Summer Breeze

Main Cast : Cha Eunwoo . Moonbin

Genre : Friendship, Romance, Family

Length : Chaptered

.

.


EM


.

.

Chapter 7

"Breathless (Epilog version)"

.

.


EM


.

.

Lima tahun kemudian…

.

Moonbin membuka matanya. Pagi. Sinar matahari menembus di balik tirai jendela kamarnya, burung yang bercicit terdengar, berpadu dengan suara alarmnya yang telah berbunyi entah sejak kapan. Moonbin mengerang, sambil meregangkan tubuhnya di atas kasurnya.

Ia kesiangan lagi, pikirnya saat melihat jam dinding kamarnya. Dan dengan malas mulai beranjak dari kasur dan keluar dari kamar walaupun ia masih-sangat-mengantuk dan lelah. Tadi malam adalah malam yang gila. Jinwoo (jika kalian tahu, dia adalah kekasih Myungjun sejak SMA) melamar kekasihnya, pemuda ribut yang kelewat periang, Myungjun.

Moonbin masih ingat kehebohan tadi malam. Jinwoo menyanyikan lagu romansa, dan mengatakan hal-hal picisan yang romantis pada kekasihnya. Cukup untuk membuat pelanggan kafenya heboh dan mendadak terjadi pesta minum minum—selamatan untuk pertunangan mereka dan kafe yang harusnya tutup pukul sebelas, tadi malam ditutup jam tiga subuh.

"Hyung? Tidur dengan baik?" Moonbin mendesah, lalu menggeleng, menanggapi pertanyaan dari pemuda yang lewat di depannya.

Itu Yoon Sanha, mahasiswa yang bekerja paruh waktu di kafenya. Moonbin sudah mengenal pemuda tinggi itu sejak jaman sekolah, jika kalian masih ingat dan Sanha adalah orang kepercayaan Moonbin yang banyak membantunya mengurusi kafenya—ditengah kesibukannya kuliah di jurusan musik. Keahliannya di musik akustik, memang belum ada agensi hiburan yang merekrutnya, tapi percayalah, pemuda tinggi ini sudah punya banyak penggemar dari penampilannya di kafe Moonbin setiap sore hari.

.

Ah ya, kalian bahkan belum berkenalan dengan Moonbin lima tahun kemudian…

Kini, Moonbin bukan lagi Moonbin berkaca mata yang tunggang langgang mencari uang, mengejar pelajaran di sekolah, atau yang suka berkelahi. Moonbin masih tetap Moonbin, yang bedanya, ia kini berperangai lebih tenang dan hangat. Ia sekarang mengurusi kafe kopinya sendiri, setelah tiga tahun bekerja sebagai pekerja paruh waktu dan menyelesaikan studinya. Masih di kota Seoul.

Hanya sampai situ, tak banyak hal yang berubah dari Moonbin yang sekarang sudah menjadi lelaki dewasa berumur 24 tahun.

kembali pada Moonbin yang sekarang, ia melirik Sanha yang membawa sekantong sampah botol minuman "Pantas saja kepalaku mulai sakit, kami minum sebanyak ini?" keluh Moonbin.

"Tidak." Jawab Sanha "Masih ada beberapa botol di sana, aku belum selesai membereskannya." Ujarnya.

Moonbin menggaruk tengkuknya "Ah… maafkan aku." Ucapnya merasa bersalah. Namun Sanha hanya terkekeh pelan "Tidak apa hyung, lagi pula tadi malam adalah malam yang sangat bahagia. hyung harus lebih santai sedikit, minum banyak bukan masalah~" tutur Sanha kemudian.

Mendengar perkataan Sanha, Moonbin langsung mengacak rambut pemuda yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri itu "Ei, tahu apa kau tentang minum-minum? Dasar anak kecil." Ledeknya.

Sanha mengeluh, ia menghalangi tangan Moonbin yang terus mengacak rambut cokelat terangnya "Hyung! Kau menghancurkan tatanan rambutku!" ucapnya. Moonbin tertawa puas, ia pun berhenti.

"Kenapa? Tumben kau menata rambutmu. Apa Minhyuk datang hari ini?" ledek Moonbin lagi, yang sukses membuat wajah Sanha memerah. Tersipu begitu mendengar nama Minhyuk keluar dari bibirnya.

"Min… ya, hyung… tak ada hubungannya!" ujar yang lebih muda terbata.

Moonbin mengangkat kedua bahunya, bertingkah seolah tak peduli "Benarkaah~?" tanyanya menggoda. Sanha langsung mengangguk lucu. Oke, walaupun Sanha mengatakan seperti itu, Moonbin jelas paham ada 'suatu hubungan' antara karyawannya dengan orang-yang-sudah-ia-anggap-sebagai-adik, Minhyuk. Keduanya terlihat menggemaskan.

Puas menjahili Sanha, Moonbin merenggangkan tubuhnya "Ah… aku harus segera siap-siap!" ujarnya seraya mulai beranjak.

"Hyung mau kubuatkan sarapan?" tawar Sanha.

Moonbin menggeleng "Tidak perlu. Aku akan makan nanti, dengan Soo Ah." Ujarnya.

"Soo Ah noona akan datang kesini?"

"Kami akan bertemu di makam ibu. Ini hari peringatan dua tahunnya." Jawab Moonbin sebelum menutup pintu kamar mandi.

.

.


EM


.

.

Musim panas akan segera berakhir, Moonbin bisa merasakannya dari hembusan angin sejuk yang menerpanya. Membuat ilalang di sekitar makam ibunya bergoyang lembut, seolah ibunya kini telah membersamai Moonbin dan adiknya yang tengah bersujud di depannya. Kedua kakak-beradik itu terlihat tenang, tidak seperti biasanya yang ribut akan perkelahian. Well, keluarga bagi mereka hanyalah satu sama lain setelah sang ibu meninggal tepat dua tahun yang lalu karena penyakit yang sudah terlalu parah.

Ibu Moonbin meninggal saat Moonbin sedang sibuk kesana-kemari mencari biaya untuk kuliahnya dan pengobatan ibunya. Seolah tak ingin memberatkan anaknya lagi, ia meninggal dengan tenang, dengan sebuah senyuman. Moonbin masih ingat saat itu di musim gugur dan di siang hari. Ibunya memejamkan mata dengan sebuah senyuman cantik di bibirnya.

"Hei, jangan menangis."

Ucapan Soo Ah membuat Moonbin menoleh ke samping. Keduanya memang sedari tadi hanya duduk di sana, pikiran melayang kemana-mana. Moonbin menatapnya agak kesal.

"Aku tak menangis." Tekannya.

Soo Ah, masih dengan perangainya yang cuek, mengangkat dua bahunya "Maaf sepertinya aku salah mendengar suara isakan." Ujarnya, terlihat tak peduli.

"Makanya, hilangkan kebiasaanmu memakai headset saat tidur." Celetuk Moonbin.

"Tak ada hubungannya. Mungkin itu suara isakan tangis arwah ibu, melihat anaknya yang sudah sukses." Ucap Soo Ah lagi, matanya masih memandang gundukan makan ibunya.

Moonbin terkekeh, adiknya itu memang selalu bicara sesuka hatinya "Bicara apa kau?" gumamnya "Kau sudah sukses?" tanyanya kemudian.

Soo Ah pun menoleh, menatap kakaknya dengan tatapan tajam "Kau belum membaca berita? Belum mendengarkan laguku? Kemarin kami peringkat pertama di berbagai chart dunia!" jelas Soo Ah dengan semangat. Wanita itu terlihat kekanakan jika sudah bicara seperti ini.

"Benarkah?" Moonbin hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Membuat sang adik langsung memasang wajah murung yang kentara. Namun ia segera mengubah ekspresinya lagi.

"Harus berharap apa aku padamu? Aku terlalu sibuk dengan usahamu sampai tak mengetahui kabar adikmu sendiri…" gerutu Soo Ah.

Sang kakak hanya bisa tertawa ringan, ia mengelus kepala adiknya yang berambut pirang dengan sayang. Tentu saja Moonbin tahu semuanya.

"Aku bangga padamu." Bisiknya pelan.

Cukup untuk membuat Soo Ah tersipu. Ini pertama kalinya Moonbin memujinya setulus ini, seolah semua kerja keras yang ia lakukan telah terbayar sepenuhnya hanya dengan pengakuan dari kakaknya. Well, Sooah memang sudah bertekad untuk membayar semua kerja keras Moonbin untuknya setelah sukses menjadi member sebuah girlband ternama.

Namun ini hanya rahasianya sendiri. sampai mati ia tak akan mengakui pada Moonbin kalau ia sangat senang sekarang hanya dengan tiga kata sederhana Moonbin tadi.

"Hm… kupikir ini saatnya kau pergi. Manajermu sudah menunggu di sana." Ucap Moonbin kemudian, ia melirik ke belakang, menatap seorang laki-laki yang ia kenal sedang berdiri di bawah pohon tak jauh dari mereka. Moonbin menunduk sopan pada manajer adiknya itu.

Soo Ah juga berbalik ke belakang "Ah ya.." gumamnya "Maafkan aku tak bisa menemani lebih lama." Ucapnya seraya berdiri. Ia menepuk-nepuk bajunya yang agak kotor karena rumput.

Moonbin hanya mengangguk dan memberikannya sebuah senyuman tipis, dia ikut berdiri "Tak masalah, jaga kesehatanmu." Ujarnya saat Soo Ah akan beranjak.

"Oppa juga." Soo Ah mendelik "Jangan terlalu lama di sini, jangan tertidur di makam ibu lagi. Itu hal bodoh." Ucapnya tajam, yang membuat Moonbin terkekeh dan mengangguk.

"Jangan pakai bawahan pendek, kau tahu kakimu sangat berotot dan jelek kan?" ledek Moonbin lagi, kembali membuat Soo Ah yang sudah berjalan menoleh, menatap kesal kakaknya, namun ia mengangguk dan melambaikan tangannya.

Moonbin juga melambaikan tangannya, melihat punggungnya yang semakin lama menjauh. Entah kenapa perasaan sedih mulai menggerogoti dadanya. Rasanya sesak. Moonbin berharap adiknya cepat-cepat pergi, jadi ia tak perlu menahan air mata yang mungkin sudah berada di ujung matanya.

Dia tak suka rasa ini. Saat ia sendirian…

Baru beberapa langkah Soo Ah berjalan, ia kembali menoleh kebelakang, menatap Moonbin.

"Oppa!" panggilnya agak memekik.

"Hm?"

"Apa kau masih berhubungan dengan Eunwoo oppa?" tanya Soo Ah tiba-tiba.

Eunwoo? Cha Eunwoo? Sudah lima tahun berlalu sejak hari kelulusan mereka, sejak saat itu juga Eunwoo pergi ke Amerika, mengejar mimpinya. Satu tahun pertama, mereka masih sering berhubungan. Tapi kini tak lagi. Fakta itu membuat dada Moonbin terasa makin sesak. Ia merindukan pemuda itu.

"Kenapa kau bertanya?" tanya Moonbin dengan suara sedikit serak.

Namun Soo Ah menggeleng "Hanya…" ujarnya kemudian berbalik lagi. Ia melambaikan tangannya, dan benar-benar pergi bersama manajernya menuruni bukit kompleks pemakaman.

Meninggalkan Moonbin dengan keheningan, kesendirian, dan hati yang terasa hampa. Ditemani hembusan angin penyambut musim gugur.

Ia pun berbalik, berjalan dengan gontai mendekati makan ibunya. Ia kemudian berbaring di samping gundukan itu, seolah tengah menatap langit disamping ibunya.

