"Nah, kau kapan menyusul? Lihat Matsurii saja sudah naik kepelaminan" tanya seorang wanita paruh baya pada Ino yang ditanggapinya dengan senyum. Sudah kesekian kalinya Ino mendapat pertanyaan serupa hari ini. Tadinya Ino masih mau menjawabnya untuk sekedar ramah tama, tapi sepertinya lama-lama dia bosan juga menjawab pertanyaan yang itu-itu saja. Dan lagi, terus-terusan ditanya seperti itu hatinya sakit juga. Memangnya siapa sih yang tak ingin menemukan jodohnya, menikah, punya anak-anak yang lucu dan hidup bahagia bersama keluarga kecil dan keluarga besarnya? Ino yakin semua wanita pasti ingin, terlebih belum sempurna rasanya dia sebagai wanita kalau belum menjadi seorang ibu. Itu impiannya sejak kecil.

Yaah,, kalau boleh jujur Ino sebenarnya bercita-cita untuk menikah begitu dia menamatkan kuliahnya diusia 21 tahun. Bahkan kalau memang ada yang mau melamarnya saat masih kuliah, Ino mau-mau saja. Tapi sayangnya, itu tak pernah terjadi. Bahkan hingga usianya kini hampir mencapai 27 tahun. Ino belum jua menemukan belahan jiwanya.

Lantas siapa yang bisa disalahkan?

/

.

/

Naruto adalah milik Masashi Kishimoto - sensei

^_^ Found U ^_^

By : Star Azura

Untuk kesenangan semata

Asyiik menuang khayalan

Warning : 2Shoot and others

DLDR

Enjoy it!

/

.

/

Ino bukannya tak berusaha untuk menemukan seorang pria yang mau menikah dengannya. Tapi memang mungkin semua pria yang pernah dekat dengannya bukanlah jodohnya. Lalu dia bisa apa? Ino ingat suatu pengajaran yang entah dia dapat dari mana.

Dalam hidup, manusia berada dalam dua wilayah.

Wilayah yang dikuasainya dan wilayah yang menguasainya.

Manusia bisa melakukan apapun dalam wilayah yang dikuasainya. Yang tentu saja konsekuensi apapun yang terjadi menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri atas pilihannya.

Seperti mau sekolah dimana, mau makan apa, mau pakai baju seperti apa, mau bekerja dimana, bahkan mau berkencan dengan siapapun atau tak seorang pun. Itu pilihan! Bebas mau pilih apa.

Tapi manusia juga hidup diwilayah yang menguasainya, disini manusia tidak bisa memilih. Tak banyak yang bisa dilakukannya bahkan hampir tak ada yang bisa dilakukan.

Dilahirkan oleh orang tua yang mana.

Kapan kau akan mati.

Dan katanya siapa jodohmu dan kapan kau bertemu juga sudah ditetapkan.

"Lalu aku bisa apa? Selain berusaha menemukannya atau menunggu untuk ditemukan?" dumel Ino ketika dia memutuskan untuk segera kembali ke apartemennya. Lama-lama ditempat itu membuatnya jengah. Mungkin nanti dia harus meminta maaf pada Matsuri karena tak ikut mengantarnya kebandara untuk bulan madu begitu pesta usai.

Tapi yaah, Matsuri, sepupunya yang agak pemalu itu ternyata cukup percaya diri juga untuk menerima lamaran dari Kankurou. Bukan hanya karena Matsuri baru saja lulus SMU bulan lalu, tapi usia mereka terpaut cukup jauh. Lagipula Ino sedikit penasaran bagaimana mereka bisa bertemu. Bukannya apa, tapi dunia mereka kan jauh berbeda. Setahu Ino, Matsuri itu anak sekolah yang gila belajar. Aktivitasnya hanya diseputaran meja belajar di sekolah dan meja belajar dikamar. Tidur saja hanya sekejab, makan sering lupa, jalan-jalan hanya kalau Ino datang dan menyeretnya keluar. Terus kapan mereka bertemu dan berkencan? Ino bahkan mengira kalau matsuri akan mati-matian belajar untuk menjadi seorang ilmuwan, pengacara atau apalah itu. Tapi nyatanya alih-alih menjadi wanita karir, matsuri justru memilih untuk menikah dan mungkin sebentar lagi akan memiliki anak dan resmi menjadi seorang ibu rumah tangga.

Itulah, mau tidak mau dia membenarkan juga pernyataan kalau jodoh itu memang sudah ada yang mengaturnya. Buktinya berbanding terbalik dengan matsuri yang anak rumahan. Pergaulan Ino bisa dibilang sangat luas, apalagi dengan profesinya sebagai jurnalis disalah satu majalah wanita ditambah betapa supelnya ia dalam bergaul. Tidak sulit rasanya menemukan satu dua pria yang mau dengannya. Bukan apa, tapi Ino masuk dalam jajaran wanita tercantik dikantornya.

