DISCLAIMER : Naruto © Masashi Kishimoto.

RATE : M

WARNING : TYPO, AU, OOC, DRAMA BERANTAKAN DAN PENTING ENGGAK SUKA JANGAN BACA ^_^. *WINK*

IMAJINASI TINGKAT ZEUS.

Summary : Pertemuan yang membawa mereka pada takdir selanjutnya.

"Selamat membaca"

Sasuke mengernyit tak suka dengan beberapa orang yang menghadang mobilnya malam ini. Baru saja beberapa menit yang lalu keluar dari bandara setelah sekita sebelas jam ia habiskan dipesawat untuk kepulangannya dari Amerika.

Dan sekarang belum genap satu jam ia menginjakan kakinya di Negara kelahirannya ini, ia sudah memdapatkan musuh. Tak tanggung-tanggung musuh yang menghadangnya kali ini sekitar lima orang lengkap dengan pistol dan katana ditangan masing-masing.

Bungsu Uchiha itu hanya menghela napas berat. Tangan kanannya memijat pelipisnya yang tiba-tiba mendadak pening.

"Keluar." Triak seorang berbadan tambun disamping pintu kemudi. Dan yang lain ada yang memukul bagian kaca depan mobil mewahnya hingga retak.

'Sial! Siapa sebenarnya orang-orangt ini' umpatnya dalam hati.

Bisa saja Sasuke menghabisi para bedebah ini seandainya ia juga membawa pistol, tapi sekarang keadaan menghimpitnya. Tidak mungkin ia membawa senjata api dalam perjalanannya kali ini. Sebab ia akan mendapat masalah dengan pihak bandara.

Dengan wajah datarnya, Sasuke membuka pintu mobil yang memang hanya memiliki dua pintu disetiap sisinya. Menatap tak suka orang yang kini menodongkan pistol tepat kewajah tampannya.

"Apa mau kalian?" tanya Sasuke akhirnya. Sungguh ia tidak mengenal orang-orang ini. ia tau, ia memiliki banyak musuh dan kalaupun ia mempunyai banyak musuh itu seharusnya tidak dinegara ini. Negara yang tidak pernah ia tinggali sebelumnya, selain kelahirannya dua puluh tujuh tahun yang lalu.

"Tentu saja membunuhmu Uchiha." Jawab sengit salah satu dari mereka. Dan semakin membuat alis Sasuke berkerut. Orang-orang ini mengenali dirinya seorang Uchiha, siapa mereka? Mungkin seandainya mereka tidak mengenali dirinya sebagai seorang Uchiha, Sasuke akan berpikir mereka hanya sekelompok berandalan atau perampok yang memang tak sengaja menghadangnya. Meski sangat kecil kemungkinan ada kelompok seperti itu di Negara para samurai ini. Tapi tentu itu tidak berlaku disaat mereka tau jati dirinya.

Kali ini jalan satu-satunya adalah menggunakan otak geniusnya untuk berpikir. Kabur adalah pikiran pertama yang melintas diotaknya.

Matanya semakin menyimpit ketika bunyi pompaan pistol tepat diwajahnya yang siap menembus tulang tengkoraknya kapan saja.

Daarr...

Satu tembakan berhasil ia hindari dengan cepat dengan cara menunduk dan menggunakan kakinya untuk menjegal kaki sipenembak sampai tubuh tambun itu jatuh. Namun tentu tidak berhenti dari situ, salah satu dari mereka yang berdiri disamping pria itu menebaskan katana yang sedari tadi digengam kearahnya. Karena tidak bisa menghindari seluruhnya, Sasuke menggunakan telapak tanggan kanannya untuk menahan katana yang akan menebas kepalanya.

'Shit' lagi ia mengumpat dalam hati. Ketika katana yang harus ia kenggam ditarik secara paksa oleh pemiliknya, sehingga pasti merobek kulit telapak tangannya.

Setelah katana terlepas, Sasuke dapat merasakan nyeri didaerah yang kini meneteskan dara segarnya. Tanpa membuang waktu ia mundur, bagaimanpun juga ia kalah jumblah ditambah lagi mereka menggunkan senjata lengkap. Sepertinya orang-orang ini memang niat sekali membunuhnya. Tapi siapa mereka? Dan kenapa ingin membunuhnya?

Sasuke semakin melangkah mundur namun sebelum berbalik sebuah katana berhasil mengores perut bagian kirinya tepat dibawah tulang iga. Hingga membuatnya meringis tertahan dan sekali lagi menggumamkan umpatan sial. Disusul dengan tembakan-tembakan yang lain, karena tidak mau mengambil resiko dengan timah panas yang mungkin akan menghujani punggungnya Sasuke memotong jalan, berbelok dan melompat dari jembatan yang beberapa saat lalu ia lewati, yang akan menuju kediamannya masion Uchiha.

Sasuke dapat menghela napas lega ketika suara tembakan itu tidak ia dengar lagi. Mungkin mereka sudah tidak mengejarnya. Segera ia meraba saku jasnya, namun ia tidak mendapatkan apa yang ia cari.

"Keparat." Triaknya saat ponsel yang ia cari tidak ia temukan. Dan ia baru ingat ponsel canggihnya itu ia letakkan di dasbord mobil sesaat ia baru menerima telpone dari sang ibu, Uchiha Mikoto.

Ia memutuskan berjalan entah dimana ia sekarang, ia tidak pernah menginjakan kakinya di Jepang sebelum ini. Sasuke lebih memili Amerika untuk menghabisakan masa mudanya, meski keluarga besarnya ada di Negara yang terletak di Asia Pasific itu.

