"Apa yang kau lakukan? Mengambil pengorbanan sama saja menghina dewa, kemarahannya akan tertuju pada desa ini. Tidak hanya menghancurkan desa, ancamannya juga akan membunuh setiap manusia disini!"

"Aku tahu ... aku mengetahuinya ..."

"LALU KENAPA!?"

"Kenapa? Kau tanya kenapa? ... KARENA SEMUA INI GILA! Ajaran kita mengajarkan kalau manusia adalah makhluk yang memiliki derajat tinggi, Lalu kenapa? Kenapa kita memperlakukan teman, sahabat, saudara, bahkan keluarga kita layaknya ternak? Mereka juga manusia, sama sepertiku, sepertimu, dan seperti kita semua!"

"Kau hanyalah anak perempuan kecil Shion. Daripada memikirkan hal yang tidak perlu, kau hanya harus mempersiapkan dirimu untuk menjadi seorang istri." Ujar seorang pria paruh baya yang kupikir adalah ayahnya.

"A-Apa ... bagaimana bisa, di saat seperti ini."

Gadis dengan surai pirang pucat itu menundukkan kepala, menjatuhkan sebagian poninya dengan ekspresi sakit. "PERSETAN DENGAN SEMUA ADAT TIDAK BERGUNA INI!" dia berteriak, berteriak keras hingga beberapa orang berhasil dibuatnya kaget.

Ia berlari, menjauh dari kerumunan semua orang dan masuk ke dalam rumah sederhana berbahan papan. Sedangkan aku, aku hanya mengikuti kepergian gadis itu dengan sorot mataku.

Aku tidak peduli dengannya, ataupun masalah desa ini. Semua itu berada diluar keingintahuanku. Jika mereka akan mati, maka matilah.

Lalu kenapa menyelamatkan dia?

Itu terjadi secara spontan. Aku tidak menyukai monster dan langsung membunuhnya. Sedangkan si manusia, karena aku belum lapar kupikir akan baik untuk menjadikan mereka persediaan.

"Kalau bersedia, maukah kau ke desa kami? Aku ingin membalas kebaikanmu."

Lalu semuanya menjadi lebih baik.

"Dekat sini ada desa?"

"Ya, sebuah desa kecil."

"Ma-maukah kau datang?" Tanya gadis lain di belakang si rambut pirang pucat.

"Tentu."

Sebuah desa? Artinya ...

Semakin banyak mangsa!

.

Way of Life

Disclamer : Semua karakter dalam fict ini bukanlah milik saya, jika ada yang bilang ini milik saya jangan pernah percaya.

Pair : — ?

Rate : Maybe M? Untuk jaga-jaga kalau tiba-tiba Author pengen masukin lime / lemon.

Genre : Fantasy, Adventure, Suprantural, and etc.

Warning : OOC, OC, Typo, , dll.

Summary :

Ketika membuka matanya hanya kegelapan malam yang menyambut. Semuanya tetap sama tanpa ada yang berubah, begitulah pikirnya. Tapi sebuah angin segar menghampirinya bersama sosok yang tidak pernah terduga, dan itu merubahnya.

Chapter 4 : Namaku Uzumaki Naruto.

.

.

Naruto membuka matanya seiring dengan kesadarannya yang terbangun, iris shafirnya memandang langit-langit kamar dengan perasaan nostalgia. Puluhan tahun berlalu dan kini ia mengingatnya kembali, alasan dibalik perbuatannya menolong Shion di masa lalu.

Ia duduk di tepi kasurnya, melihat sekeliling yang masih gelap tanpa adanya sinar mentari. Matanya melirik ke satu-satunya jam yang ada di kamar bernuansa putih itu. 02.00 AM.

Pagi, seperti biasanya.

Padahal ia tidak pernah berkeinginan untuk bangun di pagi buta seperti sekarang. Tapi insting bawah sadarnya terus saja mengambil alih, memaksa matanya terbuka, dan membawa tubuhnya untuk bangun.

Kalau di ingat-ingat Kiba pernah menyebutkannya

... Noktural.

Makhluk yang hidup di malam hari.

Mungkin itu adalah salah satu sisi tidak terbantahkan dari seorang vampir, untuk Naruto, Shion, ataupun vampir lainnya di luar sana. Tapi sebagai seseorang yang terikat pada pekerjaan hal ini haruslah bisa di hindari.

Naruto berjalan keluar kamar, menapaki lantai kayu coklat tanpa alas kaki hingga sampai di ruang tengah. Tempat dimana Shion duduk di sofa kulit bercorak abstrak itu sambil melihat televisi di depannya. Matanya membulat dan sesekali terpejam, bahkan tak jarang pula ia menutup wajahnya dengan bantal.

Menonton film, mungkin horror.

"Shion." Panggil Naruto dengan intonasi khasnya. Tapi Shion kelihatan tidak mengetahui kedatangan sang majikan.

"Kyaaaaaaaa!"

Ia menjerit kaget bagaikan melihat hantu, Shion menutup wajahnya dengan bantal sambil bergumam tidak jelas.

"Aku sudah bilang untuk tidak menonton film horror."

Mungkin ... karena selama ini Shion hanya hidup di desanya selama se-abad lebih, pemikirannya menjadi seperti anak-anak. Terlalu mempercayai segalanya dengan mudah, dan menerima segala informasi tanpa adanya penyaring.

