Kau memang memberiku rasa sakit, tapi aku menerimanya sebagai kenikmatan

Kau selalu megumbar dengki, tapi aku menganggapnya sebagai perhatian

Aku tau dibalik kata pedasmu, tersirat sebuah kasih

Dibalik segala tingkah kasarmu, terisat sebuah sayang

Maka jangan salahkan aku, jika aku mengingkari janji

Bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu

Malikat penyelamatku

.


.

Love and Pain

©FlowHana93

Disclaimer: all casts are belong to their self and God

Rated: M

Cast: Yuta, Ten, etc

Warning: Boys Love, mature content, typo(s), etc

Don't Like Don't Read!

.


.

Pemuda itu hanya berdiri mematung di pelataran rumahnya. Matanya menatap sendu rumah yang ada di hadapanya. Dia ingin menulikan diri, tak ingin mendengar tangis sang ibu setiap ia kembali. Tak ingin mendengar raungan amarah sang ayah yang memenuhi seisi rumah. Dewi batinya berontak, meneriakan untuk pergi sekarang juga begitu sebuah firasat datang kepadanya mengatakan bahwa sebentar lagi dunianya akan berubah. Namun yang terjadi selanjutnya benar-benar diluar kendali, sarafnya seperti bekerja dengan sendirinya, menuntun langkahnya untuk masuk.

"BERHENTI!" lolong pemuda itu parau. Dilihatnya sang ibu yang kini tengah bersimpuh di kaki seorang lelaki paruh baya dengan penampilan yang berantakan, wajahnya sembab karena menangis terlalu lama sedangkan rambut panjangnya tengah diremas kuat oleh sang lelaki.

Lelaki paruh baya itu menoleh, memandang pemuda yang tak lain adalah anaknya sendiri tengah berdiri di ambang pintu.

"Baguslah kau pulang, aku jadi tidak perlu repot-repot mencarimu."

"Lepaskan eomma." Ujar sang anak dengan nada dingin. Tanganya terkepal begitu kuat hingga buku-buku tanganya memutih, sedangkan matanya memicing tajam menatap sang ayah yang kini tengah berjalan mendekat ke arahnya.

Tanganya menepis kasar begitu dirasa jemari kasar ayahnya menyentuh dagunya. "Aww lihat ini, manis sekali, hargamu pasti tinggi."

"Apa maumu?!" ucapnya sedikit berteriak sedangkan sang ayah hanya tersenyum miring, memandang pemuda itu dengan tatapan merendahkan.

"Kau."

Pemuda itu—Ten—menoleh, menatap sang ibu yang kini tengah menatap balik dirinya dnegan tatapan sendu. Menggelengkan kepalanya sebagai isyarat bahwa anaknya tidak boleh menuruti kemauan sang ayah. Bibirnya membuka, suaranya begitu lirih tapi Ten masih bisa membaca gerak bibir itu yang menyuruhnya untuk pergi.

Kini batinya tengah bergejolak, antara bertahan atau lari seperti pecundang. Otaknya berusaha berpikir mana jalan terbaik yang harus ia ambil tentu saja beserta segala resiko yang mungkin akan ia hadapi.

"Aku bersedia ikut bersamamu, asal kau berjanji setelah ini jangan berani-berani kau menyentuh eomma walaupun hanya seujung jari."

Sang ayah tertawa, puas karena tanpa perlu bersusah payah anaknya ini dengan sukarela datang kepadanya. "Itu syarat yang mudah, lagi pula aku juga tidak membutuhkan dia lagi." Ujarnya sinis.

Ten berjalan mendekat, merengkuh tubuh sang eomma ke dalam pelukan protektifnya. "Eomma tenang saja, aku pasti baik-baik saja." bisiknya menenangkan.

"Maafkan eomma, sayang." Ibunya mulai terisak lagi, Ten dapat merasakan bahunya basah karena air mata sang ibunda.