Nyeri di perut kirinya berdenyut, menambah rasa tak nyaman lukanya. Tangan kirinya yang tak terluka ia gunakan untuk mencegah darah merembah terlalu banyak pada kemeja biru gelap yang ia pakai. Bukan hanya diarea perut yang dirasa nyeri tapi ditelapak tangannya pun juga.

Mata onyx-nya mengamati sekitar, sepi itu adalah kesan pertamannya. Dan seketika ia melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya yang menunjukan pukul sembilam malam. Dan sekali lagi matanya mengamati sekitar, berada dimana dia sekarang? Tapi nihil ia benar-benar tidak tau ada dimana dirinya sekarang. Mungkin akan lebih baik bila ia kembali ke tempat dimana ia meninggalkan mobilnya tapi logikanya menokal, sebab tidak menjamin para bajingan itu sudah pergi.

Argh...

"Sialan!" suara geraman dan disusul umpatan tak lepas dari mulutnya. Belum apa-apa dia sudah memiliki musuh.

Mungkin karena terlalu banyak darah yang keluar dari kedua lukanya ditambah dengan sudah lamanya ia berjalan, namun parahnya ia tidak tau harus kemana. Pikiranya juga dipenuhi oleh orang-orang tadi. Sampai membuat kepalanya seakan merasa mau meledak, pusing dan pandangannya mengabur.

Sebelum ia kehilangan kesadaran dan mati ditempat yang tidak ia ketahui, mata kelamnya melihat cahaya temaram didepan tak jauh darinya. Segera saja Sasuke menyeret kakinya menuju cahaya. Napasnya yang memburu membuat ia seakan kehilangan udara disekitarnya. Dan betapa bersyukurnya sang Uchiha muda itu ketika kini yang didapatinya adalah sebuah gerbang dari sebuah rumah, tidak terlalu besar namun ia tidak bisa menilai keseluruhan karena kurangnya cahaya ditambah lagi matanya sudah lelah untuk mengamati.

Ia merosot, tepat bersandar pada pintu gerbang. Ia berharap besok sang pemilik rumah akan bersedia menolongnya. Kalaupun ia masih hidup besok. Kelopak matanya menutup setelah menghela napas lega.

Belum lama ia menutup matanya, sebuah cahaya lain yang menyorot kearahnya membuat ia perlahan membuka mata hitamnya. Seketika cahaya terang itu membuatnya sialau sampai seperti menyakiti matanya. Sasuke menggunakan tangan kanannya yang terluka sebagai penghalau dari cahaya.

Cahaya itu meredup meski tidak sepenuhnya padam. Dan itu Sasuke gunakan untuk melihatnya. Sebuah mobil berhenti tepat didepannya.

'Oh sial, jangan bilang mereka mengejarnya dengan mobil dan menemukannya.' Rancau Sasuke dalam hati.

Namun seketika pikiran negatifnya lenyap ketika melihat seseorang yang turun dari dalam mobil. Bukan salah satu dari mereka, seorang wanita.

Matanya menyimpit mengamati penampilan wanita yang masih berdiri disebelah pintu mobilnya. Wanita dengan rambut pirang yang diikat ekor kuda, dengan setelan kemeja berwarna pastel dan dipadu dengan sepan sebatas lutut berwarna hitam yang sedikit memperlihatkan kaki jenjang wanita itu.

Ino mengernyit saat matanya melihat seseorang tengah bersandar pada pagar rumahnya. Dan semakin membuat dahinya berkerut kala ia melihat telapak tangan pria tersebut terluka dengan pencahayaan yang di berika oleh mobilnya ia bisa melihat dengan jelas luka tersebut.

Sebenarnya ada rasa takut, akan siapa pria yang sedang terluka tersebut? Mungkin saja ia orang jahat atau seorang yang sedang menjadi buronan seorang polisi. Namun jiwanya sebagai seorang dokter ia tidak bisa membiarkan orang tersebut, ditambah lagi posisinya yang menghalangi mobilnya membuat ia tidak bisa masuk sebelum memindahkannya.

Sedikit takut ia membuka pintu mobilnya dan turun. Sebelum melangkah mendekat ia terlihat meneguk ludahnya. Bagaimana kalau orang ini adalah orang baik yang sedang terkena musibah dan tentu ia kan menyesal kalau hal itu benar.

Ino bisa melihat pria itu membuang mukanya, mungkin merasa risih dengan tatapan curiga dari wanita Yamanaka tersebut. Disaat itulah Ino tau, ada luka lain yang terlihat dari darah yang dihasilkan di bagian perutnya.

Wanita berpostur tubuh tinggi itu, berjalan mendekat dan berjongkok didepan Uchiha Sasuke. Setelah meyakinkan diri karena dari penampilan pemuda tersebut jauh dari kata seorang brandalan.

"Kau terluka?" seharusnya pertanyaan itu tidak harus ia suarakan sebab lukanya telah memberitaunya bahwa pemuda tersebut tengah terluka.

Tidak ada jawaba. Ino sedikit menarik bibirnya membentuk senyum. "Mari, biar aku mengobatimu." Ajaknya dengan membantu Sasuke berdiri untuk memapahnya kedalam kediamannya.

Diruang yang tidak terlalu besar, hanya ada sebuah ranjang kecil, meja dan etalase dimana tersimpan obat dan peralatan medis yang sering wanita cantik itu gunakan untuk praktek dirumahnya. Ia membawa Sasuke keruangan itu, mendudukan pemuda bermata sekelam malam di ranjang dan setelah itu ia memutuskan mencuci tangannya terlebih dahulu.

