Domestic Disturbance
the end of the story

Mystic Messenger
©2016 Cheritz Co,. Ltd. All Rights Reserved

Warn:
Out of Character, typo(s), etc.


Menyadari apa yang dia lakukan hampir tidak ada hasilnya, akhirnya ia berhenti, ia taruh saja telepon genggam itu di saku lalu segera keluar dari ruangan. Sungguh, Zen benar-benar membuatnya cemas, dengan keadannya yang tidak begitu kondusif, sendirian, dan siapa lagi yang harus menolongnya di tengah jalan kalau bukan dirinya?

Jumin berfikir untuk menelepon pelayan di rumah, menanyakan apakah Zen memberitahu tepatnya dia pergi ke rumah sakit yang mana. Walau rasanya cukup mustahil, namun ia mencoba. Namun benar saja, sesungguhnya Zen tidak berpamitan dengan siapapun di penthousenya dan menghilang begitu saja. Ini bukan saat untuk Zen melakukan hal gila, bukan? Jumin memohon dari hatinya yang terdalam, suasana ini sudah cukup keruh untuk mereka.

Setibanya di mobil, ia menyuruh supir pribadinya itu untuk ke rumah sakit yang ia pikir paling memungkinka, itu tidak terlalu jauh. Jumin juga menanyakan perihal Zen ke chatroom dan beberapa orang yang sekiranya tahu, tapi benar-benar tidak ada yang mengetahuinya. Kondisi dan situasi saat ini menambah buruk firasatnya saja. Sambil terus mencoba menghubungi Zen dan memutar otaknya tentang apa yang harus ia lakukan, tibalah ia ke sebuah rumah sakit.

Walau kedengarannya mustahil, tapi ia langsung saja masuk menerobos dan menanyakan pada resepsionis. Apakan Hyun Ryu pernah atau baru saja ke sini? Ia juga mengitari tempat-tempat yang ada untuk memastikan apakah Zen tersangkut di suatu tempat. Ternyata tidak, tiak satupun... rasanya tidak ada guna juga apabila harus berkutat di 1 tempat yang sama. Akhirnya setelah itu ia kembali ke mbobilnya, dengan perasaan yang sudah pupus. Menuju rumah sakit lain yang lebih jauh, meskipun seharusnya kalau dipikir-pikir... Zen tidak mungkin sudah pergi sejauh itu.

Tapi ternyata sama saja, Zen tidak ada di rumah sakit itu juga. Hasilnya sama, namanya tidak pernah tercatat dan jejaknya tidak pernah terlihat barang sesiluet. Baru 2 rumah sakit tidak lantas membuat Jumin menyerah, akhirnya ia mencoba pergi ke rumah sakit lain yang sebenarnya hampir tidak mungkin sama sekali Zen pergi ke sana, karena lebih jauh lagi. Bukan juga rumah sakit harapan terakhirnya, namun ia memerintahkan supirnya untuk segera ke sana. Sudah ia habiskan berjam-jam dengan perjalanan yang tak usai ini.

Sepanjang jalan Jumin sebenarnya tidak memerhatikan ke mana dia dibawa, kemana mobil itu melaju. Semuanya, sekujur tubuhnya memusatkan perhatian kepada Zen, tentang keberadaannya dimana dan apakah ia baik-baik saja... ia tidak bisa memastikan juga apakah ini hanya ketidak sengajaan atau kesetiaannya memang benar sedang diuji. Panggilan tak terjawab yang dibuatnya sudah berpuluh-puluh, pesan yang ditinggalkan kepadanya juga tidak kalah... kenapa harus menghilang di saat seperti ini?

Lama kelamaan Jumin menyadari bahwa ia tidak mengenali jalan yang ia tempuh, ia pikir itu hanya ia yang sedang kalut... namun lama kelamaan makin merasa terasingkan dengan jalan yang ia lihat lewat jendela. "Supir Kim, sebenarnya ke mana kau membawaku?"

Supir Kim diam saja sambil tetap mengemudikan setir, di jalan dan situasi lalu lintas yang terlihat normal. "Mr. Kim?"

Sebenarnya ini sangat sulit baginya untuk berucap. Dari spion belakang, sepasang matanya terlihat ingin menyembunyikan sesuatu... Jumin menunggu, dengan ekspressi yang ingin tahu. "Saya membawa anda ke tempat yang ayah anda perintahkan kepada saya."

"Hentikan mobil ini sekarang juga!"