Jujur hatinya berdenyut nyeri, harus berpisah dengan sang ibu bukanlah suatu hal yang tak ingin ia alami. Namun Ten tidak punya pilihan lagi, ia tidak ingin lari dan meninggalan ibunya tenggelam dalam rasa sakit. Jadi biarlah Ten yang menanggungnya, seluruh rasa sakit yang pernah di terima oleh ibundanya.

Dikecupnya kening sang ibu dengan lembut, membisikan kata sayang berulang-ulang. Menjadikannya sebagi melodi pengantar kepergian.

Maka setelah itu, tanpa sadar hidupnya telah sepenuhnya berubah. Dunianya tak lagi sama. Tak ada warna selain hitam, tak ada rasa selain kepuasan, tak ada tujuan selain kenikmatan.

Malu? Tidak, karena dia sudah jauh-jauh membuang harga dirinya, atau lebih tepatnya telah terjual sejak lama. Yang ada dalam pikiran Ten sekarang hanya bagaimana caranya dia bertahan. Bertahan dengan dunia keras yang sang ayah berikan.

Karena malam ini, malam dimana ia harus berpisah dengan ibundanya adalah malam yang sama ketika sang ayah menjualnya ke sebuah club yang cukup ternama.

.

.

Rambutnya berantakan, jasnya sudah ia tanggalkan semenjak satu jam yang lalu, menyisakan kemeja putih yang melekat pas di tubuh atletisnya. Nasib kemejanyapun tidak jauh berbeda dengan rambutnya, dua kancing teratas yang terbuka, ujung kemeja yang menyembul keluar dari celananya dan juga lengan yang ia gulung sampai siku. Semuanya memang terlihat awut-awutan tapi bukan itu kesan yang para wanita bahkan lelaki uke yang memandangnya dengan tatapan lapar, dia sexy.

Kaki yang berbalut celana jeans buatan Robeto Cavalli itu melangkah menuju ke sudut sebuah club elit di pusat kota. Tujuanya hanya satu, meja bar. Malam ini biarlah pemuda itu melepas penat sejenak dari segala tetek bengek urusan perusahaan yang membuatnya pusing. Biarlah dia barang sejenak menikmati masa mudanya yang terenggut karena menjadi seorang presiden direktur di sebuah perusahaan elektronik terbesar se Korea Selatan—peninggalan sang ayah.

Bibir itu menyeruput cairan bening di gelasnya dengan perlahan, menikmati sensasi minuman beralkohol itu mengalir membakar tenggorokanya. Nikmat.

Matanya terpejam, menikmati dentum musik yang memenuhi ruangan dengan volume yang tidak kecil, menggugah jiwa muda yang ada dalam dirinya bangun kembali. Untuk sekarang saja, izinkan dia menikmati waktu berharganya ini yang memang sangat sulit ia dapat.

Ia paham betul, sedari tadi para jalang itu menatapnya ingin, tapi ia sama sekali tidak tertarik. Ia bosan. Ya, katakan ia bajingan brengsek yang telah meniduri hampir seluruh jalang yang ada club ini, baik wanita maupun laki-laki, ia pernah mencoba semuanya. Dan setiap kali selesai melakukan one night stand, ia selalu meberikan uang yang cukup besar nominalnya untuk sekedar bayaran seorang jalang. Karena sungguh, siapapun yang bermain dengan dirinya selalu berakhir mengenaskan, sangat jauh dari kata puas dan baik-baik saja.

Tubuhnya meremang, begitu seseorang kini tengah bergelayut manja pada lenganya. Meniupkan udara hangat pada perpotongan lehernya. Membisikan kalimat menggoda untuk merayunya.

"Kulihat kau sendirian, mau kutemani Tuan?"

Pemuda itu menoleh, mendapati seorang wanita dengan gaun merah yang melekat ketat pada tubuh sintalnya. Menampakan paha putihnya yang mulus, dan sebagian payudaranya yang menyembul karena belahan yang terlalu rendah.