Akibatnya ... sebuah film horror yang merupakan rekayasa bisa saja ia anggap sungguhan.

"Eh," Shion membuka bantalnya perlahan, dan mendapati sosok Naruto yang berjalan dengan berpakaian piyama biru. "Naruto-sama?"

"Hn."

Naruto berjalan kembali, melewati ruang tengah dan menuju dapur. Karena posisi dapur yang hanya terpisahkan oleh meja panjang untuk memasak, Shion masih dapat melihat apa yang dilakukan sang pemuda blonde.

"Naruto-sama masih sering bangun pagi?"

"Ya, berlaku juga untukmu."

Naruto memanaskan kopi yang sempat ia buat malam tadi.

"Setelah jadi vampir aku sering bangun malam."

Itu bukan hal yang aneh, Vampir memang dikenal sebagai penguasa malam. Mereka aktif dan berburu pada saat orang-orang terlelap, sama halnya seperti kelelawar. Hal itu juga yang membuat reputasi mereka buruk, karena sejatinya bangsa Vampir di sangkut pautkan dengan malam, kegelapan, dan hal jahat lainnya.

Dulu Naruto juga begitu. Jika kalian pernah memikirkan mahkluk apa yang paling jahat di dunia ini, maka Naruto akan ada di posisi atas daftarmu. Yeah~ sayangnya itu hanya di masa lalu.

"Hn."

Keduanya diam dan kesunyian menyelimuti mereka, hanya suara tuangan air dan televisi yang terdengar. Shion memperhatikan tiap detail film-nya dengan perasaan aneh.

Untuk kesekian kalinya, ia merasa atmosfis di sekitarnya berubah. Namun berbeda ketika ia ketakutan saat menonton film sendirian, kini ia merasa sedikit kesepian, alasannya bangun pun karena mimpi tentang desanya.

Set!

Shion menoleh ke samping. Sebuah cangkir keramik dengan beberapa ornamen manis menghias di sekitarnya, ia menilik pemberi cangkir tersebut dengan sebuah pertanyaan di kepalanya. 'Apa ini?'

"Kopi?"

Pertanyaan Naruto menyadarkan Shion. "Eh, trimakasih."

Itu tadi sangat tidak sopan, Shion-baka!

Mengambil posisi di samping Shion, Naruto duduk di sofa dengan kaki tertekuk. Ia menaruh kopinya di atas meja dan ikut menonton film bersama Shion. Mereka menikmati waktunya dalam diam. Semuanya terasa begitu tenang ... jika saja Shion tidak ketakutan. Sebelum Naruto datang Shion menyembunyikan ketakutannya dibalik bantal, tapi sekarang ... dia tak tanggung-tanggung memeluk Naruto untuk menyembunyikannya.

"Shion ..." Ucap Naruto tiba-tiba, gadis yang tengah bersembunyi dibalik lengannya itu menoleh ke samping, menatap sosok sang majikan dengan maksud bertanya. 'Ya?'

"Kau juga mahkluk spiritual, kenapa takut?"

"Memangnya siapa yang peduli! Meskipun aku makhuk spritual seperti yang ada di tv, tapi aku tidak seseram kuntilanak." Balas Shion tidak mau kalah. Dia memasang ekspresi keras seolah berkata 'kami berbeda.', tapi sayangnya harus berubah dalam sekejap.

"Kyaaaa! Huaaaaaaa!" Teriak Shion kuat.

Naruto tersenyum kecil melihat tingkah Shion. Labil tapi tetap menyenangkan. Mungkinkah waktu yang di lewati Shion selama ini tidak bisa mengubah kepribadiannya juga?

"Besok kau jaga rumah. Aku akan pergi, dan mungkin akan telat."

Shion menoleh dengan alis bertautan. "Memangnya Naruto-sama mau kemana? Kalau sampai selingkuh aku tidak akan memaafkannya."

Naruto menghela nafas pelan dengan mata tidak tertarik, "Sejak kapan hubungan kita sejauh itu?"

"Kita kan sudah—" Belum sempat Shion menyelesaikan perkataannya, Naruto memotongnya.

"—Familiar dan Majikan, hanya itu."

Shion berniat membantah omongan majikannya. Tapi menyadari Naruto yang sudah tidak menunjukkan ekspresi tertarik membuat dirinya ragu untuk berucap. Shion menyayangi Naruto, bahkan mencintainya. Tapi sifat Naruto membuat semuanya menjadi sulit. Ia sosok yang penyayang, namun disisi lain dia tidak suka jika ada orang yang terlalu dekat. (Inget pas Kiba di hajar gara-gara meluk?)

"Baik, hati-hati kalau begitu." Ujar Shion denan nada pasrah.

"Hanya teman cowok." Ucap Naruto tiba-tiba, ia bahkan tidak mengalihkan tatapannya dari layar TV.

Tapi ucapannya sukses membuat mood Shion kembali. Seolah memberikan kepastian di atas kecemasan (diselingkuhin) Shion.

"Ha'i!"

.

.

"Onii-chan! Onii-chan! Cepat bangun! Ini sudah siang! Kalau tidak bangun, nan-nanti aku cium lho~"

Cklik!