Air mata tiba-tiba turun dari mata kanan Moonbin. Ah, akhirnya ia menangis. Pikirnya seraya menyentuh air yang membasahi pipinya. Ia mengeluh, kenapa ia akhir-akhir ini sangat sering menangis? Padahal ia sangat jarang menangis di masa-masa tersulitnya sekalipun. Saat ia kelelahan, saat ia bertengkar dengan adiknya, saat melihat kondisi ibunya, saat ia harus belajar dengan giat, Moonbin hampir jarang menangis.

Tapi hari ini ia menangis. Kemarin ia menangis saat melihat berita tentang kesusksesan karir adiknya, ia menangis karena melihat Jinwoo melamar Myungjun, ia menangis tengah malam tanpa sebab, ia menangis saat sedang sendiri. membuatnya tak habis pikir. Apa yang terjadi padanya?

Kenapa ia merasa semakin lemah, padahal hidupnya sudah tak seberat dulu…

.

"Apa hyung masih berhubungan dengan Eunwoo oppa?"

.

Mengingat pertanyaan tadi membuat Moonbin kepikiran. Apa yang dilakukan Eunwoo sekarang? Sudah jadi apa ia sekarang? Terakhir kali, Moonbin mendengar bahwa Eunwoo berhasil masuk ke sekolah kejaksaan paling bagus di Amerika. Moonbin lupa apa namanya, yang jelas ia cukup senang karena Eunwoo akhirnya bisa merubah pikiran ibunya sendiri yang menginginkannya menjadi profesor fisika.

Moonbin entah kenapa tertawa sendiri. Eunwoo, si jenius itu, pasti sudah menjadi seorang pengacara handal dan kaya. Ia mungkin juga sudah mendapatkan kekasih yang sangat cantik disana… Eunwoo sangat tampan, dan di Amerika banyak wanita cantik. Bisa jadi... Moonbin akan mencoba ikut senang, walau ia akan sangat kecewa jika Eunwoo tak mengundangnya di acara pernikahannya.

"… Semoga ia tak botak diusia dini karena kepintarannya…hahaha…" tawanya semakin keras, membayangkan Eunwoo yang botak sangatlah menyenangkan, hingga air matanya jatuh dan tak berhenti sampai dada Moonbin terasa sesak. Ia terisak.

.

Semua orang pasti memiliki happy endingnya masing-masing.

ibunya berakhir bahagia di surga mungkin.

Adiknya memiliki karier yang sangat baik di industri hiburan seperti cita-citanya.

Myungjun akan berakhir bahagia bersama kekasihnya Jinwoo.

Sanha dengan Minhyuk.

Eunwoo dengan pekerjaan dan wanita cantik Amerika…

.

Lalu ia sendiri?

.

Fakta bahwa ia kini memiliki kafe kopi sendiri yang cukup terkenal, hidup dengan tenang dan berkecukupan, tidak membuatnya cukup puas…

Tapi ia tak tahu apa yang harus ia lakukan,

Perlahan lahan, semua orang akan meninggalkannya dengan happy ending mereka sendiri,

Lalu Moonbin?

.

.

Haruskan ia menyusul ibunya? Toh, sepertinya tak banyak hal yang bisa Moonbin lakukan di dunia…

.

.


EM


.

.

"Bin-ah…"

Tak banyak orang yang memanggilnya dengan nama pendeknya. Tidak juga dengan suara yang terdengar menenangkan ini.

"Hei, kau bisa masuk angin jika terus tertidur di sini."

Suara itu masih terdengar tenang, gentle, dan hangat. Moonbin rasa tubuhnya menghangat ketika sebuah tangan menyentuh pipinya yang dingin. Moonbin membuka matanya pelan.

.

.

Eunwoo tak tahu harus bereaksi apa. Tertawa kah? Terharu? Atau panik. Napasnya sudah sedikit tersengal karena mendaki bukit komplek pemakaman ini. Saat itu hatinya bergemuruh, sedih, ia tak tahu akan ada hari ia menuju tempat ini untuk mendatangi wanita yang sangat berkesan di kehidupannya. Wanita yang memberikannya cukup kehangatan seorang ibu walau dengan waktu yang sangat singkat.

Lalu hatinya kembali bergemuruh,

"Moonbin hyung? Dia baru saja pergi pagi ini ke makam ibunya. Hari ini adalah hari peringatan dua tahun sejak ibunya meninggal."

Itu yang diucapkan oleh karyawan di kafe Moonbin. Eunwoo pergi ke sana tepat setelah pesawatnya sampai ke Korea, berbekal alamat yang diberikan Soo Ah. Rencana awalnya, Eunwoo ingin memberikan kejutan kepulangannya pada Moonbin, namun ia tak tahu ternyata situasi membuatnya ingin bertemu di makam ibunya.

Ada debaran di hati Eunwoo, tak sabar melihat orang yang paling ia rindukan. Eunwoo sangat merindukan pemuda itu, hingga hampir gila rasanya.

Dengan langkah berat Eunwoo berjalan, ia berhenti ketika ia rasa ia telah menemukan makam yang tepat. Karena ia melihat seseorang yang sedang berbaring di samping gundukan makam itu. Eunwoo tak bisa menyembunyikan rasa gelinya. Awalnya, ia kira akan ada adegan melodramatis ketika nantinya ia bertemu dengan Moonbin, seperti berlari dan memeluk, lalu mencium… oke, kembali ke kenyataan,

Eunwoo memandangi wajah tenang Moonbin yang tidur di sana dengan sedikit air liur di ujung bibir dan bekas air mata. Rambutnya pun banyak terselip rerumputan. Eunwoo menatap Moonbin dengan tatapan lembut, walaupun menggelikan, ia merindukan pemuda ini. Sangat.

"Hei, kau bisa masuk angin jika terus tertidur di sini." Ujar Eunwoo.

Ia menyentuh pipi Moonbin yang terasa dingin. Musim gugur memang akan berakhir sebentar lagi, Eunwoo tak habis pikir berapa lama sudah Moonbin tertidur di ruang terbuka seperti ini.

