Ghostly Devil

Chapter 1 - The King, and The Queen


Sebuah cemberut terlihat di wajah seorang Sona Sitri. Gadis berambut hitam itu menghembuskan nafasnya dengan lelah, setelah melihat laporan terbaru yang berada di depannya.

Judul Keluhan: Trio Mesum!

Tanpa membaca seluruh laporannya, Sona bisa menebak apa isinya. Keluhan Klub Kendo kepada Trio Mesum lagi. Sungguh, Sona tidak tahu bagaimana mereka tidak kapok selalu dihajar oleh anggota klub Kendo karena selalu mengintip.

*crunch*

Mendengar suara familiar itu, Sona mengalihkan matanya dari laporan yang berada di depannya, ke seseorang yang sedang menyenderkan badannya di pintu masuk ruangan OSIS Akademi Kuoh.

Seseorang itu mempunyai sebuah apel yang mempunyai bekas gigitan berada di tangannya. Sebuah senyuman besar berada di wajahnya.

"Bekerja lembur lagi eh, Ketua?"

Ejekannya membuat wajah Sona iritasi sedikit.

Mencoba mengabaikan lelaki itu, Sona kembali mengalihkan fokusnya kepada kumpulan laporan yang berada di mejanya.

"Aku dengar kau mempunyai budak baru. Apa ada hubungannya dengan murid pindahan pagi ini?" Lelaki itu bertanya, dari nadanya yang kasual, seolah dia hanya berbicara hanya untuk berbicara, bukan karena benar-benar penasaran.

"Ya." Jawab Sona singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari laporan-laporan di depannya. Mengambil satu kertas dari tumpukan laporan itu, Sona membacanya sebentar, sebelum menandatangani laporannya.

"Genshirou Saji, bukan? Eh, dia oke, aku rasa. Sedikit mesum... Ah, dia akan bahagia berada di peeragemu yang isinya wanita semua."

Sona menghela nafasnya. Ia berhenti fokus kepada laporannya, dan mengalihkan perhatiannya pada lelaki yang berada di pintu ruangan OSIS itu.

"Apa yang kau mau?" Tanya Sona dengan capek.

Melemparkan apelnya yang sudah habis ke tong sampah, lelaki itu memberikan senyuman besar ke Sona.

"Apa seorang lelaki tidak boleh mengunjungi teman masa kecilnya?" Lelaki itu berkata sambil tertawa kecil.

Sona hanya memberikan lelaki itu deadpan. "Kau terlalu sering bergaul dengan Rias."

Lelaki itu hanya tertawa.

Sona menggelengkan kepalanya. "Jadi, apa ada alasan kau disini selain mencoba untuk mengangguku?" Tanya Sona dengan nada jengkel.

"Sebenarnya, tidak. Aku disini hanya untuk menemuimu. Kau selalu sibuk beberapa minggu ini, pulang larut malam, dan selalu mempunyai hal yang diurus di sekolah sampai larut malam. Aku hanya ingin mengecek kalau kau tidak mati dari segala stress ini." Lelaki itu menjawab, berjalan ke kursi yang berada di depan meja Sona, dan duduk di depan Sona.

Sona hanya tersenyum kecil, lalu kemudian kembali mengurusi laporan-laporan yang berada di depannya.

"Daripada mengurusiku, sebaiknya kau mencari anggota peerage. Aku yakin Hilda sudah lelah mengurusmu, Naruto." Ucap Sona dengan kasual.

Naruto hanya menggelengkan kepalanya. "Aku selalu bingung kenapa orang selalu mengira aku hanya mempunyai satu anggota peerage, dan memangnya kenapa kalau aku hanya mempunyai satu anggota peerage? Bagaimana kalau aku bilang kalau aku sebenarnya sudah mempunyai satu set?" Balas Naruto jengkel.

Sona hanya menggelengkan kepalanya. "Mumpung kau disini, lebih baik kita berbicara tentang sesuatu yang lebih penting." Mendengar itu, Naruto menaikan alisnya, penasaran. "Ada beberapa aktivitas mencurigakan di sekitar area Gereja tua yang sudah tidak ada penghuninya."

Naruto menaikan alisnya. "Stray?"

Sona menggelengkan kepalanya. "Tidak. Dari beberapa investigasi yang AKU dan RIAS lakukan," lanjut Sona, menekankan kata dirinya dan Rias sambil memberi glare kepada Naruto, "—kita membuat konsklusi kalau ada beberapa Malaikat Jatuh yang beraktivitas disana."

"Ah," Naruto menganggukan kepalanya. "Rogue?"

Sona menaikan bahunya. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku dan Rias hanya membiarkan mereka, karena mereka belum membuat masalah. Kita akan bertindak jika mereka membuat masalah."

"Lalu apa yang kau ingin aku lakukan?" Naruto bertanya. Ia kemudian menyeringai, "Aku cukup ahli dalam hal yang menyangkut 'seseorang yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa jejak'." Lanjutnya.

Sona hanya menggelengkan kepalanya. "Kau mempunyai sebuah... Skill set yang bagus untuk pekerjaan ini. Infiltrasi markas mereka, dan cari tahu apa yang mereka rencanakan. Aku mempunyai feeling buruk tentang ini..."

Naruto melihat kearah Sona sebentar, memandangnya dengan serius. Ia kemudian mengeluarkan sebuah seringaian.

"Akan dilakukan."

Dan dengan kata itu, Naruto yang tadi berada di depan Sona menghilang dalam sekejap. Satu-satunya tanda bahwa ada seseorang yang pernah berada di depan Sona hanyalah sebuah kilat kuning yang muncul ketika Naruto menghilang dalam sekejap.

Sona menggelengkan kepalanya lagi, dan kembali fokus ke laporannya.

Naruto Astaroth. Atau Naruto Uzumaki, sebagaimana dia dikenal di sekolah ini.

Sona mengenal Naruto sejak... Sejak sangat lama, bahkan ia tidak tahu kapan tepatnya ia mengenal Naruto. Naruto sudah menjadi bagian hidupnya sejak... Sejak dari awal. Onee-sama bilang kalau mereka dipertemukan satu sama lain ketika ia baru 3 bulan dan Naruto baru 5 bulan.

Naruto adalah anak kedua dari tiga bersaudara, kakaknya, tentu saja, adalah salah satu dari Satan sendiri, Ajuka Beelzebub, sementara adiknya adalah Diadora Astaroth. Dari yang ia lihat, hubungan antara Naruto dan Ajuka bisa dibilang sangat dekat, sementara hubungan mereka berdua kepada Diadora bisa dibilang.. tidak cukup baik. Ini lebih difaktorkan karena Diadora yang menghabiskan masa kecilnya dibesarkan oleh kakeknya.

Lady dan Lord Astaroth adalah dua figur penting di dunia politik Iblis. Mereka jarang sekali berada di rumah. Membesarkan Ajuka tanpa influensi dari kakeknya, yang terkenal dengan kepercayaan 'Pro Old Satan'-nya, sudah sangat sulit bagi mereka.

Keluarga Astaroth adalah keluarga tradisionalis. Mereka terkenal dengan kepercayaan mereka yang mendukung Lucifer original sendiri. Sebelum Perang Saudara, Keluarga Astaroth sangat loyal kepada keluarga Beelzebub.

Sayangnya, Minato Astaroth, tidak mendukung kepercayaan klannya. Minato tidak pernah vokal dengan ketidak percayaannya, membuat beberapa anggota klan mengira bahwa ketidak percayaannya hanyalah 'fase' yang dialami anak muda sepertinya. Ketika ia diangkat menjadi Ketua Klan, dan menikahi Iblis Low-Class, hampir ada pembenrontakan diantara Keluarga Astaroth.

Minato bisa menenangkan mereka semua, dan berjanji untuk menaikan Kushina, istrinya, menjadi High-Class dengan turnamen promosi.

Beberapa tahun setelah itu, Ajuka lahir. Dia adalah kebanggaan Minato dan Kushina, dan untuk mereka berdua, ia adalah sebuah bibit baru untuk Klan Astaroth yang berisi pohon tua. Sebuah awalan baru untuk Klan Astaroth. Minato berusaha sekuat mungkin untuk menjauhkan Ajuka dari influensi ayahnya, Glazya Astaroth.

Pada saat itu juga, walaupun Minato, secara teknik adalah ketua klan, ia menjauhkan dirinya dan keluarganya dari klan sendiri dengan mempunyai manor dan area sendiri.

Ajuka tumbuh besar, tanpa influensi banyak dari klannya dan edukasinya di-homeschool langsung oleh Minato dan Kushina.

Saat perang saudara terjadi, walaupun sebagian besar dari klan ingin bertarung untuk faksi Old Satan, beberapa bagian ingin tetap neutral. Minato memberikan keputusan untuk tetap neutral, dengan sedikit indikasi bahwa, 'secara resmi, kita adalah neutral, tetapi apa yang kau lakukan di belakangku bukanlah aksi yang resmi, jadi kalian harus menanunggungnya sendiri.' Beberapa dari klan mengira bahwa Minato secara tidak resmi, memberikan support untuk faksi Old Satan, dan beberapa lainnya mengira bahwa arti sebenarnya yang Minato maksud adalah, kalian semua boleh memilih jalan kalian masing-masing dengan syarat tidak ada yang boleh tahu.

Tapi sebenarnya, kata Minato ditujukan untuk Ajuka yang ingin bertarung bersama sahabatnya Sirzech untuk faksi New Satan.

Setelah itu, perang saudara selesai. Ajuka Astaroth menjadi Beelzebub yang baru. Sebagian besar Astaroth, yang awalnya mengira mereka akan disingkirkan karena mendukung Old Satan, melihat Ajuka, salah satu dari mereka, menjadi seorang Satan, menggantikan alegiansi mereka kepada Beelzebub yang baru. Walaupun begitu, mereka hanya memberikan loyalitas mereka kepada Ajuka, bukan kepada faksi New Satan.

Dan kemudian, Naruto lahir. Saat Naruto lahir adalah saat paling kritis di Dunia Bawah. Populasi Iblis berada pada tingkat paling rendah. Berbagai klan memproposikan pernikahan. Dan juga membangun kembali sistem pemerintahan.

Minato dan Kushina sangat sibuk. Begitupun juga dengan Lord dan Lady Sitri.

Minato dan Lord Sitri bisa dibilang adalah teman baik. Mempunyai dua orang anak, dan keduanya pada umur yang sama, mereka berdua memutuskan untuk meninggalkan Sona dan Naruto kepada seorang babysitter, dan sekaligus agar mereka berdua saling mempunyai teman main.


Mata biru langit memandang gereja yang berada di depannya.

Tengah malam. Gereja tua yang sudah tak terpakai. Orang lain mungkin akan berpikir ia adalah salah satu anak bodoh yang mencoba untuk menguji nyali di gereja ini.

Banyak yang bilang gereja ini berhantu. Dari penampilannya yang tua dan menyeramkan, orang-orangpun juga tidak berani untuk mengunjungi tempat ini.

Membuat gereja ini menjadi sebuah tempat yang bagus untuk bersembunyi.

Memberikan seringaian, Naruto meregangkan lehernya.

Makhluk supernatural mempunyai banyak kemampuan alami daripada seorang manusia biasa. Dari dulu, mereka mengandalkan kekuatan alami mereka itu sampai dengan mereka sama saja seperti manusia biasa jika tidak menggunakan kemampuan itu.

Tidak seperti manusia yang harus berevolusi dan kreatif untuk bertahan hidup.

Kegelapan membuat penglihatan mereka lebih lemah, karena itu mereka membuat lampu. Mereka ingin berada di benua lain dalam waktu sekejap, dan mereka menciptakan pesawat.

Ketika manusia mempunyai CCTV, motion sensor, alarm, dan seterusnya, untuk mendeteksi orang yang berusaha menyusup, makhluk supernatural hanya mengandalkan satu hal.

Pendeteksian energi seseorang. Iblis, malaikat jatuh, malaikat. Mereka diciptakan dari satu tuhan yang sama. Mereka mempunyai kemampuan dan energi yang bisa dibilang mirip. Karena itu, mendeteksi satu sama lain bisa dibilang mudah. Perasaannya seperti sebuah perasaan yang kau dapat ketika kau merasa seseorang sedang mengawasimu.

Karena itu, berurusan dengan seseorang yang bisa menahan energinya sangat sedikit, sampai dengan jika ia berdiri tepat di belakang seorang malaikat jatuh biasa, malaikat itu tidak akan menyadarinya, mereka bisa dibilang, sangat, sangat tidak beruntung.

Dengan kedua tangan di saku celananya, Naruto mulai menahan energi iblisnya.

Ia kemudian dengan santai masuk ke gereja itu lewat pintu depan, kedua tangan berada di sakunya.

Ia membuka pintunya dengan lebar, memberikan suara 'creaaakk' yang biasa terdapat pada pintu tua.

'Ah, suara itu sudah pasti akan mengalihkan mereka semua.' Pikir Naruto.

Entah darimana, ia mengeluarkan sebuah apel, dan dengan santai, memakannya. Ia kemudian melanjutkan jalannya.

Satu hal yang sangat unik dengan Naruto adalah, sejak kecil, ia mempunyai energi iblis, dan hawa keberadaan yang sangat, sangat kecil. Orang kadang tidak mengingat kalau dia berada di samping mereka. Atau tidak memperhatikan kalau dia ada di samping mereka. Tentu saja, mempunyai hawa keberadaan yang sangat kecil, Naruto sangat sering, sangat sering membuat pelayannya khawatir karena mereka kadang tidak sadar jika ia tiba-tiba menghilang. Entah kenapa, Ajuka dan orang tua Naruto selalu bisa merasakan hawanya.

Dan juga, dilahirkan dengan energi iblis yang sangat kecil, Naruto harus kreatif dalam hal bertarung. Ia tidak bisa menggunakan Sihir, seperti Rias atau Sona. Oke, sebenarnya dia bisa, tetapi sihirnya tidak akan sekuat mereka.

Dengan hawa keberadaan dan energi iblis yang sangat kecil, banyak orang yang meremehkannya. Ditambah lagi, dengan kabar bahwa ia hanya mempunyai satu anggota peerage dan sepertinya tidak tertarik untuk menambahnya. Banyak yang bilang bahwa ia hanyalah membuat nama Astaroth dan Beelzebub jelek.

Mendengar suara derapan kaki menuju kearahnya, Naruto dengan santai mengalihkan arah jalannya kesamping.

Asal dia tidak berada tepat di depan mata seseorang, ia bisa memastikan bahwa tidak akan ada yang melihatnya.

Tumbuh dengan hawa keberadaan dan energi yang sangat kecil, Naruto belajar menahannya sampai dimana seolah ia tidak mempunyai hawa keberadaan dan energi sama sekali.

Bukan berarti ia bisa kemana-mana tanpa terdeteksi. Ia masih mempunyai sebuah fisik. Asalkan ia tidak berada di area penglihatan seseorang, ia yakin ia tidak bisa dideteksi sama sekali.

"Pintunya terbuka." Ucap salah satu orang berkostum pendeta.

"Mungkin hanya angin." Jawab rekannya. Mereka berdua kemudian berjalan untuk menutup pintunya.

Berhenti di langkahnya, Naruto kemudian membuang apel yang sudah ia habiskan, lalu melihat ke sekelilingnya.

'Baiklah, jika aku sekelompok Fallen Angel yang, mungkin, secara illegal sedang berada di teritori orang lain untuk melaksanakan rencana super jahat, dimana aku akan menjadikan ruangan utama untuk semua rencanaku...'

Tepat disaat itu juga, Naruto melihat sebuah pintu yang mengarah ke bawah tanah.

'Ah, ruang bawah tanah. Klise.'

Sambil menguap, Naruto dengan kasual jalan ke pintu itu.


Di sebuah rumah, terlihat seorang remaja perempuan. Perempuan itu mempunyai rambut pirang yang ia kuncir keatas, poni panjang yang menutupi mata kirinya, dan badan yang bisa dibilang slim yang memakai pakaian gothic lolita.

Perempuan itu mempunyai sebuah cemberut di wajahnya yang cantik, alis yang mengkerut, dan telapak tangan yang terkepal.

Hildegarde, atau yang dikenal sebagai Hilda di sekolahnya, duduk di sofa dengan jengkel. Sesekali ia melihat jam dinding yang menunjukan pukul 9 malam yang ada di depannya.

"Aku sungguh akan membunuhnya jika dia tetap membuatku menunggu..."

Hilda adalah, yap, Queen dari protagonis kita.

Hilda adalah seorang iblis sejak ia lahir. Ia adalah iblis kelas bawah yang dilahirkan dibawah nama klan Beel. Klan Beel adalah klan iblis level bawah, yang terkenal karena kemampuan mereka untuk memproduksi seorang budak. Mereka melatih siapapun yang lahir di bawah klan mereka, maupun itu sebuah budak, atau bahkan anak dari ketua klan sendiri, mereka akan melatih anak perempuan untuk menjadi seorang maid, dan kemudian menjual mereka. Dalam konteks, ini bisa dibilang tidak illegal karena mereka hanya memperjual 'jasa', tapi karena iblis yang dijual tidak mempunyai hak untuk memilih, selama beberapa tahun terakhir, bisnis ini menjadi semakin diinvestigasi. Hilda masih ingat saat saat itu. Itu juga tepat dimana ia bertemu dengan Master untuk pertama kalinya.

-7 Tahun Yang Lalu-

"A-apa? Zebola?! Dimitri, bukankah mereka adalah klan Old Satan?!"

Dengan penasaran, Hilda melihat ke pembimbingnya dengan wajah penasaran.

Mereka sekarang sedang berada di ruangan kepala klan. Hilda tidak tahu kenapa ia dipanggil kesini, Madam Iris, pembimbingnya, berkata bahwa ia telah dipanggil oleh ketua klan dan harus memberhentikan latihan Maid-nya terlebih dahulu.

"Iris, ini kesempatan langka! Mereka menawarkan banyak uang, uang yang mungkin bisa membuat kita hidup enak selama 7 generasi!"

"Ta-tapi-"

"Apa kau mendengar dirimu sendiri, Iris?! Apa kau tidak mementingkan kelangsungan klan ini?! Kita bukan seperti klan iblis lain yang mempunyai harta berlimpah... Klan kita... klan Beel, sudah berada di ambang kepunahan! Kita tidak mempunyai posisi politik, kita tidak mempunyai harta yang berlimpah. Satu-satunya hal yang kita punya hanyalah bisnis budak ini!"

Hilda bergetar sedikit, agak takut mendengar suara ketua klan yang menggelegar.

Dmitri Beel. Ketua Klan Beel. Dia adalah seorang pria yang berumur sekitar 220 tahun, tetapi hanya terlihat seperti 40 tahun. Ia mempunyai kepala yang botak dan wajah yang sangar. Walaupun hanya berasal dari Klan Beel, Dmitri adalah veteran perang saudara Iblis, dan juga veteran Perang Besar. Dia berada di pasukan yang dipimpin oleh Asmodeus sendiri ketika perang besar.

"Ta-tapi... Kau tahu bukan menurut aturan, kita tidak boleh 'menjual' budak yang dibawah 17 tahun? Hilda... Dia masih 10 tahun! Ini illegal! Bukan saja kau ingin terkait dengan faksi Satan Tua, tapi kau juga merendahkan dirimu lagi dengan mencoba menjual anak 10 tahun!"

*SLAP*

Mata Hilda terbuka lebar. Dmitri Beel mungkin bisa dibilang pria yang keras. Kejam, malah, tetapi, satu hal yang pasti, ia tidak pernah menyakiti keluarganya sendiri.

"Madam..." Gumam Hilda, melihat kearah mentornya dengan khawatir.

"Apa yang kita lakukan adalah penjualan seorang makhluk hidup, Iris. Tentu, kau bisa dengan naifnya bilang kalau kita hanya melatih perempuan perempuan ini untuk menjadi budak, lalu kemudian memberikan jasa mereka kepada klan klan Iblis yang lain. Tapi ingat juga, kita juga melatih mereka untuk mendahuluikan kepentingan Master mereka daripada mereka sendiri. Jika kau melihatnya dari pandangan lain, kita hanyalah membuat sebuah alat, lalu kemudian menjualnya kepada orang lain untuk kepentingan kita sendiri. Kita bahkan melatih mereka sejak bayi, walaupun fakta ini kita sembunyikan karena masalah legalnya." Dmitri menghela nafasnya. "Aku benci melakukan ini... Mencabut hak seseorang... Itu bukanlah hal yang manusiawi. Setiap malam aku tidur, dengan mengetahui bahwa aku mengambil ribuan hak orang untuk hidup. Aku memaksa mereka untuk menjadi seorang budak. Mereka ditumbuhkan untuk menjadi seorang budak. Mereka tidak punya pilihan lain sejak mereka hidup karena AKU membuat mereka menjadi budak seseorang, dan kemudian menjual mereka."

Iris menggertakan giginya. "Kalau begitu-"

"Berhenti? Lalu apa? Bisnis... Ini sudah ada sejak generasi ayahku. Klan Beel, klan yang memproduksi budak yang bagus, kita dikenal karena itu. Ayahku, membuat kita terkenal. Jika kita menarik bisnis ini... Klan Beel hanyalah klan Beel. Klan yang tidak berguna. Di dunia seperti ini, dimana politik dan posisi adalah segalanya, kau akan gugur jika kau tidak mempunyai sebuah.. value. Sebuah nilai. Sebuah kegunaan, untuk orang lain. Jika kau tidak mempunyai semua itu, kau hanyalah akan menjadi fodder, karakter samping, karakter belakang yang tidak mempunyai peran dalam cerita. Orang yang dikorbankan demi sesuatu yang lebih besar."

Hilda hanya diam. Ia bisa mengerti sedikit, apa yang mereka bicarakan. Ia... Ia akan dijual. Ke sebuah klan yang bernama Zebola. Hilda tidak tahu harus bereaksi apa.

"Kalau begitu... Kita... Kita hidup bagaikan orang biasa saja... Kita berhentikan bisnis ini... Kita jalankan hidup, seperti iblis biasa..." Iris berkata, dengan air mata yang mengalir dari matanya.

Dmitri membuang nafasnya dengan kecewa. "Walaupun kau adalah anakku, kau masih sangat naif, Iris. Apa kau ingin dikorbankan? Aku..." Dmitri berhenti sedikit. Ekspresinya takut, seolah mengingat kejadian horror yang pernah ia lihat. "Aku melihatnya senidiri... Saat aku masih seorang prajurit dibawah Asmodeus-sama yang lama. Dia..." Ekspresi tak nyaman terlihat di wajah Dmitri. "Aku ingat saat itu. Di Underworld. Ilos. Sebuah kota iblis. Kita mendapat informasi bahwa satu batallion Fallen Angel akan berada disana. Intel yang kita dapatkan sangat bagus. Dengan intel itu, kita bisa mempersiapkan perangkap untuk menghabisi satu batallion secara langsung. Melihat pada waktu itu, jumlah faksi Fallen Angel sangat sedikit, kehilangan satu batallion akan memberikan pukulan berat untuk mereka. Tapi... Hanya ada satu masalah dengan perangkapnya. Ilos... Ilos adalah pemukiman iblis. Bukan pemukiman besar, bukan juga pemukiman yang kecil. Kita tidak tahu apa yang satu batallion Fallen Angel ingin lakukan di sebuah pemukiman Iblis, dan Asmodeus-sama juga tidak terlalu perduli. Jika kita menjalankan perangkap itu, kita akan memusnahkan Fallen Angel dan pemukiman itu secara bersamaan. Faksi Fallen Angel mungkin akan kehilangan satu batalion, tapi kita akan kehilangan satu pemukiman, yang isinya jutaan. Kita memulai rencana untuk evakuasi, tapi Asmodeus-sama..."

Dmitri menggertakan giginya.

"Dia hanya menyeringai. Dia memerintahkan untuk tidak mengevakuasikan penduduk dan hanya tetap diam. Ia tidak mau sisi Fallen Angel merasa ada yang aneh karena satu pemukiman Iblis tiba-tiba menghilang. Ia ingin mereka tetap berpikir kalau tidak akan terjadi apa-apa. Pada malamnya... Sebuah ledakan sangat besar... Jutaan nyawa melayang..."

Iris dan Hilda mempunyai mata lebar karena shock.

"Setelah fiasco itu, ketika ditanyakan, ia berkata, 'Ilos hanyalah kumpulan para Iblis iblis tidak berguna. Tidak ada seorang nobel atau orang penting disana, jadi tidak apa-apa'."

Dmitri melihat kearah Iris dengan tajam. "Apa kau mengerti sekarang, Iris? Dengan uang sebanyak yang ditawarkan Zebola, kita bisa menutup bisnis ini dan memulai bisnis baru. Kita bahkan mungkin bisa menjadi figur politik!"

"Ta-tapi... Kau tahukan apa yang akan mereka lakukan pada Hilda?..."

Dmitri mengepalkan tangannya. "Ia... Ia adalah bajingan menjijikan. Menggunakan anak kecil sebagai 'mainannya'. Tetapi... Jika kita tidak menutupinya dengan ini, kita akan terus membuat banyak budak lagi... Mengorbakan seseorang, untuk menyalamatkan jutaan orang. Aku... Aku rela."

Iris mengepalkan tangannya. Air mata mengucur dari matanya.

"Hi-Hilda... Go-gomenasai..."

"-da?"

Hilda mengkedipkan kedua matanya, menyadari, sekaligus kaget mendengar sebuah suara yang memanggilnya.

Tepat di depannya wajahnya, ada wajah Naruto dengan jari di depannya yang mempunyai gestur seolah ia ingin memetik tangannya, jelas sekali dari tadi ingin menyadarkan Hilda dari lamunannya dengan memetikan jarinya.

Ekspresi iritasi terlihat di wajah Hilda.

*BUKH*

"Hmph. Terlalu dekat, idiot." Gumam Hilda dengan kasual sambil membersihkan tangan kanannya yang terkepal dengan tangan kirinya.

Naruto yang kini tersender di tembok yang berada di ujung ruangan karena terlempar oleh pukulan Hilda hanya memberikan Hilda sebuah glare.

"Oy oy! Aku jelas sekali tidak pantas mendapatkan itu!" Serunya sambil menunjuk kearah Hilda.

"Meninggalkan seorang wanita sendiri, lalu kemudian seenaknya mendekatkan wajahmu ke seorang wanita. Sepertinya aku harus bekerja lebih keras untuk memasukan konsep kesopanan ke dalam otakmu, Master. Oh, maaf. Pemakaian kata yang salah. Maksudku 'ke dalam kepalamu' karena jelas sekali kau tidak mempunyai otak, Master." Ucap Hilda tajam dengan wajah tanpa ekspresi.

Ekspresi jengkel terlihat di wajah Naruto. "Kali ini aku mempunyai alasan!"

"Oh?"


"Hm, Fallen Angel, eh?" Gumam Hilda sambil menyiapkan sebuah piring di depan Naruto yang dengan manis duduk di kursi meja makan.

"Ya. Sona dan Rias merasa ada yang mencurigakan dari mereka, jadi aku mencoba menginvestigasinya. Ternyata, yang hanya ingin mereka lakukan hanyalah memerhatikan pemilik Sacred Gear." Ucap Naruto dengan bosan. Ia kemudian menguap, "Padahal aku sudah merasa excited. Aku ingin melakukan sebuah aksi. Semua Stray selalu dihandal oleh Rias dan Sona, mereka tidak menyisakan untukku. Dan oh, apakah kita masih mempunyai jus jeruk?"

"Di kulkas, biar ku ambilkan." Sahut Hilda dari arah dapur yang hanya bersebelahan dengan ruang makan tempat Naruto berada. Beberapa detik kemudian, Hilda menaruh segelas jus jeruk di depan Naruto.

"Aku yakin kau akan mendapatkan sebuah aksi," Ucap Hilda sambil jalan kearah dapur. "Yang diincar oleh pihak Fallen Angel adalah pemilik Sacred Gear bukan?" Tanpa menunggu jawaban dari Naruto, Hilda melanjutkan, "Apa kau begitu naif untuk tidak berpikir kalau mereka juga mengincarnya?"

Naruto menyeringai. "Aku juga memikirkan kemungkinan itu." Wajah Sona dan Rias kini terbayang oleh Naruto. "Mengingat bahwa Sona baru saja mendapatkan seseorang, aku rasa ini adalah giliran Rias."

"Hmph. Si putri manja itu," Gumam Hilda. "Tahu dia, paling dia akan membiarkan pemilik Sacred Gear-nya mati. Dan secara 'tidak sengaja' muncul ketika dia hampir mati dan kemudian menghidupkannya lagi sebagai iblisnya. Oh, dan mungkin mempermainkannya dulu seharian sebelum memberitahukan dia kalau dia iblis."

Naruto hanya sweatdrop. "Sangat spesifik sekali... dan juga, itu semua hanyalah kebetulan."

Hilda memutarkan bola matanya. "Ya, bertemu dengan Himejima saat dia sedang terpojok, tanpa sengaja berada di area yang sama dengan Kiba yang saat itu sedang kabur dan kemudian pingsan."

Suara masak terdengar dari arah dapur membuat Naruto menarik nafasnya dalam-dalam untuk mencium aromanya dan mencoba menebak apa yang Hilda masak.

"Omelet?" Tebak Naruto.

"...Ikan bakar. Aku tidak ingin tahu kenapa kau bisa berpikir ikan bakar mempunyai bau yang sama dengan omelet."

"Ikan bakar?! Kau bilang makan malam hari ini adalah ramen!"

"Jangan pikir aku tidak mencium bau ramen dari mulutmu. Kau berhenti makan ramen dulu kan sebelum pulang, Master?"

"..."

"Jangan makan mie terlalu banyak dalam sehari, Master. Kau harus makan sehat juga."

"Tumben perduli." Sahut Naruto, memberikan Hilda yang sedang membawa hidangan makan malam mereka ke meja makan.

"Sebagai pembantu personal yang loyal kepada pewaris keluarga Astaroth, ini memang obligasiku untuk perduli pada kesehatanmu, Master." Ucap Hilda tanpa ekspresi seperti biasa sambil menyajikan makanannya di depan Naruto.

"Daaaannnnn, akutidakmoodmakankarenaakucurigainiberacun."

"Apa itu, Master?" Tanya Hilda dengan senyuman.

"Tidak apa-apa."


"Jadi, siapa pemilik Sacred Gear ini? Dan apa Sacred Gear yang dia punya sampai-sampai membuat penasaran pihak Fallen Angel?" Tanya Hilda, yang berdiri dengan tegap di belakang Masternya selagi Naruto makan.

"Untuk yang kesekian kalinya, bisakah kau duduk saja dan makan bersama denganku?!" Seru Naruto jengkel.

Yang hanya dibalas oleh keheningan oleh Hilda.

Naruto menghela nafasnya.

"Dari informasi yang kudapat, mereka belum tahu Sacred Gear apa yang dia punya, tetapi salah satu orang di posisi tinggi di Fallen Angel merasa kalau Sacred Gear ini pantas untuk diperhatikan. Mereka berpikir ini adalah salah satu top tier Sacred Gear, mungkin Longinus sendiri." Jawab Naruto.

Hilda menaikan alisnya penasaran. "Hmm... Orang seperti itu ternyata ada di antara kita, huh. Apa kau tidak ingin ingin merekrutnya?"

Naruto hanya memberikan Hilda pandangan blank.

Hilda memutarkan bola matanya. "Jadi, siapa dia? Pemiliknya?"

Naruto menyeringai. "Issei Hyoudo."

Hilda mengedipkan kedua matanya berkali-kali, mencoba memastikan ia tidak berhalusinasi kalau Naruto berbicara itu.

Naruto memutarkan bola matanya. "Ya, Issei Hyoudo yang itu."

Hilda hanya terdiam, sedikit kaget karena Issei Hyoudo mempunyai potensial untuk mempunyai Sacred Gear yang dibilang sangat kuat.

"...huh." Adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulut Hilda. "Dan, apakah Rias sudah mengetahui informasi ini?" Tanya Hilda lagi.

Naruto menggelengkan kepalanya selagi mengunyah makanannya. Menelan makanannya, Naruto kemudian menjawab,

"Tidak," Ucapnya. "Yang Rias dan Sona tahu hanyalah ada sebuah grup Fallen Angel yang berada di pinggir kota Kuoh, bermarkas di gereja tua yang sudah tak terpakai disana."

Hilda melihat masternya dengan penasaran.

Satu hal yang Hilda ketahui, selama 7 tahun bersama Naruto, Naruto tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.

Jika Hilda bisa memasukan Naruto ke dalam sebuah kategori, Hilda akan memasukannya ke dalam genius strategis.

Sona mungkin terkenal atas kejeniusannya, tetapi iapun masih tidak sebanding dengan kejeniusan Naruto.

Naruto, apa yang ia lakukan, semuanya seolah ia melakukannya karena sudah mengantisipasi apa yang akan terjadi, dua hari, seminggu, sebulan kedepan. Seolah ia bisa melihat masa depan. Ia mungkin melakukan hal yang aneh pada satu saat, tetapi seminggu kemudian kau kemudian baru sadar kenapa ia melakukan itu.

Naruto... Naruto selalu berada di depan semuanya. Bukan hanya selangkah, atau dua langkah di depan. Beberapa langkah di depan semuanya.

Ada alasan kenapa Naruto tetap disegankan walaupun ia dujuluki sebagai iblis terlemah di 'generasi baru'. Pikiran tajamnya disamakan dengan kemampuan strategis Lucifer yang dulu.

Dan lagipula, alasan kenapa ia dijuluki sebagai iblis terlemah bukanlah hanya karena energi iblisnya yang bisa terbilang sangat kecil. Lebih karena tidak ada yang pernah melihatnya bertarung dengan kekuatan penuh. Seluruh lawannya hancur karena mereka terperangkap dalam perangkap Naruto, dan lalu kemudian dihabiskan oleh Hilda.

Walaupun disebut sebagai iblis terlemah, Naruto juga bisa dibilang sebagai wildcard. Tidak ada yang tahu kemampuannya sepenuhnya, dan tidak ada yang tahu pasti seperti apa dia sebenarnya kecuali orang-orang terdekatnya.

Karena itu, Hilda yakin, Naruto menginvestigasi Fallen Angel itu bukanlah hanya karena ia mematuhi perintah Sona semata.

"Kau tahu bukan, apa yang akan terjadi jika kau memberitahukan informasi ini kepada Rias?" Tanya Hilda penasaran.

Naruto menyeringai. "Mmm.. ya. Seolah menekan tombol 'Start' pada sebuah video game. Memberitahukan informasi ini... Seolah menekan tombol untuk memulai sebuah film."

"Dan, apakah kau akan menekan tombol itu?"

Naruto hanya melihat Hilda dengan pandangan, 'menurutmu?'

Hilda menghela nafasnya. "Ya, kau selalu suka menekan tombol yang penuh tanda tanya."

Naruto terkekeh. "Anggap saja sebagai sebuah bantuan dari seorang teman dekat. Rias itu... Walaupun aku tidak memberitahunya, dia tetap akan tahu pada akhirnya." Menyelesaikan makannya, Naruto meminum jus jeruk yang tadi diberikan Hilda. "Karena itu, minggu depan, aku akan... Bertemu dengan seseorang."

Hilda memberikan Naruto pandangan tajam. "Jadi kau berencana untuk kabur lagi tanpa bilang apa-apa padaku?"

Menyadari kesalahannya, keringat dingin mulai mengucur dari dahi Naruto. "A-ah... Barusan aku sudah bilang bukan?" Ucapnya gerogi. "Oh ya," Naruto menyadari sesuatu. "Kau ingat Genshirou Saji?"

Hilda mengangguk. "Bidak baru Sitri-sama?"

"Ya," Naruto mengangguk. "Kau akan sparring dengannya besok." Melihat Hilda menaikan alisnya dengan penasaran, Naruto melanjutkan, "Aku hanya ingin tahu apakah dia pantas berada di peerage Sona atau bukan. Aku tidak ingin dia terluka karena orang yang dia rekrut sangat inkompeten."

Hilda memberikan Naruto pandangan datar. "Aku tahu kalau soal itu. Kau selalu menyuruhku melakukan hal yang sama setiap Sitri-sama mendapatkan anggota baru." Hilda menyeringai. "Jika aku tidak tahu, aku akan berpikir kalau kau mempunyai, ah, 'sesuatu' untuk Sitri-sama, Master."

Naruto mengedipkan kedua matanya dengan bingung. "Mempunyai sesuatu?" Tanyanya bingung.

Hilda hanya memberikan Naruto pandangan datar. "...masih idiot seperti biasa. Aku merasa kasihan kepada Sitri-sama."

"Oy oy maksudmu apa!"


Keesokan harinya, terlihat semua anggota OSIS berada di ruangan OSIS, mengerjalan pekerjaan mereka sebelum bel masuk dimulai.

Membaca dokumen proposal dari Klub Basket SMA Kuoh untuk mengadakan sparring melawan SMA tetangga, Sona menganggukan kepalanya.

"Tsubasa, apa gymnasium akan dipakai pada tanggal 28 Oktober jam 4?" Tanya Sona tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen yang ia baca.

Gadis yang dimaksud Sona memberikan gumamam, menandakan kepada Sona kalau ia sedang memproses pertanyaan Sona dan mengecek apakah gymnasium terpakai atau tidak.

"Ah.. Tidak. Tetapi klub volley akan memakainya pada pukul 6."

Sona mengangguk. "Tambahkan kalau Klub Basket akan memakai gymnasium dari pukul 4 sampai 6." Lanjut Sona. Mendengar konfirmasi dari Tsubasa, Sona menandatangani dokumen yang ia pegang.

"A-ah... Gomenasai, Kaicho." Saji, yang daritadi hanya duduk di sofa ruangan OSIS dengan malu berkata.

"Hm?"

"Sebenarnya... Apa yang harus aku lakukan disini?" Tanya Saji dengan gerogi.

Mendengar itu, Sona mengedipkan kedua matanya, menyadari sesuatu.

Melihat Saji baru saja secara 'resmi' menjadi anggota peerage-nya kemarin, Sona belum mempersiapkan dokumen dokumen untuk memasukan Saji sebagai anggota OSIS.

"Aku merasa... Ada yang kurang." Gumam Sona sambil berpikir keras. "Mengingat-ngingat, sepertinya sebelum anggota peerage ku secara resmi menjadi anggota OSIS, mereka melakukan sesuatu..."

Mendengar itu, seluruh anggota OSIS yang berada di ruangan, minus Tsubaki, tiba-tiba membeku. Pundak mereka menjadi kaku, dan ekspresi takut, seolah mengingat sesuatu berada di wajah mereka.

"A-ah... Kaicho, aku rasa itu hanya perasaanmu saja." Ucap Momo dengan gerogi dari sebrang ruangan.

"Ya, aku rasa tidak ada yang kurang. Lebih baik langsung menjadikan Saji sebagai anggota saja." Tsubasa, yang berada di samping Momo ikut menyahut.

"Yap! Tidak ada yang aneh!"

"Mungkin hanya perasaanmu saja, Kaicho."

"Ya, lebih baik jadikan Saji menjadi anggota secara resmi disaat ini juga!"

Sona melihat kearah peeragenya dengan ekspresi bingung di wajahnya. Sementara Saji juga melihat ke semuanya dengan bingung karena tingkah aneh mereka.

Tsubaki menghela nafasnya. "Sparring bersama Hilda, Kaicho."

Mendengar itu, seluruh anggota peerage Sona memberikan Tsubaki glare.

Mendengar itu, ekspresi realisasi terlihat di wajah Sona.

"Ah ya." Ucapnya, "Pantas saja ada yang kurang. Entah kenapa Naruto selalu menyuruh Hilda untuk sparring dengan anggota peerage ku setelah aku mendapatkan Tsubaki." Lanjutnya. Ekspresi nostalgia terlihat di wajah Sona. "Aku masih ingat wajah Momo dan Tsubasa setelah dibantai oleh Hilda," Tsubasa dan Momo menjatuhkan kepala mereka ke meja, mengingat kekalahan mereka. "Reya yang mempunyai luka sangat banyak, ia harus diperban seperti mummy, Tomoe yang mempunyai mimpi buruk selama seminggu penuh setelah sparring," Reya dan Tomoe menjatuhkan wajah mereka dengan depresi ke meja mereka. "Oh, dan juga bagaimana Ruruko hampir tidak bisa jalan selama seminggu dan harus absen dari sekolah." Mendengar itu, Ruruko membantingkan wajahnya juga ke meja.

"Untuk melindungi harga diriku, aku sparring dengan perempuan itu ketika aku pertama kali dihidupkan sebagai anggota peerage Kaicho. Aku masih belum bisa mengontrol kekuatanku dan kekuatan iblis yang baru. Aku yakin aku lebih kuat sekarang." Ucap Tsubasa sambil melipat kedua tangannya di dadanya, masih agak kesal dengan kekalahannya pada Hilda.

"Aku juga." Sahut Momo.

"Ya, aku juga."

"Begitupun juga aku."

"Mmm, aku juga."

Sahut anggota peerage Sona satu per satu, membuat Sona sweatdrop karena mereka masih tidak mau mengakui kekalahan mereka.

"Aku yakin kalian semua jauh lebih kuat daripada waktu kalian pertama kali sparring bersama Hilda," Ucap Sona. Ia kemudian melihat kearah Saji. "Jadi, siap-siaplah, Saji. Mengetahui Naruto, ia akan pasti menyuruh Hilda untuk mengetes kemampuanmu." Lanjut Sona dengan kasual, lalu melanjutkan pekerjaannya.

Mendengar itu, Saji melebarkan matanya. "Eeeehh?! Aku bahkan masih belum bisa menggunakan kekuatanku!" Seru Saji protes.

Protesnya mendapatkan pandangan simpatetik dan 'aku mengerti' dari seluruh anggota peerage Sona.

Tsubaki menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kalian ini..." Ucap Tsubaki seolah seperti seorang kakak yang lelah mengurus adik-adiknya.

"Lagipula, ini adalah tes yang bagus. Sparring itu mendorong kalian semua, bukan? Dan juga mengakselerasikan pertumbuhan kalian agar kalian kuat lebih cepat. Jadi aku rasa, ini bagus."

Mendengar bahwa ia akan langsung sparring di hari keduanya menjadi iblis, Saji merasa sedikit gerogi.

"Eh... Sungguh? Aku harus sparring?" Melihat anggukan dari Sona, Saji terlihat semakin gerogi. Ia kemudian melihat kearah seluruh anggota peerage untuk bantuan. "Apa setidaknya ada tips untukku?"

Tsubaki menyeringai.

"Hmmm, mungkin tidak ada salahnya memberikanmu sedikit tips. Mari aku ceritakan tentang Hilda."


"Hmmm~ ah lihat. Aku selalu suka Jum'at pagi~" Siul Naruto dengan ceria sambil berjalan di halaman depan SMA Kuoh, dengan Hilda yang tanpa ekspresi seperti biasa disampingnya.

"Jum'at pagi dimana setiap klub selalu datang lebih pagi untuk menjalani latihan pagi~" Lanjut Naruto, melihat kearah lapangan Kuoh. "Ada Klub Jogging dan Klub Senam berjogging di sisi trek, lalu klub sepakbola yang sedang latihan di tengah lapangan~"

Melewati gym, Naruto mengintip sebentar kedalam, "Klub Basket dan Klub Volley yang membagi lapangan untuk latihan, dan juga Klub Drama yang latihan di panggung~ ah, apakah ini yang orang-orang bilang highschool sprit?!" Seru Naruto dengan semangat.

"Mungkin aku harus mengikuti klub! Bagaimana menurutmu, Hilda? Aku cocok bukan menjadi anggota klub? Hmm, mungkin aku akan mengikuti klub basket!"

"Pfft." Hanyalah respon yang Naruto dapat dari Hilda.

Ekspresi iritasi terlihat di wajah Naruto. "Oy oy! Apa maksudmu dengan 'pffft'?! Jangan meremehkanku! Aku akan membawa klub basket kita ke kejuaraan dan mengalahkan SMA Seirin!"

Hilda hanya melihat Naruto dengan blank. "Kau hanya labil. Paling setelah sekali latihan kau sudah tidak tertarik lagi dan kemudian keluar."

"Hey! Itu tidak benar!"

Hilda hanya memberikan Naruto pandangan blank.

"Ingat Klub Volley? Dan Klub Baseball? Dan Klub Sepakbola?"

Naruto terdiam. Ekspresi malu terlihat di wajahnya. "Klub Volley sangat membosankan! Dan Klub Baseball penuh dengan orang-orang yang ngeselin. Dan Klub Sepakbola sangat tidak kompak! Kau bisa membuat mereka berkelahi dengan hanya bilang 'Ronaldo atau Messi?'" Seru Naruto jengkel. "Oy! Hyuga!" Panggil Naruto ke salah satu anggota klub sepakbola yang ada di lapangan. Melihat orang yang dimaksud menengok kearah Naruto, Naruto melanjutkan, "Ronaldo atau Messi?!" Tanya Naruto. Hyuga menjawab, orang disamping Hyuga mendengarnya, dan kemudian berbicara sesuatu. Dalam waktu beberapa detik, klub sepakbola terlihat sedang memiliki argumen besar. Naruto melihat kearah Hilda dan menunjuk kearah Klub Sepakbola.

"Lihat?!"

"Klub tidak cocok denganmu. Tidak ada yang cocok denganmu. Faktanya, lebih baik kau mati saja." Ucap Hilda dengan kasual.

"Ah, aku tahu!" Seru Naruto, seolah mendapatkan ide, membuat Hilda menghela nafasnya. "Mungkin ini sebuah pertanda bahwa aktivitas olahraga tidak cocok denganku. Mmm, ya, klub seperti klub membaca mungkin lebih cocok untukku!"

Hilda melihat Naruto sambil menaikan alisnya. "Kau bahkan tidak bisa diam dengan anteng dan membaca buku selama satu menit. Kau hanya akan membuang bukunya setelah membaca kalimat pertama dan lalu komplain kenapa matahari tidak terbit saja di barat."

"Itu tidak benar!"

Hilda hanya memberikan Naruto pandangan blank.

"O-oke, mungkin itu benar! Tetapi aku tidak akan mengkomplain kenapa matahari tidak terbit di barat, aku mungkin akan melakukan sesuatu seperti mensalut kepada orang yang memberikan planet Uranus namanya. Pfft! Jenius, bukan? Pfft, Uranus! Mengerti? Mengerti?"

Hilda hanya menghela nafasnya, memikirkan kembali kenapa ia menjadi budak seorang idiot seperti ini.

"Jadi, aku asumsikan kita akan berpisah disini? Aku pergi ke ruangan OSIS dan kau ke Klub Rias?" Tanya Hilda, mencoba mengalihkan topiknya.

Mendengar itu, Naruto menyadari kalau mereka kini berada di sebuah koridor yang mempunyai dua jalan berbeda. Lurus untuk ke ruangan OSIS dan ke kiri untuk ke area gedung sekolah lama, tempat klub Rias.

"Baiklah~ Sampaikan salamku ke Sona. Dan juga, jangan sampai kalah, oke?" Ucap Naruto sambil membalikan badannya dan berjalan ke arah gedung sekolah lama.

Hilda hanya menyeringai dan mengangguk. "Pastinya, Master."

Tanpa menunggu lama lagi, Hilda berjalan ke ruang OSIS.


"Absolute Illusion?" Tanya Saji dengan bingung.

Tsubaki mengangguk. "Hilda adalah seorang Illusionis. Dia adalah master dalam membuat ilusi."

"Maksudmu," Saji bertanya, "Dia bisa membuat aku mengira dirinya menghilang, seperti di acara sulap seperti itu?"

Tsubaki sedikit kaget melihat Saji bisa menangkap konsepnya dengan cepat, dan hanya bisa mengangguk.

"Kemampuan curang, bisa dibilang." Ucap Tsubasa dengan jengkel.

"Tapi, apa maksudnya Absolute Illusion? Ilusi miliknya absolut?" Tanya Saji lagi dengan bingung.

"Bisa dibilang, ilusi yang diciptakan Hilda sangatlah absolut. Sangat nyata, dan hanya bisa dipatahkan jika dia menginginkannya, tentu, kecuali kalau kau mempunyai kekuatan yang jauh lebih kuat darinya." Sahut Sona dari mejanya.

"Jika kau terperangkap kedalam ilusinya... Maka berakhir sudah untukmu." Ruruko berkata.

Tsubasa mengangguk. "Ketika sudah terperangkap dalam ilusinya, dia bisa mengontrol duniamu. Salah satu kemampuannya adalah memanipulasi kelima indra milik makhluk hidup. Apa yang kau lihat, dengar, rasa, cium, semuanya dikendalikan olehnya."

Mendengar itu, Saji merasa gerogi sedikit. "Sungguh? Apa mungkin ada kekuatan menyeramkan seperti itu?!"

Semua anggota peerage Sona mengangguk.

"Tentu saja," Tsubaki memulai. "Harus ada... Sebuah sesuatu untuk mengaktifkan ilusinya itu. Jangan. Melihat. Matanya."

"Ketika kau melihat matanya dengan langsung, semuanya akan berakhir. Hilda mengaktifkan ilusinya melalui tatapan mata." Momo menambahkan.

"Hmmm..." Gumam Sona dengan pose berpikir. "Kau mungkin punya kesempatan." Ucapnya, membuat Saji dan semuanya kaget. "Sacred Gearmu. Salah satu kekuatannya adalah, kau bisa menyerap kekuatan lawan." Jelas Sona. "Melihat bahwa Hilda tidak tahu kekuatanmu, kau bisa mengakhirinya jika kau dengan cepat menyerap kekuatannya tanpa melihat matanya."

Tsubaki mengangguk. "Benar juga. Asal kau tidak melihat matanya dan kemudian menyerap kekuatannya dengan cepat... Mm, kau mungkin mempunyai kesempatan untuk menang."

Mendengar itu, Saji merasa sedikit percaya diri, melihat Kaichonya dan wakilnya mempercayai dirinya.

"Yosh! Aku tidak akan mengecewakanmu, Kaicho!"

*Tok tok*

Mendengar suara ketukan di pintu membuat satu ruangan hening. Semuanya mempunyai pikiran yang sama.

Sudah saatnya.


Saji melihat kearah perempuan di depannya yang akan menjadi lawannya. Sungguh, dari cerita yang diceritakan rekan anggota peerage-nya, Saji akan mengira perempuan yang akan ia hadapi adalah sebuah perempuan buas. Berotot, sangar.

Ia benar-benar tidak mengira bahwa yang akan menjadi lawannya adalah perempuan cantik.

Dengan wajah rambut pirang yang dikuncir menjadi 'bun' dan poni yang menutupi mata kirinya, lalu wajah yang tirus membuat Saji bisa bilang bahwa perempuan di depannya adalah salah satu perempuan tercantik yang pernah ia lihat. Ditambah dengan seragam perempuan Kuoh, membuat tampilan perempuan di depannya lebih elegan.

"Baiklah, peraturannya simpel. Waktunya 15 menit, karena 15 menit lagi kita akan masuk. Jika tidak ada pemenang dalam waktu 15 menit, pertandingan akan dibilang seri. Serangan vital yang menyebabkan kematian dan kondisi kritikal dilarang."

Mendengar itu, Hilda menghela nafasnya dengan kecewa. "Padahal baru saja aku memikirkan untuk membuatnya koma..."

Mendengar itu, Saji melihat kearah Hilda dengan takut.

"Tidak ada serangan destruktif yang bisa menghancurkan lingkungan sekitar. Selain itu, semuanya diperbolehkan. Ada pertanyaan?" Melihat tidak ada yang bertanya, Sona memulai sesi sparringnya.

"Baiklah! Hajime!"


Tok Tok

Rias Gremory menatap pintu ruangan klubnya dengan wajah terkejut, mendengar suara ketukan pintu.

Klubnya bermarkas di gedung tua yang sudah diberikan barrier oleh Rias untuk memberikannya pemberitahuan jika ada yang melewatinya. Siapapun itu, pasti akan terdeteksi. Karena itu, tiba-tiba mendengar suara ketukan pintu tanpa ada sebuah pemberitahuan dari barriernya, membuat Rias terkejut.

Akeno, yang berada di belakang Rias, mengerti apa yang dipikirkan Rias, melihat dari ekspresi Rias.

"Kau tau itu siapa, Buchou?" Melihat gelengan Rias, Akeno menyeringai sedikit, mengetahui satu orang yang bisa melewati barrier dengan sesuka hati tanpa terdeteksi.

Rias, sepertinya menyadari siapa itu, menghela nafasnya. "Dia selalu membuatku deg-degan jika selalu masuk dengan seperti ini."

Akeno terkekeh mendengarnya. "Silakan masuk, Naruto-kun." Ucap Akeno kepada orang yang mengetuk pintunya.

Ckrek.

Suara pintu terbuka, dan pemuda berambut pirang yang dimaksud Akeno pun masuk.

Rias melihat kearah Naruto. "Lain kali, bisakah kau bilang dulu jika ingin kesini?" Ucapnya dengan jengkel.

Naruto hanya terkekeh mendengar itu, mengetahui penyebab kenapa barrier Rias tidak mendeteksi Naruto adalah energi iblis Naruto yang sangat kecil. Barrier ini bahkan bisa mendeteksi manusia, yang tidak mempunyai energi iblis sama sekali.

Dengan santai, Naruto berjalan ke salah satu sofa di ruangan itu, dan duduk.

Melihat Akeno menuju ke pantry untuk membuatkannya teh, Naruto dengan cepat memberhentikannya.

"Ah, tidak usah, Akeno-san, aku hanya disini sebentar." Ucap Naruto, sambil menyamankan dirinya di sofa.

"Jadi, ada yang kau butuhkan, Naruto-kun?" Tanya Rias penasaran. Naruto bukanlah orang yang sosial, bukan tipe orang yang mengunjungi orang lain karena ingin bersosialisasi. Naruto adalah tipe yang mendatangi orang lain hanya jika ada tujuan tertentu.

Mengingat-ngingat lagi, Rias pertama kali bertemu dengan Naruto saat ia juga pertama kali bertemu Sona. Pada saat itu, keluarga Rias mengunjungi keluarga Sitri, dan Naruto kebetulan ada disana.

Rias masih ingat momen itu. Sona yang mengejar Naruto dengan wajah kesal, Naruto yang tertawa tebahak-bahak lari untuk menghindari Sona, dan lalu Lady Sitri yang kemudian mengomeli mereka berdua. Setelah itu, Lady Gremory memperkenalkan mereka berdua kepada Rias. Sejak saat itu, mereka bertiga tetap mempunyai hubungan yang baik.

"Jadi, aku dengar dari Sona, kau sedang menginvestigasikan sebuah kelompok Malaikat Jatuh yang ada di kota?" Tanya Naruto.

Rias mengangguk. "Aku pertama mengetahuinya setelah diberi notis oleh familiarku. Sekelompok Malaikat Jatuh, dan kemungkinan satu grup Exorcist menyelinap ke Kuoh. Setelah menyeledikinya lagi, aku menemukan bahwa mereka bermarkas di gereja tua yang berada di ujung kota. Aku tidak bisa melakukan apapun setelah mengetahui itu."

"Ah ya," Naruto mengangguk. "Salah satu perjanjian supernatural. Walaupun secara teknik, Malaikat Jatuhnya berada di area Kuoh, mereka menetap di gereja, sebuah tempat suci. Berdasarkan perjanjian, penyerangan terhadap tempat suci sebuah kaum supernatural dianggap sebagai tindakan perang."

Rias mengangguk mendengar itu.

"Dan walaupun area ini masih dibawah klaim teritori Gremory dan Sitri, berdasarkan perjanjian kedamaian setelah perang besar, mereka boleh masuk ke teritori iblis yang berada di dunia manusia, asalkan mereka tidak melakukan tindakan agresif disana." Naruto melanjutkan.

Rias menganggukan kepalanya dengan sebuah cemberut di wajahnya. "Aku tidak menyukai ini. Membiarkan sekelompok Malaikat Jatuh berkeliaran dengan bebas di rumahku..."

Naruto mengangguk. "Tapi kau tidak bisa melakukan apa-apa jika mereka berada disini dengan perintah dari Azazel sendiri." Rias mengangguk. "Walaupun begitu, kau masih bisa menkonfrontasikan mereka, bukan? Mereka masih masuk ke dalam teritori seseorang tanpa izin, walaupun diperintahkan oleh Azazel sendiri." Lanjut Naruto.

Rias menghelakan nafasnya. "Ya, aku juga berpikir begitu, sebelum aku mendapatkan surat, dari Azazel sendiri yang meminta izin untuk membiarkan kelompoknya masuk ke dalam teritoriku."

Naruto menaikan alisnya, baru mendengar informasi ini. "Dan aku asumsikan, kau menerimanya?" Tanya Naruto.

Rias mengangguk.

"Menolaknya akan terlihat tidak sopan, dan memberikan kita reputasi yang buruk kepada Azazel." Akeno menjelaskan, dengan wajah yang monoton, tidak seperti Akeno yang tersenyum seperti biasa.

Naruto hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Akeno yang seperti ini. Mengetahui sedikit latar belakangnya menurut yang diceritakan Rias, Naruto bisa setidaknya, mengerti kenapa Akeno seperti ini.

"Yang membuatnya lebih buruk lagi," Rias melanjutkan. "Tujuan mereka kesini adalah untuk mengamati seorang pengguna Sacred Gear." Ucap Rias dengan kesal.

Naruto menaikan alisnya lagi, tidak menyangka Rias sudah mengetahui informasi ini. "Dan, apa kau tahu siapa dia?" Tanya Naruto.

Rias menggelengkan kepalanya. "Itu dia. Aku tidak tahu."

Naruto menyeringai. Sedikit menkomtemplasikan apakah ia harus memberi tahu siapa pemilik Sacred Gearnya kepada Rias.

Walaupun Rias tahu, Rias tidak bisa melakukan apa-apa, karena jelas sekali, pihak Malaikat Jatuh sudah 'menklaim' pengguna Sacred Gear itu. Kalau Rias langsung tiba-tiba mereinkarnasinya menjadi Iblis, pihak Malaikat Jatuh akan merasa dirampok. Apalagi, jika yang tertarik dengan pengguna Sacred Gear ini adalah Azazel sendiri.

...kecuali, kalau mereka tidak 'menklaim' pemilik Sacred Gear-nya.

Naruto menkontemplasikannya. Akan sangat berbahaya, jika ia lakukan apa yang ia lakukan. Apalagi jika diketahui oleh Azazel sendiri.

Tapi, jika Issei mempunyai apa yang ia duga, Issei akan menjadi sebuah asset besar untuk kaum Iblis. Bukan hanya untuk Rias saja, tetapi untuk kaum iblis.

Melihat bahwa pihak Malaikat Jatuh sudah mempunyai orang itu, Azazel akan mencoba melawan takdir. Mencoba membawa dua Heavenly Dragon kedalam satu faksi yang sama.

Naruto menkontemplasikannya lagi. Membawa Issei ke dalam faksi Iblis akan sangat menguntungkan.

Naruto menghela nafasnya. Tetapi akan sangat sulit.

"Naruto-kun?" Rias, yang melihat Naruto diam saja daritadi, bertanya dengan khawatir.

Naruto hanya menyeringai kepada Rias, ia kemudian berdiri dari sofanya, dan berjalan kearah pintu.

"Awasilah Issei Hyoudou."

Rias dan Akeno menaikan alis mereka berdua dengan bingung, sekaligus terkejut karena entah darimana Naruto menyebut nama seorang manusia biasa yang tidak punya talenta spesial dan tidak terhubung sama sekali dengan dunia supernatural.

Naruto menyeringai.

"Aku hanya akan bilang... Dia adalah orang yang kau cari."

Mendengar itu, mata Rias dan Akeno melebar, menyadari apa yang dimaksud Naruto.

"Jangan bilang kalau dia..."

Naruto hanya menyeringai.

Rias menghela nafasnya. "Ah, sangat sepertimu untuk mendapatkan sebuah informasi disaat yang dibutuhkan." Ucap Rias sambil menggelengkan kepalanya.

Naruto terkekeh mendengar itu.

"Ahahaha, benarkah? Mungkin Dewi Keberuntungan selalu memihakku,"

Dengan itu, Naruto keluar dari ruangan klub Rias, membiarkan Rias dan Akeno menkontemplasi informasi yang diberikan oleh Naruto.


-Hilda vs. Saji-

'Sial... Kenapa bisa menjadi seperti ini!'

Adalah apa yang dipikiran Saji, yang kini harus kembali menghindari sebuah api yang menuju kearahnya dari Hilda yang melayang di langit.

Sejak awal pertandingan, Saji sudah mengikuti nasihat rekan satu peeragenya untuk tidak menatap mata lawannya karena jika ia menatapnya, ia akan terperangkan dalam sebuah ilusi.

Saji kira akan sangat sulit, karena... Entahlah, Saji kira akan sangat sulit, karena rekan peeragenya mengatakan itu dengan sangat serius.

Tapi ternyata... Siapa tahu kalau sepasang oppai bisa mendistraksi seseorang dari sepasang mata?

Lawannya sepertinya tidak terlalu memperdulikannya. Saji langsung mengaktifkan kekuatannya, memanggil Sacred Gear-nya, tetapi sebelum ia bisa melakukan itu, dunianya menjadi gelap.

Dan setelah itu, tiba-tiba ia berada di tempat yang terlihat seperti neraka, setidaknya dari orang orang tersiksa dan api yang ada di sekelilingnya, lalu lawannya yang menaiki sebuah hewan seperti naga yang menembakan api kearahnya.

Ia akan mati jika begini terus!


-Sona dan yang lainnya-

...

Hening.

Sona dan peeragenya melihat sparing, yang mungkin tidak bisa disebut sparing juga dengan sweatdrop.

Sparringnya bisa dideskripsikan dengan beberapa kata.

Ketika sparring dimulai, Saji dengan sekejap langsung melihat kearah oppai milik Hilda, yang membuat seluruh anggota peerage Sona sekaligus Sona sendiri sweatdrop.

Entah karena insting atau apa, setelah melihat oppainya, Saji langsung saja mencoba melihat mata Hilda.

Dan setelah itu semua terjadi, Saji kemudian menjadi diam terpaku dengan mata melebar.

Hilda mengedipkan matanya.

Setiap kali Hilda sparring dengan anggota peerage Sona, sparring itu selalu berjalan setidaknya untuk 5 menit, sebelum akhirnya Hilda bisa mengalahkannya. Entah karena mereka sudah mengetahui kemampuan spesial Hilda dari awal, atau karena ketika mereka bertarung, Hilda tidak bisa memasukan mereka kedalam ilusi absolut, ilusi dimana Hilda bisa memasukan lawannya ke ilusi yang benar-benar nyata, lawannya tidak akan bisa membedakannya dari realitas.

Ilusi adalah cabang sihir yang sangat sulit, dan juga paling mudah dilawan. Jika kau adalah orang yang perseptif, akan sangat mudah untuk mengetahui kalau kau dalam sebuah ilusi, atau, ada sebuah hal yang tidak tepat.

Sona selalu tertarik dengan tipe yang pintar, tipe yang cerdik, daripada tipe yang kuat. Hilda tidak tahu apakah Sona menyadarinya atau tidak. Karena itu, ketika masuk ke dalam ilusi, semua member peerage Sona mempunyai sedikit feeling bahwa ada sesuatu yang berbeda.

Maupun itu adalah letak pohon yang tidak sesuai, warna matahari yang sedikit berbeda, atau bahkan letak awan yang berbeda.

Membuat seseorang masuk ke dalam sebuah ilusi absolut butuh waktu. Hilda harus menyiapkan semuanya dengan sempurna.

Memasukan seseorang dalam ilusi absolut dalam kurang dari beberapa detik, bisa dibilang sangat sulit, kecuali jika kau adalah sebuah bayi yang tidak mempunyai energi sihir untuk melawan sama sekali.

Karena itu, ketika menatap matanya, dan Saji langsung saja masuk ke ilusi absolut, bahkan Hilda juga bingung.

Apa itu berarti Saji mempunyai energi yang lebih sedikit dari seorang bayi sekalipun?

Memikirkan itu membuat Hilda mengingat pertarungan pertamanya dengan masternya.

"Jadi, aku anggap dia sudah masuk ke dalam ilusimu?" Tanya Sona sambil menghela nafasnya.

Hilda hanya mengangguk.

"Aku kira memasuki seseorang ke dalam sebuah ilusi absolut butuh waktu beberapa menit?" Tanya Sona dengan bingung. Entah kemampuan Hilda meningkat drastis, atau memang Saji yang sangat-sangat lemah.

"Seharusnya begitu, Sona-sama. Mungkin dia memang sangat lemah." Ucap Hilda dengan monoton.

Nada monoton Hilda membuat seluruh anggota peerage Sona cemberut kearahnya, mengira Hilda mengejek Saji.

Sona kini melihat lagi kearah Saji yang diam terpaku sambil mengusap dagunya.

"Sacred Gear dia adalah Sacred Gear yang mempunyai Dragon di dalamnya, bukan?"

Sebuah suara baru muncul, membuat seluruh mata yang ada di halaman menoleh ke sumber suara itu.

Suara itu tidak lain adalah milik Naruto, yang entah kapan, kini berada di samping Saji, menelitinya.

Seluruh peerage Sona kaget, baru menyadari Naruto ada disana, sementara Sona sendiri menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah terbiasa dengan Naruto yang selalu muncul tiba-tiba.

Hilda membungkukan badannya. "Master," Ucap Hilda.

Naruto tersenyum kearah Hilda sebagai balasan sapaan Hilda.

"Ya, jika tidak salah, dia mempunyai Vritra di dalamnya. Bagaimana kau tahu?" Tanya Sona sambil menaikan alisnya.

"Energinya." Jawab Naruto dengan singkat, semakin membuat semua yang mendengarkannya bingung.

"Ketika merubah seseorang dengan Sacres Gear sebuah naga di dalamnya menjadi Iblis, prosesnya tidak semudah seperti mengubah manusia biasa. Seperti yang kau tahu, mengubah makhluk lain seperti Malaikat Jatuh menjadi Iblis butuh waktu yang lebih lama, karena energi cahaya yang ada di dalamnya melawan energi iblis yang diberikan oleh Evil Piece." Jelas Naruto.

"Energi cahayanya terus melawan energi iblis yang diberikan oleh Evil Piece, sampai kemudian, energi cahayanya dipendam oleh energi iblis, memaksa energi cahayanya untuk menerima energi iblis di dalam tubuhnya." Sona melanjutkan eksplanasi yang diberikan Naruto, membuat Naruto mengangguk. "Lalu apa hubungannya dengan ini?" Tanyanya.

"Tidak seperti energi cahaya, yang harus dipendam oleh energi iblis, hal sebaliknya malah terjadi jika dilakukan kepada seseorang yang mempunyai sebuah Naga di dalamnya. Energi iblis diserap oleh Naga yang ada di dalam tubuh Saji. Saat ini, bisa dibilang Saji tidak mempunyai sebuah energi, atau kekuatannya sama sekali, karena kekuatan Iblisnya telah diserap oleh Naganya." Jelas Naruto, melihat kearah Saji lebih inten lagi.

Sona menaikan alisnya mendengar informasi baru yang ia terima, begitupun juga seluruh peerage Sona yang terkejut mengetahui bagaimana Evil Piece bekerja pada suatu makhluk.

Tentu mereka tahu Evil Piece tidak semudah mengubah makhluk apapun menjadi Iblis, tetapi mereka tidak pernah mempertanyai cara bekerjanya Evil Piece.

"Jadi, apa yang akan terjadi selanjutnya?" Tanya Sona dengan penasaran.

Naruto tersenyum. "Tenang saja. Yang akan dilakukan oleh naganya hanyalah mengubah energi iblis yang diberikan oleh Evil Piece untuk 'bekerja sama' dengan energi sebuah Naga. Jika semuanya berhasil, dalam beberaha hari, energi Iblis Saji akan seperti energi Iblis biasa."

Sona menghela nafasnya lega, mengetahui budak barunya tidak akan kenapa-napa, begitupun peerage Sona lainnya.

Hilda menatap Naruto dari jauh selama Naruto menjelaskan semuanya ke Sona, sebuah pandangan nostalgia terpancar di matanya sebelum sebuah senyuman halus terukir di wajahnya.


"Sial! Dimana anak itu?!"

Seruan seseorang yang jelas sekali sedang kesal menggema di koridor istana yang sepi.

Seorang anak, yang umurnya sekitar 10 tahun menempelkan dirinya di dinding, berusaha sedekat mungkin dengan bayangan, berharap bayangan bisa menyembunyikannya.

"Menyusahkan saja..."

Suara yang sama menggema lagi. Kali ini membuat seseorang yang sedang mencoba bersembunyi melebarkan matanya dan menahan nafasnya, takut suaranya bernafas bisa didengar.

Mata birunya memancarkan kepanikan. Rambut pirangnya yang biasanya ia kuncir kini terurai kotor dan berantakan.

"Hilda Hilda Hilda... Sayangku Hilda, tidakkah kau lelah bermain perak umpet ini? Ayolah datang ke Onii-chan... Onii-chan akan membuatmu merasa enak... Ha ha... HAHAHAHA!"

Teriakan maniak itu kembali membuat mata Hilda panik. Badannya berkeringat dingin, dan bergetar ketakutan. Sebuah memori muncul di kepalanya, membuat dirinya terkujur oleh sebuah terror.

'Tidak... Aku mohon... Tidak...' Hilda ingat sekali saat itu. Hari pertama mereka. Pada saat itu dia masih sedikit terkontrol. Hanya sebuah ciuman disini dan disana. Dan sedikit sentuhan di dadanya... Tidak terlalu drastis... Tapi keesokan harinya.

Dia pulang dengan keadaan gila. Berkata entah pada siapa bahwa ia akan membalas mereka, dan menjatuhkan lemari alkohol, membuat berantakan satu ruangan.

Ia kemudian memanggil Hilda.

Memori itu masih jelas di mata Hilda. Bagaimana dia melempar Hilda ke kasur. Hilda, menyadari apa yang akan dilakukan dia, mencoba kabur, tetapi kekuatan 'Master'-nya terlalu kuat. Ia menahan Hilda. Hilda masih bisa merasakannya sampai sekarang. Rasa terror itu. Rasa takut yang sangat besar, sampai-sampai dirimu merasa bahwa kematian lebih baik daripada mengalami ini.

'Master'-nya menahannya, dan kemudian merobek baju Hilda, meninggalkan Hilda telanjang kecuali dengan celana dalamnya. Dadanya saat itu tidak terlalu besar sampai untuk membutuhkan sebuah bra.

Hilda masih bisa merasakan bagaimana mulut kotor itu bertemu dengan bibirnya. Memaksakan mulut Hilda untuk dibuka. Hilda tetap mencoba kabur, mengeluarkan segala tenaganya karena perasaan terror yang dirasakannya.

Pada saat itu juga, kekuatan yang terpendam di dalam diri Hilda aktif.

Hilda tidak terlalu mengingat saat itu. Di satu saat ia masih mencoba kabur, dan kemudian, tiba-tiba saja 'Master'-nya, pingsan.

Berterima kasih di dalam hati kepada siapapun itu yang membuat orang itu pingsan, Hilda langsung kabur. Ia tidak perduli kalau ia hanya memakai celana dalam saja. Satu-satunya yang ada di pikiran Hilda saat itu hanyalah kabur.

Ia bersyukur pada siapapun bahwa pada saat itu, istana sedang kosong. Ia bisa kabur keluar dengan mudah.

Ia lari dari istana itu, tidak memperdulikan bahwa di luar sedang musim salju, dan ia hanya memakai celana dalamnya. Satu-satunya yang ada di pikirannya hanyalah kabur. Pergi sejauh-jauhnya dari orang itu.

Hilda tidak tahu sudah berapa lama ia berlari. Larinya lama-lama semakin melambat, sampai dimana ia sekarang berjalan, karena tidak sanggup melawan dinginnya cuaca. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba setidaknya menahan dingin salju.

Bibirnya kini sudah biru akibat kedinginan. Badannya menggigil tak terkontrol, dan kakinya kini sudah ingin menyerah.

Ia berpikir. Apakah ia akan mati? Ia sangat memilih untuk mati pada saat itu, daripada harus kembali lagi ke istana itu lagi...

Pada saat itu juga, ia bertemu dengan orang itu. Hilda masih ingat semuanya dengan jelas, bertemu dengan orang itu.

"Whoa, whoa! Apa kau baik-baik saja?!" Seorang anak. Laki-laki. Mungkin seumuran dengannya. Rambut pirang seperti dirinya, tetapi punyanya jabrik berantakan. Mata biru lautnya memancarkan kekhawatiran.

Hilda hanya bisa diam, terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan lelaki itu.

Entah karena adrenalin dari segalanya sudah habis atau memang karena kakinya sudah tidak bisa lagi membawa Hilda, Hilda langsung saja terjatuh.

Lelaki itu, mempunyai refleks yang cepat sepertinya, karena pada saat itu ia langsung saja menangkap badan Hilda dengan cepat. Hilda bisa mengingat wajhnya yang memerah sedikit, karena memegang seorang perempuan yang hampir sepenuhnya telanjang, tetapi kekhawatirannya sepertinya lebih mendominasinya, karena ia langsung saja melepas jaket, dan syal yang ia pakai, dan memakaikannya ke Hilda.

Hilda berusaha tetap membuka matanya, walaupun matanya sangat berat, entah karena lelah atau apa. Ia tahu ia akan pingsan beberapa menit lagi.

Lelaki itu menempelkan tangannya ke dahi Hilda setelah memakaikan Hilda jaketnya dan memasangkan Hilda syal, selama mencoba menghindari untuk membaringkan Hilda di atas tumpukan salju, takut akan membuat kondisi Hilda lebih parah.

"Sangat panas... Sial..." Lelaki itu menggumam. Ia melepaskan sarung tangannya, dan memakaikannya ke Hilda, mencoba segala cara agar tubuh Hilda tetap hangat.

Lelaki itu, yang kini hanya memakai sebuah kaus lengan panjang berwarna hitam disertai celana jeans berwarna hitam, menggendong Hilda di punggungnya.

Hilda hanya diam saja, sedikit terkejut bahwa lelaki ini rela melakukan ini semua untuk dirinya, seorang yang tidak ia kenal.

"BOCAH SIALAN!"

Suara familiar itu membuat mata Hilda yang tadinya lelah ingin tidur menjadi terbuka lebar. Rasa takut kembali menyalur di sekujur tubuhnya.

Hilda merasakan lelaki yang menggendongnya mengalihkan pandangannya ke sumber suaranya.

Disana ada seorang Svalik Zebola dengan muka yang merah penuh dengan amarah.

Zebola menyipitkan matanya kearah lelaki yang menggendong Hilda.

"Apa yang kau lakukan bocah... Dengan propertiku?! Kembalikan perempuan itu sekarang juga!"

Penyelamat Hilda hanya diam saja, menatap kearah Zebola dengan dingin.

"...apa kau yang membuat dia seperti ini?" Tanya lelaki itu dengan dingin.

Sebuah pandangan gila terlihat di mata Zebola. Amarahnya sudah terlupakan, dan matanya kini memandang Hilda dengan penuh keinginan.

"Kalau iya memang kenapa?! Bocah sepertimu tidak akan mengerti urusan orang dewasa! Gyahahaha!" Menyerukan itu, Zebola mengeluarkan sebuah pisau.

Mata Hilda melebar dengan terkejut, begitupun juga dengan penyalamatnya.

Dengan Hilda yang berada di punggungnya, memberatkannya, lelaki itu tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar, karena langsung saja, pisau Zebola menusuk perutnya.

"Akh!" Teriak dia, mengeluarkan muntahan darah.

Mata Hilda melebar dengan takut, merasakan dirinya terjatuh bersama lelaki itu, yang kemungkinan besar mati.

Zebola menatap kearah Hilda dengan mata yang memancarkan kegilaan.

Hilda menatap mata Zebola balik dengan banyak emosi.

Takut dan keputus asaan adalah yang paling terlihat.

Tidak bisa menahan matanya lagi untuk terbuka, Hilda membiarkan matanya tertutup dan pergi ke dunia lain, feeling keputus asaan melanda dirinya sebelum ia jatuh pingsan.

Kembali pada situasi sekarang.

Suara derapan kaki yang semakin dekat membuat detak jatung Hilda semakin mendebar dengan kencang.

Perasaan terror yang dia miliki... Ia sangat takut.

Dan putus asa.

Air mata mulai mengalir dari mata Hilda. Badannya bergetar ketakutan, dan bibirnya berdarah karena ia gigit tanda sadar, mencoba menyembunyikan suaranya.

Belum 24 jam yang lalu, orang yang mencoba menyelamatkannya dibunuh dengan dingin oleh Zebola. Satu-satunya harapannya untuk keluar dari sini. Untuk bebas.

...apakah ini takdirnya? Ia masih 10 tahun...yang ia inginkan sejak kecil hanyalah kasih sayang. Sejak kecil, sejak ia bisa berjalan, Madam Iris selalu melatihnya untuk menjadi pelayan yang baik.

"Ta-Da!"

Teriakan itu mengagetkan Hilda, membuat Hilda terjatuh ke lantai, matanya melihat figur Zebola yang berada di atasnya, berjalan ke arahnya. Hilda dengan perlahan merangkak kebelakang, air mata terus mengucur dari matanya.

Ia terus latihan, latihan agar menjadi pelayan yang sempurna, agar bisa mendapatkan pujian dari Madam Iris. Pujian yang membuatnya merasa bahwa ia dicintai. Ada seseorang yang menyayanginya.

"Kya!"

Teriak Hilda dengan takut, karena Zebola kini tepat berada di atas Hilda, menduduki perut Hilda, dan menahan tangan Hilda dengan tangannya. Zebola mendekatkan mulutnya ke leher Hilda, dan memberikannya jilatan yang panjang, membuat air mata Hilda mengucur semakin deras.

Hilda menutup matanya. Menyerah. Rasa putus asa menghampirinya. Ia mencoba menghentikan air matanya.

Menangis tidak akan mengubah apapun. Dan melawan hanya akan membuat semuanya lebih sakit.

Mungkin...

Mungkin ia hanya harus menerimanya.

"Ehehehehe.. Sudah menyerah, Hilda-chan?"

Hilda hanya diam saja, memberikan pandangan kosong kepada Zebola.

"Tenang saja, Onii-chan akan membuatmu merasa e-AKH!"

Mata Hilda melebar dengan terkejut, melihat sebuah pisau terlihat menembus dada Zebola, tepat dimana jantungnya berada.

Darah Zebola memuncrat ke wajah Hilda dan ke jaket Hilda, yang diberikan oleh lelaki itu. Hilda hanya menatap ke pisau yang menembus dada Zebola, dan wajah Zebola yang terbeku di ekspresi shock. Mata melebar dan mulut terbuka.

Tubuh Zebola kemudian terjatuh kesamping, membebaskan Hilda, dan membuat Hilda bisa melihat jelas siapa yang menusuk Zebola dari belakang.

Wajahnya tidak terlihat dengan jelas, karena kegelapan istana ini.

Tapi Hilda tahu siapa orang itu. Rambut pirang... Mata biru... Seringaian di wajahnya.

"Kena kau..." Lelaki itu menggumam.

Melihatnya lebih dekat, Hilda bisa melihat lelaki itu telanjang dada, walaupun di cuaca yang sangat dingin ini. Baju hitamnya, yang mempunyai noda merah, terikat di perutnya, Hilda menebak, untuk mencegah pendarahan di perut itu.

Lelaki itu... Adalah lelaki yang baru beberapa jam yang lalu mencoba membantunya dan kemudian dibunuh dengan Zebola!

Tapi... Bagaimana bisa?

Lelaki itu kemudian terjatuh di samping Hilda sambil memegang perutnya, membuat Hilda terkejut sekaligus khawatir.

"Syukurlah..." Lelaki itu menggumam, menatap mata Hilda dengan pandangan halus. Bibir birunya bergetar kedinginan. "Syukurlah... Kau tidak apa-apa..." Lanjut lelaki itu dengan sebuah senyuman di wajahnya.

Mata Hilda melebar. Air mata kini mulai terbendung di matanya. Lelaki ini... Pertama, ia rela melepaskat jaket, syal, bahkan sarung tangannya agar membuat Hilda hangat. Ia rela menggendong Hilda yang tidak bisa lagi berdiri. Ia bahkan tertusuk karena salahnya!

Dan kemudian... Lelaki ini... Dia memakai bajunya untuk menahan pendarahannya, rela melawan dinginnya salju dengan hanya badannya saja dan berjalan kesini, dengan perut yang tertusuk dan badan yang kedinginginan untuk menolongnya...

"Kenapa...?" Gumam Hilda, tangisan mulai kembali lagi mengucur di matanya. Kenapa? Kenapa lelaki ini rela melakukan hal sejauh ini untuk orang yang ia bahkan tidak kenal?

"Kenapa..." Hilda menggumamkannya lagi, menatap kearah figur lelaki itu yang terbaring di sampingnya dengan mata berkaca-kaca.

Lelaki itu tersenyum walaupun dengan rasa sakitnya.

"Karena kau terlihat membutuhkan bantuan."

Mata Hilda melebar mendengar jawaban itu.

Karena ia terlihat membutuhkan bantuan? Semuanya... Tidak masuk akal...

Hilda hanya tersenyum walaupun dengan tangisan di matanya.

Tanpa hesitasi, ia memeluk lelaki itu, dan kemudian menangis di dadanya, mengeluarkan segala kesedihannya, segala frustasinya yang ia pendam.

Saat itu, Hilda menyadari sesuatu.

Bahwa harapan itu ada.


Mengingat memori itu lagi membuat Hilda tersenyum. Semuanya kemudian terjadi dengan cepat. Beberapa menit kemudian, lelaki itu pingsan, membuat Hilda panik sedikit mengira bahwa lelaki itu mati.

Dan beberapa menit kemudian, satu squad militer dan seorang Ajuka Beelzebub datang. Ternyata lelaki yang menyelamatkannya adalah seorang Naruto Astaroth, adik dari sang Ajuka Beelzebub sendiri. Sebelum masuk kesini, Naruto sudah menghubungi Ajuka, memikirkan hal terburuk. Ajuka, mengetahui bahwa lokasi yang Naruto maksud adalah milik seorang Zebola, yang terkenal dengan pandangan Satan Tua-nya, membuat Ajuka khawatir dan memutuskan untuk membawa satu squad ke istana itu.

Setelah mendapat penjelasan dari Hilda, Ajuka langsung membawanya dan adiknya ke rumah sakit, khawatir dengan adiknya sekaligus khawatir bahwa pengalaman yang barusan terjadi akan meninggalkan luka psikologikal kepada Hilda.

Hilda masih ingat saat itu. Dirinya yang saat itu 10 tahun memaksa untuk tidak terpisah dari Naruto. Tidak ingin terpisah dari satu-satunya orang yang membuat Hilda merasa aman.

Dokter dan suster-susternya kemudian menyerah, akhirnya menempatkan Hilda di ruangan yang sama dengan Naruto.

Awalnya, Hilda kira ia akan dibenci oleh Ajuka dan keluarga Naruto karena membuat Naruto seperti ini, tapi malah sebaliknya.

Ibu Naruto sepertinya lebih khawatir kepada Hilda, mengira pengalaman hampir diperkosa akan mengalami trauma yang besar di pikiran Hilda yang saat itu hanya 10 tahun. Kushina-sama yang selalu memanjainya dan merawatnya selama di rumah sakit membuat Hilda tersenyum.

Ayah Naruto, Minato-sama, terlihat tidak khawatir, malah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya kearah Naruto yang masih tertidur, seolah hal ini sudah terbiasa untuknya. Walaupun begitu, Minato-sama juga menanyakan keadaannya, memastikan ia juga baik-baik saja.

Yang terlihat paling khawatir sepertinya Ajuka, dan adik Naruto, Diadora. Walaupun begitu, mereka berdua tidak terlalu khawatir sampai-sampai harus berada di samping Naruto seterusnya.

Yang paling khawatir adalah Hilda sendiri, menyalahkan semuanya pada dirinya, walaupun Kushina-sama dan yang lainnya sudah bilang bahwa semuanya salah Zebola.

Naruto pingsan selama 3 hari. Walaupun begitu, Naruto lebih terlihat seperti tidur daripada pingsan, karena wajahnya yang damai seolah sedang bermimpi.


"Oh ya... Aku belum mendapatkan namamu," Naruto, yang baru beberapa jam yang lalu bangun berkata kepada Hilda yang berada di sampingnya, 'menyuapi'-nya makan, walaupun Naruto sudah menolaknya, Hilda memaksa, berkata bahwa untuk setidaknya, membiarkan Hilda membayar kebaikan Naruto.

Mendengar itu, Hilda harus menahan dirinya untuk tidak sweatdrop, baru menyadari bahwa selama ini, Hilda belum memberikan namanya kepada Naruto.

"Namaku Hildegarde, Naruto-sama." Jawab Hilda dengan sebuah senyuman.

Alis Naruto berkedut jengkel. "Tolong jangan panggil aku Naruto-sama, apapun selain itu."

Hilda mengedipkan matanya bingung, sedikit bingung kenapa Naruto tidak ingin dipanggil dengan hormat.

"Hanya saja... Entahlah, terdengar aneh. Aku masih 10 tahun, dan dipanggil dengan suffix -sama membuatku tidak nyaman. Ugh..." Komplain Naruto sambil membuka mulutnya, membiarkan Hilda memasukan makanan lagi.

Hilda hanya tersenyum mendengar itu. "Aku sedikit terkejut... Apa yang kau lakukan di sana? Ingot maksudku, tempat pertama kali kita bertemu. Tempat itu bukan tempat yang sering dikunjungi oleh orang." Tanya Hilda sambil memiringkan wajahnya.

Sebuah blush terlihat di pipi Naruto, matanya mencoba melihat kemanapun kecuali ke Hilda, membuat Hilda bingung.

"Apa ada yang salah...?" Tanya Hilda bingung.

"Akutersesat." Ucap Naruto cepat.

Hilda mengedipkan kedua matanya bingung, tidak mendapatkan apa yang Naruto katakan.

"Um...?"

"Aku tersesat, oke?" Ucap Naruto dengan malu, membuat Hilda terkekeh, yang membuat Naruto semakin malu.

"Tersesat?" Ulang Hilda lagi, mencoba menahan tawanya sambil memasukan lagi sesendok makanan ke mulut Naruto.

Naruto cemberut dengan wajah memerah. "Aku bisa dibilang bukan orang yang tahu jalan. Hell, bahkan aku tidak tahu daerah itu namanya Ingot. Terakhir yang aku tahu, aku berada di sebuah kota bernama Grëgar bersama Ajuka. Melihat tidak ada kedai ramen, aku mencoba mencarinya, dan kemudian aku bertemu denganmu."

Mendengar itu, wajah Hilda berubah menjadi blank. "Kau bercanda, bukan?" Tanya Hilda, membuat Naruto memiringkan wajahnya, bingung kenapa Hilda bertanya itu.

"Grëgar itu 1 kilometer jauh dari Ingot!" Seru Hilda.

"Sungguh?!" Seru Naruto tidak percaya.

Hilda menatap Naruto tidak percaya. Idiot ini berjalan 1 kilometer tanpa ia sadari? Hanya untuk semangkok ramen?

Hilda menggelengkan kepalanya sambil menghela nafasnya. Mungkin ini yang keluarga Naruto maksud ketika Hilda bertanya kepada mereka semua Naruto itu orangnya seperti apa, dan dengan pandangan deadpan, mereka semua menjawab 'Idiot' dengan bersamaan.

"Hee.. Pantas kakiku lebih pegal dari biasanya," Ucap Naruto membuat Hilda sweatdrop.

Hilda mengambil sesendok bubur dari mangkoknya, dan kemudian menyuapi Naruto lagi.

"Tapi siapa sangka... Ajuka Beelzebub sendiri datang menyelamatkanmu," Ucap Hilda, sampai saat ini terkejut kalau Naruto adalah adik dari sang Ajuka Beelzebub sendiri.

Mendengar nama kakaknya, Naruto tersenyum besar. "Ne, ne, bukankah Ajuka hebat?! Aku hanya memberikannya deskripsi bahwa aku di sebuah istana yang berada di tengah-tengah padang salju, dan ia bisa langsung tahu aku dimana!" Seru Naruto kagum dengan bintang di matanya, membuat Hilda sweatdrop.

Satu hal yang Hilda tahu dari Naruto saat itu, ia sangat mengidolakan Ajuka.

"Lagipula, dari yang kudengar, dia adalah seorang jenius." Ucap Hilda, "Dia menciptakan Evil Pieces, bukan?"

Naruto mengangguk semangat, matanya semakin bersinar ketika Hilda mengucapkan Evil Pieces.

"Keren, bukan?! Evil Pieces itu. Mereka bisa mengubah semua makhluk menjadi Iblis. Ajuka melawan aturan alam semesta sendiri yang mengatakan bahwa Energi Cahaya dan Energi Kegelapan tidak dapat bersatu dengan menciptakan Evil Pieces, yang bisa mengubah Malaikat dan Malaikat Jatuh menjadi Iblis! Bukankah menarik?"

Hilda pada saat itu menyesal mengatakan Evil Piece, karena entah sudah beberapa jam Naruto menjelaskan tentang Evil Piece kepada Hilda, caranya bekerja, bagaimana itu terciptakan, bahkan Naruto menjelaskan teknik dan proses menciptakan Evil Piece sampai dalam.

Hilda bisa melihat Naruto sangat kagum dengan Evil Piece dan juga kakaknya, karena selama mengatakan itu, Naruto mengatakan semuanya dengan mata bersinar, senang menceritakan tentang kakaknya kepada seseorang.

"-Dan begitulah bagaimana Evil Piece bisa merubah sebuah Naga, menjadi Iblis! " Seru Naruto, menyelesaikan penjelasannya tentang proses mengubah seorang Naga menjadi Iblis dengan Evil Piece.

Naruto memberhentikan perkataannya, melihat Hilda yang hening. Matanya menunduk kebawah dengan kontemplasi di wajahnya, seolah sedang memikirkan sesuatu.

Naruto menaikan alisnya dengan bingung.

"Hilda...?" Panggil Naruto.

"Naruto-sama..." Alis Naruto berkedut jengkel mendengar namanya dengan suffix -sama lagi.

"Biarkan aku menjadi budakmu, Naruto-sama!" Seru Hilda dengan penuh keyakinan.

Naruto mengedipkan kedua matanya, terkejut sekaligus bingung.

"EEEHHHH?!"


"Hildaaa~!"

Suara panggilan namanya membuat Hilda sadar dari nostalgianya. Ia melihat kearah masternya dengan sebuah senyuman kecil di wajahnya.

Sona dan peerage-nya melihat Hilda dengan pandangan aneh, melihat Hilda yang biasanya selau mengatakan kata tajam, sekarang sedang diam saja dengan ekspresi aneh di wajahnya.

Ia melihat kearah masternya, yang melihat kearahnya dengan sebuah senyuman besar di wajahnya.


Di sebuah ruangan, terlihat seorang lelaki berambut hijau dengan sebuah alat di kedua tangannya. Lelaki itu mempunyai rambut hijau yang ia sisir ke belakang, mata berwarna hijau, dan sebuah wajah tampan yang biasanya terlihat berasal dari keluarga Nobel.

Sebuah alat terlihat berada di tangannya. Ia menginspeksi alat itu dengan teliti, tetapi sebelum ia bisa melakukannya, sebuah ketukan terdengar di pintu laboratoriumnya.

Ajuka Beelzebub nenaikan alisnya, dan menaruh alat itu kembali di mejanya dan berjalan ke arah pintu.

Membukanya, ia melihat salah satu pelayan di rumahnya, dan sebuah surat di tangannya.

Pelayan itu membungkuk ke Ajuka.

"Surat dari Naruto-sama, Beelzebub-sama." Ucapnya.

Ajuka menaikan alisnya, sedikit heran kenapa Naruto mengirimnya surat.

Ajuka mengambil suratnya dari pelayannya, tidak lupa memberikan sebuah terima kasih kepada pelayannya.

Menutup pintunya lagi, Ajuka membuka suratnya.

Melihat isi di dalam suratnya, Ajuka menaikan alisnya.

...

"Masalah apa lagi yang kau dapatkan kali ini, Otouto-kun?" Gumam Ajuka kepada dirinya sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebuah senyuman kecil tertera di wajahnya.

Ia harus menelpon seseorang, sepertinya.


-Chapter 1: END-


Author Note: Maaf kalo masih ada typo, fic ini sudah saya cek berkali-kali agar tidak mengandung sebuah typo.

Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan.

Pertama, fic ini adalah fic percobaan. Saya menulis fic ini hanya untuk bersenang-senang saja. Jadi, ada sedikit kemungkinan chapter berikutnya akan diupdate dalam waktu cepat.

Kedua, oke. Minato itu pirang, dan Kushina mempunyai rambut merah. Bagaimana bia Ajuka mempunyai rambut dan mata hijau?

Uh... Ajuka mendapatkan rambut dan mata hijau dari kakeknya, sementara Minato mendapatkan rambut pirang dan mata biru dari ibunya.

Ketiga, pertanyaan 1 miliar rupiah. Pairing?

Eh, entahlah. Pada saat ini, mungkin Naruto mempunyai banyak kandidat, terutama Sona dan Hilda. Klasik teman masa kecil, atau perempuan yang ia sekamatkan? Entahlah.

Oh by the way, Hilda disini 'terinspirasi' dari Hilda di anime Beelzebub. Karena... Kekuatan Hilda di Beelzebub tidak terlihat jelas, saya memberikan Hilda kekuatan sendiri.

Keempat, Naruto... Lemah?

Ah, kalian meremehkan Naruto seperti yang lain? Fufufu.

Kelima, Naruto hanya mempunya satu member peerage?

:)))))

Keenam, chakra? Kurama? Bijuu?

Hmm, kemungkinan besar akan ada Kurama. Naruto tidak bisa menggunakan chakra karena ia sepenuhnya iblis disini.

Ketujuh, SEIRIN?! SEIRIN KNB?!

Uh... Itu hanya sebuah referensi.

Kedalapan, LEMON?!

Ada saatnya.

Kesembilan, Naruto OOC?

Uh...

Kesepuluh, timeline?

Story dimulai saat semester pertama dari tahun ketiga Naruto, Sona, dan Rias dimulai. Beberapa minggu setelah sekolah dimulai, dan beberapa minggu sebelum original timeline dimulai.

Kesebelas, kemungkinan karakter Naruto selain Minato, Kushina, dan Naruto muncul?

Eh... Mungkin?

Keduabelas, jadi, sebenarnya Naruto itu disegani atau diremehkan?

Orang-orang mesegani kejeniusannya. Tapi karena energi iblis Naruto yang sangat kecil, anggota peeragenya yanh cuma satu, dan juga orang-orang belum pernah melihat dia bertarung, ia diremehkan.

Uh... Jadi, jika kalian masih mempunyai pertanyaan, silakan review dan saya akan coba jawab di chapter selanjutnya, dan kalau kalian punya akun, saya jawab dengan PM.

Baiklah.. uh, terimakasih.