Jam weker dengan nada khas seorang adik imut itu terhenti. Sedangkan dalang dari matinya 'alarm adik' itu hanya menggosok matanya yang masih mengantuk. Rambut coklatnya nampak turun dan kusut karena tidur lelap semalaman. Ia bangun dengan sedikit rasa malas di hatinya.

"Hoam~" Uap pemuda itu sambil melihat kalender di kamarnya.

Matanya lalu melirik seragam sekolahnya yang tergantung di lemari, wajahnya mendadak berubah semangat dengan rona merah disana.

"Ufufufufu ... KEHIDUPAN SEKOLAH PENUH OPPAIKU AKHIRNYA DIMULAI LAGI!" Teriaknya sambil memukul tinjunya ke udara kosong.

"ISSEI! JANGAN MENERIAKKAN HAL MESUM DI PAGI HARI!" Balas suara perempuan tidak kalah kuat. Issei yang mendengarnya tersenyum kaku.

"MAAF KAA-SAN!"

Dengan berakhirnya dialog di antara keduanya Issei masuk ke kamar mandi untuk melakukan aktifitas paginya.

Hyoudo Issei atau lebih dikenal dengan nama Issei adalah salah satu pelajar laki-laki di sekolah elite bernama Kuoh Gakuen. Dengan penampilan yang di atas rata-rata (jujur, saya pikir Issei itu lebih ganteng ketimbang character lainnya, ex. Motohama dan Matsuda) membuatnya dilirik banyak perempuan di sekolahnya. Tetapi karena sifat mesumnya yang sudah gak ketolong lagi membuat reputasinya jatuh. Apalagi dengan adanya sang supernova Kiba Yuuto.

Ketampanan Issei sudah tidak di anggap 'berarti' lagi semenjak ada yang lebih tampan darinya.

Tapi hal tersebut tidak membuat Issei sedih berkepanjangan, dia tetap melanjutkan sekolah dan hobi mesumnya tanpa mempedulikan anggapan orang padanya.

Berbicara tentang Issei, dia juga punya beberapa kelebihan dibalik sifat mesum over-nya. Salah satunya adalah kemampuan otaknya, dia memiliki otak yang encer sampai bisa masuk posisi 10 besar saat test masuk SMA. Tentu saja banyak orang yang kaget ketika menerima kabar ini, mengingat betapa mesum dan malasnya Issei pada semua pelajaran.

Yang ada di pikirannya hanyalah oppai oppai oppai dan oppai, tidak ada hal lain lagi. Lalu kenapa dalam sekejap ia bisa mematahkan semua persepsi buruk tentangnya?

Fufufufu ... tiap orang tentu punya satu atau dua rahasia dibalik lengannya. Mereka menyembunyikannya karena hal itu sangat penting atau justru memalukan.

Issei juga memilikinya, meskipun tidak ada yang tahu termasuk dirinya sendiri, dan rahasia milik Issei adalaaaaaaaaaah ... pantang menyerah!

Ketika ia memutuskan sesuatu sebagai tujuannya, hanya kematian saja yang bisa menghentikannya. (Ada beberapa hal yang menjadi pengecualian)

Sadar atau tidak, demi masuk Kuoh Gakuen Issei belajar sangat keras melebihi pelajaran di sekolahnya. Ia melakukannya siang dan malam bahkan di saat hari liburnya, semuanya ia lakukan demi oppa— masuk ke Kuoh Gakuen. Yap~ dia melakukannya hanya untuk masuk sekolah impiannya, bukan karena oppai atau hal mesum lainnya. (Author di racunin, pc di hack orang rambut coklat)

-=o0O0o=-

"Pagi Motohama, Matsuda!"

""Yosh! Pagi juga Issei!"" Balas dua siswa itu semangat. Mereka adalah Motohama dan Matsuda, sahabat karib Issei sejak SMP.

"Woah ... kalian semangat sekali."

Motohama tersenyum mendengar ucapan Issei, ia membenarkan kacamatanya yang turun. "Tentu saja kita semua tahu alasannya ..." ucapnya dengan background ala detektif yang baru saja menyelesaikan sebuah kasus.

"Fufufufu ... jangan buat aku mengatakannya di pagi hari begini," ujar Issei.

Motohama dan Matsuda memandang Issei dengan ekspresi jengkel, "KAU MUNAFIK!" Teriak mereka kompak.

"Hei hei ayolah, kalian kan tahu sendiri aku tidak semesum it—"

"Issei, apa pesananku sudah ada?" Potong Matsuda.

"Yang Miyabi `kan? Memang sedikit sulit mendapatkannya karena dia sudah pensiun, tapi itu bukan masalah. Ini ..."

Issei mengeluarkan sebuah disc dvd dengan cover bergambar anime 'Senior High School AxA'. Kedua sahabat Issei memandang benda tersebut kagum dengan gumaman kecil, 'Master hentai'.

"Oh iya, kudengar kita punya guru baru. Semua orang di jalan membicarakannya." Ucap Motohama disela perjalanannya ke sekolah.

"Aku juga dengar, katanya dia sangat pintar sampai bisa lulus kuliah di usia muda."

"Serius!? Memangnya seberapa pintar dia sampai bisa jadi guru disini?" Tanya Matsuda menanggapi ucapan Issei.

"Hmmm," Motohama membenarkan kacamatanya yang terus turun sedari tadi. "Sumberku bilang kalau umurnya hanya selisih satu tahun dari kita."

Issei dan Matsuda memandang Motohama dengan ekspresi tidak percaya di wajah mereka. Umur ketiganya saat ini adalah 16 tahun, dan jika yang dikatakan oleh Motohama benar maka guru mereka yang baru masih berumur 17 tahun. Sama seperti para senpai di kelas 2.

Sekolah di jepang memang memiliki sistem lompat kelas asalkan pelajarannya sudah selesai, mirip seperti sistem perkuliahan di Indonesia. Tetapi semua ada batasannya, sepintar apapun seseorang melompati kelas jelas kalau ada kelas dimana ia membutuhkan waktu normal seperti yang lain. Jadi mengenai guru yang berumur 17 tahun jelas adalah hal mustahil. Apalagi Kuoh Gakuen hanya menerima guru dengan gelar paling rendah yakni S2.

"Kau pasti terlalu banyak masturbasi sampai ngomong ngelantur," Kata Issei.

"Turunkan sedikit levelmu Motohama. Kebanyakan nonton hardcore bisa membuat otak error."

"Njir ... ini serius."

"Tidak mungkin. Seumur hidup aku belum pernah bertemu orang segenius itu. Lagipula ... jika dia memang genius, kenapa juga ingin menjadi guru? Banyak orang di luar sana yang pastinya ingin merekrut orang sepertinya di penelitian mereka."

"Benar, seorang genius yang ingin menjadi guru itu sama saja membuang potensinya."

"Untuk kali ini aku setuju denganmu, Matsuda."

"Fufufu ... begini-begini aku juga lumayan pintar lho."

"Hanya di beberapa hal."

"Apa katamu, Issei?"

Issei memandang Matsuda dan Motohama bergantian, "Memang benar kan? kita bertiga hanya punya beberapa hal yang di kuasai. Aku dengan Sains, Matsuda dengan ilmu sosial, dan Motohama dengan IT. Memang ironis sih, tapi aku lebih suka oppai."

"Aku juga."

"Begitu pula aku."

Ketiganya saling berpandangan dan diam, "Hahahahaha ..." kemudian tertawa keras.

"Oppai memang yang terbaik hahahaha ..."

"Hahahah ..."

"... Bukannya mau menganggu, tapi kalian bisa terlambat jika tidak cepat-cepat." Ucap sebuah suara di belakang mereka. Issei, Matsuda, dan Motohama menoleh kebelakang dimana seorang pemuda memandang mereka intens.

Rambut kuning dengan potongan undercut, kulit putih pucat seperti boneka-boneka manekin, dan bola mata yang sebiru lautan.

'Ganteng.'

"Jangan bermimpi di siang hari."

"Eh?" Tersadar dari dunianya sendiri, ketiganya memandang pemuda itu dengan berbagai perasaan tidak enak. Namun perkataan sebelumnya dari lelaki itu cukup menjadi fokus Issei saat ini.

"Hari ini upacara pembukaan, jadi tidak masalah kalau terlambat," Balas Issei.

"Tunggu dulu ..." Matsuda seperti teringat sesuatu, "Bukannya hari pertama sekolah yakni hari ini adalah dia. Dia yang menjaga gerbangnya Issei, Motohama!"

"Tidak! Kau pasti bercanda? Si monster itu yang menjadi penjaga hari ini!?"

"Astaga sial! Kenapa aku sampai lupa!?"

"Kita benar-benar dalam masalah besar."

Issei, Matsuda, dan Motohama mendadak panik. Ekspresi mereka horror karena imaginasinya masing-masing.

"Kita harus lari atau semuanya akan terlambat."

"Iya."

Dengan respon yang telah dilatih bertahun-tahun (kabur dari keroyokan masa cewek), ketiganya berlari cepat bagaikan angin. Meninggalkan sang pemuda bersurai kuning dengan sebuah pertanyaan di kepalanya.

"Monster?" tanya dia pada dirinya sendiri.

-=o0O0o=-

Pernahkah kalian memiliki sebuah pemikiran gila di kepala kalian? Sesuatu yang hanya boleh ada di dalam pikiran saja. Jika kalian pernah memikirkannya, maka Issei saat ini tengah menghadapi salah satu imaginasi (yang ironisnya adalah kenyataan) gilanya.

Tubuh besar bak hulk dengan wajah garang yang aneh karena potongan rambut bob. Itulah hal atau seseorang yang tengah Issei dkk hadapi. Tapi bukan itu yang menjadi bagian terburuknya, karena apa yang terjadi setelah keterlambatan adalah hal yang seharusnya tidak mereka lakukan di hari pertama sekolah.

"Kalian sangat kekurangan semangat masa muda sampai berani terlambat di hari pertama." Ucap guru bak binaraga (Maito Gai) itu sambil menatap beberapa murid di hadapannya tajam.

Tubuhnya benar-benar kekar seperti hulk dengan pakaian olahraga yang ketat, tingginya mungkin sekitar 195 cm, salah satu yang tertinggi di sekolah swasta ini.

"Sensei tidak akan mentoleransinya karena kalian menyia-nyiakan masa muda yang hanya datang sekali, karena itu dengan berat hati sensei akan menghukum kalian."

"Ta-Tapi sensei ... ini hari pertama. Sa-saya pikir ..."

"Tidak ada tapi-tapian ... ini sudah kebijakan dari sekolah dan kalian harus mematuhinya."

Issei dkk menunduk sambil mendesah tidak ikhlas. Selain terkenal akan tubuhnya yang seperti pegulat, Gai-sensei juga memiliki sifat keras kepala yang sangat sulit di taklukan. Apalagi jika itu menyangkut tentang masa muda, semangat, dan olahraga.

Dia tidak akan segan-segan memberikan resep olahraganya sebagai hukuman.

The hell! Bisa kalian bayangkan resep seperti apa yang akan diberikan oleh Gai? Melihat badannya yang kelewat bugar itu jelas saja membuat beberapa orang merinding, bahkan sebelum 'hukumannya' di mulai.

Dan ancaman itulah yang kini tengah Issei dkk hadapi.

Di tengah keputus asaan yang bercampur perasaan ogah-ogahan, pemuda yang tadi di temui Motohama dkk datang. Dia memperhatikan 4 orang murid yang terdiri dari 3 laki-laki dan 1 perempuan itu dengan matanya yang tajam. Issei yang mengenali orang tersebut balik memperhatikan.

"Kenapa kau ada disini?" Ucapnya spontan.

"Kalian benar terlambat." Ujar pemuda tersebut mengabaikan Issei.

"Hei! Jangan mengabaikanku!"

"..."

"Bicaralah sesuatu!"

"..."

"Jangan diam saja."

"..." Si pemuda yang kita kenal dengan nama Naruto itu melirik sekilas pada Issei. Hanya sebentar karena kemudian ia beralih pada perempuan yang berbaris di ujung.

"Kau ..." Ucap Gai dengan alis bertautan bingung. Suara bariton yang penuh semangat itu dengan sukses menarik kembali perhatian Naruto.

"Aku akan langsung ke ruang kepala sekolah." Balas Naruto sambil berlalu pergi.

"Tunggu, apa kau tahu tempatnya?"

"Ya."

Gai memperhatikan kepergian Naruto dengan desahan pelan. Ini adalah kali pertama ia bertemu seseorang seperti dia. Bagaimana mungkin dia bisa terdampar di dunia ajar mengajar?

"Sensei tahu siapa dia?" Tanya Issei santai.

Gai menoleh Issei dengan ekspresi memaklumi, "Issei, kau dari kelas 1-B kan?"

Menaikkan sebelah alisnya, Issei menjawab. "Iya. Memangnya kenapa?"

"Yang barusan itu ..." Gai nampak ragu untuk mengatakannya. Bukan dia ingin menyembunyikan hal tersebut karena bagaimana pun semua orang pasti akan mengetahuinya, hanya saja ... dia juga kurang yakin. "Tidak apa-apa, sekarang cepat kalian mulai hukumannya. Lari memutari lapangan sebanyak 40x!"

"Heeee~! Banyak banget!"

"Cepat jalan! Atau kalian mau hukumannya sensei naikkan jadi 3x lipat."

—!

"HA'I SENSEI!"

-=o0O0o=-

Issei POV.

Aku mengistirahatkan tubuhku di bangku paling belakang. Tanganku menghapus peluh yang masih tersisa karena sesi 'hukuman' dari Gai-sensei, dan mataku melirik ke penjuru kelas yang masih ramai akan siswa-siswi yang bercanda ria. Suasananya begitu ramai sampai aku tidak akan heran jika ada satu atau dua guru yang mendobrak pintu kelas sambil berteriak 'ini kelas atau pasar!'.

Tapi aku mengabaikan semua itu. Rasa lelah karena menumpuknya asam laktat di kakiku benar-benar membuatku gemetaran. Mungkin aku memang perlu sering-sering latihan. Terakhir kali aku berlari sangat lama hanya ketika di kejar massa cewek yang murka.

Ugh ... itu pengalaman yang tidak menyenangkan. Selanjutnya aku harus bisa melakukannya tanpa kesalahan. HARUS!

"Huffft ... Gai-sensei memang gila. Apa dia tidak tahu artinya menahan diri?" Ucap Motohama sambil mendekati tempat dudukku. Tepat dibelakangnya ada Matsuda dengan wajah yang tak kalah lelah dariku.

"Menahan diri? Gai-sensei? Memangnya bisa?" Ucap Matsuda sarkatis.

"Kau mengatakannya Matsuda, dia benar-benar gila," Balasku.

"Tapi bukankah kita yang mengikuti hukumannya sama gilanya dengan dia."

"..." Aku menatap Motohama dalam diam, "Sepertinya memang begitu."

"Kan!"

"Hahahahaha ...,"

Beberapa detik kami tertawa karena hal kecil. Itu menyenangkan, bisa menghilangkan sedikit kelelahan tanpa di sadari.

"Tapi aku masih penasaran dengan orang tadi."

Motohama duduk tepat di atas mejaku, sedangkan Matsuda di bangku depanku. Mereka kelihatan memikirkan hal yang sama sepertiku. "Orang yang tadi? Mencurigakan sih, tapi dia ganteng."

"Hee~! Jangan bilang kau mulai menyimpang Matsuda? Apa kau kekurangan asupan hentai? Nanti ... pulang sekolah datanglah ke rumahku, akan ku tunjukkan harta karun legendarisku padamu."

Duagh!

"Ittai—" Motohama merintih sambil memegangi kepalanya.

"—Kau bisa menghinaku jomblo atau ngenes seperti yang lainnya, tapi jauhkan kata-kata menyimpang dariku. Aku masih normal!"

Matsuda yang mendengar jawaban tajam dari Motohama melihatku dengan maksud meminta tolong. "Jangan melihatku, kau yang memulainya."

.

"Tapi siapa orang tadi? Apa guru yang baru?"

"Aku tidak tahu. Tapi kalian lihat ekspresi Gai-sensei?"

"Ah~! Jangan mengingatkanku, wajahnya itu selalu bikin perasaanku gak enak."

"Aku tahu maksudmu. Orang yang kelewat macho itu bisa membuat yang lainnya minder."

"Fufufu ... tepat seperti yang katakan Matsuda."

"Kalau aku sendiri ... Gai-sensei itu sudah menjadi simbol dari hukuman berat di seluruh dunia."

"What!? Serius?"

Aku menghembuskan nafas kaku, "Kalian ingat sendiri kan bagaimana dia memberikan hukuman? Itu sangat ... kalian tahu lah~" Ucapku sambil membayangkan semua hukuman yang telah aku terima dari Gai-sensei.

Hari ini masih ringan karena hanya memutari lapangan. Biasanya aku di beri yang lebih parah. Terakhir kali di hukum aku sampai tidak bisa berdiri.

"Kami mengerti perasaanmu Issei," Balas Matsuda.

"Trimakasih Motohama, Matsuda."

Tepat setelah aku mengucapkan trimakasih, pintu kelas di geser dengan keras oleh sang guru Olahraga (Gai-sensei). Dia masuk kelas tanpa mempedulikan kami semua yang super panik. Motohama dan Matsuda bergegas kembali ke bangkunya, begitupula dengan lainnya, bahkan ada satu dua siswa yang ceroboh dan akhirnya jatuh telak ke lantai.

Hebat .. kepanikan massal!

Dengan ekspresi tidak peduli di wajahnya, Gai-sensei memperhatikan seluruh kelas dengan tatapan setajam elang. Aku membeku, begitu pula dengan yang lainnya. Kenapa ekspresi Gai-sensei begitu? Apa dia mendapat laporan dari sekolah xxx kalau aku mengintip mereka? Huh! Itu sangat buruk!

"Et-Etto ... kenapa sensei ada disini? Sekarang kan bukan jam pelajaran olahraga." Tanya siswi cantik yang menjabat sebagai ketua kelas itu.

Gai-sensei menghembuskan nafasnya perlahan, "Seperti yang sudah kalian ketahui. Ebisu-sensei sudah pensiun tepat satu bulan lalu, ketika kalian memulai liburan musim dingin."

Fiuuuh ... syukurlah bukan yang kupikirkan.

Aku sudah mendengar kabarnya. Wali kelas kami atau biasa orang kenal dengan nama Ebisu-sensei itu kini sudah pensiun dari dunia pendidikan karena umurnya yang terbilang tua. Dia guru yang ceria dengan candaan (mesum) garingnya.

Semua siswi kelas ini awalnya tidak suka pada Ebisu-sensei karena sifatnya yang *mesum*, tetapi lama kelamaan semua berjalan lancar hingga tanpa sadar setengah tahun terlewat dengan banyak kenanangan menyenangkan.

Yah~ dia guru yang baik sekaligus mesum. Tidak ada yang salah dengan itu.

"Karena itu, hari ini kalian punya guru baru yang menggantikan Ebisu-sensei." Jelas Gai-sensei.

"EH~!"

"Padahal udah seneng ada jam kosong."

"Yah~!"

Dalam sekejap kelas menjadi ramai dengan berbagai keluh kesah para siswanya. Semuanya mengeluh tak terkecuali aku, Matsuda, dan Motohama. Aku bukannya tidak suka ada guru baru. Tapi memang ini bukan yang kupedulikan, bahkan alasanku bersekolah disini bukanlah untuk belajar, melainkan ... sesuatu yang lain. Huehehehe!

"SEMUANYA DIAM!"

-!

"Sensei tahu perasaan kalian. Tapi belajar juga penting, dan belajar tanpa seorang guru itu akan sangat sulit."

"Ha'i Gai-sensei."

"Bagus," Gai-sensei menoleh ke pintu yang terbuka setengahnya, "Silahkan masuk Uzumaki-sensei."

Tap

Tap

Tap

Tap

Seiring dengan langkah kaki yang mendekat ke tengah kelas, suasana menjadi sangat hening. Bahkan aku yang biasanya tidak peduli akan hal lain kecuali *oppai* kini ikutan diam, memperhatikan pemuda yang kini tengah berdiri di samping Gai-sensei dengan sebuah jurnal di tangannya.

Rambutnya sudah agak berantakan dan dia memakai kacamata berframe tipis. Penampilannya memang berbeda, tapi aku tidak akan salah mengenalinya, dia itu ...

"Kau yang tadi telat bareng kami kan!?"

Ya! Itu dia! Bagus sekali Matsuda! Kau keceplosan.

"MATSUDA!"

Kupikir pemuda itu yang menjawab pertanyaan Matsuda, ternyata Gai-sensei. Matilah kau sekarang Matsuda. Gai-sensei itu orang yang berbudi pekerti tinggi, dia menghormati orang lain seperti orang tuanya sendiri. Itu sangat bagus untuk di contoh, tapi sisi buruknya adalah dia tidak akan mentolerir siapapun yang berkata kasar pada orang yang lebih tua.

Gai-sensei melotot pada Matsuda dengan hawa membunuh yang sangat kentara. "Dia ini gurumu! Mana hormat—"

"—Tidak apa-apa."

Gai-sensei menoleh ke Naruto-sensei dengan ekspresi yang kurang setuju. "Tapi Naruto-sensei ..."

"Jangan memperpanjang masalahnya Gai-sensei. Lagipula ini bukan pertama kalinya."

Ini bukan pertama kalinya? Bisa ku mengerti. Melihat tampangnya saja aku langsung mengira kalau kami seumuran.

Dengan perkataan singkat dari Uzumaki-sensei (?), Gai-sensei kelihatannya tidak mempermasalahkannya lagi meskipun wajahnya tetap kelihatan bertolak belakang.

"Nama sensei Uzumaki Naruto. Mulai hari ini saya menggantikan wali kelas kalian Ebisu-sensei."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"Itu saja."

"EEEEEEEEH~!"

.

Bermodalkan cahaya dari lampu kelas, Naruto menatap pria berambut merah dengan penampilan kasual itu. Auranya terasa berat dengan perubahan atmosfir yang semakin kentara di antara keduanya.

"Bagaimana hari pertamamu menjadi pengajar? Menyenangkan?"

"Tidak bagus. Aku tidak cocok menjadi guru."

"Jangan merendah. Kelihatannya mereka menyukaimu."

Naruto menunduk, tangannya secara tidak sadar memegang kepalanya sendiri layaknya orang depresi. Ingatannya akan kejadian tadi siang membuatnya pusing.

Cukup dengan seruan-seruan tidak jelas yang menyebut-nyebut namanya. Berada di kerumunan ramai dengan tangan-tangan yang mencoba menyentuhnya benar-benar membuatnya sangat jengkel. Jika saja ia tidak memainkan perannya sebagai pengajar, barang tentu Naruto tidak akan pandang bulu meskipun mereka adalah perempuan.

"Kau mengejekku? Mereka benar-benar menjengkelkan." Ucap Naruto yang mulai kembali normal. "Lagipula aku tidak suka keramaiannya."

Sirzech tersenyum ramah, "Tolong buat sekolah menjadi pengecualian."

"Dengan terpaksa."

"Dasar tsundere."

Naruto memutar bola matanya bosan, "Terserahmu."

"Oh benar. Ku dengar kau mengajak familiarmu, aku bisa mengaturnya untuk masuk besok."

"Aku tidak butuh, mereka akan masuk bulan april." Balas Naruto.

"Mereka?" Tanya Sirzech menaikkan alisnya.

"Ya, aku ada rencana memasukkan dua familiar kesini."

"Fuu ... kupikir kau hanya membawa Shion saja." Ucap Sirzech.

"Yah, aku tidak bisa menjamin satunya akan datang. Tapi segala kemungkinan bisa terjadi bukan?"

"Begitulah."

"Jadi bagaimana? Kupikir pemerintah tidak akan diam saja mengingat kota ini adalah teritori iblis." Tanya Naruto serius.

"Jangan khawatir. Mereka adalah pihak netral yang memilih damai. Selama kita tidak membuat ulah, mereka tidak akan bertindak."

"Masuk akal sih. Daripada menjadikan Maou Lucifer sebagai musuh, hidup berdampingan tanpa ada konflik kelihatannya cukup bagus."

"Menurutku juga begitu." Balas Sirzech sambil tersenyum ramah, "Tapi mereka sangat aneh."

"Aneh?" Beo Naruto.

"Hmmm ..." Sirzech mencubit dagunya, "Maksudku adalah ... mereka tidak berani padaku, tapi punya nyali besar ingin menangkapmu."

"Memangnya apa yang kau harapkan dariku? Kemampuanku sudah tidak sebagus dulu. Lagipula ... aku punya masalah sendiri."

Sirzech berjalan mendekat, ia duduk di bangku guru tepat di depan Naruto.

"Raviel ... air mata pheonix pasti bisa membantumu."

Ting!

"Ah!"

Naruto memperhatikan layar handphone-nya ketika sebuah tanda pesan masuk terdengar, ia mengetik serentetan huruf di atasnya dan kembali beralih pada Sirzech.

"Air mata pheonix? Kau pikir yang seperti itu bisa membantuku?"

"Lalu apa yang akan kau lakukan? Memakai rencana itu?"

"Tentu saja. Itulah bagaimana kesepakatan kita dibuat."

"Kau gila. Menemukannya saja sudah sangat sulit, apalagi mengalahkannya." Ucap Sirzech dengan gestur tidak setuju.

"Menemukannya adalah pekerjaanmu, sedangkan mengalahkannya adalah urusanku."

Sirzech melipat kedua lengannya kemudian menatap Naruto dengan serius. "Kau cukup yakin bisa mengalahkannya?"

"Entahlah." Naruto menatap lurus papan tulis polos di depan kelas, "Jika tidak cukup kuat maka aku mati."

Sirzech menghela nafas berat, "Sejujurnya ... sulit membayangkan siapa yang akan menang di antara kalian berdua."

"Begitukah?"

"Ya." Sirzech kemudian memijit pelipisnya pelan, "Dan akar permasalahan semua ini adalah karena kau tidak ingin minum darah manusia."

"Apa kau keberatan?" Tanya Naruto ketus.

Sirzech menghela nafasnya lagi. Vampir ini memang begitu, ia begitu tidak peduli akan keadaan sekitar. Namun setelah ia memutuskan sesuatu, yakinlah bahwa hanya kematian yang bisa menghentikannya.

"Haaaah~ ... kau sudah banyak berubah. Melihat dirimu yang sekarang, tidak akan ada yang percaya bahwa kau adalah Raviel ... sang Ancestor."

"Raviel Von De Russert sudah mati, aku adalah Uzumaki Naruto."

Naruto memejamkan mata sejenak. Tujuan pembicaraan ini hanyalah mengkonfirmasi kesepakatan sebelumnya, dan setelah dirasa urusannya telah selesai ia kemudian beranjak pergi dari kelas yang sudah kosong itu.

.

.

.

Di tempat lain.

Duduk di hadapan serangkaian komputer menyala, sosok itu memperhatikan siluet pemuda bersurai pirang yang turun dari sebuah kereta. Matanya terpejam dengan seringai di wajahnya.

Pakaian yang di dominasi oleh anagram-anagram aneh itu membalut tubuhnya layaknya pendeta-pendeta gereja, dan dibelakangnya berdiri sosok yang kita ketahui bernama Baron. Wajahnya tetap garang dengan luka lebam disana sini.

"Lupakan tentang familiar vampir itu ... kita sekarang punya target yang lebih bagus." Ucap sosok itu.

"Ha'i."

"Dan kumpulkan semua slayer tingkat 10 dalam 1 bulan. Kita akan melakukan pemburuan besar."

"Eh?" Baron mengucapkannya secara spontan.

"Apa ada masalah?"

"Ti-Tidak. Hanya saja ... 1 bulan tidak akan cukup."

Wuzzzzzh!

Aura dengan kuantitas besar terkumpul dan meledak dari tubuh sosok tersebut. Belasan orang dengan setelan rapi di ruangan itu jatuh tertunduk dengan kedua bola mata yang terbuka lebar.

Tangan mereka meremas dadanya sendiri guna meredam rasa sesak yang menghimpit eksistensi dirinya. Semua orang melakukan hal yang sama tanpa terkecuali, Baron.

"Dalam satu bulan."

"Hiiii! HA'I!"

.

.

To be continue

Author Note :

Tentang pendidikan di jepang. Kemarin saya ada baca kalau sekolah SD-SMP di jepang itu pakai sistem (semacam) SKS dimana murid bisa naik kelas ketika mata pelajarannya sudah selesai. Maka tidak akan mengherankan jika ada anak yang bisa ngebut pelajarannya (semua negara juga ada, biasa di sebut lompat kelas-di kususkan untuk mereka yang genius). Lagipula disana gak ada yang namanya ujian, adapun pengambilan nilai dominan hanya di ambil dari UTS dan tugas sehari-hari (sesuai kriteria gurunya). Mangkanya, kalau di jepang itu mereka lebih khawatir sama test masuk universitas / SMA ketimbang ujian ... alasannya karena ujian itu gak jadi patokan (toh tetep lulus).

Kalau saya salah bisa dikoreksi, soalnya ini saya baca beberapa bulan lalu. Jadi mungkin ada yang salah.

Balasan Review

Naraeyz : Konfliknya belum selesai karena ini akan di jadikan sebagai Arc awal. Nanti semua akan saling berkaitan, mulai dari bagaimana desa Shion menjadi di kutuk, keadaan desa Tayuya yang tidak berbeda jauh, dan badan tersembunyi pemerintah yang memburu para makhluk supranatural. Semua berhubungan satu sama lain.

Lollipoop : Char dari Naruverse akan tetap muncul untuk memenuhi beberapa peran yang tidak ada di DxD universe. Sebagai contohnya Gai sebagai guru olahraga, Sasuke sebagai Chaos, Sakura sebagai Ristil, Kakashi sebagai ******, Madara sebagai ******, dan masih banyak lagi :3

Guest : Naruto itu bukan noblesse, tapi Ancestor. Untuk keterangan lebih lanjut akan di jelaskan di chapter2 depan. (Translate pake Google ntar kalian tahu garis besarnya)

Pian-sama : Trimakasih atas pujiannya. Jujur saya kurang PeDe di chapter 3 karena terlalu banyak bertele-tele. Kalau ada kekurangan jangan sungkan memberikan kritikan (gak pedes) ya ^_^

Nawawim451 : Naruto pernah tidur dengan beberapa gadis ('3'), untuk identitasnya, mungkin akan saya masukkan di beberapa chapter depan. Tapi mungkin udah pada wafat, mengingat waktu sudah berlalu 100 tahun lamanya.

Sampai jumpa di chapter depan! Horas!