Sepertinya takdir melarangnya untuk beristirahat terlalu cepat malam ini. padahal setelah pulang dari rumah sakit ia ingin sekali meengistirahatkan tubuh lelahnya, sebelum besok ia harus kembali berkerja. Tapi melihat luka yang didapat dari pemuda yang ia temukanya ini pasti akan memakan waktu lama.

Sasuke mengamati ruangan tersebut, kemudaian mata hitamnya menatap punggung wanita yang kini sedang terlihat mencuci tangannya yang memang sedang memunggunginya. Dari situ Sasuke dapat berkesimpulan bahwa wanita yang menolongnya ini adalah seorang dokter. Ia patut berterimakasi kepada Tuhan, karena membawanya ketempat seorang dokter, yang itu tandanya ia tidak akan mati cepat saat ini.

Mata onyx-nya tidak lepas dari setiap gerak gerik Ino dengan banyak pikiran dikepalanya tentang wanita cantik itu. Sampai ia tidak sadar kala wanita yang ia amati itu telah berdiri didepannya.

"Berbaringlah."

Seketika Sasuke tersentak, mata onyx-nya menatapa mata aquamarine yang juga tengan menatapanya. Dan kali ini Ino yang dibuat tersentak oleh tatapan itu bahkan tangannya sampai bergetar. Cukup lama mereka dalam posisi tesebut, sampai Ino buru-buru menunduk mengalihkan tatapannya kearea yang terluka.

"Berbaringlah, biar aku melihat luka diperutmu." Tambahnya diperjelas.

Hal itu membuat Sasuke juga ikut mengalihkan tatapannya keluka diperutnya. Dan tidak ada pilihan lain selain menurut kali ini.

Ino menyingkap kemeja yang Sasuke gunakan keatas setelah melepas jas pemuda itu. Lukanya cukup dalam untuk disebut sebagai goresan kecil, 'sebuah pedang kah yang menciptakan ini?' tanyanya dalam hati. Namun luka sobek yang ada di tempat itu menandakan tidak sampai mengenai organ vital pemuda tersebut.

Olesan alcohol pada lukanya membuat Sasuke meringis, rasa tak nyaman menambah perih didaerah yang berdarah itu.

"Aku akan menjahitnya, apa kau bisa menahan sakit sedikit?" Ino bertanya. Ya dia harus menjahitnya untuk menutup luka dengan kulit yang terbuka dan menghentika pendarahannya.

"Hn." Hanya guman yang tidak dapat bermakna setuju ataupun keberatan yang ia dengar.

Setelah mendengar gunaman yang ia simpulkan sendiri bahwa pria itu tidak keberatan akan tidakannya selanjutnya, Ino memberikan bius lokal untuk meredakan rasa sakit yang disebabkan setiap tusukan jarumnya nanti.

Tidak terlalu banyak jaitan yang ia berika karena lukanya tidak memanjang. Setelah memberi perban pada luka jahitannya Ino kembali bersuara. Ia tidak perlu menghabiskan waktu yang terlalu lama untuk menjait luka pria itu, sebab setatusnya sebagai dokter yang ditempatkan di unit gawat darurat membuat ia sudah terlalu sering mendapat pasien sedemikian rupa.

"Berikan tanganmu."

Sasuke tidak serta merta menurut kali ini, ia memaksa tubuhnya untuk bangun, mengabaikan rasa berdenyut luka diperutnya. Setelah kembali duduk di atas ranjang pun Sasuke masih belum memberika tangannya kepada Ino.

Melihanya membuat wanita cantik itu menghela napas lelah, jujur ia sungguh sudah sangat lelah dan kenapa pria itu tidak bisa diajak kerja sama dengan mempermudan pekerjaannya supaya cepat.

Karena ketidak sabarannya dan karena Sasuke masih melum memberikan tangannya Ino sendiri yang berinisiatip untuk menariknya. Tidak ada penolakan, Sasuke diam.

Mata hitamnya tak lepas menatap wanita yang tengah membersihkan luka ditelapak tangan dengan alkohol. Bahkan rasa perih yang diciptakannya tidak membuat matanya teralihkan dari sosok bak malaikat didepannya, ah atau memang wanita ini adalah malaikatnya.

Ia tidak pernah tau kalau Jepang memiliki harta karun yang cukup menggiurkan, parasnya cantik dengan mata sewarna samudra dan rambut platina. Benarkah dia gadis Jepang? Atau seorang hafu?

Tapi sejak Sasuke dibawa masuk oleh wanita itu tadi, ia belum melihat orang tua wanita ini, rumahnya terlalu sepi untuk ukurang waktu yang masih menunjukan pukul sembilan lebih. Tapi saat menginggat jalanan yang Sasuke lalu sebelum sampai ketempatnya sekarang ini, ia bisa berpikir kalau rumahnya terpencil. Cukup aneh memang untuk ukuran seorang dokter yang membuka prakter dirumah, dengan letak rumah yang jauh dari strategis.

"Lukanya tidak terlalu dalam, jadi aku tidak menjahitnya." Suara Ino membangunkan Sasuke dari lamunannya. Matanya berali ketangannya yang kini tengah dibalut dengan perban.

"Sudah." Setelah baluta terahir ia ikat pada setia sisinya. "Nanti akan kembli seperti semula setelah lukanya sembuh." Tambahnya sebelum berbalik. Membersihkan peralatannya dan mencuci tangannya kembali.

Ia menghadap Sasuke lagi yang juga sedang menatapnya. "Istirahatlah." Ucapnya sebelum memutuskan keluar dari ruang itu.

Sebelum memutuskan membersihkan diri dan istirahat Ino harus memasukan mobilnya dulu yang tadi ia biarkan begitu saja diluar pagar rumahnya.

