They (Never) Know: Hope(less) pt 2

.

.

.

Rated: T+ (Pastikan bahwa kalian setidaknya berumur 13 tahun untuk baca part ini)
Warn : Out Of Character, Alur yang terlalu cepat, dan terjadi error disana-sini.

- Taehyung x Jungkook -

Seluruh cast bukan milik authors, tapi cerita ini milik authors (Collaborating with BeauAnn)

.

.

.

Silahkan baca ulang chptr sebelumnya siapa tau kalian lupa, dan tolong baca pesanku T_T

.

.

.

Would you leave if I was ready to settle down?

Or

Would you play it safe and stay?

.

.

.

Jungkook menyenderkan tubuhnya pada dinding di belakangnya. Jungkook memejamkan matanya, ia menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Jungkook tertawa kecil, menertawakan kebodohannya sendiri. Betapa bodohnya ia yang tetap memaksakan diri untuk mengejar Taehyung hingga Jerman padahal Jerman bukanlah sebuah negara yang ia impikan sebagai tempatnya menimba ilmu.

Sudah hampir dua bulan ia berada disini tetapi semua masih terasa sulit baginya. Semuanya begitu sulit, bahasa, lingkungan, budaya negara ini begitu berbeda dengan negara asalnya. Ia tidak mengerti kenapa sebagai orang terpelajar, perbedaan ras masih sangat diperdebatkan. Padahal mereka mengerti betul bahwa mereka sama-sama manusia. Bukan salahnya kan kalau ia memiliki warna kulit yang berbeda dengan mereka, lagi pula stereotype mereka terhadap orang Asia tidak selalu benar dan berdasar. Hahh, beban yang ia tanggung jadi terasa semakin berat kau mengingat motivasinya berkuliah disini hanyalah Taehyung dan orang yang menjadi motivasinya justru sengaja menghindar darinya.

Jungkook kali ini tertawa kencang, tertawa seperti orang bodoh. Bodoh sekali sih ia sampai berharap yang muluk-muluk perihal hubungannya dengan Taehyung. Lagipula kenapa juga motivasinya sejelek ini. Iya, yang jelek motivasinya, bukan Taehyung. Jungkook tertawa lagi, bisa-bisanya ia masih dapat tertawa. Jungkook menggelengkan kepala sambil tertawa semakin keras, kali ini tawanya berakhir dengan sebuah isakan. Jungkook menyerah, ia membiarkan dirinya menangis. Ia lelah dan rindu orang-orang yang menyayanginya. Ia rindu bagaimana mereka selalu memanjakan dan melindunginya.

"Tidak ada yang berubah kalau kau menangis." Jungkook cepat-cepat mendongak, figur sosok berambut dark brown, dengan wajah yang sangat ia kenali berdiri dihadapannya.

"Hyung.."

"Mau menangis sampai air matamu kering juga percuma." Mendengar ucapan itu membuat Jungkook tersadar dan segera menghapus air matanya.

"A-apa yang hyung lakukan disini?"

"Hanya mencari udara segar" Taehyung mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, mengambil satu batang untuk dibakar. Taehyung menghisap batang rokoknya dengan tenang tanpa memedulikan Jungkook yang memicing marah ke arahnya.

"Sejak kapan hyung merokok?"

Taehyung meniupkan asap rokoknya dengan pelan kemudian jawab dengan acuh pertanyaan Jungkook. "Entahlah, aku merokok sejak lama."

"Tapi dulu aku tidak pernah melihat hyung melakukannya, lebih baik hyung hentikan kegiatan itu" balas Jungkook sambil menahan kesal

Taehyung membuang rokok yang belum lama dibakarnya kemudian menginjaknya dengan kasar. "Apa yang aku lakukan bukanlah urusanmu Jeon, lebih baik kau kembali ke kamarmu dan belajar lebih giat.."

"Hyung!"