"Hmm?" Moonbin mulai membuka matanya, ia melenguh pelan "Eunwoo…?" panggilnya dengan mata yang disipitkan. Eunwoo hanya tersenyum makin lebar.

"What the… aku bahkan memimpikanmu…" racaunya yang masih setengah mengantuk.

"Apa kau terus memikirkanku selama ini?"

"…Terus? Selalu. Bayanganmu yang sedang berkencan dengan wanita Amerika tak pernah bisa membuatku tidur dengan baik…" racaunya lagi dengan mata tertutup. Ia menguap kemudian, yang terlihat sangat lucu bagi Eunwoo.

"Apa kau mabuk?" tanya Eunwoo sambil terkekeh pelan. Dengan perlakuan yang lembut, Eunwoo merapikan rambut Moonbin berantakan.

Sontak tubuh Moonbin membeku. Menerima perlakuan ini membuat matanya terbuka lebar-lebar. Kini ia dapat melihat wajah Eunwoo diatasnya dengan sangat jelas.

"Astaga… Astaga… Astaga…" Moonbin bergumam tak jelas, matanya terlihat tak fokus dan dengan gerakan pelan dan canggung Moonbin segera duduk, dan kini berhadapan dengan Eunwoo yang masih menatapnya dengan tatapan lembut.

Moonbin mengerjapkan matanya, bahkan mendekatkan wajahnya kearah Eunwoo. Ah, dia benar-benar Eunwoo, walaupun tatanan rambutnya terlihat lebih rapi, ia memakai mantel berwarna musim gugur, memakai tas ransel, dan… dia Eunwoo. Tak banyak yang berubah dari Eunwoo selain dirinya yang nampak lebih menawan. Ia tak terlihat seperti anak SMA yang tampan dan jenius, tapi seorang pria dewasa yang sukses membuat Moonbin merinding. Ia bahkan tak bisa mengucapkan apapun.

"Bagaimana kabarmu, Bin-ah?" tanya Eunwoo akhirnya, memecah keheningan aneh diantara keduanya.

Mendengar suara Eunwoo lagi, tanpa disadari mata Moonbin kembali berkaca-kaca dan setetes air mata lolos begitu saja dari matanya "Apa kau sudah memiliki kekasih?" tanya Moonbin langsung dengan suara yang serak. Matanya tepat menatap mata Eunwoo, penuh harap dan kesedihan.

Eunwoo menggeleng.

"Apa ada orang yang kau sukai sekarang?"

Eunwoo mengangguk.

Dan Moonbin tersenyum, ia menundukkan kepalanya dan menutupinya dengan satu tangannya "Ah…" ia mendesah kecewa "Maafkan aku, Eunwoo-ya. Tadi malam aku minum terlalu banyak… dan sepertinya aku masih mabuk… lu-"

"Bagaimana denganmu? Kau sudah memiliki kekasih?" Eunwoo memotong perkataan Moonbin, dan ia tersenyum makin lebar saat Moonbin menggeleng pelan. Hanya itu yang Eunwoo butuhkan.

Pemuda bermarga Cha itu meraih tangan Moonbin yang menutupi wajahnya dan menyentuh rahang Moonbin dengan gerakan yang sangat lembut "Aku menyukai Moon Bin, dari dulu sampai selamanya." Ucapnya sebelum akhirnya memberikan Moonbin sebuah ciuman hangat yang panjang.

Mereka tidak terburu-buru, tidak juga memaksa. Hanya sentuhan yang tenang namun mendebarkan, hangat, dan lembut. Eunwoo memimpin dengan sangat baik, ia memperlakukan Moonbin seperti pemuda itu adalah benda paling berharga di dunia.

Dan Moonbin, ia rasa ia akan meledak dengan semua rasa rindu dan bahagia ini…

.

.

"Aku merindukanmu… sangat."

.

.


EM


.

.

"Jadi begitu saja?" tanya Myungjun.

"Begitu apa maksudnya?"

"Ya… hanya begitu?"

Eunwoo dan Moonbin saling berpandangan, bingung. Sahabat mereka satu ini memang sering bicara tak jelas.

"Maksudku, kalian bertemu, lalu kalian sampai di sini? Tak ada lagi yang ingin kalian ceritakan padaku?" tanya Myungjun agak ngotot "Aku sudah cerita panjang lebar tentang kehidupanku lima tahun terakhir, dan kalian hanya mengatakan 'kalian bertemu'?"

Moonbin menaikkan bahunya, tak mengerti, ia pun memilih untuk kembali memakan makan siangnya. Sedangkan Eunwoo menggaruk pipinya "Kau mau aku cerita soal sekolahku di Amerika?" tanyanya ragu.

"Tidak, toh aku juga tak akan mengerti."

"Aku juga berpikir seperti itu" Eunwoo mengangguk-angguk.

"Lalu?"

"Lalu apa, Myungjun? Kau berharap apa dari kami?" tanya Eunwoo menyerah. Oh, ia bahkan sudah membawakan Myungjun oleh-oleh dari Amerika. Kenapa pemuda ini tak puas juga?

Dan karena sama-sama bingung, Myungjun mengganti pertanyaannya "Lalu apa rencanamu sekarang?" tanyanya pada Eunwoo.

"Bekerja di Korea." Jawab Eunwoo di sela makannya.

"Kau akan menetap disini?" Eunwoo mengangguk "Lalu ibumu?" tanya Myungjun lagi.

"Ibu sudah betah berada di Amerika, ia membuat usaha sendiri di sana."

"Tempat tinggal?"

"Aku akan segera mencarinya."

"Lalu Moonbin?"

"Aku apa?"

Myungjun menyandarkan kepalanya di satu tangannya, menatap Moonbin yang menatapnya bingung, sedangkan Eunwoo, ia melanjutkan makannya dengan santai. Hal ini membuat Myungjun frustasi sebenarnya…

"Ya. Kalian itu bukan anak SMA lagi, tidak bisakah berpikir lebih dewasa?" tanya Myungjun dengan nada datar.

Moonbin menghela napas panjang "Aku tak mau mengetahui hal-hal 'dewasa' darimu Myunjun. Jadi, makanlah makananmu sebelum dingin." Ucapnya dan Eunwoo tertawa meledek.

Sedangkan Myungjun mendengus frustasi. Pasangan ini sama sekali tidak seru!

.

.


EM


.

.

Malam pun menjelang. setelah hari yang melegenda ini berakhir.

Eunwoo menginap di rumah Moonbin, lantai dua dari kafe milikknya. Moonbin memaksa Eunwoo untuk tinggal di sana sampai Eunwoo menemukan tempat yang cocok untuk tinggal walaupun Eunwoo awalnya bersikeras untuk tinggal di hotel saja. toh, rumahnya ini memiliki tiga kamar. Kamar Moonbin, kamar yang biasa ditempati Sanha, dan satu kamar tamu yang biasa dipakai karyawan yang ingin menginap. Jika Eunwoo mau, ia pun bisa tinggal di sana. Moonbin sudah menawarkan.

Tapi, atas banyak pertimbangan, Eunwoo memilih untuk mencari tempat tinggalnya sendiri, dan Moonbin mengiyakan.

.

Tok tok

"Eunwoo-ya, kau butuh selimut yang lebih tebal?" tanya Moonbin seraya membuka pintu kamar Eunwoo.

Moonbin menjulurkan kepalanya, menatap Eunwoo yang sedang duduk di atas kasurnya. sedang membaca buku. Pemandangan ini terasa seperti déjà vu. Moonbin sering melihat pemandangan Eunwoo yang sedang membaca bukunya.

"Apa aku mengganggu?" tanyanya ragu.

"Tidak. Masuklah." Ujar Eunwoo cepat. dan Eunwoo tersenyum melihat Moonbin yang masuk dengan membawa selimut tebal. Pemuda bermarga Moon itu menaruh selimutnya di kasur Eunwoo.

"Cuaca semakin dingin… jadi kurasa kau perlu itu…" ucapnya seraya menunjuk kearah selimut tebal. Lalu keheningan terjadi beberapa saat karena Eunwoo tak mengatakan apapun, hanya menatap Moonbin dengan senyuman. Membuat suasana menjadi sedikit… entahlah, lama kelamaan pipi Moonbin memerah.

Jika mereka berdua seperti ini, Moonbin jadi teringat saat tadi siang. Eunwoo menciumnya, dan itu terasa memalukan untuk diingat. Itu ciuman kedua mereka.

Moonbin yakin Myungjun pasti akan menertawainya karena tersipu saat ini.

"Pipimu memerah." Eunwoo menunjuk wajahnya.

"Ya… aku mandi dengan air yang sangat panas tadi" ucap Moonbin asal "Kalau begitu, kau istirahatlah." Ia pun langsung berbalik dan ingin pergi, namun Eunwoo menahan tangannya.

"Bagaimana jika kau tidur di sini? Aku ingin mengobrol denganmu sampai malam" ucap Eunwoo "Kau tahu… Myungjun sudah menceritakan lima tahun hidupnya, tapi aku belum menanyakan kabarmu selama ini…" ujarnya.

Moonbin menatap Eunwoo yang menundukkan kepalanya. Pemuda yang sedari tadi berperawakan tenang itu kini terlihat ragu dan mungkin malu, Moonbin kira hanya dirinya yang merasa canggung dengan situasi ini. Tapi ternyata Eunwoo juga. Itu membuatnya terlihat sangat imut.

"Baiklah…" jawab Moonbin malu-malu.

.

.

Kini keduanya telah berbaring di kasur Eunwoo, dengan selimut yang hangat dan bahu yang bersentuhan. Entah berterima kasih atau salahkan pada kasur yang terlalu pas untuk dipakai dua orang. Tapi dengan jarak sedekat itu, keduanya bisa merasakan suara napas yang berbunyi, debaran jantung, dan kehangatan.

Mereka memang persis seperti anak remaja,

Berpikir, dulu saat SMA, keduanya terlalu sibuk dengan hal masing-masing. Moonbin sibuk bekerja, Eunwoo sibuk belajar. Tak ada waktu bahkan untuk sekedar merasakan hal kekanakan seperti ini. Myungjun sungguh akan menertawakan mereka berdua jika ia melihat situasi ini.

"Temani aku melihat apartementku besok?" tanya Eunwoo tiba-tiba, memulai pembicaraan. Moonbin pun menoleh, matanya membulat, tak menyangka wajahnya dengan Eunwoo ternyata sedekat ini, jadi ia kembali menatap langit langit atap lalu mengangguk "Oke."

"Dan mencari beberapa furnitur?"

"Jadi kau sudah menemukan apartement yang cocok, huh? Oke, aku juga akan menemanimu"

"Lalu tinggal bersamaku?" tanya Eunwoo kemudian, ia memiringkan kepalanya agar dapat melihat Moonbin, begitu juga sebaliknya. Keduanya saling menatap. Beberapa saat Eunwoo kembali menjelaskan "Aku tahu kau sudah menawarkanku untuk tinggal di sini, dan ini memang bukan tempat yang buruk. Tapi aku ingin kita berdua memiliki tempat khusus hanya untuk kita berdua…" ujarnya.

"Lalu, bukan hanya itu… tempat kerjaku sekarang letaknya sangat jauh dari sini, aku tak ingin menghabiskan banyak waktu hanya untuk perjalanan. Jadi aku mencari apartement yang letaknya tengah-tengah. Antara tempat kerjaku, dan kafemu." Eunwoo merapikan poni Moonbin yang menutupi matanya "Bagaimana? Aku akan mendengarkan pendapatmu sekarang." Ujarnya.

Pandangan Moonbin tak fokus, bingung harus melihat apa. Di depannya Eunwoo memberikan tatapan yang sungguh membuatnya terpesona. Ia tak bisa konsentrasi bahkan untuk berpikir, Moonbin mengutuk kenapa Eunwoo bisa bertingkah seperti ini.

"Hm… aku… tidak yakin" ucapnya setelah beberapa saat "Rencanamu terdengar sangat sempurna… tapi entahlah, aku tak yakin kau akan betah tinggal berdua denganku." Moonbin memainkan tangannya diujung selimut.

"Lagipula kau tak perlu mendengarkan perkataan Myungjun soal 'hal dewasa' itu… aku sudah terlalu lama tinggal sendiri… tinggal bersama orang lain akan terasa aneh bagiku. Aku juga akan banyak merepotkanmu nantinya." Jelas Moonbin.

Yang seberapa indah pun Moonbin membayangkan hidupnya bersama Eunwoo, hanya berdua, ia tak bisa mengabaikan fakta bahwa ia rasa ia belum siap hidup berdua dengan seseorang. Sifatnya sangat jelek, seperti pemalas, jorok, dan cuek. Ia takut ia hanya akan membuat Eunwoo tak nyaman. Ia juga ribut dalam melakukan segala hal, bagaimana jika ia mengganggu Eunwoo yang bekerja? Pikir Moonbin. Terima kasih untuk drama-drama yang suka ia tonton di tv.

"Aku sudah menyiapkannya tiga bulan sebelum aku pulang ke Korea, Bin-ah. Itu bahkan sebelum Jinwoo berencana untuk melamar Myungjun." Ujarnya "Dan aku ingin menghabiskan banyak waktu bersamamu. Menebus semua waktu sendirianmu… sampai sekarang aku masih merasa bersalah karena tidak bisa bersamamu di saat terberatmu, aku bahkan tak bisa pulang saat tahu ibu meninggal…" tuturnya.

Raut wajah Eunwoo terlalu kompleks. Rasa bersalah kentara terlihat di wajahnya. Membayangkan Moonbin di hari meninggalnya sang ibu mampu membuat dada Eunwoo nyeri. Eunwoo yang paling paham tentang semua beban Moonbin, dan ia harap dihari itu ia berada di sana, menemani Moonbin.

"Jangan merasa bersalah…" ucap Moonbin, ia menyentuh tangan Eunwoo, memainkan jari-jarinya "Aku dan Sooah melaluinya dengan baik…" gumamnya semakin pelan, Eunwoo pikir Moonbin pasti sudah mulai mengantuk.

Pelan, Eunwoo menyentuh mata Moonbin yang nyaris tertutup dengan telunjuknya "Apa kau menangis saat itu?" tanyanya. Pemuda bermarga Moon itu menggeleng.

"Kenapa aku harus menangis? Ibu meninggal dengan sangat tenang dan cantik…" ujarnya pelan.

"Benarkah?"

"Hm… karena ia telah bekerja sangat keras karena penyakitnya, ia bisa beristirahat dengan tenang, akhirnya…"

Eunwoo tersenyum mendengar kalimat Moonbin yang terputus. Bergantikan sebuah dengkuran pelan yang entah kenapa menggemaskan. Ia menangkup wajah Moonbin dengan satu tangannya, kemudian memberikan sebuah ciuman singkat di bibir Moonbin yang sediki terbuka.

"Kau juga sudah bekerja keras selama ini, istirahat dan bergantunglah padaku mulai sekarang." Bisiknya kemudian menyamankan posisi tidurnya yang menyamping, menghadap kearah Moonbin. Eunwoo pikir, ia bisa tidak tidur semalaman hanya dengan melihat wajah tenang Moonbin saat tidur.

"Ehm… Eunwoo…" gumam Moonbin beberapa saat kemudian. Dan si pemilik nama masih membuka matanya lebar ketika Moonbin memanggilnya. Pemuda itu sepertinya tengah bermimpi.

"… Aku tak mau tinggal bersamamu… aku takut kau akan meninggalkanku karena aku tak bisa mengurus rumah dengan baik…." Moonbin mengigau adalah hal paling menggemaskan yang pernah ia lihat. Eunwoo berusaha menahan tawanya, Moonbin yang mengantuk mirip sekali dengan orang mabuk.

Dan soal ketakutan Moonbin, siapa yang peduli jika Moonbin tak mengurus rumah dengan baik? Toh, Eunwoo mengajak Moonbin tinggal bersama bukan sebagai pembantu, tapi karena Eunwoo ingin berada bersama Moonbin selama mungkin. Keberadaan Moonbin di sekitarnya sudah cukup untuk Eunwoo.

.

.

.

Sangat cukup.

.

.


EM


.

.

Enam bulan kemudian…

.

.

Moonbin berjalan keluar dari kamarnya dengan langkah lunglai. Mengantuk, karena ia baru saja bangun dari tidurnya yang terasa amat singkat. Ya, tidur yang singkat untuk malam yang panjang.

Pagi itu Moonbin seperti biasa tidak menemukan Eunwoo di sampingnya saat bangun tidur. Pemuda 'jenius' itu selalu bangun pagi, sepagi apapun Moonbin bangun, Eunwoo tetap yang lebih awal. Pemuda yang bekerja sebagai jaksa itu selalu memiliki banyak hal yang dilakukan di pagi hari, berkebalikan dengan Moonbin yang menghabiskan waktu hampir satu jam untuk melamun setelah bangun tidur.

Dari sini, Moonbin dan Eunwoo kembali terlihat seperti langit dan Bumi.

Dan tentang 'banyak hal yang dilakukan' Eunwoo di pagi hari, pemandangan yang paling sering Moonbin lihat adalah pemuda itu duduk di meja makan, membaca buku, laptop terbuka dan sepiring apel yang sudah dipotong di atas meja, dan juga senyuman. Eunwoo akan selalu menyambutnya dengan senyuman bak mentari ketika Moonbin keluar dari kamar dengan penampilan acakan.

"Selamat pagi…" sapa Eunwoo, seperti biasa.