Lalu apa sebenarnya yang menghalanginya untuk segera menikah?

Itulah yang Ino tanyakan pada dirinya sendiri.

"Apa aku terlalu pemilih?" gumam Ino. Matanya bergulir memperhatikan orang-orang yang ada dikereta bawah tanah yang ditumpanginya."Mungkinkah jodohku salah satu pria yang ada disini?" gumamnya lagi. Dan dia terus bergumam tak jelas membuat seorang anak SMP di sebelahnya melirik Ino tak nyaman.

Sadar dia terus diperhatikan, Ino memalingkan wajahnya,'Huft..anak ini pasti berpikir kalau aku ini orang aneh yang agak sinting' batin Ino. Ino balas melirik gadis berseragam SMP itu sambil tersenyum.

"Maaf ya, aku membuatmu tak nyaman" ujar Ino.

"Ah..tidak. Maafkan aku. Aku tak bermaksud begitu" jawab gadis SMP itu sopan.

'Manisnyaaaa...' Teriak Ino dalam hati.

"Kau masih SMP kan? Kenapa pulang selarut ini?"tanya Ino. Yah, sebenarnya Ino agak penasaran kenapa masih ada anak SMP yang menumpang kereta pukul 9 malam. Gadis itu hanya diam dan mengarahkan pandangannya menatap tangannya." Ah.. Kau tak harus menjawabnya jika tak mau" seru Ino.

Si gadis SMP itu malah mengeratkan cengkraman tangannya pada sehelai sapu tangan yang dipegangnya sejak tadi. Gestur itu. Ino tau pasti memang ada yang tak beres pada anak itu. Intuisinya sebagai jurnalis yang berlatar belakang pendidikan sarjana psikologi membuat Ino mampu membaca gerak tubuh seseorang. Gadis ini pasti sedang sedih, cemas dan juga takut.

"Aku Ino Yamanaka. Siapa namamu?" tanya Ino sembari menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Mungkin kalau gadis ini tau siapa orang yang diajaknya bicara, dia takkan terlalu cemas. Cukup lama Ino manggantungkan tangannya,"Jangan takut. Aku bukan orang jahat. Ah.. Apa menurutmu aku punya wajah yang menyeramkan?" Ino meyakinkan.

"Ti..tidak. Anda punya wajah yang sangat cantik, Yamanaka-san" jawabnya sembari menyambut jabatan tangan Ino,"Aku Sachiko Uchiha" jawab gadis SMP bernama Sachiko itu.

Ino menaikkan alisnya demi didengarnya nama gadis itu,"Oh.. Namamu mirip gadis-gadis jaman Heian." komentar Ino memunculkan semburat merah dipipi gadis SMP bernama Sachiko itu."Tapi karena kau sangat cantik, nama itu jadi benar-benar cocok untukmu."

"A..arigatou" ujar Sachiko malu.

"Jadi Sachiko-chan..-," Ino mengerutkan alisnya, agak sulit mengucapkannya,"Jadi Sa-chan..-" ralat Ino,"Boleh aku memanggilmu begitu?" Sachiko menganggukkan kepalanya. Ino tersenyum."Kenapa kau pulang larut sekali?" Ino menyipitkan matanya jahil,"Jangan bilang kau baru pulang berkencan ya"

"Tidak!" sanggah Sachiko cepat. Ino menaikkan sebelah alisnya,"Sebenarnya aku...kabur dari rumah" jawab Sachiko.

"Ahh..sudah kuduga!"

"Anda sudah menduganya? Kenapa?"

"Kau tau! Aku ini ekspert!" kara Ino dengan wajah serius.

"Ekspert?" tanya Sachiko.

"Iya ekspert. Aku ini bisa membaca pikiran orang lho" bisik Ino dengan nada jahil.

"Benarkah?" pandangan Sachiko tampak tertarik tapi dengan cepat dia menyembunyikannya,"Ne..Yamanaka-san, aku bukan anak kecil lagi. Aku tak percaya itu"

"Kau tak percaya? Sayang sekali." Ino memasang wajah kecewa.

Setelah itu Ino diam, begitu juga Sachiko.

"Ha-ha-ha.." Ino tertawa diikuti Sachiko setelahnya.

"Yamanaka-san. Apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Sachiko tiba-tiba.

"Tidak!" jawab Ino.

"Kenapa?"