Tidak barang 1 lirikan dari Mr. Kim untuk menghiraukan perkataan Jumin... Tidak memberikan pengaruh apapun, perintahnya bagaikan radio backsound saja. Supir kim hanya memberikan raut yang sulit dari spion belakang. Mengetahui bahwa loyalitasnya kepada ayahnya lebih tinggi dibandingkan dengan ia sendiri. "Saya tidak bisa tuan."

Jumin terdiam seketika, benar-benar terdiam. Diam yang lain. Entah berapa banyak hal yang sanggup mengisi kepalanya dan perasaannya yang sudah mengkristal sekarang...

Mobil itu berhenti di lampu merah, seperti lalu lintas pada umumnya. Keadaan yang sudah hening seolah mengedapkan semua suara yang ada.

Sebenarnya ia bisa saja menghubungi ayahnya kembali, mengonfirmasi kecurangan yang terjadi diantara kesepakatan mereka. Tapi anggap saja, ayahnya pasti sengaja melakukan ini untuk menambah riuh suasana... pasti, Jumin juga tidak akan melakukan hal sia-sia, tidak ingin lagi ia bahkan untuk sekedar mendengar suara lelaki tua itu barang 1 kata... Keputusan yang sudah diutusnya, dan ia harus melakukannya.

Terlalu banyak yang harus ia pikirkan sampai-sampai tidak ingin memikirkan satupun diantara semuanya...

Lalu apa? Lalu apa sekarang? Apa yang harus dilakukan? Ia berpacu dengan detik-detik lampu merah yang semakin berkurang, sebelum perjalanannya lebih jauh dan menjauh lagi. Bukan saat yang untuk disia-siakan. 1 hal, ia tidak ingin dirinya diasingkan terlebih dahulu sementra Zen belum mengetahuinya, tidak... bahkan untuk menghubunginya saja begitu sulit, begitu juga dengan keberadaannya.

Kesempatan terakhir daripada tidak sama sekali.

Sampai mobil itu hendak saja tancap gas, Jumin baru berhasil menarik kunci mobil ke atas, membuka pintu, dan keluar, tentu saja ia langsung tersungkur ke tanah, mobil itu meninggalkannya di belakang. Kendaraan lain pun berhenti mendadak seketika, klakson sana-sini, situasi yang sangat huru hara bagi seorang Jumin Han, langsung ia berdiri. Ternyata Supir Kim menyadari ia yang kabur, bapak tua itu menghentikan mobilnya di tengah jalan kelihatannya hendak akan mengejar, namun sang target segeralah berlari tak terarah, di tengah-tengah lampu yang sudah hijau itu.

Setelahnya Jumin tidak berhenti, terus menyusuri jalan hingga masuk ke blok-blok yang tidak pernah diketahuinya, sembarang, yang ditangkap oleh matanya saja. "Mr. Han!" teriaklah sesuka hati, ia juga takkan mendekat.

Setelah diarasa nafasnya hampir habis semua dan si supir kehilangan jejaknya, Jumin masuk ke sebuah tempat tersembunyi lalu berhenti, membungkukan diri... tersegal-sengal.

Setelah beberapa detik menganggap dirinya aman, ia pun mengecek ponselnya, gps mungkin bisa bekerja. Namun seketika ia mendengar langkah tergesa seseorang mendekat kearahnya, saat menoleh sedikit, ternyta itu supir Kim, segeralah ia keluar dari sana dan berlari kembali, situasi cukup merayap seperti blok jalanan pada umumnya. Namun cukup mudah bagi Jumin Han untuk menghindar dari orang-orang.

Akhirnya ia sampai pada penyeberangan jalan, tahu sebuah mobil akan melintas, tetap ia nekat, tapi ia juga tahu ini tidak akan membuatnya tewas ditempat. Kembalilah ia bersentuhan dengan kerasnya aspal dan bemper mobil, terlebih handphone yang masih dipegangnya itu terplanting jauh, ingin ia mengambilnya, namun pada jarak itu Supir Kim bisa menangkapnya... Tapi sebelum ia selesai memutuskan, roda ban kendaraan lain sudah melindas gadget mahal itu, tepat, di depan mata kepalanya sendiri, hingga berkeping-keping. Tidak ada waktu untuk mendaramatisir, ia bangkit berlari. Untungnya Driver Kim terhalang oleh kendaraan-kendaaraan lain yang melintas lalu lalang, memberikan kelonggaran pada Jumin.