Ia ingat, wanita itu pernah sekali menjadi mainanya, tapi ia tidak tau namanya, atau lebih tepatnya tidak ingin tau. Dan juga wanita itu pasti tidak akan mengenalinya, mengingat wajahnya pun tidak. Karena memang seperti itulah peraturan yang ia buat, tidak ada yang boleh tau nama satu sama lain, dan yang tepenting lagi adalah sang jalang yang tidak boleh melihat wajahnya. Jadi sepanjang mereka melakukanya, sepotong kain hitam akan bertengger manis menutupi mata para mainannya. Untuk masalah memesan, jika ia menemukan sesuatu yang ia anggap menarik ia akan dengan segera menghubungi orang suruhanya untuk memesan. Pemuda itu hanya tinggal menunggu di sebuah kamar hotel, menunggu para jalangnya yang akan datang menghampirinya dengan kedua mata yang sudah tertutup rapat. Siap untuk di santap.

"Tapi aku sedang ingin sendiri." Ujarnya dingin. Wanita itu tak menyerah, kali ini ia sedikit menggesekkan kedua aset berharganya pada lengan sang pemuda.

"Benarkah? Ayolah tuan, ini pasti lebih menyenangkan."

"Tidak, pergilah."

"Tapi Tuan—" ucapan wanita itu terpotong begitu mendapat teriakan kasar dari sang pemuda yang tadi coba diraihnya.

"PERGI JALANG!"

Wanita itu pergi dengan menekuk wajahnya kesal, selama ini ia tidak pernah ditolak, ia tidak pernah menawarkan dirinya tapi lelaki-lelaki itulah yang datang memintanya. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya ia ditolak, ia merasa direndahkan. Well, mengesampingkan fakta bahwa pekerjaanya ini memang rendahan, dia cukup terkenal dengan bayaranya yang sangat mahal. Jadi walaupun jalang, dia cukup disegani.

"Aku pasti akan membalasmu, lihat saja, suatu saat kau akan bertekuk lutut di hadapanku."

Sedangkan pemuda itu masih menikmati waktu sendirinya, meminum seteguk demi seteguk wine yang bartender siapkan untuknya. Semuanya berjalan tenang sebelum telinganya menangkap sebuah keributan di tengah lantai dansa.

Badanya memutar, guna memudahkan matanya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana.

"Ada apa di sana?" tanyanya pada sang bartender yang tengah sibuk mengelap gelas di tanganya.

"Oh itu, sedang ada pelelangan Tuan." Jawab sang bartender sopan.

"Lelang?" pemuda itu merenggutkan dahinya heran. Di sebuah club seperti ini, memang ada acara lelang apa?

Seakan mengerti arti tatapan sang pelanggan, bartender itu tersenyum "Beberapa menit yang lalu datang dua orang baru, Tuan. Dan pemilik club berniat untuk melelangnya malam ini." ujar sang bartender menjelaskan.

Pemuda itu mengangguk mahfum, ternyata pelelangan seperti itu, dirinya tidak kaget lagi dengan hal seperti itu. Karena dunia yang ia jalanipun tak jauh bejatnya dengan hal seperti itu. Dan ia tidak ingin membahasnya sekarang.

Dilihatnya sekumpulan orang yang tengah membentuk sebuah lingkaran cukup besar di sana. Seorang lelaki bertubuh gempal yang ia ketahui sebagai pemilik club tengah berdiri di tengah bersama seorang wanita di sisi kananya dan seorang lelaki di sisi kirinya.

Perlahan rasa penasaran mulai datang entah dari mana, menuntun langkah pemuda itu untuk mendekat, bergabung dengan kerumunan dan menyaksikannya dari jarak yang lebih dekat. Ya siapa tau di tertarik untuk mengikutinya.