"Ntah lah. Tapi bukankah kau memang tak seharusnya langsung percaya pada orang lain?" Tutur Ino. Dia mengerutkan dahinya. Mungkinkah pemikirannya ini yang membuatnya belum juga mendapat suami. Dia tak pernah benar-benar percaya pada seorang pria. Ino selalu ragu untuk mempercayakan kehidupannya pada orang yang ingin menjadi suaminya. Ino ragu apakah dia bisa terus-terusan mencintai pria yang sama sepanjang hidupnya. Atau bahkan, apakah dia bisa benar-benar jatuh cinta pada seorang pria. Seingatnya dia tak pernah sekalipun patah hati, bukankah itu artinya Ino tak benar-benar mengharapkannya? Ino juga ragu, apakah pria itu bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan membiarkannya membeli apapun yang dia mau seperti saat dia membelanjakan uangnya sendiri. Bukan apa, tapi Ino melihat beberapa temannya yang justru mengalami kesulitan ekonomi setelah menikah. Itu membuatnya sedikit takut. Apalagi baru-baru ini seorang teman lamanya menceritakan tentang keretakan rumah tangganya. Ohh...

"...ka-san. Yamanaka-san" Ino menoleh,"Anda baik-baik saja?" tanya Sachiko. Ya ampun. Ino sampai lupa kalau dia sedang bicara dengan Sachiko.

"Eeh..i..iya. Aku tak apa. Kau bilang apa tadi?"tanya Ino yang baru keluar dari lamunannya.

"Aku tanya, apa semua orang dewasa memang tak bisa mempercayai orang lain?" tanya Sachiko. Dia menggigit bibir bawahnya,"Pamanku juga mengatakan hal yang sama sepertimu" Sachiko menundukkan kepalanya.

Ino tersenyum karena pertanyaan polos Sachiko. Ntah sejak kapan dia mulai kehilangan kepercayaannya pada orang lain. Menjadi dewasa benar-benar membuatmu terlalu banyak berfikir dan mempertimbangkan sikap orang lain terhadapmu.

"Orang dewasa terkadang terlalu khawatir tentang semua hal. Jadi secara tidak sadar kami menjadi begitu waspada." Ino menghela nafas sejenak,"seringkali orang-orang menjadi dewasa karena ditempa oleh rasa sakit. Karena itu sebisa mungkin mereka menghindarinya" Ino tersenyum lagi,"Pamanmu mungkin sedang berusaha melindungimu dari rasa sakit itu" ujar Ino yang menduga Sachiko kabur dari rumah karena bertengkar dengan pamannya.

Sachiko tertunduk mendengar kata-kata Ino, sepertinya dia mulai menyadari sesuatu."Jadi, kemana tujuanmu? Aku akan turun di stasiun berikutnya." tanya Ino sekaligus menginformasikan kalau dia akan segera turun. Sedikit banyak Ino khawatir dengan Sachiko jika dia pergi tanpa tujuan. Sudah hampir pukul 10 malam, dan sangat berbahaya bagi gadis polos sepertinya berkeliaran.

Sachiko menggeleng,"Tadi aku pergi begitu saja karena kesal" jawab Sachiko."Se..sebenarnya a..aku takut" cicitnya sambil memegang ujung sweater Ino. Ino tersenyum maklum. Melihat dari sikap dan cara bicaranya, Sachiko pasti anak rumahan yang diperlakukan bak putri raja. Persis seperti Matsuri.

"Bagaimana kalau kau ke apartemenku dulu? Kau bisa menelepon Pamanmu dan menunggunya ditempatku." tawar Ino.

"Maaf merepotkanmu, Yamanaka-san." Tentu saja Sachiko takkan menolaknya. Dia mengeluarkan ponselnya, menghidupkannya karena sejak tadi dia sengaja mematikannya dan kemudian menekan tombol yang sangat dihapalnya. Ino tersenyum, sepertinya dia sangat akrab dengan pamannya itu.

Panggilan tersambung nyaris tanpa jeda waktu, menunjukkan kalau Paman Sachiko pasti sangat mengkhawatirkannya dan menunggu telpon darinya sejak tadi. Tapi Sachiko tak tau harus bicara apa, jadi dia memberikan ponselnya pada Ino.

"Moshi-mos -"

"Sachi, kau pikir apa yang kau lakukan? Jangan membuatku khawatir! Kau dimana? Aku akan datang menjemputmu" potong suara pria diseberang tak sabaran, walaupun nada suaranya cukup tenang untuk seseorang yang sedang kalut.

"Sac-chi..." ejek Ino sembari tersenyum pada Sachiko disampingnya,"Pamanmu orang yang tak sabaran ya, Sa-chan?" Sachiko mengangguk setuju.

"Siapa kau? Dimana Sachi?" tanya pria diseberang telpon ketika mendengar suara Ino.

"Sabar tuan. Tenang saja, keponakanmu sedang ada dikereta api bawah tanah bersamaku. Aku akan mengajaknya ke rumahku, kau bisa menjemputnya disana. Aku akan sms kan alamatnya" jawab Ino.

"Baiklah. Berikan ponselnya pada Sachi aku ingin bicara dengannya." perintah pria itu.