Moonbin tak pernah terbiasa dengan sapaan Eunwoo seperti ini. Sekitar lima bulan sudah ia tinggal bersama pemuda tampan ini, namun jantung Moonbin masih berdebar ketika Eunwoo menyapanya. Dan mencoba untuk melihatkan perasaannya, Moonbin hanya tersenyum aneh dengan wajah mengantuknya dan langsung menuju ke dapur. Dengan setengah mengantuk, ia mengambil dua mug di lemari, dan mulai meracik kopi di mesin kopi mininya.

Tak butuh lama hingga Moonbin akhirnya mendudukkan dirinya di hadapan Eunwoo yang sibuk membaca, dan menaruh satu mug berisi kopi panas di dekat lengan Eunwoo.

Pagi yang tenang, pikir Moonbin seraya menyesap kopi paginya. Ini karena hari ini adalah hari minggu. Eunwoo tidak pergi bekerja, yang artinya tidak ada pagi dimana keduanya harus buru-buru melahap sarapan mereka dan meminum kopi setengah hangat. Ini menyenangkan, karena Moonbin membuat kopi panas, keduanya bisa meminumnya pelan-pelan dengan tenang.

Eunwoo bahkan masih sibuk dengan bukunya, sedikit mengacuhkan Moonbin yang berada di depannya. Tapi tidak seperti Moonbin haus perhatian, berada di dekat si pemuda yang lebih tua sudah cukup membuatnya puas.

"Bin-ah." Panggil Eunwoo kemudian.

Si pemilik nama sontak menoleh ke depan, setelah dari tadi menatap kosong pemandangan pagi dari jendela di sampingnya. Inilah rutinitas pagi yang tadi Moonbin bilang, melamun. Moonbin pun berdehem, merespon panggilan Eunwoo.

"Aku tahu aku tak pantas untuk bertanya, tapi… apa kau tidur dengan nyenyak?" tanya Eunwoo, ia menyengir. Sedangkan Moonbin menaikkan alisnya.

"Jangan bertanya." Ucap Moonbin pendek "Eunwoo-ssi, basa basimu terdengar menyebalkan." Tambahnya seraya memasang wajah kesal.

Kenapa juga bertanya? Penampilan Moonbin menunjukkan segalanya. Matanya berkantung hitam karena kurang tidur, rambutnya berantakan, baju yang ia pakai adalah baju Eunwoo, dan… euh, jangan tanya apa yang terjadi pada kulit bagian leher Moonbin. Kalian bisa menyimpulkan sendiri apa yang mereka lakukan di malam minggu.

Eunwoo terkekeh, namun ekspresi cemas tersirat di wajahnya. Pemuda itu pun meletakkan bukunya di meja, kemudian satu tangannya menyentuh pipi Moonbin dengan gerakan lembut "Maafkan aku." Ucapnya tulus.

Tapi Moonbin menggeleng, ia memincingkan matanya "Meminta maaf untuk apa? Kau mau bilang kau tak sengaja 'melakukan'nya dan menyesal dan tak akan melakukannya lagi?" tanyanya cepat.

"Bukan itu, bodoh." Jawab Eunwoo, ia menatap Moonbin tepat dimatanya.

"Lalu?" tanya Moonbin "Kenapa kau jadi melankolis pagi-pagi begini?"

Eunwoo kembali 'tertawa ala orang kaya'nya. Ia menggeleng "Hal seperti ini baru bagiku, aku takut kalau ternyata aku menyakitimu tanpa kusadari." Ujarnya yang kemudian menyesap kopinya.

Perkataan Eunwoo tadi membuat Moonbin terdiam. Ia menatap kekasihnya itu, yang selalu berpembawaan tenang namun setiap pemikirannya selalu membuat Moonbin tak habis pikir. Bagaimana bisa Eunwoo berpikiran seperti itu?

Ia pun menghela napasnya panjang, kemudian mengangkat kedua tangannya dan menangkup wajah Eunwoo lalu menariknya unuk mendekat. Moonbin menatapnya tepat dimata, ia menyeringai

"Apa kita memikirkan hal yang sama?" tanyanya "Rasanya seperti mimpi, aku hanya merasakan kebahagiaan saat bersamamu" ujar Moonbin pelan.

"Jadi berhenti merasa bersalah. Aku tahu kapan saatnya menegurmu jika kau melakukan kesalahan, oke?"

Bukannya menjawab perkataan Moonbin, Eunwoo yang masih memasang wajah serius itu tiba-tiba memberikan kecupan singkat di bibir kekasihnya, mumpung dekat. Dan itu sukses membuat Moonbin membeku, ia mengerjapkan matanya linglung.

"Apa kau akan terus semanis ini sampai tua?" tanya Eunwoo tak nyambung.

Sedetik kemudian ekspresi seriusnya tergantikan dengan raut kebahagiaan dan tawa. Eunwoo kini menikmati wajah Moonbin yang memerah karena ucapannya barusan.

Sial.

Eunwoo selalu tahu bagaimana cara memutar balikkan suasana. Moonbin kadang berpikir Eunwoo mulai menggunakan otak jeniusnya untuk sesuatu yang tak beguna. Dan kebanyakan itu untuk membuat Moonbin diam tak berkutik seperti ini.

Karena rayuan gombal Eunwoo pagi ini.

Karena wajah tampannya.

Karena senyumannya yang seolah tercipta hanya untuk Moonbin.

Apa yang lebih membahagiakan dari ini? Pikir Moonbin. Ia sudah bilang kalau hidupnya kini sangat bahagia, bagai mimpi. Membuatnya kadang takut jika ia terlalu terlena. Seperti kehidupannya yang nyaman tiba-tiba harus direngut ketika ayahnya meninggal. Hidup Moonbin memang penuh ketakutan—semua orang seperti itu—tapi akhir-akhir ini Moonbin berpikir bahwa menikmati 'saat ini' adalah yang terpenting sebelum mencemaskan masa depan.

Karena ada Eunwoo.

.

.

"Aku tiba-tiba ingin memelukmu, Eunwoo-ya…"

"Dengan senang hati"

Moonbin terkekeh saat Eunwoo langsung bangkit dari kursinya dan berjalan melewati meja makan mereka untuk mendekati Moonbin, dan pemuda berambut hitam itu pun merentangkan kedua tangannya, menyambut Eunwoo. Menyambut pemilik tubuh yang selalu memberikannya kehangatan itu.

Eunwoo memeluknya, dan Moonbin memekik kaget saat Eunwoo tiba-tiba menggendong tubuhnya, yang reflek membuat Moonbin mengeratkan pelukannya dan melingkarkan kakinya di pinggang Eunwoo.

"Woooaa… aku tak tahu kau sekuat ini?" tanya Moonbin sambil tertawa, ia menegakkan tubuhnya, agar bisa melihat wajah Eunwoo dengan jelas.

"Kau mungkin tak tahu, tapi aku sering mengangkat tubuh Myungjun untuk membantunya bolos saat di sekolah." Jelas Eunwoo.

"Tapi aku jauh lebih berat dari Myungjun."

"Sebut saja ini 'latihan'…"

"Latihan?"

Pemuda yang lebih tua tersenyum jahil dan ia kembali menyatukan bibirnya pada Moonbin. Kali ini sedikit lebih lama dan intens. Moonbin mengakhirinya sebelum 'sesuatu yang lebih besar' terjadi. Kemudian keduanya saling berpandangan dalam diam, membiarkan keheningan berlatar suara burung pagi berkicau. Menikmati suasana tenang yang tercipta sambil menatap satu sama lain.

"Ah ya…" ucap Eunwoo kemudian "Aku belum mengatakan padamu, tadi pagi Myungjun menelpon." Moonbin memiringkan kepalanya.

"Lalu?"

"Dia berada di rumah sakit sekarang."

Moonbin sontak membulatkan matanya, kaget "Apa?!" pekiknya keras. Ia ingat baru kemarin lusa ia menemui Myungjun di kafenya "Apa yang terjadi?" tanyanya.

"Dia hamil." Jawab Eunwoo pendek.

Brug

Sontak Moonbin menjatuhkan dirinya dari gendongan Eunwoo. Ia sedikit terhuyung, kemudian bersandar pada meja. Masih menatap kekasihnya dengan pandangan tak percaya. Namun Eunwoo terlihat biasa saja. justru terhibur dengan tingkah menggemaskan Moonbin.

"Apa aku tak salah dengar?!" pekik Moonbin, dan Eunwoo langsung menggeleng.

"Kau ingat saat Myungjun dan Jinwoo berlibur ke Amerika tiga bulan lalu? Mereka serius menjalani eksperimen—ayo-lihat-apa-lelaki-juga-bisa-hamil, dan ternyata eksperimennya benar-benar berhasil. Myungjun sudah hamil tiga bulan." Jelas Eunwoo lagi.

Moonbin memijit dahinya mendengar penjelasan pemuda di hadapannya. Mulutnya sedari tadi menggerutu "Myungjun kau bocah gila, tak waras!" makinya. Namun lebih dari itu, Moonbin sebenarnya mengkhawatirkan sahabat dekatnya. ia memang pernah dengar Myungjun berbicara tentang eksperimen itu, tapi ia tak tahu Myungjun akan benar-benar melakukannya. Bagaimanapun, itu eksperimen! Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi pada Myungjun! Pikirnya panik.

Setelah beberapa saat terdiam, Moonbin langsung berjalan cepat menuju kamarnya, mengambil mantel dan mencari dompetnya. Sedangkan Eunwoo mengikuti dari belakang.

"Mau kemana?" tanya Eunwoo.

"Kita harus melihat keadaan Myungjun sekarang!" ucapnya.

"Oke, tapi kau tak perlu panik, Bin-ah. Myungjun baik-baik saja, dan ada Jinwoo bersamanya." Ucap Eunwoo "Dari pada terburu-buru, bagaimana jika kita mulai membicarakan untuk melakukan eksperimen itu juga?"

"Hah?!"

"Menurutku mempunyai keluarga kecil akan me…"

Bug!

Pandangan Eunwoo sontak menjadi gelap karena Moonbin melemparkan mantelnya tepat di wajahnya.

"Ayo cepat bersiap!"

.

.

.

End


Hi ini bisory~

Haa… akhirnya kita sampai di chapter terakhir dan sekali lagi saya bisa menghela napas lega. Menamatkan sebuah cerita itu rasanya seperti baru melahirkan(?!) *coret* well, saya belum pernah melahirkan tapi filosofinya seperti pada akhirnya perjuangan dan susah payah saya berakhir di sini dengan bahagia. saya bahagia, sama seperti Binwoo yang bahagia. semoga chapter ini membawa kehabagiaan kepada semua orang.

Oke, walaupun chapter ini termaksud sangat "cheesy" bagi saya hingga saya berpikir ulang apa harus mengganti plotnya. Tapi saya pikir setidaknya ini cukup bahagia untuk Moonbin karena dia sudah menderita nyaris dari chapter satu sampai enam (T.T) tapi jujur, bagian terakhir chapter ini masih sanggup membuat saya meringis karena geli. Semoga ini tidak terjadi pada readersnim sekalian, haha

Dan yang terakhir, mungkin saya akan mengucapkan banyak terima kasih pada readersnim yang sudah membaca cerita ini dari awal publishnya, di pertengahan, atau yang baru menemukan cerita ini dan baru selesai membaca marathon cerita ini. saya tahu dengan banyaknya kekurangan yang terjadi, jadi saya hanya akan mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas kesabaran, dukungan, dan kritik sarannya. Sampai bertemu di cerita Binwoo saya yang akan datang, dan silahkan lihat-lihat koleksi cerita saya~ (wkwkwk iya ini promosi, saya tahu)

.

PS: saya tidak tahu harus mengatakan ini atau tidak, tapi semoga akan lebih banyak orang berpikir Bin itu uke karena dia manis #plak!

PSS: jangan lupa beritahu saya kesan-kesan kalian setelah membaca akhir cerita ini~