"Yap! terjual delapan ratus ribu dollar untuk gadis cantik ini, selamat!" orang gempal itu menyerahkan perempuan yang tadi di sebelahnya kepada seorang lelaki tua di barisan depan. Pemuda itu bergidik, sesaat dia merasa kasihan kepada perempuan tadi. Dilihat dari penampilanya, pemuda itu yakin jika usianya masih sangat muda, mungkin baru lulus dari sekolah menengah atas dan harus melayani lelaki tua yang usianya mungkin sudah sekitar kepala lima.

"Selanjutnya, aku akan membuka lima ratus ribu dollar untuk pemuda manis yang berada di sampingku ini, dimulai dari sekarang!"

"Lima ratus lima puluh ribu!"

"tujuh ratus ribu!"

"tujuh ratus tujuh puluh ribu!"

"delapan ratus tiga puluh ribu!"

Penawaran semakin naik dan pemuda itu masih memandangi yang dilelang dengan tatapan penuh arti. Dari raut wajahhnya yang sedikit menunduk itu, sudah dapat dipastikan bahwa ia pasti terpaksa.

Hingga penawaran mencapai satu juta dollar, sang pemilik mulai menghitung mundur, dalam hitungan detik lelaki itu pasti sudah akan terjual jika saja seseorang tidak mengangkat tanganya.

Tanpa di sengaja, pandangan pemuda itu bertemu dengan lelaki yang tengah dilelang, untuk sesaat pemuda itu terpaku begitu melihat netra sang lelaki yang menatapnya seakan memohon. Maka dengan kewarasanya yang masih tersisa, pemuda itu mengangkat tanganya. Bibirnya membuka meloloskan sebuah nominal yang membuat seisi club menganga tidak percaya. Hell, dengan uang sebanyak itu siapapun pasti tidak akan berani untuk menyainginya.

"Dua juta dollar untuk pemuda yang satu itu."

Sang pemilik club langsung tersenyum sumringah, tidak percaya bahwa pemuda yang baru saja dibelinya beberapa saat lalu akan terjual sebegeitu tingginya.

"Aku akan menghitung dari satu sampai tiga, jika ada yang memiliki penawaran lebih tinggi silahkan angkat tangan."

"satu..."

"dua..."

"tiga! Dua juta dollar untuk pemuda manis ini."

Pemuda itu menyerahkan cek dengan nominal dua juta dollar tertulis di sana, tidak lupa dibubuhi tanda tangan miliknya.

Sang pemilik club tersenyum, sembari memberikan lelanganya pada sang pemuda. "semoga harimu menyenangkan, Tuan."

Pemuda itu mengangguk, dan setelahnya langsung meraih pergelangan lelaki miliknya dan membawanya menuju ferrari hitam yang terpakir manis di depan club.

Keduanya masih diam, tidak ada yang membuka suara sampai mobil mewah itu membelah jalanan Seoul yang cukup lengang.

Pemuda itu menoleh, mengamati lelakinya yang kini masih dalam posisi yang sama sedari tadi. Menundukan wajah.

"Hey, jangan menunduk terus. "

Menuruti perkataan sang Tuanya, lelaki manis itu mengangkat wajahnya ragu-ragu.

"Siapa namamu?" tanya sang pemuda yang atensinya kini tengah terbagi antara menyetir dan lelaki manis yang duduk di sampingnya.

"Ten, Tuan."

Dan setelahnya, tidak ada perbincangan lagi sampai mobil itu berhenti di pelataran rumah yang begitu mewah. Bahkan Ten mengira ini bukan rumah, ini istana!

"Ayo masuk, atau kau akan membeku jika terus berada di luar." Ten menurut, mengikuti langkah besar sang Tuan memasuki istananya.

Sang Tuan membukakan sebuah pintu yang setelah Ten lihat dalamnya adalah sebuah kamar. Kamar yang sangat luas dan elegan, dengan perpaduan warna hitam, putih dan emas. Ngomong-ngomong mengenai warna, ini hanya perasaanya saja atau memang rumah mewah ini hanya di dominasi oleh dua warna, hitam dan putih.