Ino menarik nafas, sepertinya Paman Sachi harus diajari sopan santun. Tanpa mengatakan apapun Ino memberikan ponselnya pada Sachiko. Ino bisa mendengar Sachiko meyakinkan pamannya agar tidak khawatir dan sesuatu seperti ancaman yang memaksa pamannya harus mengatakan sesuatu nanti. Ntah lah, mungkin hal itu yang menyebabkan Sachiko kabur dari rumah.

Tak lama Sachiko mematikan ponselnya, dan mereka berdua turun ketika kereta berhenti. Ino tidak bertanya apapun tentang apa yang Sachiko katakan pada pamannya, karena Ino pikir itu adalah urusan keluarga mereka dan Ino tak perlu tahu. Setelah berjalan kaki sekitar 15 menit dari stasiun kereta bawah tanah, mereka sampai disebuah apartemen kecil 3 lantai. Kamar Ino ada dilantai dua.

"Jangan terkejut ya, kamarku benar-benar berantakan" ujar Ino ketika akan membuka kunci dan dibalas dengan senyuman oleh Sachiko. Tampaknya Sachiko sudah sangat lelah, matanya tampak sayu menahan kantuk.

Begitu pintu dibuka, Ino benar tentang kamarnya yang berantakan, saat meninggalkan rumah dia bahkan belum sempat membereskan kertas-kertas yang berserakan di meja. "Nah, Sa-chan. Duduklah di manapun kau suka, aku akan menyiapkan kamar mandi agar kau bisa menyegarkan diri," Ino mempersilahkan. Dengan cepat dia merapikan kertas yang berserakan, dan menuju kamar mandi untuk mengisi air di bak mandi. Tak butuh waktu lama baginya melakukan semua itu. "Pergilah mandi, Sa-chan! Nanti aku akan antarkan handuk dan baju ganti untukmu," Sachiko hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi. Sepertinya ia benar-benar sudah tak berdaya. Ino tersenyum lagi melihat tingkah Sachiko, benar-benar manis.

Setelah meletakkan handuk dan baju ganti di depan pintu, Ino kedapur karena berfikir kalau Sachiko pasti lapar. Dia masih memakai seragam sekolahnya, itu artinya mungkin saja dia belum sempat makan apapun tadi. Jadi mungkin semangkuk sup miso bisa menghangatkannya.

'...tell me Teddy bear...' Ino bisa mendengar suara ponsel Sachiko, karena berfikir Sachiko mungkin masih mandi ia berinisiatif mengangkatnya 'Pamanku tersayang' adalah nama yang tertera dilayar.

"Hai'" jawab Ino.

"Aku sudah di stasiun Aburame, lalu aku harus kemana?" tanya Suara diseberang.

"Anda cepat juga. Baiklah, dari sana Anda hanya perlu berjalan lurus hingga menemukan telepon umum, nah disebelah telepon umum itu ada persimpangan, belok kanan maka Anda akan melihat apartemen kecil tiga lantai. Aku tinggal di kamar 204 bangunan itu." jelas Ino panjang lebar. Walaupun Ino merasa Paman Sachiko agak kurang sopan, tapi Ino tetap berusaha menggunakan bahasa formal. Tentu saja, mereka belum saling kenal. Ah..kenapa Ino tiba-tiba merasa begitu ceroboh membiarkan orang yang tak dikenal datang kerumahnya hanya karena kasihan? Bisa saja sebenarnya mereka terlibat kriminal atau bahkan pertengkarannya karena...

"Duh.." ini menepuk jidatnya sendiri. Mungkin inilah yang membuat ayahnya begitu cerewet tentang dia yang tinggal sendiri.

"Baiklah. Aku akan kesana, suruh Sachiko turun" perintah suara diseberang mengagetkan Ino dari pikirannya sendiri.

"Hei tuan. Sekarang Sachiko sedang mandi, dan aku sedang membuat sup miso. Setidaknya biarkan dia makan dulu. Dia pasti sangat lapar, Anda bisa masuk dulu kalau Anda mau." tawar Ino dengan kesal. Dari caranya bicara, Ino bisa menduga pamannya Sachiko pasti orang yang sangat angkuh.

"Hn.." gumamnya dan sambungan telepon terputus.

Ino menghela nafas, dan kembali pada kegiatannya didapur. Supnya sudah hampir selesai, dia hanya tinggal menunggu nasinya matang. Karena itu Ino memutuskan untuk menyiapkan meja yang ada diruang tengah, tapi ketika dia sampai disana, Ino bisa melihat Sachiko yang tertidur sambil memegang handuk basah. Ino tersenyum, memperhatikan wajah Sachiko. Sepertinya dia harus memanaskan lagi sup nya nanti. Ketika Ino beranjak hendak mengammbil selimut suara bel rumahnya berbunyi.

"Dimana Sachiko?" tanya seorang pria yang berdiri tinggi menjulang didepan pintu begitu Ino membuka rumahnya. Ino tidak segera menjawab, dia memperhatikan dari atas kebawah pria tak tau sopan santun itu. Ino menengadahkan kepalanya untuk menatap langsung wajah tamunya. 'Benar-benar mirip Sachiko. Seperti pinang dibelah dua. Dia pamannya atau ayahnya sih?' batin Ino.

"Aku tanya dimana Sachiko" tanya pria itu lagi tak sabaran karena Ino tak kunjung menjawabnya.

"Setidaknya Anda harus mengucap salam terlebih dahulu, tuan. Bagaimana mungkin orang sepertimu begitu disayangi oleh Sa-chan yang sangat manis? Aku heran, memangnya apa yang sudah Anda berikan padanya?" cecar Ino tak suka. "Sachiko ada didalam. Dia tertidur karena kelelahan. Masuklah!" jelas Ino, memiringkan sedikit badannya agar tamunya yang tak tau sopan santun itu bisa masuk.

"Sachi" panggil pria itu lirih. Ino bisa melihat pandangannya menjadi begitu lembut menatap Sachiko.

"Kusarakan Anda tidak membangunkannya, tuan. Dia butuh istirahat. Fisik dan pikirannya sepertinya sangat lelah," saran Ino.

"Terimakasih," ujarnya.

"Hah?" gumam Ino memperjelas pendengarannya.

"Terimakasih telah membantu Sachi. Dia bisa saja mendapat bahaya diluar," ujar pria itu lagi.

Ino hanya mengangguk dan tersenyum. Ternyata dia tak seburuk yang Ino pikirkan. "Aku Ino Yamanaka." Ino mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.

"Ino Yamanaka?" ulang pria itu, dia mengerutkan dahi seolah mengingat sesuatu.

"Itu namaku. Kalau Anda mau tau," jelas Ino.

"Ah maaf bukan itu maksudku. Aku hanya merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya. Aku Sasuke Uchiha." kata Paman Sachiko yang bernama Sasuke itu. Sasuke mengulurkan tangan membalas jabatan tangan Ino.

"Anda sudah makan? Tadi aku membuatkan sup miso untuk Sa-chan" tawar Ino.

"Tidak. Terimakasih" tolak Sasuke.

Kryuuuukk...~~

Suara perut Sasuke ternyata tidak bisa berbohong. Ino bahkan hampir tertawa mendengarnya. Tapi akhirnya Ino berusaha menahannya, ia maklum. Karena khawatir, Paman Sachiko pasti tidak sempat memikirkan soal makan.

"Tidak usah sungkan, Uchiha-san. Aku memasak cukup banyak." Ino beranjak ke dapur mengambil semangkuk nasi, sup miso, dua potong tempura udang, lengkap dengan sumpit dan sendok sup. Menatanya dinampan bersama secangkir teh melati. "Silahkan." kata Ino.

Sasuke memperhatikan makanan yang tersaji rapi dihadapannya.

"Kenapa?" tanya Ino ketika mendapati Sasuke memperhatikan makanannya. "Tenang saja. Aku tidak menaruh racun kedalamnya kok" ujar Ino.

"Ah..maaf bukan itu maksudku." Sasuke mengambil sendok dan mencicipi supnya. "Ini enak!" puji Sasuke.

"Kalau begitu habiskan!" kata Ino sembari tersenyum.

"Kau tidak makan?" tanya Sasuke.

Ino menggeleng. Sasuke makan dalam diam. Ino diam-diam memperhatikan Sasuke. Ketika makan, Sasuke terlihat kalem. Berbeda sekali dengan kesan yang Ino dapat dari telpon dan nada suaranya. Hmm.. Kalau nanti dia sudah menikah, hal seperti ini mungkin akan dilakukannya setiap malam. Menyiapkan makanan dan memperhatikan sang suami menikmati masakannya. Kapan ya itu terjadi?

Ino menghela nafas panjang. Lagi-lagi dia melamunkan tentang pernikahan. Apa dia memang sebegitu inginnya untuk menikah ya? Tapi kenapa Kami-sama tak jua mempertemukannya dengan jodohnya?

Ino mulai berpikir mungkin dimasa lalu dia pernah melakukan kesalahan yang membuatnya sulit mendapatkan jodoh. Memang sih, Ino harus akui dulu saat sekolah dia terlalu sering membuat para pria patah hati. Sekarang pun mungkin begitu, setiap ada yang datang untuk melamarnya. Ino selalu ragu-ragu untuk menerimanya hingga pria itu mundur teratur. Ino jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa yang dia cari? Pria seperti apa yang dia inginkan?

Sasuke mengerutkan alisnya ketika mendapati Ino melamun sambil menopangkan kepalanya disalah satu tangan. Tapi toh dia tak ada niat bertanya apalagi mengganggu khayalan Ino.

Ino bahkan tak menyadari kalau tamunya sudah selesai makan. Dia hanya diam dengan segala pemikiran tentang pernikahan. Sampai Sachiko menggeliat dan terduduk dengan wajah mengantuk.

"Sachi" Sasuke langsung bangkit menghampiri Sachiko.

"Paman?" balas Sachiko dengan suara serak. Ino menolehkan kepalanya dan tersenyum.

"Kau sudah bangun?" tanya Ino. Sachiko mengangguk. Tentu saja, itu pertanyaan yang tak memerlukan jawaban.

"Sachi. Maaf" kata Sasuke sambil memeluk Sachiko. Ino menaikkan alisnya. Ada haru dan geli yang Ino rasakan. Terharu melihat mereka sangat mengasihi satu sama lain. Ino bisa rasakan itu. Tapi juga geli, karena mungkin kalau ayahnya memeluknya dengan dramatis seperti itu, Ino pasti akan langsung menendangnya. Ino dan ayahnya punya cara lain untuk mengekspresikan kerinduan mereka. Mungkin dengan saling ejek?

"Paman. Kenapa kau sangat marah aku membuka dan bertanya tentang diari itu? Siapa Hinata?" tanya Sachiko. Matanya mulai memerah, begitu juga hidungnya. Mungkin dia sedang menahan tangis. Sasuke terdiam semakin mengeratkan pelukannya.

"Aku akan keluar sebentar. Mungkin kalian butuh waktu berdua?" Ino memundurkan dirinya.

"Tidak perlu. Kami akan segera pulang. Ayo Sachi!" ajak Sasuke melepas pelukannya. Tapi Sachiko ternyata cukup keras kepala. Dia bertahan ditempatnya.

"Sachi!" nada suara Sasuke meninggi.

"Aku tanya, siapa Hinata? Apa hubunganmu dengannya?" tanya Sachiko dengan nada dingin. Ino sedikit tak menyangka Sachiko bisa berbicara dengan intonasi menakutkan seperti itu. Lagipula, pertanyaan yang dilontarkan Sachiko lebih mirip pertanyaan seorang kekasih yang memergoki pacarnya selingkuh.

'Tidak mungkin kan mereka incest' batin Ino menggelengkan kepalanya. Ino melirik Sasuke. Kepalanya menunduk dengan rahang yang mengeras. Tapi Ino melihat pancaran kesedihan dan ketidakberdayaan dimatanya. Kalau seorang pria mengeluarkan ekspresi seperti itu, artinya mereka berada dalam dilema. Dan Ino menduga, pertanyaan Sachiko benar-benar sulit untuk dijawabnya dengan banyak pertimbangan.

Suasana begitu hening dan penuh ketegangan. Hanya terdengar helaan nafas yang berbeda ritme. Mata Sachiko bahkan masih menatap tajam Sasuke. "Sa-chan! Kau mau menginap malam ini?" tanya Ino lembut. Ino merasa permasalahan antara tamunya yang sebenarnya tak dikenalnya ini terlalu rumit untuk diselesaikan malam ini. Lagipula kalau boleh jujur, sebenarnya Ino sudah sangat mengantuk dan ingin tidur.

"Tidak! Dia harus pulang sekarang juga!" tolak Sasuke.

"Kalau aku tidak merepotkanmu, Yamanaka-san. Dengan senang hati." jawab Sachiko. Sasuke memandang tajam pada Sachiko yang dibalas tak kalah sengit.

'Sebenarnya mereka ini. Sepasang kekasih. Paman dan keponakan. Atau ayah dan anak ya?' tanya Ino dalam hati. Dia jadi teringat setiap kali dia berdebat dengan ayahnya.

"Uchiha-san. Bisa kita bicara diluar sebentar?" pinta Ino. Tanpa menunggu jawaban dari Sasuke, Ino sudah melenggang menuju pintu keluar. Mau tak mau Sasuke mengikutinya.

Ino berjalan hingga menuruni tangga, memastikan Sachiko tak mendengar pembicaraan mereka. Dan tentu saja Sasuke semakin dekat dengan pintu keluar.

"Sejujurnya aku sangat ngantuk dan ingin segera tidur." mulai Ino. "Dan perdebatan kalian sepertinya masih akan lama."

"Maaf menganggu waktu tidurmu," kata Sasuke.

"Bukan itu masalahnya" Ino berbalik menghadap Sasuke, "Uchiha-san, aku tau sepertinya Anda ada dalam dilema. Mungkin apa yang tertulis didiari itu tentang wanita bernama ... Hinata, benar-benar harus Anda rahasiakan dari Sa-chan. Aku sangat mengerti." Ino jeda sejenak untuk menarik nafas, "tapi kupikir Anda pun harus memahami perasaan Sa-chan. Setidaknya biarkan saja dia tenang dulu untuk malam ini. Aku akan mencoba menjelaskan padanya kalau terkadang orang dewasa punya rahasia yang benar-benar harus dijaganya. Bagaimana?" tanya Ino.

Sasuke tampak berpikir sejenak, Ino memang tak mengenalnya dan Sachiko, begitu pula sebaliknya. Dia sama sekali tidak tau masalah apa yang sebenarnya dihadapi Sasuke, tapi sepertinya dia wanita yang baik. "Baiklah. Aku mohon bantuanmu. Katakan padanya aku akan menjemputnya besok" Sasuke mungkin bisa percaya pada Ino.

Ino mengangguk. "Datanglah pukul 6 pagi. Kita sarapan bersama dan Anda bisa membawa Sachiko pulang setelahnya" kata Ino.

"Terimakasih" Sasuke membungkukkan sedikit badannya. Berjalan sedikit keluar kejalan dan masuk ke sebuah mobil Ferrari hitam. Ino menaikkan alisnya. Bertanya-tanya siapa sebenarnya dia. Seseorang yang menaiki Ferarri kemana-mana pasti bukan dari kalangannya.

Ino mengangkat bahunya. Dan berjalan kembali ke kamarnya. Selanjutnya, dia harus meyakinkan seorang gadis remaja dengan rasa penasaranya yang belum terjawab. Mungkin itu akan jauh lebih merepotkan. Oh, sekarang Ino tau kenapa salah satu sahabat lamanya selalu menggunakan kata 'merepotkan'.

/

.

/

#*STAR*#

/

.

/

Sasuke sampai di rumahnya dan langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu. Memejamkan mata dengan lelah. Alisnya berkerut dan perlahan air mata jatuh dari ujung matanya. Kalau saja Sachiko melihatnya, sudah pasti dia akan berhenti saat itu juga mempertanyakan tentang diari dan Hinata.

"Hinata..." lirihnya. Matanya terbuka memandang langit-langit rumahnya. Rasanya masa lalu terbentang disana dan tak bisa ditutupi lagi. Sejak dulu Sasuke sama sekali tak berniat menutupinya dari Sachiko, tapi keadaan memaksanya. Dan sekarang rasanya Sasuke belum siap untuk membukanya.

Sasuke menyibakkan poninya kebelakang. Dia lelah dan ingin tidur. Biarlah untuk malam ini, perempuan bernama Yamanaka Ino itu yang membujuk Sachi-nya.

'Yamanaka Ino' batin Sasuke. Ntah mengapa nama itu begitu tak asing di telinganya. Tapi toh Sasuke tak punya gambaran apapun tentang wanita itu. Wanita tak dikenal yang bahkan telah dia repotkan sampai sejauh ini. Lagipula, kira-kira apa yang akan dibicarakannya dengan Sachiko? Bagaimanapun dia orang asing yang sama sekali tidak ada kaitan dengan mereka berdua.

/

.

/

#*STAR*#

/

.

/

"Sa-chan, apa kau sangat menyayangi pamanmu?" tanya Ino. Saat ini mereka berdua telah sama-sama membaringkan badan difuton. Setelah Ino kembali dari mengantar Sasuke tadi, dia menyuruh Sachiko makan dan langsung mengajaknya tidur.

"Tentu saja. Aku tinggal berdua dengannya sejak kecil" jawab Sachiko mantab. Ino memiringkan badannya agar bisa melihat Sachiko dengan jelas.

"Kau tinggal bersamanya sejak kecil?" tanya Ino, ada keheranan dalam nada suaranya. "Orang tuamu?"

"Mereka tinggal di Hokkaido." jawab Sa-chan. "Pamanku sangat menyayangiku sejak kecil. Jadi ketika dia dapat pekerjaan di Tokyo, dia membawaku juga. Dan orang tuaku sepertinya tidak keberatan." Ino mengangguk-angguk mendengar penjelasan Sachiko. Walaupun kerutan tampak jelas di dahinya.

"Sejak kecil itu, sejak usiamu berapa tahun?" tanya Ino lagi. Sepertinya rasa penasarannya mulai terusik.

"Sejak kelas satu SD, waktu itu umurku tujuh tahun" jawab Sachiko.

Oh...pria lajang yang masih muda mau repot-repot mengurus seorang anak kecil yang bahkan masih memiliki orang tua? Dimana akan kau temukan Paman seperti itu?

"Dia mengurusmu seorang diri di Tokyo?" Sachiko mengangguk, "Memangnya pamanmu itu tak punya pacar?" tanya Ino dengan nada berbisik dan menutupi mulutnya ketika berbicara seolah-olah akan ada yang mendengar. Sachiko tertawa dengan cara bicara Ino itu.

Sachiko menggeleng,"Tidak. Aku bahkan jarang melihatnya bicara terlalu lama dengan seorang wanita" Ino menaikkan alis dan melebarkan matanya tak percaya kearah Sachiko. "Itu benar!" Sachiko menegaskan.

Ino dan Sachiko berpandangan. "Ha..ha..ha.." mereka berdua tertawa bersama melihat ekspresi masing-masing. Tentu saja Ino tertawa dengan alasan yang berbeda dengan Sachiko.

"Berapa usia pamanmu? Pria muda sepertinya tak punya pacar? Memangnya apa yang dilakukannya saat libur?" tanya Ino dengan nada geli. "Ahh...Sa-chan, kau tak bermaksud memonopolinya untuk dirimu sendiri kan?" canda Ino.

"Tentu saja tidak! Aku sudah sering memintanya mencari pacar bahkan istri, usianya 27 tahun sekarang. Dan teman-teman nya hampir semua sudah menikah, Paman bahkan selalu mengajakku ke pesta pernikahan mereka. Tapi Paman selalu bilang masih ingin fokus menjagaku yang semakin nakal ini. Dia juga..."

Dan sepanjang malam Sachiko terus bercerita tentang kehidupannya berdua dengan sang Paman. Ada kebanggaan dan kasih sayang yang meletup-letup terhadap Sasuke dalam setiap cerita Sachiko.

"Tak diragukan kau memang sangat menyayangi pamanmu." Ino menyimpulkan.

"Tentu saja! Bahkan kalau ada yang bertanya siapa yang lebih aku sayangi, ayah atau Pamanku. Aku tidak ragu menjawab, Paman lebih aku sayangi!" seru Sachiko yakin.

"Ayahmu pasti akan patah hati kalau begitu" Sachiko hanya menanggapi dengan senyum,"kuharap ayahmu tak mendengar kau mengatakan itu" Ino tersenyum. Kalau saja Ino mengatakan itu pada ayahnya, mungkin ayahnya akan melemparnya dengan pot bunga.

Ino terus tersenyum dan menanggapi dengan serius setiap cerita Sachiko hingga gadis kecil itu tertidur di pukul 2 dini hari setelah Ino mengatakan beberapa hal tentang paman Sachiko. Terutama setelah Sachiko menceritakan tentang diari yang membuatnya bertengkar dengan sang Paman.

"Percayalah, saat ini pamanmu pasti sedang menangis sendiri dikamarnya. Aku yakin dia sama sekali tak bermaksud memarahimu. Dia hanya takut melukai hatimu. Seperti yang aku bilang, orang dewasa terkadang takut dan mengkhawatirkan terlalu banyak hal hingga membuatnya tampak seperti pengecut. Maafkanlah dia dan tunggulah sebentar sampai dia siap bercerita padamu." kata Ino sebelum Sachiko tertidur.

Ino sendiri belum bisa tidur, cerita Sachiko tentang isi diari yang dibacanya mengganggu pikiran Ino. Diari yang ditulis sebelum Sachiko lahir oleh seorang wanita bernama Hinata yang sepertinya sedang mengandung. Tak ada yang aneh menurut Ino. Itu mungkin diari ibu Sachiko. Tapi ternyata itulah yang membuat Sachiko bertanya-tanya. Sebenarnya pertanyaannya sederhana. Siapa Hinata? Dan kenapa dia mau menamai anak dalam kandungannya 'Sachiko'? Dan menuliskan apapun yang terjadi bayinya harus memiliki nama belakang 'Uchiha'?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ternyata tak bisa dijawab oleh Sasuke. Apa yang membuatnya begitu dilema?

"Tousan, aku memang darah dagingmu. Kau mewariskan rasa penasaran yang sungguh merepotkan" gumam Ino. Matanya berkedip-kedip menatap langit-langit, dan ketika Ino melihat benang merah yang menghubungkan tiap cerita. Ino mengutuk dirinya sendiri.

"Ck.." sebalnya dan bangkit dari tidurnya menuju dapur. Inilah yang Ino benci dari menjadi anak seorang investigator profesional. Kebiasaan ayahnya menular padanya, bertanya, menganalisa dan menarik kesimpulan.

"Ntah lah.." Ino memutuskan untuk tak ambil pusing pada apapun kesimpulan yang diambilnya. Karena ino merasa itu bukan urusannya. Segera setelah Sachiko pulang besok, mereka sudah tak ada hubungan. Ino menenggak segelas air putih yang mungkin akan menjernihkan pikirannya dan menghanyutkan segala dugaannya.

/

.

/

#*STAR*#

/

.

/

…bersambung…


Penantian pada datangnya jodoh

Kadang membuat kita jadi banyak mengeluh

Rasanya setiap pertanyaan tentang jodoh membuat hati terenyuh

Aah..

Aku dan jodoh

Tanpa satu sama lain, rasanya belum utuh

Thanks minna-tachi

By : Star Azura