Way of Life.
Disclamer : Semua karakter dalam fict ini bukanlah milik saya, jika ada yang bilang ini milik saya jangan pernah percaya.
Pair : — ?
Rate : Maybe M? Untuk jaga-jaga kalau tiba-tiba Author pengen masukin lime / lemon.
Genre : Fantasy, Adventure, Suprantural, and etc.
Warning : OOC, OC, Typo, dll.
Summary :
Ketika membuka matanya hanya kegelapan malam yang menyambut. Semuanya tetap sama tanpa ada yang berubah, begitulah pikirnya. Tapi sebuah angin segar menghampirinya bersama sosok yang tidak pernah terduga, dan itu merubahnya.
Chapter 1 : Hal yang di suka dan benci.
Dengan langkah yang menimbulkan jejak pada tanah bersalju, pemuda dengan surai kuning itu berjalan melewati gang antar bangunan. Matanya yang sebiru lautan berpendar bagaikan seekor kucing dalam kegelapan dan nafasnya yang hangat tak jarang pula menimbulkan awan tipis di udara.
Ia mengeratkan mantelnya, untuk sekedar menghilangkan rasa dingin semu yang diberikan cuaca sekitar. Langkahnya terus menjauh hingga jalan keluar gang terlihat.
.
Pemuda tersebut berhenti, menatap etalase sebuah toko yang menyajikan berbagai macam pernak pernik natal. Asesoris dengan santa klaus, rusa bertanduk, dan salju yang menjadi ikon utamanya.
Ini bulan desember. Semua orang sibuk menyambut natal. Tidak terkecuali disini, salah satu kota di benua Eropa. Orang-orang dengan berbagai aktifitasnya melakukan hari-harinya dalam suka cita natal. Bernyanyi, bekerja, berbelanja, mencari hadiah, mendekor, dan lain-lain.
Pemuda tersebut kadang bingung, ia tidak mengerti. Kenapa saat hari natal semua orang merubah sikapnya? Walaupun sedikit.
Ia diam, memperhatikan barang-barang dibalik kaca dengan mata birunya. Sedikit tersenyum karena sebuah pikiran yang lewat di kepalanya. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan sebuah handphone usang dan mengambil beberapa gambar.
Puas dengan kegiatannya, Pemuda itu berjalan pergi, meninggalkan jejak kaki di belakangnya.
.
Bercerita sedikit tentang pemuda tersebut. Ia jujur tidak menyukai bulan desember, namun bukan berarti membencinya. Hanya saja, ia merasa sedikit terganggu dengan banyaknya tanda-tanda 'Kami-sama' di sepanjang jalan. Seperti ada listrik yang menyengat kepalanya dalam sepersekian detik, kemudian menghilang.
Aneh.
Seharusnya dia menghindari semua itu atau menghancurkannya, bukannya berjalan-jalan di sekitar mereka dengan rasa ngilu di kepala.
Mau bagaimana lagi?
Di dunia yang sudah memasuki abad-21 ini eksistensi dari ras-nya adalah hal yang tabu. Ia tidak bisa menunjukkan dirinya yang sesungguhnya pada manusia biasa, atau polisi akan mengejarnya.
Takut?
Tidak, dia tidak takut. Tidak ada satu hal pun yang membuatnya takut di dunia ini. Bahkan kalau mau, ia bisa saja membunuh seluruh manusia di kota ini dalam beberapa detik. Karena baginya, manusia hanyalah ternak. Mereka hidup dan lalu mati, lalu apa masalahnya jika mereka mati sebagai makanan? Toh mereka pada akhirnya akan tetap mati.
Begitu lah cara dia berpikir.
Seharusnya memang begitu.
Namun setelah pertemuannya dengan dia, pemuda bersurai pirang itu merubah sudut pandangnya. Ia tidak lagi melihat manusia sebagai makanan, tetapi makhluk hidup. Organisme hidup yang seharusnya dibiarkan apa adanya.
Kembali lagi pada alasannya tidak menunjukkan eksistensinya ...
... karena itu merepotkan.
Jika sebuah kota hancur, tidak mungkin ada orang yang mengabaikannya. Mereka akan mencari tahu sampai akarnya, dan pada akhirnya menjadi masalah bagi sang pemuda bersurai pirang ini.
Ya, keingintahuan manusia itu ... merepotkan.
.
.
.
Itu ...
... hanya alasan.
Jangan terlalu percaya, karena ia tidak punya alasan spesifik.