"Jeon, berhentilah melakukan hal bodoh seperti menangisiku, tidak akan ada yang berubah."

"Kenapa?"

"Karena kita tidak akan kembali bersama." Taehyung mengambil langkah meninggalkan Jungkook yang mulai berkaca-kaca dengan langkah cepat, ia menaiki tangga menuju kamarnya tanpa mempedulikan Jungkook yang menatap bayangnya yang lagi-lagi menjauh.

.

.

Bruk!

Hwanhee memekik, baru saja ia ingin mengumpat karena merasa menjadi korban akan tetapi ia harus kembali menelan umpatannya setelah melihat siapa yang menabraknya.

"A-ah, sunbaenim maafkan aku, aku tidak bermaksud menabrakmu.. Sungguh maafkan aku!" Hwanhee, orang yang menabrak Taehyung membungkukkan badannya dengan cepat.

"kembali ke kamarmu, sebentar lagi batas jam malam." Taehyung menjawab acuh tanpa membantu atau sekedar meminta maaf karena telah menabrak Hwanhee.

"Tapi aku-"

"Hwanhee Kim! Aku bilang kembali ke kamarmu!"

"Kim Taehyung! Siapa kau berani meneriakiku?!" Balas Hwanhee menggunakan bahasa Korea

"Aku ketua asramamu, sialan!" Mendengar balasan Hwanhee cukup membuatnya naik darah, sialan berani sekali anak itu meneriakinya balik.

"Ketua asrama macam apa yang tidak peduli pada anggotanya?"

"Apa maksudmu?"

"Kau tau kan Jungkook terus-terusan tenggelam dalam depresi, tapi kau tidak berbuat apapun! Bahkan kau berpura-pura tidak tau!"

"Itu bukan urusanku!" Taehyung menjawab acuh, ia memilih melangkahkan kakinya untuk pergi daripada harus berdebat dengan bocah bernama Hwanhee itu.

"Bajingan sialan!" Hwanhee meninju rahang Taehyung sebelum Taehyung melewati dirinya.

"Apa maumu sebenarnya, brengsek?!" Taehyung mengangkat tinjunya, bersiap membalas Hwanhee.

"Kau pikir kenapa aku disini, terjebak di Munich? Itu karena kakakku yang sialan dan tolol! Dan itu kau!"

Bugh!

"Aku tidak memintamu datang." Taehyung melemaskan tangannya setelah meninju wajah adiknya, tinju yang sekarang ia sesali karena sekali lagi ia menyakiti orang yang ia sayang.

"Lalu siapa yang memintaku? Ketololanmu? Ketololanmu yang lagi-lagi mencoba melakukan hal bodoh yang mengundangku kemari!"

Taehyung terdiam, menatap tak mengerti.

"Kau pikir dengan ke Munich kau bisa kabur? kau pikir Papa tidak akan memata-mataimu? Ke ujung dunia sekalipun, dia tau hal apa saja yang kau lakukan! Kau pikir kenapa akhirnya aku disini? untuk mencegahmu melakukan hal bodoh lain!"

"Berhenti mengatakan omong kosong!"

"Kau yang berbicara omong kosong! kau pikir aku tidak tau? Cih, tanpa kau melepas pakaianmu pun aku tau semua letak sayatan pisau di tubuhmu itu!"

Taehyung menahan napasnya, ia berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju kamar "Kau berbicara hal bodoh. Besok aku akan menghubungi Mama agar kau bisa kembali berkuliah di Korea."

"Yah! Kim Taehyung!"

"Taehyung!"

"Hyung!" Kim Hwanhee mengacak-acak rambutnya dengan kesal, sialan kenapa ia jadi lepas kendali sih. Kalau sudah begini bukan tidak mungkin Mama akan segera menyeretnya kembali karena gagal melaksanakan misi. Huh.

Iya, Hwanhee akui ia masuk ke universitas ini dengan iming-iming mobil sport dan kebebasan, yang mana sebenarnya semua itu menguntungkannya.

"Ah, dasar bodoh!" bisik Hwanhee pada dirinya sendiri. Ia memutuskan berbalik, lebih baik menghampiri Jung-

"Kook..."

Jungkook berada disana, menatapnya dengan matanya yang memerah, basah, bahkan air matanya sudah menetes menelusuri pipinya.

"Apa itu benar?"

"Apa?"

"Kau tau apa yang aku tanyakan!"

"Kalau begitu kau tau jawabannya."

.

.

.

Percakapan antara Hwanhee dan Taehyung semalam yang tidak sengaja ia dengar itu menjadi alasan baginya untuk tidak masuk kelas hari ini. Ia sudah sengaja berdiri menunggu Taehyung di depan kelas pemuda itu sejak pagi, dan apa yang ia lakukan tidak lah sia-sia. Ia menemukan Taehyung di antara mahasiswa yang bergerak keluar kelas. Tanpa pikir panjang Jungkook bergegas menarik Taehyung dan membawanya ke rooftop gedung kampus. Bukan hal mudah membawa Taehyung kesana, apalagi dengan sebuah paksaan, hal itu membuatnya kewalahan sendiri. Beruntung badan besarnya berhasil membuat Taehyung mengikuti langkah kakinya.

Jungkook membuka pintu menuju atap dan mendorong tubuh Taehyung lebih dahulu, dengan cepat ia ikut masuk dan berdiri menghalangi pintu agar Taehyung tidak memiliki celah untuk kabur. Jungkook hanya ingin memastikan apa yang didengarnya bukanlah suatu kebenaran. Dengan nekatnya Jungkook mendorong Taehyung,

"Apa yang kau lakukan?" Taehyung berontak begitu Jungkook mulai meraih kancing teratas kemejanya. Taehyung sudah cukup sabar dengan membiarkan Jungkook memaksanya mengikuti lelaki itu kemari, dan yang Jungkook coba lakukan adalah memperkosanya?

"Diam!" Jungkook berteriak, ia membentak Taehyung dengan keras, sementara tangannya terus berusaha membuka kancing kemeja Taehyung.

"Kau ingin memper—"

"DIAM! DIAM! DIAM! AKU MOHON DIAM!"

Taehyung tersentak, Jungkook memang meneriakinya dan itu membuatnya sadar bahwa suara lelaki yang lebih muda darinya bergetar dengan hebat.

"Biarkan aku memastikan... biarkan aku..." Suara Jungkook bergetar, ia berusaha menahan tangisnya, ia tidak boleh menangis sebelum berhasil melihat luka itu dengan mata kepalanya sendiri.

"Kau ingin melihatnya? Kau ingin melihat betapa gilanya aku karenamu? Maka aku akan memperlihatkannya padamu." Suara Taehyung terdengar dingin, ia menjadi paham setelah mendengar racauan Jungkook. Ia segera membawa tangan Jungkook menuju kancing kemejanya dan dengan suka rela membantu Jungkook melepaskan kancing-kancing itu. Namun yang Jungkook temukan setelahnya membuatnya hancur. Goresan bekas benda tajam memenuhi tubuh lelaki pujaannya. Sungguh, itu adalah hal paling menyeramkan yang pernah Jungkook lihat.

Jungkook menangis, ia memukuli dada Taehyung sebagai bentuk pelampiasan rasa kecewanya. Goresan tidak beraturan yang timbul pada dada Taehyung memukul Jungkook dengan telak, tersayat dengan tidak rapi, bahkan ada yang melintang dari pinggang hingga ke dadanya.

"Kenapa? Kenapa hyung melakukan ini, kenapa?!" Jungkook berhenti memukuli dada Taehyung, tangannya perlahan jatuh, ia tidak tau kenapa laki-laki itu harus menyakiti dirinya sendiri hanya karenanya.

"Karena aku sakit, dan aku tidak bisa melampiaskannya padamu.." ujar Taehyung tenang, ia tidak mengelak setiap goresan yang ada tercipta berkat Jungkook sebagai alasannya.

"Aku menghancurkanmu.. aku.. aku.." Jungkook tak sanggup untuk meneruskan kata-katanya.

Meski ragu Taehyung membawa Jungkook ke dalam pelukannya. Ia membiarkan Jungkook menerima rindu yang ia salurkan melalui pelukan miliknya.

"Aku yang menghancurkan diriku sendiri, bukan kau yang membuatku begini, tapi aku yang menjadikanmu alasan untuk menyakiti diriku."

"Hyung, aku mohon biarkan aku mengobati seluruh lukamu.."

Taehyung menggeleng, "Jungkook, membiarkanmu mengobatiku sama saja dengan memberimu harapan, dan aku sudah katakan aku tidak bisa membagi cintaku menjadi dua. Sejak aku mengiyakan ucapan ibuku, sudah secara tidak langsung aku berjanji pada beliau untuk menyerahkan hatiku pada tunanganku."

Taehyung tersenyum miris, ia melepas pelukannya pada Jungkook. Ia bisa melihat Jungkook yang meremat kencang ujung pakaiannya sendiri.

"Jungkook, lihat aku. Lihat aku yang tidak bisa memperjuangkanmu lagi, lihat aku si pengecut ini.."

Jungkook mengangkat kepalanya, menatap lurus wajah Taehyung yang tak kalah kacau darinya. "Bukan! Hyung bukan pengecut! Aku yang pengecut karena dulu tidak bisa memilih antara hyung atau Jieun nuna."

Taehyung mengelus pelan pipi Jungkook yang basah dengan air mata, ia tersenyum kecil.

"Karena memang kau tidak seharusnya memilih Jungkook, salahku yang masuk ke hubungan kalian. Jadi bukan salahmu yang tidak bisa memilih, karena memang harusnya kau tetap bersama Jieun.."

"Hyung..."

"Tidak Jungkook, jangan biarkan dirimu menjadi seperti aku. Lupakan aku ya, adikku tidak buruk kok.." Taehyung tersenyum, berusaha memberi cengiran khasnya kepada Jungkook.

"Apa kau sedang berusaha menjodohkanku dengan Hwanhee?"

"Iya" jawab Taehyung acuh.

"Tapi aku tidak bisa bersamanya"

"Aku juga tidak bisa bersamamu, Jungkook"

"Apa tidak ada lagi kesempatan untukku?"

Taehyung terdiam, ia menatap lurus ke dalam mata berhiaskan retina berwarna coklat milik Jungkook.

"Tidak."

Satu kata yang membuat Jungkook semakin hancur, Jungkook perlahan mundur, ia langsung berbalik dan berlari meninggalkan Taehyung sendiri di atap. Jungkook tau kalau ia akan ditolak lagi, tapi kenapa penolakan kali ini terasa lebih menyakitkan. Jungkook benar-benar lelah dengan penolakkan itu, ia lelah dengan Taehyung.

.

.

.

Jungkook mematut dirinya di depan cermin, merapikan sedikit jas yang dikenakannya. Hari ini ia akan ikut kemanapun orangtuanya membawanya, Jungkook tidak bersemangat membantah karena ia juga sudah mengatakan iya sebagai balasan keinginan orangtuanya. Jungkook tersenyum kecil, ia bisa melihat kehampaan menyelimuti bola matanya, memang tidak ada lagi binar yang dulu hadir disana, tapi siapa yang peduli, ia masih hidup hingga saat ini.

Butuh waktu lama baginya untuk memperbaiki dirinya sendiri. Sebulan lalu ia tenggelam dalam tugas dan segala hal menyusahkan mengenai perkuliahan, ia memacu dirinya lebih keras, berusaha tidak mengacuhkan keberadaan Taehyung meski hatinya menjerit mengatakan kerinduan. Jungkook paham memang sudah saatnya ia menyerah. Jadi setelah semua kegiatan perkuliahan selesai, Jungkook memutuskan kembali ke Korea. Mungkin di tanah kelahirannya ia dapat berpikir lebih jernih dan memutuskan dengan lebih bijak mengenai langkah selanjutnya yang akan ia ambil.

Namun ketika sudah sampai Korea ia tidak begitu saja melupakan Taehyung, meski ia memutuskan menyerah tapi hatinya bersikeras mengatakan tidak. Jungkook tidak cukup bodoh untuk memaksakan diri lagi, dan lagi entah ini suatu keuntungan atau kesialan, dua minggu lalu orang tuanya memintanya melakukan sebuah pertunangan yang langsung ia setujui tanpa berpikir lagi.

Katakan Jungkook jahat karena berharap kalau ia dapat menjadikan tunangannya sebagai pelarian, tapi Jungkook sudah tidak peduli lagi akan sakit hati yang akan di dapat orang lain. Ia sendiri sudah cukup sakit hati, dan terlalu sakit untuk memikirkan orang lain.

"Kook-ah, cepat turun. Mobilnya sudah siap, kita akan berangkat sebentar lagi."

Lamunan Jungkook buyar begitu sosok ibunya muncul untuk memintanya segera turun.

"Ya, Umma.."

Jungkook menghela napas, ia benar-benar harus berhenti memikirkan Taehyung. Seharusnya ia cukup bijak untuk mengubur harapannya untuk menjalin kasih dengan pria itu. Seharusnya saat ini Jungkook fokus pada kehidupannya di Korea saja. Menerima takdir yang Tuhan berikan dengan pasrah, 'mungkin begini lebih baik' pikirnya dalam hati.

"Kenapa kita menuju luar Seoul, Umma?" Kedua orangtuanya hanya tersenyum, Jungkook cemberut tau betul mereka sengaja tak menjawab pertanyaannya.

"Kejutan, Sayang.. Kejutan tidak akan seru kalau kau mengetahuinya lebih dulu.."

.

.

.

Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai di rumah yang memiliki pekarangan cukup luas ini. Jungkook tidak tau ini dimana karena yang ia lakukan selama perjalanan adalah melamun menikmati cuaca musim semi yang mulai datang menggantikan musim dingin. Selama itu pula ia mencoba berpikiran positif, bukan karena ia tidak ingin mood nya hancur, tapi lebih karena ia lelah menangisi hal-hal negatif yang sudah terjadi belakangan ini.

Ayahnya menyadarkannya untuk turun dari mobil dan saat ia turun dari mobil, wajah pertama yang menyambutnya adalah wajah yang mengingatkannya pada Taehyung.

"HWANHEE?"

Bagai dejavu, Jungkook membulatkan matanya. Lagi-lagi ia melihat seringai yang sama seperti saat laki-laki itu pertama kali memasuki kamar asrama mereka.

"Kau? Ba-bagaimana bisa? Ja-jadi—

"Oh, jadi kau calonnya.. Hai Jungkook-ah," sapa Hwanhee santai dengan cengiran lebar yang membuat wajahnya terlihat polos.

"AKU TIDAK MAU!"

"Jungkookie! Jangan berteriak! Sopanlah sedikit di rumah calon mertuamu."

Jungkook menoleh ke arah ibunya yang langung berseru tidak senang dengan tingkahnya.

"Umma! Pokoknya aku tidak mau!"

"Berisik! Jaga kelakuanmu Kookie," tanpa mengindahkan Jungkook, nyonya Jeon menyodorkan paper bag pada Hwanhee yang menerimanya dengan penuh suka cita.

"Ah Hwanie sayang, ini bingkisan untukmu."

"Terimakasih bibi, bagaimana kalau bibi masuk dulu? Ibu pasti senang melihat bibi dan calon menantunya yang manis ini.." Hwanhee berkedip genit, ia bahkan dengan berani menggoda Jungkook dengan mencolek dagu lelaki manis itu.

"KIM HWANHEEEEEE!" Teriak Jungkook kesal, ia mengejar Hwanhee yang berlari ke dalam rumah.

Jungkook terus mengejar Hwanhee hingga tak menyadari sepasang mata yang sedari tadi menatapnya dari lantai dua rumah itu. Jungkook tak peduli pada apapun saat ini, karna fokusnya hanya satu mengejar Hwanhee yang terus berlari sambil masih menggodanya. Hal itu membuat Jungkook kesal bukan main.

"Jeon Jungkook!" Bentakan sang umma lah yang dapat menghentikan adegan anjing dan kucing yang Jungkook lakukan bersama Hwanhee. Baru setelah berhenti, Jungkook sadar bahwa ia sudah terlalu jauh masuk ke dalam rumah orang lain tanpa permisi. Ia berbalik menuju tempat dimana para orang tua berada sambil terus merutuki Kim Hwanhee habis-habisan di dalam hatinya.

"Maafkan saya Tuan dan Nyonya Kim." Ucap Jungkook saat Ia sampai dihadapan para orang tua sembari menundukkan kepalanya.

"Tak apa sayang. Anggap lah seperti rumah sendiri ya." Nyonya Kim sungguh baik hati. Jungkook mengangguk malu, calon mertuanya ini sungguh baik karena memaklumi tingkah kekanak-kanakannya.

Jungkook mengikuti ayah dan ibunya menuju ruang makan. Bibi Kim menyarankan agar membicarakan pertunangannya sesudah acara makan siang. Harus Jungkook akui masakan bibi Kim terasa enak, sayangnya ia kesulitan untuk menelannya. Bagaimana ia bisa makan dengan tenang kalau yang duduk di sampingnya adalah orang yang mati-matian ia coba untuk lupakan.

"Jungkook-ah, apa masakan bibi tidak enak?"

"Ya? Ah tidak, masakan bibi sangat enak kok.."

"Mama tenang saja, masakan Mama yang terbaik. Mungkin Jungkook sedang sariawan makanya sulit mengunyah. Iya kan, Jungkookie?"

Jungkook melotot, tau benar Hwanhee sedang meledeknya. Hwanhee sialan, Jungkook sudah melemparkan tatapan permusuhan nan mematikan namun anak itu justru memberi tatapan menggoda. Andai tidak ada orangtua disana, sudah dapat dipastikan Jungkook akan mengumpat di depan wajah Hwanhee.

.

.

.

Jungkook mendesah lelah, beberapa saat lalu mereka baru saja selesai makan siang dan sudah akan memulai pembicaraan? Ia tidak tau apakah ia dapat menahan dirinya atau tidak kali ini. Saat makan siang Jungkook akhirnya berhasil bersikap senormal mungkin setelah berusaha mengabaikan keberadaan Kim bersaudara dengan berfokus pada piringnya. Kalau sekarang? Please, tolong Jungkook.

Jungkook tidak peduli apa yang sedang orangtua bahas, tanggal pertunangan, letak pesta, siapa orang yang akan diundang, sumpah Jungkook tidak ingin tau. Ia tarik kembali kata-katanya yang mengiyakan soal pertunangan kalau ia harus bertunangan dengan sosok manusia bernama Hwanhee. Serius, Hwanhee tampan, ceria, gampang bergaul, tunggu- bukan maksud Jungkook untuk memuji si sialan itu. Jungkook menyesal mengatakan iya kalau akhirnya harus bersama Hwanhee namun ia harus bagaimana agar pertunangan ini batal, ia tak dapat berbuat apapun karena keputusannya bodohnya untuk mengiyakan itu ia katakan secara sadar.

"Kita sudah membicarakan ini sebelumnya kalau Jungkook akan bertunangan dengan anakku, Kim—"

"HWANHEEEE—

—EAW MAMA! MAMA! SAKIT! IYA MAAF, MAAF, AKU MINTA MAAF.." Hwanhee mengelus kupingnya yang memerah. Niatnya bercanda untuk mengageti Jungkook, tapi siapa sangka malah dapat jeweran manis dari sang bunda.

'AH! KIM SIALAN HWANHEE! ASDFGHJKLZ!%&* PIP... PIP... PIP... PIP...' Jungkook sudah mengumpati Hwanhee dalam hati. Sialan, Hwanhee sialan. Untung bukan dengan Hwan- tunggu, kalau bukan dengan Hwanhee berarti..

"Kim Taehyung. Anak sulungku, Kim Taehyung."

.

.

.

E

N

D

.

.

.

Jungkook membuka matanya dengan perlahan, visualisasi yang tertangkap indera penglihatannya adalah ruangan dengan warna netral. Jungkook mengerutkan dahinya, kenapa ia disini?

"Kau pingsan nyaris dua jam.." Jungkook dengan cepat menoleh, itu Hwanhee. Tunggu, biarkan ia berpikir, kenapa ia pingsan?

"Kau tidak ingat ketika aku berlari ke arahmu saat kau pingsan?" tanya Hwanhee.

"Hah?"

"Kau tidak ingat apapun?" tanyanya lagi.

"Aku.. Aku tidak ingat.."

"Tentu saja kau tidak ingat, karena itu tidak pernah terjadi."

O MY FUCKIN- KIM TAEHYUNG. TENTU SAJA DIA PINGSAN KARENA KIM TAEHYUNG. JADI IA BERTUNANGAN DENGAN KIM TAEHYUNG?

"Ini bukan mimpi?"

"Kau mau ku pukul agar kau yakin kalau kau tidak bermimpi?" tanya Hwanhee

"O SHIT DIAMLAH KIM HWANHEE, AKU SEDANG MEYAKINKAN DIRIKU SENDIRI KARENA AKU BERTUNANGAN DENGAN—

—Kim Taehyung..." cicitnya pelan.

"Ya kau bertunangan denganku, apa kau keberatan Jeon?"

Jungkook menggeleng, "tapi bukankah hyu-hyung sudah memiliki tunangan?"

"Ya, aku memilikinya dan ternyata itu dirimu."

"Jadi hyung membohongiku?"

"Tidak sepenuhnya berbohong. Aku juga baru tau kalau kau tunanganku, benar-benar tunanganku.."

Jungkook mengikuti arah mata Taehyung yang melirik cincin yang terpasang di tangan kiri miliknya, membuat Jungkook sadar bahwa cincin yang ia kenakan sama dengan milik Taehyung. Pantas saat ibunya menyodorkan cincin ini ia merasa familiar, tentu saja karena ini cincin yang sama dengan milik Taehyung.

"Lalu?" tanyanya mengambang..

"Apa?"

"Sekarang kita ini apa hyung?"

"alien"

"Hyung!"

Taehyung tertawa, melihat Jungkook yang cemberut karena jawaban asal-asalan yang ia lontarkan membuatnya merasa senang.

"Status kita bertunangan."

"lalu kau?"

"Ya sama, bertunangan."

"Maksudku, perasaanmu..."

"Aku sudah bilang kalau aku berjanji pada ibuku untuk memberikan hatiku pada tunanganku. Jadi.. hatiku padamu, Kookie.."

"Hyung serius?"

"Ya, aku serius.."

"Tidak akan menyesal?"

"Untuk apa aku menyesal kalau kali ini aku dengan bebas dapat memperkenalkanmu pada dunia." Taehyung tersenyum, ia mengulurkan tangannya ke hadapan Jungkook yang terlihat bingung.

"Katakan padaku Jeon Jungkook, apa kau bersedia untuk menerima uluran tanganku di lantai dansa, dan membiarkan semua orang tau bahwa kau milikku? