-hati di jalan." Pamit Park Ahjumma sebelum akhirnya berjalan menuju ke rumah.
Mark menerima sebungkus Pocky itu lalu tersenyum dan mengangguk singkat kepada Park Ahjumma untuk membalas kalimat perpisahannya.
Setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya. Ia berjalan-jalan pelan dan memerhatikan area jalan raya yang mulai ramai. Sang anak sudah tidak menyembunyikan wajah, meski masih bersandar pada bahunya, tapi setidaknya itu lebih baik daripada terus bersembunyi.
"Daddy, Lele mau Pocky." Suara Chenle terdengar serak, khas orang yang baru selesai menangis. Mark tersenyum mendengar keinginan dari sang anak. Tadi saja sewaktu disuruh menerima Pocky itu tidak mau, tapi sekarang saat si pemberi sudah tidak ada dia malah menagihnya.
"Ei, tadi saja sewaktu ditawari Ahjumma tidak mau. Tapi sekarang? Saat daddy sudah mengantongi itu Lele malah menagihnya." Mark menggoda Chenle.
"Daddyyyy." Chenle tidak suka ketika ayahnya seperti itu. Ia mencebikkan bibir lalu bersiap untuk kembali menangis.
"Tidak sayang, tidak. Daddy hanya bercanda, sekarang turun ya? Jangan digendong terus, kan sudah besar." Mark menatap mata Chenle lembut, membujuknya supaya kali ini mau menurut dengan perkataannya.
Akhirnya, Chenle mau untuk turun dari gendongan Mark. Anak itu memijakkan kaki di atas tanah dan mendongak ke atas, untuk melihat sang ayah yang sedang berusaha membuka bungkus Pocky untuknya.
"Nah, ini untuk Lele." Mark menyerahkan bungkus pocky yang telah dibukanya kepada sang anak, "Pegang dan makan dengan hati-hati ya, sayang." Mark berlutut di depan Chenle, ia mengambil sapu tangannya lalu membersihkan beberapa bekas lelehan air mata yang masih tertinggal di area wajah milik sang anak.
"Makannya jangan belepotan." Mark sedikit repot membersihkan wajah itu ketika sang anak benar-benar tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Baru saja wajah itu bersih dari lelehan air mata tapi sekarang sudah kotor lagi berkat beberapa remahan Pocky yang tertinggal di sekitar bibir.
"Daddy mau Pocky tidak?" Bukannya paham kondisi Chenle malah menusukkan satu batang Pocky ke wajah milik ayahnya. Mengganggunya dengan cara menusuk-nusukkan Pocky itu ke pipi secara bergantian, bahkan ia juga berusaha memasukkan Pocky tersebut ke dalam mulut sang ayah.
"Dad, say AAAAA..." Chenle masih berusaha hingga akhirnya sang ayah mau menerima uluran Pocky itu dengan wajah setengah kesal.
"Ayo jalan-jalan lagi." Mark kembali berdiri setelah menaruh bungkus Pocky itu ke dalam saku baju bagian depan milik Chenle supaya mereka bisa jalan sambil bergandengan tangan.
"Lele mau apa? Daddy akan menuruti semua keinginan Lele untuk hari ini." Mark menengok ke bawah dan melihat anaknya masih sibuk mencomot Pocky dari saku bajunya.
"Lele mau makan Pocky." Jawab Chenle dengan lugu, sebab ia akan menurut kemana pun sang ayah akan membawanya. Tidak peduli mau ke wahana permainan, tempat belanja, tempat penuh makanan, dan apa pun itu ia tidak pedul, ia hanya akan ikut saja.
"Pocky dan ramen enak mana?" Mark mengalihkan dunia sang anak yang masih kasmaran bersama Pocky-nya dengan menyebutkan kata ramen, yang merupakan makana favorit milik bocah itu.
Benar saja, seketika Chenle berhenti mengunyah Pocky dan mendongak ke arah sang ayah.
"Tentu saja enak ramen! Daddy mau mengajak Lele makan ramen? Ayoooo!" Chenle sudah lupa dengan berbatang-batang pocky yang masih tersisa di sakunya dan melompat-lompat dengan girang sambil menarik tangan milik sang ayah.
"Kata siapa daddy mau mengajak Lele makan ramen. Daddy hanya tanya lebih enak mana, Pocky apa ramen. Lagipula nanti kalau kita makan ramen, mommy pasti akan marah. " Mark mempermainkan sang anak, "Tidak ah, tidak usah makan ramen. Makan salad saja lebih sehat."
"YYYAAAAAHHHH! DADDDY JANGAN BEGITUUUU!" Teriak Chenle dengan lantang karena tidak suka ditipu seperti ini oleh ayahnya.
Mark hendak tertawa namun ia menahannya. Ia memutuskan untuk tersenyum tipis dan mengacak rambut milik Chenle dengan gemas.
"Daddy hanya bercanda, ayo cari kedai ramen."
Akhirnya Mark memutuskan untuk tidak mempermainkan sang anak lagi dan benar-benar menggandengnya untuk pergi mencari kedai ramen. Tidak apa-apa makan ramen, selagi Donghyuck tidak tahu mengenai hal ini maka mereka akan aman.
Chenle berjalan dengan sangat antusias mengikuti langkah milik ayahnya. Sesekali ia akan pamer senyum dengan sangat lebar kepada siapa pun, tunjuannya untuk pamer bahwa kini dia sedang bahagia. Tentu saja bahagia, sebentar lagi dia akan makan ramen.
Tiga puluh menit berselang, akhirnya mereka menemukan juga toko ramen yang mereka inginkan. Memang memakan waktu cukup banyak, sebab sejak tadi toko ramen yang mereka lalui selalu nampak sangat ramai, meski itu pertanda bahwa ramennya enak, namun tetap saja makan di tempat yang terlalu ramai rasanya sedikit kurang nyaman.
Mereka masuk ke dalam kedai ramen dan segera mencari kursi kosong untuk mereka duduki. Beruntung kedainya tidak seramai kedai ramen yang sebelumnya telah mereka lalui sehingga sekarang mereka bisa mendapatkan meja yang kosong.
Ayahnya segera memesan dua porsi ramen untuk mereka, dengan kejelasan bahwa porsi untuknya adalah porsi khusus anak-anak. Kan mustahil juga untuknya menghabiskan satu porsi ramen ukuran dewasa.
"Nanti Lele jangan bilang Mommy kalau Daddy sudah mengajak Lele makan ramen." Mark mengajak anaknya untuk mengobrol sambil menanti ramen pesanan mereka tiba.
Tak butuh paksaan, Chenle langsung mengangguk dengan mantap. "Siap Daddy! Lele janji tidak akan mengadu sama Mommy." Chenle tersenyum lebar setelahnya. Hanya di saat seperti inilah dia bisa kompak dengan sang ayah.
Tak lama kemudian ramen mereka telah tiba. Chenle menyambut aroma menggiurkan yang menguar dari mangkuk ramen itu dengan mata yang terpejam. Rasanya tidak sabar untuk segera melahap makanan itu.
"Waaaaa kelihatannya enak sekali!" Sorak Chenle dengan bahagia, saking bahagianya dia bahkan sampai bertepuk tangan dengan heboh. Hal itu membuat beberapa pelanggan yang lain menengok ke arah mereka dan setelahnya tersenyum saat melihat anak semanis Chenle bertepuk tangan dengan ceria.
"Nanti kalau makan jangan belepotan ya, bisa bahaya kalau mommy sampai tahu ada noda ramen di baju." Mark mewanti-wanti Chenle sebelum mereka menyantap ramen. Chenle hanya mengangguk untuk menanggapi ayahnya dan asal mencomot ramennya. Dia sudah tidak sabar.
"Eummm... enak sekaliiiii!" Baru mencicipi kuahnya saja Chenle senangnya sudah seperti itu. "Daddy, daddy! Lele tidak bisa pakai sumpit, suapi yaaaaaa." Chenle meminta dengan nada manja, mau bagaimana lagi sejak tadi dirinya benar-benar kesulitan menyumpit mie ramennya.
"Euhm..." Mark tidak bisa bicara sebab ia baru selesai menyuapkan ramen ke dalam mulut, alhasil ia hanya merespon keinginan dari Chenle dengan deheman dan anggukan singkat.
"Daddy, daddy! Aaaaaa!" Chenle menarik-narik tangan milik sang ayah yang tak kunjung menyuapinya dan malah memamerinya.
Mark terkekeh saat melihat sejak tadi Chenle tampak menelan ludah karena ingin segera melahap mie ramennya. Ia yang sejak tadi hanya memameri sang anak pun akhirnya memutuskan untuk berhenti, tidak tega juga saat melihat wajah berharap itu terus terpasang di wajah milik sang anak.
"Baby, say AAAAAA..." Mark menaruh tangannya yang lain di bawah dagu milik Chenle supaya kuahnya tidak menodai baju bersih milik sang anak. Ia terkekeh saat melihat anaknya benar-benar membuka mulut dengan sangat lebar, padahal mie yang ia suapkan tidaklah terlalu banyak.
"Euhnn-naak sehkha-lii!" Chenle berbicara dengan mulut yang masih penuh dengan makanan, membuat Mark sedikit berkerut dahi tak suka.
"Jangan bicara kalau mulutnya masih penuh, sayang." Mark membersihkan area sekitar mulut anaknya yang kotor dengan menggunakan tisu. Beruntung Chenle tidak banyak bergerak sehingga Mark bisa dengan mudah melaksanakan kegiatannya.
Chenle dan Mark benar-benar menikmati acara makan siang bersama itu dengan senang. Chenle bahkan masih minta suapan tambahan dari mangkuk sang ayah saat mangkuk miliknya sendiri telah kosong. Mark sih tidak keberatan, ia menuruti keinginan dari sang anak dengan senang hati.
"Dad, I'm full." Chenle mengelus perutnya ketika mereka telah selesai makan dan sekarang sudah keluar dari kedai ramen. Ia menengok ke arah sang ayah yang mana sekarang sedang menengok ke arah sekeliling, entah untuk mencari apa ia juga kurang tahu.
"Setelah ini Lele mau apa? Pulang atau jalan-jalan lagi?" Mark menawari anaknya, ia pikir ini masih terlalu awal untuk langsung pulang, jadi ia memutuskan untuk meminta pendapat dari anaknya.
"Daaadd di sana ada mesin capit boneka! Ayooo main ituuuu!"
Sekarang Mark tahu pendapat dari Chenle. Bocah itu lebih memilih untuk jalan-jalan lagi daripada pulang. Dirinya sendiri pun begitu. Ia masih belum ingin pulang, kan memang selama ini dia itu jarang menghabiskan waktu dengan sang anak. Jadi, selagi ada kesempatan, ia ingin main sepuasnya bersama dengan sang anak.
Mark menggandeng tangan milik Chenle untuk menghampiri mesin capit yang lokasinya hanya berjarak sekitar lima meter di samping kedai ramen tadi. Saat telah sampai di depan mesin capit itu, ia lekas mengeluarkan uangnya dan tidak sabar untuk segera memainkan mesin tersebut.
"Lele mau boneka apa?" Tawar Mark kepada Chenle.
"Apa saja, daddy dapat satu saja Lele sudah senang kok." Chenle memindai semua boneka yang ada di dalam kolam boneka itu menggunakan mata tajam miliknya. Sebenarnya ada satu boneka yang tengah ia incar, namun karena ia masih ragu dengan kemampuan milik ayahnya, maka dia memutuskan untuk menerima saja semua boneka yang akan didapat oleh ayahnya.
"Whoooaaa! Ayo daddy! Sebentar lagi, sebentar lagi! YAAAAAHHHH!" Chenle berteriak kecewa bersamaan dengan ayahnya yang gagal mendapatkan boneka untuknya.
"Tenang saja, uang daddy masih banyak. Jangan khawatir, ok? Kita pasti bisa mendapatkannya." Mark berusaha untuk menghilangkan gurat kecewa di wajah anaknya dengan memamerkan diri bahwa di dompetnya masih terdapat banyak uang. Padahal kenyataannya, ia tidak membawa uang tunai dalam jumlah banyak, sebagian besar yang dibawanya malah kartu.
Percobaan Kedua.
"WHOOOAAA! HAMPIR-HAMPIR!" Chenle menyemangati ayahnya.
"Ayoolaah! Ini pasti bisaaa!" Mark berseru saat bonekanya hampir masuk.
"Iya-iya! Sedikit lagi, dad! YA-YA! YAH, YAAAH YAAA!" Chenle sudah diambang kesenangannya.
"WHAAA!" Mark dan Chenle berteriak bersama saat bonekanya telah terjatuh. Tapi jatuhnya bukan di tempat yang diinginkan.
Percobaan kedua, intinya mereka gagal.
Percobaan Ketiga.
"AYO DAD! Tahan terus! Terus ayoo! Daddy pasti bisa!" Chenle berteriak gemas untuk menyemangati ayahnya.
"Tunggu sebentar lagi sayang, daddy pasti bisa mendapatkannya." Mark mengatakannya dengan penuh tekad.
"Yah, yah! Jangan jatuh yaah! Yah yah! YAAAAAHH!"
Lagi, lagi-lagi bonekanya telah terlepas sebelum saatnya.
Percobaan Keempat.
"Yaaah, Daddy kenapa gagal lagi!" Chenle menatap sedih boneka lumba-lumba yang gagal diraih oleh sang ayah.
Hah, belum apa-apa tapi sudah gagal lagi. Mark tidak tahu kalau ternyata selama mengarahkan capitnya itu dibatasi oleh waktu. Sesaat sebelum ia menggerakkan capitnya waktu itu telah habis. Dan akhrinya, capit itu malah telah turun di posisi yang kurang pas, hingga ia gagal mencapit satu pun boneka yang ada di dalam mesin tersebut.
Mereka gagal.
Percobaan Kelima.
"Chenle mau pulang saja kalau daddy gagal lagi."
"Tidak sayang, kali ini pasti akan berhasil." Mark mengarahkan capitnya dengan penuh konsentrasi menuju ke arah lubang.
"Tidak usah. Lele mau pulang saja. Daddy gagal terus, Lele bosan teriak-teriak tanpa hasil. Tu kan, baru juga Lele bilang. Daddy gagal lagi kan. Ayo pulang sajalah!"
Percobaan kali ini, gagal lagi.
Percobaan, masih terus mencoba.
Gagal. Dan Chenle hampir menangis saat ayahnya benar-benar payah.
Masih mencoba.
Chenle benar-benar menangis. Ia miris melihat ayahnya ternyata memiliki kepayahan yang separah ini.
Percobaan Ke -percobaan yang kesekian kalinya.
Permainan telah usai. Akhirnya mereka pulang pada waktu sore, hampir senja. Chenle dengan wajah cemberut dan Mark dengan wajah lesu. Mereka lelah. Lelah karena terus dipermainkan oleh mesin capit boneka sialan itu. Lain kali, Mark tidak akan main permainan itu lagi, dia sudah kapok.
... ... ...
Haechan baru bangun dari tidurnya. Ia melihat sekarang telah pukul enam petang, cukup lama juga ia tertidur. Ia berjalan menuju ke ruang tamu untuk melihat apakah anak dan suaminya masih bermain di sana, sama seperti ketika saat ia tinggal tidur tadi.
"Mereka di mana?" Ia heran saat tidak mendapati Mark dan Chenle ada di sana. Akhirnya ia memutuskan untuk ke dapur, barangkali mereka sedang membantu Kim Ahjumma menyiapkan makan malam.
"Ahjumma? Lele dan Mark di mana?" Ia bertanya saat ternyata di dapur juga tidak mendapati keberadaan sang anak dan suami.
"Ah, mereka di ruang tengah. Tadi selesai mandi, mereka langsung nonton tv." Balas ahjumma dengan singkat karena ia benar-benar sedang sibuk dengan masakannya.
"Oh, baiklah." Ia berjalan menuju ke ruang tengah. Awalnya, saat ia telah sampai di ruang tamu, ia sedikit heran sebab Mark dan Chenle tidak terlihat ada di sana. Namun, ketika ia terus berjalan maju, ia dibuat tersenyum setelah melihat pemandangan yang ada di depan matanya.
Mark terbaring di sofa, terlelap. Dengan tambahan, anak mereka juga terlelap. Lucunya, Chenle terlelap di atas tubuh milik ayahnya. Memeluknya dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman di atas dada milik sang ayah.
"Aku tidak tahu apa yang baru saja kalian lakukan, tapi yang jelas sepertinya kalian habis bermain-main. Kalian bahkan terlihat sangat nyenyak." Haechan tak kuasa untuk tidak menghampiri mereka. Dengan duduk di bawah sofa, ia mengecup dahi milik Chenle, tak lupa juga mengecup bibir milik Mark.
Pelan-pelan, Haechan bisa menangkap Mark mulai terusik dalam tidurnya. Suaminya itu sedikit mengerang dan bahkan matanya mulai bergerak-gerak.
Saat yakin suaminya benar-benar akan terbangun, ia memutuskan untuk mendaratkan satu kecupan -kali ini kecupannya lebih lama, di bibir milik sang suami.
"Kalau mau tidur di kamar saja. Ssstt... pelan-pelan, nanti dia bangun." Haechan bergumam pelan, membisikki sang suami tepat di depan telinganya. Mark yang kesadarannya mulai terkumpul tampak tersenyum.
"Dia nyenyak sekali. Bahkan sampai mendengkur." Mark menunjuk anak mereka.
"Kalian habis dari mana memangnya?" Mata bulat milik haechan memicing karena curiga.
"Rahasia-aaawww!" Mark merintih sakit tanpa suara saat bangun dari tidurnya. Haechan mencubit lengannya terlalu keras. Untung saja tidur milik Chenle tidak terusik sama sekali karena hal itu.
"Biarkan dia tidur dulu, nanti kalau sudah bangun baru kita ajak makan." Haechan menarik Mark supaya memindahkan Chenle ke kamar. Tidak baik tidur dengan posisi terngkurap seperti tadi, terlebih itu di atas sofa. Jadi, lebih baik segera dipindah ke ranjang supaya bocah itu bisa semakin leluasa dalam tidurnya.
Mereka telah sampai di kamar milik Chenle, Mark meletakkan anaknya dengan lembut supaya ia tidak terbangun. Haechan sendiri ia sudah siap dengan selimutnya untuk menghangatkan tidur milik sang anak.
"Selamat tidur." Bisik Haechan dengan pelan, sangat pelan sebelum akhirnya mendaratkan kecupan hangatnya di pipi gembil sang anak.
"Mimpi indah ya, sayang." Mark ikut mengecup sang anak.
Inilah akhir yang bahagia di hari yang sangat indah ini. Chenle terlelap dalam lautan mimpinya, bersama dengan Mark dan Haechan yang tengah menatapnya teduh. Anak mereka adalah hal yang paling mereka sayangi di dunia ini. Huh, bahagianya keluarga ini.
"Hei, jangan menciumku dengan tiba-tiba seperti itu." Haechan protes saat baru keluar dari kamar sang anak Mark telah menyerang bibirnya dengan ciuman yang tiba-tiba.
"Karena aku rindu bibirmu sayang." Mark mencium bibir itu lagi dan tidak memedulikan protesan dari sang istri sama sekali.
Dasar suami. Selalu begitu. Suka seenaknya saja. Itulah suara hati milik Haechan.
... ... ...
TBC
SENIN 17/04/2017
...
RNR!
MAU REVIEW SILAKAN, GAK MAU REVIEW YA NDAK PAPA. Bebas kok guys, sebebas hidupku selama ini...
You miss me? I miss you too :*
Ini adalah penutup untuk acara maljum kalian yang indah. Bagaimana? Haechannirella sudah cukup untuk mengobati hati kalian? Atau belum? Yaudah kalo belum tunggu sebentar lagi ya guys. Love you :*
Catatan : Jangan nagih Life Lesson dengan terlalu ngotot. Semua butuh proses.
MARKHYUCK SARANGHAE!