Kling!
Pemuda itu masuk ke sebuah kafe, duduk di kursi yang paling dekat dengan jendela dan menungu pesanannya di antar. Matanya yang bagaikan batu shafir menerang ke luar jendela, melihat orang berlalu lalang dengan senyum kecil di wajahnya.
Ia menyukainya ...
... ekspresi bahagia.
Entah sejak kapan ia mulai menyukai sifat manusia yang begitu mudah mengekspresikan perasaannya. Mungkin beberapa bulan, atau beberapa tahun? Tiap waktu yang dilalui-nya tidak pernah terasa, semenjak ia mulai menikmati kehidupan itu sendiri.
Ada kalanya senang, adapula saat sedih. Tapi begitulah kehidupan, menerima dan kehilangan. Semuanya saling terhubung, entah itu antara satu individu dengan individu lainnya, ataukah masa sekarang dan yang akan datang.
Yah, ia—pemuda tersebut sudah belajar untuk menikmati waktunya.
"Ini pesananmu, Naruto."
Naruto menoleh, melihat pelayan yang membawa dua cangkir kopi padanya. Seorang pria tinggi tegap dengan surai coklat dan mata runcin.
"Terimakasih, Kiba. Tapi ... kenapa dua?"
Pelayan itu tersenyum (lebih tepatnya nyengir), "Ayolah, ini hari terakhirmu disini. Setidaknya traktir aku untuk yang terakhir kalinya."
Naruto tidak langsung merespon, ia melihat kebelakang Kiba dimana berdiri seorang pria paruh baya dengan rambut hitam classic slick back. "Apa pak Austin yang menyuruhmu?"
Gluph!
Bukan Kiba yang menciptakan suara ini, tapi orang yang di panggil 'Pak Austin'. Dia adalah manager di cafe ini sekaligus atasannya Kiba. Walaupun posisi mereka jauh, dan suara tersebut terbilang sangat kecil, Naruto bisa mendengarnya ... dengan sangat jelas.
"Hehehe ... kalau kau mentraktirku, Pak Austin akan memberikanku bonus."
Naruto menghela nafasnya, Manusia dengan ego-nya.
"Terserah."
Mendapat jawaban positif dari lawan bicaranya, Kiba segera duduk dibangku sebrang Naruto. Ia menikmati kopi-nya sambil mengobrol.
Mereka sebenarnya bukan teman apalagi sahabat, keduanya hanya 'kenalan' di tempat kerja. Berawal dari betapa sering-nya Naruto mampir ke kafe tersebut, Kiba dengan berani menyapa Naruto, mengajaknya berbicara dan akhirnya sampai pada keadaan sekarang ini.
Meskipun begitu, figur Naruto adalah orang yang tidak suka berbicara terlalu banyak. Ia hanya mengatakan apa yang perlu dan diam jika itu tidak berguna, tapi ada kalanya Naruto bersemangat. Entah itu karena mood-nya yang baik, atau suatu hal lainnya.
Kiba memahaminya, ia mengerti bagaimana karakteristik Naruto. Dan itu membuatnya tahu bagaimana menangani pemuda yang mengaku lebih tua darinya ini.
Tunggu, Naruto lebih tua dari Kiba?
Dilihat dari postur tubuh dan wajah, Naruto seharusnya berumur 18 tahun, 2 tahun lebih muda dari Kiba. Tapi ia selalu menyangkalnya dan menyebut dirinya lebih tua. Setelah pergulatan argumen yang cukup sengit, akhirnya Kiba yang menjadi pemenangnya.
"Tapi sebenarnya, kau ini mau pindah kemana?"
Naruto melirik dari sudut matanya, tidak tertarik pada pertanyaan Kiba.
"Jepang."
Pada kondisi normal Naruto akan mengabaikannya, ia tidak suka kalau ada yang menanyainya tentang tempat tinggal atau kehidupan pribadinya. Itu privasi, tempat tenang yang seharusnya Naruto seorang ketahui tanpa ada yang mengganggu.
Tapi ...
... anggap saja hari ini adalah pengecualian.
Mata Kiba melebar.
"Kau serius!?"
Jepang atau orang mengenalnya sebagai Negeri bunga sakura adalah Negara yang memiliki arti lebih bagi Kiba. Ia sudah menuntut ilmu selama 6 tahun di kota ini, melewati berbagai masalah dan rintangan dalam prosesnya. Ia bahkan sudah terbiasa dengan kebiasaan orang sini, mulai dari pak Austin yang selalu mampir ke rumah ibu Jasmine—dosen Kiba- tiap malam minggu sampai kopi pesanan Naruto.
Tapi ... negara asalnya bukanlah disini, melainkan jepang. Oleh karenanya, ketika Naruto menyebutkan tempat tujuannya, secara spontan pikiran Kiba melayang pada kampung halamannya.
"Aku tidak akan berkata lebih."
"Eh?"
Kiba menunjukkan wajah protesnya, "Ayolah Naruto ... kau tahu kan kalau aku berasal dari sana? Aku kangen kampung halamanku."
Naruto menghela nafas tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Aku tidak ke Kyoto. Tujuanku sedikit jauh dari sana."
"Tapi kau kan bisa mampir? Aku ingin mengirimkan sesuatu pada ibuku."
"Kau bisa mengirimkannya lewat pos, mereka bisa melakukannya."
"Tch," Kiba mendecih. "Biaya-nya mahal. Belum lagi ..."
Sekedar info, di kota ini hanya ada satu perusahaan pengiriman dan itu pun milik swasta. Karenanya, biaya yang di kenakan lebih mahal dari yang biasanya. Kekurangan itu pun di tambah dengan pengirimannya yang memerlukan waktu lama karena harus melalui banyak proses.
Dulu Kiba pernah menirimkan kado ulang tahun untuk ibunya, kalau melihat dari selembaran dan waktu yang di tempuh, kado terebut harusnya datang tepat waktu. Tapi kenyataannya ... hadiah tersebut datang terlambat -3 bulan-.
"Kau pasti paham maksudku."
Naruto menyeduh kopinya hingga habis. Tanpa ketertarikan akan permohonan Kiba, ia melihat layar handphone-nya yang menunjukkan sebuah pesan singkat.
Kiba mendesah pasrah, seharusnya dari awal dia tidak perlu meminta bantuan Naruto. Pemuda di hadapannya kadang akan sangat peduli pada sesuatu, tapi sisi lainnya adalah ketidak peduliannya pada hal yang merepotkan.
"Ya suda-"
"Asal tidak lebih besar dari koperku."
"Haaa!" Bagai anjing yang diberi tulang, ekspresi Kiba berbinar-binar. "Kau adalah sahabat terbaikku Naruto!" Ujarnya senang.
Tanpa membuat ancang-ancang, Kiba melompat pada Naruto, siap memberikan pelukan kasih sayangnya.
Bruk!
Kiba melupakan satu hal penting, sesuatu yang bisa membuat Naruto marah besar. Di dunia ini Naruto memiliki beberapa hal yang dibencinya, dari yang sederhana sampai yang aneh. Semua itu sudah masuk ke dalam daftar dibenci Naruto, Kiba sedikit banyak tahu tentang hal-hal tersebut.
Tapi kini Kiba melupakan satu dari hal yang paling dibenci Naruto.
"Jangan ... berani-berani ... memelukku, Aku! Tidak! Suka! Disentuh!"
Buagh!
Sebuah pukulan kuat mengenai wajah kiba, menghempaskannya ke dinding dan menghilangkan kesadarannya. Beberapa pengunjung yang melihatnya bergidik ngeri, melihat seseorang memukul pelayan di siang bolong begini bukan lah hal lumrah. Kalau itu orang yang mabuk maka akan masuk akal, tapi di kafe ini tidak menyediakan minuman berakohol. Lalu kenapa?
Pak Austin yang berdiri dibelakang meja kasir menggelengkan kepalanya, "Kau menerima apa yang kau perbuat, Kiba."
Ngomong-ngomong ... Kiba adalah korban kedua Naruto, yang pertama adalah Pak Austin.
.
Pada akhirnya Naruto mengabulkan permintaan Kiba. Setelah penerbangan beberapa jam lamanya, Naruto memutuskan tujuan pertamanya adalah Kyoto. Selain karena jaraknya yang cukup dekat dengan tujuan aslinya, waktu tempo untuk sampai di tujuannya masihlah lama. Kira-kira pertengahan januari, sedangkan sekarang? Masih pertengahan desember.
"Haaaah~" Desahnya lelah.
Naruto tidak menyukai Kyoto. Meskipun daerah ini terkenal akan tempat wisata dan berbagai makanan khas-nya, Naruto tetap menganggap tempat ini merepotkan. Alasannya karena adanya aliran spiritual kuat di setiap spot pariwisata, belum lagi dengan adanya sistem kerajaan Yokai yang menjadikan Kyuubi no yoko sebagai peringkat tertingginya.
Itu menjadikan tempat ini masuk ke daftar 'dibenci' milik Naruto.
Alasan lainnya...
Ia ... tidak ... menyukai ... makhluk ... spiritual.
Satu dari sekian banyak hal yang ada di daftar 'dibenci' milik Naruto.
Naruto berjalan keluar bandara, menghentikan sebuah taksi dan masuk ke dalamnya.
"Apa kau turis, nak?" Supir taksi menanyainya dengan senyum ramah di wajahnya.
"Hn," Tetapi balasan singkat dari Naruto mematahkan keramahannya.
Supir tersebut dalam sekejap tahu bagaimana sifat Naruto, ia meliriknya sekilas dan meminta alamat tujuannya. Naruto menyerahkan alamat rumah ibu Kiba pada supir, tidak berniat meneruskan pembicaraan.
Mereka mulai melaju, melewati beberapa kendaran lain dan sampailah pada jalan yang lebih besar. Naruto melihat keluar, melihat pemandangan yang terlewat dengan cepatnya. Ia memejamkan matanya, merenungkan apa yang akan dilakukan kedepannya sambil memikirkan yang sudah terjadi.
Banyak hal sudah terlewat dan kembali ia berdiri disini, titik awal dari permulaan untuk kesekian kalinya.
Entah sudah berapa kali ia melakukan hal ini, berpindah tempat dan mempelajari bagaimana sifat manusia, lalu memulai semuanya dari awal. Mungkin sudah beberapa tahun, atau malah dekade.
Tetapi pada akhirnya ... ia disini lagi, tempat dimana dirinya bangun dan menemukan dia.
Naruto jadi penasaran, seperti apa dia sekarang. Setelah tahun-tahun yang terlewat akankah dirinya masih sama seperti dulu, ataukah berubah mengikuti perkembangan zaman? Dulu Naruto membiarkannya tetap di jepang karena itu adalah pilihannya, tetapi bagaimana sekarang? Setelah bertahun-tahun terlewat, akankah dia tetap disana?
Oh baiklah, tujuan berikutnya sudah di tentukan.
Ciiiit!
Mobil mendadak berhenti, Naruto melihat sekeliling. Bangunan-bangunan dari semen dan perumahan sederhana, jalanan sepi yang dilewati beberapa murid sekitar. Seharusnya itulah yang berada diluar mobil.
Tapi ini ...
Bukan kah hutan?
"Baik nak, kita sudah sampai di tempat tujuanmu—" Sopir itu menoleh kebelakang, wajahnya tertutup bayangan dengan seringan disana, "—Dan bayarannya adalah semua yang kau punya."
Naruto menatap si supir lurus, untuk sesaat ia memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Melawan atau mengikuti perintahnya?
Tapi ... ia sedang malas untuk melawan atau pun berjalan sendirian di tepi hutan. Tubuhnya kaku dan ingin istirahat beberapa jam lagi.
"Alamatnya sudah ku berikan, bawa aku kesana."
"Hei nak, bukannya ini mudah bagimu untuk memahami situasinya? Jadi bisakah kau bekerja—"
Deg!
"Bawa aku kesana."
Sang supir terdiam, matanya meredup kosong, dan tanpa ada protes lebih lanjut ia menjalankan mobilnya. Melupakan tujuannya membawa Naruto kesini.
Sementara Naruto, ekspresinya sama seperti sebelumnya—datar, mungkin yang membedakannya adalah pupil birunya yang kini menjadi merah. Tapi segera saja kembali ke warna asalnya.
Naruto mengubah posisinya senyaman mungkin, mengindahkan guncangan pada mobil dan terlelap ke alam mimpi, seolah tidak terjadi apa-apa.
To be continue.
Author Note :
Update cerita baru.
Maaf bagi kalian yang menunggu kelanjutan AD : CD, karena otak saya stuck pada adegan battle (lagi), ceritanya jadi molor. Sehingga saya mengalihkan pikiran (sesaat) dengan menulis sesuatu yang lain.
Dan jadilah fanfict gaje ini.
Untuk fanfict ini ... jangan terlalu berharap ya, karena bagaimana pun ini adalah pelarian sesaat saya ketika kehabisan ide.
Oke, sampai ketemu lagi.
Pertanyaan.
Apa ras Naruto?