Sasuke kembali merebahkan tubuhnya keranjang, setelah menghela napas dan memutuskan memejamkan mata onyx-nya perlahan.


Yamanaka Ino tengah disibukan dengan aktifitas rutin paginya, menyiapkan sarapan untuk sang putra sebelum mengantarnya ke sekolah. Yamanaka Hiko, anak berusia tujuh tahun tengan meminum susu hangatnya selagi menunggu sarapan yang dibuat sang mama.

"Bagaimana sekolahmu kemarin?" tanya Ino saat meletakan nasi dan sosis goreng dimeja depan sang anak.

Mata hitam itu memandang sang mama sebelum menjawab dengan sedikit bosan. "Tidak ada yang istimewa." Warna rambut yang sama dengan warna pupil matanya itu sedikit berantakan, bukan karena kusut tapi memang rambutnya bergaya spiky, mempertampan wajah anak yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar tersebut.

"Mama akan pulang larut lagi malam ini, jadi kau tidur saja dulu." Ino mengatakan kalimatnya dengan tangannya yang masih menyiapkan sarapan untuk orang yang ia tolong tadi malam, tentu saja ia tidak lupa akan pemuda itu.

Sedangkan Hiko masih mengamati sang mama, ia sudah terbiasah dengan itu jadi ia tidak akan protes. Tapi kini kepalanya sedang ingin bertanya sarapan yang sedang sang mama siapkan satu lagi itu untuk siapa? Tapi sebelum sempat ia menyuarakannya, sebuah pintu di kamar yang biasah disebut sebagai ruang praktek sang mama terbuka menampakan pria dewasa dengan kemeja yang sedikit kotor oleh dara yang telah mengering, dengan jas yang ia bawa ditangannya ia berjalan keluar sedikit tertatih karena nyeri di perut yang beberapa jam yang lalu di obati oleh wanita yang kini juga tengah menatapanya.

Yamanaka Hiko menoleh, memandang kearah pria yang juga tengah memandang kearah dia dan sang mama. Pupil hitamnya melebar. "Papa?" ucapnya cukup nyaring.

Sedangkan dua orang dewasa diruangan itu sama-sama mengernyit mendengarnya.

Anak kecil itu masih dalam keterkejutannya, pria yang berdiri tak terlalu jauh darinya itu begitu mirip sang papa. Kepala hitamnya ia tolehkan cepat ke arah sang mama, bermaksud bertanya, namun seolah mengerti apa yang dimaksud sang buah hati Ino hanya menggeleng lemah. Kemudia Hiko hanya kembali menoleh kearah Sasuke sebelum menunduk untuk melanjutkan sarapannya.

Mana mungkin kan, papa-nya yang telah meninggal bisa berdiri didepannya seperti sekarang ini? Pasti itu hanya orang yang kebetulan mirip dengan sang papa.

Sebenarnya ibu muda itupun cukup terkejut dengan panggilan anaknya yang tiba-tiba pada orang yang tadi malam ia temukan di depan rumahnya dengan keadaan luka cukup parah. Dan tadi malam ia tidak berpikir seperti itu, menolong orang yang mirip suaminya, tidak. Ia tidak benar-benar memperhatikan wajahnya malam tadi, tapi sekarang sinar matahari seolah memperjelah wajah tampannnya dan ia tidak bisa memungkiri wajah itu begitu mirip dengan sang suami.

Sasuke hanya diam ditempat, setelah mengusai ketidak mengertiannya. Dia masih belum menikah dan tidak pernah menikah sebelumnya apa lagi memiliki anak, tapi bocah yang baru ia temui reflek memanggilnya papa. Sebenarnya ia akan segera protes, namun gelengan dari sang wanita membuat ia mengurungkan diniatnya itu. Mungkin hanya kebetulan saja ia mirip dengan papa sang bocah.

Suara Ino menyadarkannya. "Bagaimana keadaanmu?" ia mencoba tersenyum ramah. "Aku baru saja akan mengantar sarapan dan menyiapkan obatmu." Dan menambahkan.

Sedangkan yang ditanya hanya bergumam tak jelas, pikirannya masih terpecah. Cukup disayangkan wanita yang ia anggap sebagai malaikat penolongnya tadi malam telah memiliki suami dan seorang anak. Tapi sejak tadi malah rumah ini terlalu sepi dan pagi ini pun ia tidak melihat suami wanita itu kut sarapan bersama bertiga dengan istri dan anaknya dimeja makan. Dalam benaknya yang bercabang ia bertanya kemanakah suaminya?

Tapi lebih dari itu, dia berada disini bukan untuk menyensus keluarga mereka. Akan lebih baik ia bisa cepat kembali ke mansion Uchiha dan mencari orang-orang yang menyerangnya tadi malam.

"Boleh aku meminjam telphone mu?" Akhirnya ia bersuara setelah cukup diam dengan pikirannya. Sekarang tujuannya adalah menghubungi mansion Uchiha dan memberitahukan keberadaannya.

Ino hanya mengangguk, sebelum menunjukan letaknya.

Sasuke segera menekan nomor yang ia hapal diluar kepala, dan sambunganpun terhubung. Sepertinya ibunya yang mengangkat. Dan terdengan nada kepanikan setelah Sasuke menjawab.

Hiko berdiri dari kursi, "Aku sudah selesai." Dan Ino mengangguk.

"Mama tidak bisa mengantarmu,-" Ino menjawab sebelum menghampiri sang anak. "Mama akan menelphone kan bus sekolah, tak apakan?" imbuhnya.

Dan anaknya pun juga mengangguk. Segera ia mengambil ponselnya dan menghubungi bus sekolah untuk menjemput putrannya, ibu muda itu memang selalu seperti itu bila ia sedang tidak bisa mengantar ia akan mengandalkan fasilitas sekolah, sebab jarah kediamannya dan sekolah sang anak cukup jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki.

Setelah sepasang ibu dan anak itu sampai didepan pagar rumah untuk menunggu bus sekolah, sang anak bertanya. Pertanyaan yang sangat ingin ia tanyakan tadi tapi ia menahannya, sekarang orang yang akan menjadi topiknya tidak ada di sekitar mereka paling tidak posisi mereka tidak dekat, pria itu ada di dalam sedangkan ia dan sang mama di luar rumah.

"Dia siapa?" tanyannya dengan menatap mamanya.

Sedangkan Ino hanya menoleh ke arah sang buah hatinya dan bergumam, "heem?" itu adalah gumaman ketidak mengertian dengan pertanyaan anaknya.

"Pria yang ada dirumah kita?" jelas bocah berumur tujuh tahun itu.

"Oh! Dia pasien mama." Jawabnya dengan tersenyum.

Tak lama bus yang mereka tunggu telah berhenti dipan mereka, menunggu penumpang untuk naik.

"Hati-hati!" lambai Ino pada putranya.

Sasuke baru saja menutup telphonenya setelah melihat wanita penolongnya memasuki rumah.

Dan Ino kembali tersenyum ramah, sebelum menawarkan.

"Sarapanmu."

Sasuke langsung mendudukan diri dimeja makan wanita itu. Sebuah menu sarapa yang sederhana, tapi lumayan untuk mengisi perutnya, sebab dari kemarin ia belum mengisi perut setelah sampai ia di Jepang.

"Dimana suamimu?" suara Sasuke tiba-tiba memecah kesunyian.

Ino hanya memberikan tatapan reflek. Dan pandangan mereka bertemu.

"Kalo tidak salah bocah tadi memangilku papa, dia anakmu kan?" tanyanya memperjelas dengan masih memandang warna mata aqua didepannya. Meski dalam hati Sasuke ingin mendengar bahwa wanita yang masih ia tatap ini menjawab 'dia tidak mempunyai suami dan bocah itu bukan anaknya.'

Namun anggukkan Ino membuat mata sipitnya makin menyipit.

"Dia putraku." Jawabnya singkat. Sebelum berdiri dan membersihkan sisa sarapannya. Dan bergegas berjalan meninggalkan tempat sarapan menuju kamarnya. Bersiap untuk berangkat bekerja.

Sasuke hanya memandang pungguh kecil itu menjauh sebelum menghilang dibalik sebuah pintu. Dan bibir tipisanya menyunggingkan sebuah seringai. Dia jadi semakin penasaran siapa suami wanita itu.

Ino sudah siap dengan setelan kerjanya, sebelum ia berangkat meninggalkan rumahnya, ia sempat berpikir dahulu. Apakah bukan ide yang buruk meninggalkan seorang pria asing dirumahnya seorang diri? Tapi untuk mengusirnya ia tidak tega, melihat kondisi pria itu.

Ia cukup paham letak rumahnya cukup jauh dari kota, bisa saja lukanya yang baru tadi malam ia jahit terbuka karena membuat pria itu meninggalkan kediamannya dan berjalan jauh.

Ide lain sempat terlintas, mengajaknya kerumah sakit. Tapi bibirnya terasa berat untuk menawarkan.

"Kau akan berangkat?" Sasuke bertanya setelah melihat Ino berdiri dengan baju rapi.

Sedangkan yang ditanya hanya mengangguk sebelum berucap. "Apa kau butuh tumpangan untuk kerumah sakit?-" sebelum Sasuke menjawab Ino sudah menambahkan. "Aku rasa, lukamu perlu penanganan lebih lanjut."

Sasuke tersenyum tipis, hampir menyerupai seringai. Setelah melihat wanita didepannya mengerutkan kening ia menjawab. "Apa kau keberatan aku tinggal di rumahmu lebih lama?" sebernarnya itu sebuah pernyataan yang ia tangkap Ino dari kalimat Sasuke.

"Tidak, hanya saja... kau akan dirumah sendiri." Ino menjawab cepat.

Sasuke berdiri dari duduknya dan menghela napas. "Mungkin sebentar lagi orang yang menjemputku akan datang." Ia kembali mengamati Ino sebelum menambahkan. "Kalau kau tidak keberatan mengijinkanku menunggu dirumahmu."

Dan Ino kembali kedalam pikirannya. Selama ini, ia selalu berhati-hati dalam menerima tamu, apa lagi orang asing. Dan ya, ia dan san putra tidak pernah membawa orang asing sekalipun ke kediamannya. Dan ada alasan tersendiri jugalah yang membuat ibu muda itu memilih rumah yang jauh dari hiruk pikuk dunia luar. Dan sekarang keadaan yang membuat ia harus ada diposisi sulit. Ia tidak mungkin menunggu pria ini sampai dijemput, pekerjaan sudah menantinya. Tapi meninggalkannya? Kalau pria ini orang baik, mungkin mereka akan baik-baik saja, tapi kalau seandainya pria yang ia tolong adalah kriminal atau orang jahat? Terlalu banyak tapi yang bersarang di otaknya.

Sasuke paham akan kekalutan wanita didepannya. Dan ia mulai tidak nyaman dan tidak suka dengan apapun yang ada dipikiran wanita itu. Cukup tau apa yang dipikirkan olehnya. Akhirnya pria Uchiha itu berucap.

"Baik buruknya seseorang tergantung kau memperlakukannya dan ingat kebanyakan orang hidup dalam asumsimu sendiri."

Yamanaka Ino melebarkan mata indahnya kearah pria didepannya mendengar kalimat yang baru saja ia dengar. Kata-kata itu?

"Aku tidak akan meninggalkan rumahmu sampai kau datang, kalau kau tidak percaya denganku."

Kalimat panjang untuk mengakhiri obrolan pagi mereka berdua. Sebelum Ino benar-benar melangkah meninggalkan Sasuke dan rumahnya. Dengan berbekal keyakinan bahwa pria itu adalah orang baik.

Ketakutan dan kehati-hatian seorang wanita di abad modern membuat pria bermarga Uchiha itu semakin penasaran akan sosoknya.

%


%

Waktu seakan berjalan melambat bagi Sasuke, berada ditempat yang baru seorang diri seperti ini dan tidak ada yang ia lakukan untuk membunuh rasa bosannya. Jadi ia hanya duduk bersandar pada sofa yang ia yakini sebagai ruang tamu. Luka jahitnya kembali berdenyut. Sial! Ia meruntuk dalam hati.

Mata onyx nya baru saja akan memejam, saat telinganya mendengar suara sebuah mobil yang berhenti di depan rumah minimalis itu.

Sasuke beranjak untuk melihat siapa, tapi ia langsung mengenali seseorang yang baru saja turun dari mobil sedan hitam dengan mengunakan setelan jas rapi. Salah satu anak buah ayahnya.

Pintu berwarna putih itu ia buka. Dan langsung berjalan kearah pagar rumah yang tidak di kunci oleh pemilik rumah. Setelah sampai di depan pagar pria berjas hitam itu membungkuk hormat padanya.

"Sasuke-sama!"

"Hn." Jawab Sasuke tak jelas.

Dan matanya melihat keadaan sang tuan dengan kemeja putih yang terdonai oleh dara kering."Bagaimana keadaan anda?" buru-buru anak buah ayahnya itu menambahkan.

Merasa tidak perlu menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh bawahannya, jadi Sasuke malah merespon dengan pertanyaan lain.

"Aku sedang menunggu pemilik rumah datang, jadi kau bisa menungguku didalam mobil." Ucapnya sebelum berbalik meninggalkan pria yang kembali membungkuk hormat kepadanya.

#


#

Hiko baru baru saja turun dari bus sekolahnya yang mengantarkannya pulang disore itu ketika ia melihat seorang laki-laki berpakaian rapi bersandar pada sebuah mobil hitam tepat di depan pagar rumahnya.

Anak berusia tujuh tahun itu tidak mernah melihat orang asing itu, mata hitamnya mengamati sejenak, sebelum memutuskan untuk segera masuk kedalam rumah. Mamanya selalu bilang untuk hati-hati terhadap orang asing, dan dari tadi pagi ia sudah bertemu dengan dua orang asing di rumahnya.

"Tadaima."

Ucapnya setelah masuk kedalam rumah. Ia memang selalu mengatakan salam ketiap pergi dan pulang, meski ia tau disaat ia pulang tidak akan ada yang menjawabnya. Tapi kali ini berbeda ada suara yang menjawabnya.

"Okaeri." Jawab suara itu datar.

Hiko berdiri ditempat melihat pria yang sedang duduk di sofa ruang tamu rumahnya, pria yang tadi pagi. Dalam pikirannya ia bertanya, 'kenapa paman ini belum pergi?'

Namun dari pada menyuarakannya ia lebih memilih kembali berjalan dan masuk kedalam kamarnya setelah meletakan bungkusan yang ia bawa ke meja makan.

Tak butuh waktu lama untuk ia menganti baju santainya dan keluar dari kamar menuju meja makan. Mengeluarkan ayam goreng yang ia beli waktu pulang sekolah tadi, memindahkan dari bungkusan kepiring yang ia letakan ke meja makan. Anak kecil itu berpindah pada penanak nasi.

"Paman sudah makan?" tanyanya.

Dan Sasuke seketika mengalihkan tatapannya ke arah sang bocah, yang sedang mengambil nasi. Masih belum menjawab, sampai suara anak itu kembali ia dengar.

"Aku membeli beberapa ayam goreng."

Sasuke masih mengamati setiap gerak-gerik anak yang duduk di kursi yang tak jauh dari tempat ia duduk. Melihat setiap hal yang dilakukan sang bocah, seolah hal itu sudah terlalu sering bocah itu lakukan seorang diri. Keluar dari kebanyakan yang dilakukan oleh kebanyakan anak seusiannya. Mungkin karena kesibukan kedua orang tuanyalah yang menuntut anak ini untuk mandiri di usia dini.

Ia tersenyum tipis sebelum memutuskan berjalan mendekati sang bocah.

"Kau biasah melakukannya sendiri?" tanya Sasuke datar setelah berdiri di dekat sang bocah yang kini menatapnya, mengalihkan pandangannya dari nasi yang ia ambil dan mengangguk.

Tangan kecilnya memberikan piring yang berisi nasi pada Sasuke yang langsung pria itu terima, sebelum mendudukan diri dikursi makan.

Sasuke kembali mengamati bocah yang sekarang sedang makan dengan diam, jujur ia tidak pernah merasa kasian terhadap seseorang apa lagi anak kecil. Tapi entah ada malaikat baik apa yang merubah ia jadi merasa prihatin terhadap anak didepannya ini. mungkin karena ia merasa penasaran saja akan sosok ayah dari anak itu.

Dimana ayahnya, dan apakah sesibuk itu sampai membiarkan anak mereka melakukan hal yag tidak dilakukan seorang diri? Bukankah pria jepang selalu melarang istrinya untuk bekerja setelah menikah? Tapi kini yang dilihatnya seoalah anak yang di depannyanya ini sebatang kara.

"Dimana ayahmu?" akhirnya ia menyuarakan penasarannya juga.

Anak yang tengah tekun makan itu mendongak, menatap wajah pria yang baru saja bersuara. Cukup lama diam, seperti sedang berpikir untuk memberikan jawaban yag cocok untuk penanya.

"Bukankah kau tadi pagi memanggilku papa?" tak cepat mendapat jawaban membuat Sasuke menambakahkan.

Wajah yang sebagian tertutup poni hitam itu kembali tersenyum sebelum menjawab. "Maaf!" Kata itu adalah untuk ucapannya tadi pagi, karena memanggil pria didepannya dengan panggilan papa seenaknya. Sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ditanyakan oleh pria itu. "Sudah meninggal."

Sasuke hanya mengerutkan kening tak mengerti. Menjawab sudah meninggal dengan sebuah senyuman. Apa anak ini benar-benar mengerti arti dari sudah meninggal?

"Tadi aku hanya merasa, kalu wajah paman sagat mirip degan papaku." Ia kembali menambahkan sebelum menunduk untuk menyantap makanannya.

Jadi itu alasannya. Dan apa yang dikatakannya, wajah mereka mirip? Lalu sekarang yang membuat ia penasaran adalah siapa ayah anak ini? kalau di amati anak didepannya ini memang mirip dengan dirinya waktu ia kecil, mata onyx, rambut sedikit mencuat kebelakang sama sepertinya, meski tidak terlalu. Masih wajar seperti anak-anak.

Sekarang pikirannya dipenuhi dengan berbagai hal. Tanpa niat untuk menyuapkan makanan yang telah terhidang didepannya, ia hanya diam dengan pikirannya sendiri. Sampai suara anak didepannya kembali menariknya.

"Paman tida suka ayam goreng?"

"Hn."

Hiko hanya memandang tak mengerti dengan jawaban yang ia dengar namun tersenyum lagi setelahnya.

"Pria didepan itu temannya paman?" ia kembali bertanya. Dan Sasuke hanya mengangguk.

"Kenapa tidak disuruh masuk?"

Ya inilah yang tidak ia sukai dari anak kecil, kebanyakan mereka cerewet dan menyuarakan apa yang ada dikepala mereka dengan enteng. Tapi biarlah, anak ini sudah membuat dirinya penasaran jadi kenapa ia tidak mencari tau dari mulut polosnya.

"Anggap saja ia scurity." Jawab Sasuke sekenanya. Dan anak tampan itu sedikit terkekek mendengarnya.


Senja yang beberapa waktu yang lalu merajai langit, kini telah diganti dengan warna gelap malam. Jarum jam pun telah menunjukan pukul tujuh malam. Bocah yang tadi sore sempat menghabiskan waktu bersamanya itu beberapa saat lalu mengatakan akan mandi dan sempat menawari Sasuke untuk mandi juga tapi pria itu menolak, meski ia sangat ingin mandi. Tapi mandi tanpa ganti baju itu terasa percuma, sebab yang ia butuhkan saat ini adalah berendam dengan air panas.

Saat Sasuke melihat sang bocah dengan piyama tidurnya keluar dari kamar dengan membawa beberapa buku, yang Sasuke yakini sebagai buku pelajarannya. Sebelum ia sempat bertanya anak itu sudah menjelaskan.

"Sekarang waktuku untuk belajar, tapi karena paman sendirian jadi aku memutuskan untuk belajar disini." Sasuke hanya mengangguk mengerti.

Anak itu cukup tenang dalam belajar, tak tampak raut kesulitan. Ya mungkin ia tergolong bocah pandai.

Tak berniat untuk mengganggu kegiatan belajarnya Sasuke mengalihkan pandangannya kearah televisi yang dari tadi sudah menyalah tanpa niat benar-benar untuk menontonnya. Bahkan sekali-kali matanya melirik jam dinding yang tepat berada di atas televisi.

Seakan berjalan lambat, dan perutnya pun berbunyi, menandakan lambungnya sedang kosong. Sasuke kembali melihat sang bocah yang masih diam seolah tidak mendengar suara perut sasuke barusan. Bila diingat-ingat Sasuke hanya makan sarapan yang diberikan wanita pe,ilik rumah yang belum datang sampai sekarang. Sore tadi ia hanya menemani sang bocah makan tanpa niat untuk memakan bagiannya.

"Jam berapa ibumu biasanya datang?" Sasuke bertanya sebab ia sudah cukup lelah dengan keadaannya.

Hiko mendongak sebelum menjawab. "Jam sembilan."

Haaa...

Sasuke menghela napas, masih lama pikirnya.

"Kau mau makan malam?" Sasuke kembali bersuara.

"Apa paman mau memasak?" tanyanya polos tanpa mendongak untuk melihat orang mengajaknya bicara. Sepertinya ia sedang berusaha kosentrasi dengan soal pekerjaan rumah yang sedang ia kerjakan, soal matematika dasar memang, tapi ia membutuhkan ketenangan untuk menghasilkan jawaban dari soal hukum pasti seperti ini.

"Tidak, kita bisa memesannya." Jawab Sasuke yang masih menatap kearah sang bocah.

Hiko dibuat mendongak dengan jawaban Sasuke, memesan makanan? Rumah makan mana yang mau mengantar pesanan kerumahnya? Ingat ruahnya cukup jauh, mungkin memerlukan waktu beberapa menit untuk sampai itupun untuk orang yang sudah hapal dengan jalan rumahnya.

"Tidak ada rumah makan didekat sini." Jawab Hiko akhirnya.

"Ck..." lagi Sasuke mendecak dengan kenyataan dia berada ditempat terpencil. Tak habis pikir, kenapa mereka berdua bisa betah berada disini, apa mereka tidak takut hidup berdua tanpa seorang pria ditempat yang jauh dari lingkungan umum.

Apa wanita itu sengaja mengasingkan diri ditempat ini? lalu apa yang membuat seorang dokter muda dengan seorang anak berumur tujuh tahun mengasingkan diri ditempat ini? dan lagi bukankah wanita itu berkerja disebuah rumah sakit? Bukankah lebih enak bila memilih rumah dekat dengan tempat kerjanya?

Sungguh ia tidak bisa menerka-nerka apa yang ada dipikiran wanita itu. Sungguh misterius dan penuh tanda tanya.

Sasuke berdiri dari duduknya, setelah diam dengan pikirannya. "Aku akan menyuruh supirku untuk membeli makanan untuk kita." Finishnya.

Setelah itu berjalan menjauh dari tempat yang sejak tadi ia habiskan, menuju pintu keluar dan menemui supirnya yang sudah sejak siang tadi menunggunya disitu. Tanpa berani menolak perintah tuannya, ia bergegas menjalankan mobil menuju ketempat yang dimaksud secepatnya.

Sasuke kembali, dan melihat raut bertanya dari anak laki-laki yang sedang menatapnya.

Anak itu bertanya. "Apa tidak apa-apa menyuruhnya?"

Tanpa mau menjawab panjang lebar Sasuke hanya berguman, "hn."

Dan anak itu kembali diam menekuni kegiatan belajarnya.

Tak butuh waktu lama untuk sang supir itu membawakan makanan siap saji dalam jumblah cukup banyak. Sasuke sedang menyantapnya dengan tenang sedangkan Hiko hanya diam melihat pria didepannya sebelum Sasuke melihatnya dan bertanya.

"Ada apa?"

Anak itu hanya menggeleng.

Dan Sasuke kembali bertanya disela makannya. "Apa kau selalu melewatkan makan malammu?"

"Setelah makan sore aku jarang merasa lapar dimalam hari."

Sasuke tak berniat untuk menaggapinya. Akhirnya mereka berdua menhabiskan makan malam dengan diam.

Setelah makan dan meembersihkan sisa makannya Hiko kembali belajar sampai ia merasa ngantuk karena cukup kekenyangan. Dan tanpa sadar kepalahnya sudah terkulai diatas meja atau lebih tepatnya diatas buku-buku dengan banyak rumus perhitungan dasar.

Suara dengkuran kecil membuat Sasuke mengalihkan pandangannya. Pria itu tersenyum kecil. Ia merasa kasian dengan anak ini, seolah kekurangan kasih sayang. Dibandingan dengan masa kecilnya dulu yang hidup bak seorang pangeran, meski ayahnya sibuk tapi ibu dan pelayannya siap melayaninya dua puluh empat jam.

Ia berdiri bermaksud untuk membangunkannya tapi karena rasa kasiannya Sasuke mengurungkan niat awalnya. Perlahan tubuh kecil itu ia angkat dalam gendoangnya. Tubuh dalam gendongannya mengeliat kecil saat dirasa ada pergerakan namun tubuh bocah itu kembali tenang.

Ia tau dimana kamar anak ini, sebab rumah ini tidak terlalu besar dan hanya meliki dua kamar tanpa menyebut kamar kecil didepan yang dijadikan praktek sang mama. Dan lagi sasuke tadi telah melihat anak itu masuk dan keluar dari kamar itu jadi ia sangat tau itu adalah kamarnya.

Dan benar, kamar yang tidak terlalu besar dengan dominan warena biru dan interior khas anak-anak, tidak terlalu banyak hanya ada satu ranjang ukuran kecil dengan seperai bergambar anime bertema basket. Disisi kiri ranjang ada meja belajar yang cukup rapi untuk ukuran seorang anak laki-laki. Dan disisi kanan terdapat lemari pakaian.

Setelah masuk dan sedikit mengamati kamar, Sasuke segera menidurkan sang bocah dengan pelah diranjang, dan menyelimutinya. Tanpa ingin berlama-lama ia akan segera keluar, namun mata hitamnya menangkap bingkai foto yang ada dimeja nakas kecil disamping ranjang.

Sasuke mengambilnya, sebuah foto dengan tiga orang didalamnya. Anak kecil dalam dekapan seorang wanita yang ia yakini sebagai anak yang kini sedang tidur dan wanita yang kemarin menolongnya. Tapi bukan keduanya yang menyita mata onyx-nya, melainkan pria yang berada dibelakang keduanya, mendekap mereka berdua dengan sayang dengan wajah tersenyum, seolah menunjukan kebahagiaan.

"Itachi?" Gumamnya lirih.

Seolah menyadari sesuatu, ia menoleh cepat ke bocah yang sedang tidur.

Bocah ini adalah anak Itachi, benarkah? Tapi anak ini memang begitu mirip dengan nyanya, rambut dan matanya. dan tidak lupa dengan pernyataan sang bocah pagi tadi saat ia dipanggil papa dan penjelasan bahwa ia begitu mirip dengan papanya.

Tapi kenyataan lain yang membuat ia lemas, keterangan yang dikatakan oleh anak laki-laki itu bahwa papanya telah meninggal. Benarkah Itachi meninggal? Dan benarkah Itachi adalah papa bocah ini?

"TBC" ^.^

HALLO... Aku kembali menulis sebuah cerita yang absrud. Dan makasi untuk Ame to ai-nee yang selalu menyemangatiku buat nulis lagi.

"MAKASI TELAH MEBACA"