"Ini kamarmu, di ujung sana ada sebuah kamar mandi dan di lemari itu sudah tersedia pakaian yang bisa kau kenakan." Ucap sang Tuan dengan menunjuk sebuah ruangan di dalam kamar yang ten ketahui sebagai kamar mandi dan sekotak lemari besar di sisi kamar.

"Jika kau membutuhkan sesuatu, tekan saja tombol yang ada di sana, beberapa pelayan akan datang menemuimu."

Ten menggangguk, mengisyaratkan bahwa ia mengerti dengan segala sesuatunya. Kecuali satu hal—

"um, Tuan bolehkah aku bertanya?"

Pemuda itu menoleh, dirinya baru saja hendak pergi sebelum lelaki yang beberapa saat lalu didapatnya membuka suara.

"Hm"

Setelah mendapat persetujuan dari sang Tuan, Ten menunduk. Jujur dia ragu dengan pertanyaan yang akan di sampaikan. Jujur dia bingung dengan alasan mengapa pemuda itu bersedia mengeluarkan uang yang sangat banyak hanya untuk dirinya, walaupun Ten sendiri yakin jika orang sepertinya pasti akan berakhir dengan menjadi budak nafsu. Tapi hey, tetap saja apa pemuda itu tidak sayang dengan uang yang ia keluarkan hanya untuk mendapat orang sepertinya. Dan lagi, ada satu hal yang sedari tadi mengusiknya, tapi sungguh jika ia menanyakan ini dia pasti akan terlihat sangat murahan bukan.

Ten bimbang. Dan sang Tuan masih memandanginya dengan tatapan bertanya, masih menunggu pertanyaan yang akan diajukan olehnya.

Dengan ragu bibirnya membuka, menyuarakan sebuah tanya yang sedari tadi mengganggunya, "Kenapa kau tidak menyentuhku, Tuan?"

Oh shit. Ten sangat malu sekarang, diremasnya ujung bajunya dengan kuat. Sekarang dia terlihat sangat murahan bukan, tapi Ten benar-benart dibuat bingung. Dirinya sudah menyiapkan diri jika Tuanya meminta bersetubuh saat ini juga, memperlakukannya sebegitu kasar pada awal pertemuan mereka. Tapi apa yang ia dapati sekarang? Bukanya dia yang melayani tapi malahan dia yang dilayani.

Ten tentu saja bersyukur akan hal itu. Tapi rasa tidak enak tetap saja datang mengusik hatinya.

"Karena aku tidak ingin." Ucap pemuda itu, tubuhnya berbalik hendak pergi namun lagi-lagi ia menoleh menampilkan sebuah senyum yang begitu menggoda. Ten bersumpah jika yang tadi itu bukan hanya sebuah senyuman, sesuatu seperti menyertainya.

Seperti sebuah peringatan? Entahlah, Ten tidak yakin akan hal itu. Karena satu yang Ten yakini, dunianya lagi-lagi telah berubah. Apa lagi begitu mendengar kalimat terakhir dari sang Tuan sebelum pergi.

"Setidaknya tidak untuk malam ini."

.

.

TBC

.

.


Hai hai hai, Flow here~

Flow datang lagi, semoga kalian ga bosen sama aku yaaa~ /hehehe

Jadi ini loh yang aku bilang sesuatu yang baru wkwk, aku sama Hana berkeinginan(?) buat bikin YuTen MC, ya awalnya si emang aku yang kepengen terus mengeluarkan jurus-jurus buat mbujuk Hana biar mau ikutan juga, karena awalnya dia agak gimana gitu soalnya Destiny aja belum selesai malah udah nambah ff baru lagi, multi chapter lagi /hahaha

Jujur aku emang lagi baper sama mereka, sebenere sih bapernya udah beberapa minggu yang lalu tapi sempet nulisnya baru sekarang. XD

Jadi, adakah yang berminatkah dengan ff yg satu ini?

Flow tunggu tanggapann kalian di kotak review ya :

So, RnR please~

.

.

NEXT/DELETE?

.

.

_FLOW_