Hingga ia sampai ke sebuah taman yang cukup senyap, melihat ada bangku taman, ia segera mendudukinya... menghel seraya mulai mengumpulkan napasnya kembali... sementara banyak hal yang harus dipikirkannya. Ia tidak tahu ini di mana, harus ke mana... ia menghembuskan nafas berat, teringat pokok pikiran yang kembali terlintas.

"Hyun..." Ini semua hanya karena dia seorang, ia gila berkatnya, kehilangan harta berkatnya, kehilanga kehidupannya juga karenanya... namun seorang yang telah membuatnya kehilangan semuanya juga turut menghilang. Seolah pergi bersama, tanpa jejak yang bisa dilacak.

Akhrinya tak lama ia segera keluar dari taman kelam itu dan mencari taksi konvensional, tujuannya tak lain kepada rumah sakit, rumah sakit, dan rumah sakit... hingga ia menanyakan kepada supir taksi, apa ada rumah sakit lain yang tersisa di kota ini? Namun semua jarak itu sungguh sangatlah jauh.. ia tidak tahu kalau sepanjang hidupnya akan dihabiskan oleh perjalanan-perjalanan pada rumah sakit secara acak. Sampai-sampai ia kehabisan ide, rumah sakit apa yang Zen kunjungi? Tidak pernah ada. Ke mana Zen sebenarnya? Tidak ada.

Ponselnya juga bumi hangus, semua sendi-sendi kehidupannya perlahan-lahan runtuh... sampai ia kehabisan harta yang tersisa pada tubuhnya untuk membayar taksi. Dan memikirkan kalau ia harus bertahan dengan apa yang tersisa sekarang.

"Hyun, maafkan aku."


Hari itu Zen sengaja menghilangkan dirinya sendiri, ia berkata akan pergi ke rumah sakit, namun sebenarnya tidak.

Ia suka sekali berkeliling dengan motor miliknya, untuk mencari angin yang diharapkan akan meruntuhkan beban hidupnya seiring semilir. Namun tidak ada tujuan, kehampaan pada hidupnya. Sampai akhirnya ia berhenti di suatu tempat yang sangat jauh, pepohonan rimbun, namun tanahnya sangat sedikit, meruncing, namun penuh bebatuan keras.

Ia ada di ujung tebing, di tengah lautan yang paling terasing. Ia masih mengenakan jaket kulitnya, rambut yang tersibak kesana kemari berkat angin laut yang tajam. Pandangannya tidak terlihat, ia benar-benar memunggungi. Ia berhenti dan tidak melangkah lagi, tepat diujung tebing, bagai telur di ujung tanduk. Tidak perlu perenungan yang tak berujung lagi, sedetik kemudian ia menghempaskan dirinya ke bawah, menjatuhkan dirinya sendiri tanpa suara. Hanya kuncir rambut putihnya yang terlihat terakhir kali, sebelum benar-benar menghilang.

Jumin membuka mata, membiarkan sepasang manik hitamnya kini melihat dunia yang ternyata lebih gelap dan mengerikan daripada warnanya.

Ia tidak lagi bangun di kasur paling empuk, tidak berada lagi pada ruangan yang luas dan kemewah-mewahan yang pernah dirasakannya. Jumin Han, tinggal sendiri, mengasingkan dirinya dari pilihan hidupnya sendiri. Namanya masih Jumin Han, namun tak seorang pun akan mempercayai bahwa ia adalah anak pengusaha kaya... karena ia sekarang tinggal di gubuk tua kecil, di pinggir pelabuhan yang dulu dirasa asing namun sekarang sudah terbiasa.

Begitulah hari-harinya, wajahnya yang sudah dingin makin membeku, dengan kenyataan yang lebih pahit daripada obat manapun. Ia mengenakan baju seadanya, bukan setelan jas merek mahal lagi, apa yang dia makan serta rutinitasnya yang berada dalam garis kekurangan.

Mimpi barusan mengingatkannya kembali, pada kejadian sekitar beberapa bulan yang lalu, yang sudah amat lalu... yang sudah sempat terlupa.

"Hyun..."


Zen tidak membohongi siapapun pada hari itu, karena ia benar-benar memang akan pergi ke rumah sakit... tentu, setelah ia merasakan penderitaan yang kembali mengingatkannya pada kenyataan yang belum usai. Sebenarnya lemas setengah hidup untuk menggerakan dirinya, terutama setelah muntah darah yang lebih perih daripada luka manapun... tapi ia tahu, ia dan posisinya di rumah itu bukanlah suatu hal yang mengenakan hati.

Ia tidak akan menunggu Jumin sampai pulang, dan tidak ingin mengganggunya lagi, sudah sekian cukup parah selama ini ia mempersulit pria itu, pikirnya. Maka ia memutuskan untuk pergi sendiri dari rumah itu, tidak menyapa seorang pelayan pun atau berpamitan kepada seorang pun di rumah. Pelayan-pelayan juga acuh tak acuh menghadapinya, mereka tahu dirinya siapa sesungguhnya. Melewati tirai besi berkedok emas untuk menyentuh dunia luar itu mudah dengan posisi dan kondisinya sekarang.

Langkahnya benar-benar lunglai dan pelan... ia benar-benar memaksakan dirinya saja. Hingga akhirnya dia mendapat 1 taksi online, ia segera menuju rumah sakit.

Zen tentu tidak memiliki inisiatif atau motif tertentu untuk memilih rumah sakit yang jauh, ia sudah melupakan kegilaan-kegilaan yang pernah ia lakukan. Ia minta saja kepada supir untuk pergi ke rumah sakit yng paling dekat, yang pernah ia kunjungi juga bersama Jumin. Tentu rekap tentang kesehatannya ada di sana.

Selama di perjalanan sebenarnya Zen hampir hilang kesadarannya, ia hampir tidak dapat memikirkan apapun. Begitu sampai dan ia turun dari mobil, ia berusaha menegarkan dirinya sendiri lalu berjalan masuk diantara orang-orang yang cukup ramai kala itu.

Baru saja Zen ingin mendaftarkan dirinya di resepsionis, tiba-tiba ia merasakan mual yang teramat parah, rasanya ia ingin jatuh sekarang juga. Segera ia setengah berlari begitu melihat plang toilet pria, ingin menghadapkan dirinya dulu, kalau ia memang benar-benar akan muntah. Tetntu saja tidak ada yang menyadari kesulitan dirinya, lalu lalang terjadi begitu saja.

Untungnya toilet kala itu benar-benar tidak ada siapapun, hanya ia dan dirinya. Ia segera masuk ke suatu bilik dan melumpuhkan dirinya sendiri. Rasanya sungguh menderita, wajahnya sudah kacau, matanya memerah, dan saliva keluar sembarangan dari mulutnya. Ia tidak tahu kalau harus muntah darah sekarang. Akhirnya 1 detik setelahnya ia secara total kehilangan kesadaran akan diri, benar-benar terkulai di atas lantai bilik kamar mandi itu, tanpa ada yang tahu.

Hingga beberapa jam setelah itu, Zen akhirnya dapat membuka matanya lagi. Namun dalam kondisi yang berbeda, ia sudah berbaring diatas ranjang ruang perawatan, selang infus, namun rasa sakit yang tidak jauh berbeda. Kepalanya segera menengok ke kiri kanan, sebelum benar-benar yakin ia sedang dirawat. Akhirnya ia menghela berat, sepertinya ada yang menemukan tubuhnya terkulai di lantai kamar mandi.

Tiba-tiba seorang suster datang menghampirinya, meminta ia mendatakan dirinya ke meja resepsionis di depan apabila dirinya sudah merasa baikan. Suster itu juga memberikan kertas yang tidak ingin dibaca oleh Zen, entah apa faedanya. Sekarang sepertinya hampir sore, ia nampaknya tertidur terlalu lama. Suster itu lalu mencopot selang infus dari Zen, dan berkata kalau sudah cukup. Tidak ingin terlalu lama, akhirnya ia perlahan-lahan keluar dari ruangan itu, Zen berkata tubuhnya sudah bisa baikan dan berjalan sendiri.

Saat ia sudah keluar dan hendak ke meja resepsionis, sepasang matanya tak sengaja melihat berita acara tv yang ada di ruang tunggu...

Itu bukan tanyangan berita tv biasa, layar itu benar-benar sontak mengalihkan seluruh perhatian Zen, ia mendongak, tak percaya dengan mata hampir terbelalak, alisnya mengkerut. Kertas itu masih dipegangnya. Sesungguhnya ia bisa mendengar berita di tv itu bahwa;

"Jumin Han, putra tunggal pengusaha CnR corporation dikabarkan mengalami serangan jantng mendadak siang ini, laki-laki berusia 26 tahun itu pun menghembuskan nafas terakhirnya di penthouse pribadi miliknya."

Zen segera membuka ponselnya. Tetapi yang pertama terlihat, sungguh banyak panggilan tak terjawab dari Jumin, ia benar-benar tidak ingat untuk menjawabnya. Sungguh... lalu ia segera menelepon balik Jumin tapi tidak bisa. Ia berpikiran lain, ia membuka chatroom... banyak sekali obrolan yang dilewaktkannya, butuh waktu lama untuk membaca, ia memutuskan untuk langsung menghubungi seorang asisten saja.

"Jaehee? Apa kau di sana?" Zen dengan suara yang bergemuruh.

"Hallo Zen... "

"Jaehee, apa jumin baik-baik saja?!"

Di seberang sana perempuan itu tersenyum getir, sebuah helaan berat juga terdengar, "Aku tidak yakin Mr Han baik-baik saja..." , "Ah, aku ... tidak yakin bisa menjawab pertanyaanmu."

"Jawab dengan jelas! Aku baru saja melihat berita di tv!"

Hening sebentar dengan suara angin di seberang sana. "... Kau sudah mengetahuinya, Zen?"

"..."

"Maafkan aku, aku turut menyesal."

Yang benar saja. Jumin tidak mungkin benar-benar...

Berita kematiannya tidak sepedih itu, namun sambil masih memegas kertas, berdiri di sana, berhdapan dengan meja resepsionis... memori-memori, pikirannya, semua mulai berputar mengingat-ngingat Jumin... dahulu saat dia ada dan sekarang... ingin ia keluarkan semua kesedihan itu. Ia tidak melihat detil kematian, hanya dari berita, tidak meliat mayat, ataupun pemakaman. Ia mulai menyeka mata yang mulai berair.. ini bukan tempat yang tepat untuk mendramatisir, sementara perawat resepsionis mulai menagihinya biaya perawatan yang harus dibayar...


Jumin rasanya hampir kehilangan asa untuk mencari dan menemukan Zen... terakhir kali saja coba, kemana laki-laki itu pergi? Hilang. Jumin tidak tahu tentang kabar kematiannya yang sudah disebarluaskan, ia hanya menyambung nyawa setiap hari dengan pekerjaan yang sungguh amat berbeda dari sebelumnya, tentu. Tujuan awalnya adalah pengasingan dirinya, maka ia sudah membuat pengasingan untuk dirinya sendiri bukan dari sang ayah, tak ada lagi tempat untuk pulang selain jalanan yang keras.

Karena dari suatu bahasa pemrograman, pertemuan, adu minum, ia memulai intim dengan sosok itu. Tapi ia tidak pernah minum lagi sekarang, tidak, tidak ada uang untuk itu. Nafas yang dihelakan seolah memberikan tanya, apa masih ada harus hari yang perlu direnungi unntuknya? Berbulan-bulan sampai ia lupa dengan tanggal, lupa dengan dirinya, dan mungkin juga akan lupa dengan Zen.

Tidak terpecahkan baginya, tentang kebenaran Zen yang sesungguhnya.

Zen masih terus dalam masa pengobatan dan terapi, keadaannya sebenarnya mulai membaik. Niscaya ia sudah tidak bersedih lagi mengingat Jumin. Ia mungkin tidak menangis, namun sudah cukup ia rasa malam-malam baru setelah kepergian lelaki itu dihabisi dengan mabuk-mabukan.

Berat menyadari semua kehidupannya yang telah hilang, karirnya juga termasuk orang terpenting dalam kehidupannya. Namun apa baginya? Ia masih berfikir untuk meneruskan mimpinya, namun bukan Jumin. Laki-laki yang pernah menempati hatinya itu sudah selesai, the end of the story. Bahkan pemakamannya sekalipun ia tidak diizinkan. Hanya Jaehee dan orang-orang yeng dekat bagi CnR dan keluarga Han.

Maka ia tahu, berlalut larut hanya akan memperburuk keadaan. Ia menjalani hidupnya, sudah bisa membahagiakan dirinya sendiri, mengurangi waktu untuknya minum, menghisap, dan lainnya. Harapannya, agar Jumin bisa bahagia melihatnya yang sekarang, mungkin.

Ia sudah merelakan Jumin Han.


.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

AKHIRNYA SELESAIIIII

hello reader, maksih banget lo akhirnya kita sampai kepada chaptee penghujung, yaaakk ini akhir Domestic Disturbance. Gw bisa sejauh ini nggak mungkin tanpa dukungan kalian baik views, review, follow dan fave. Gw bener2 beterimakasih, dan semoga ini ga mengecewakan kalian lol.

.

.

.

.

.

.

.

.


End.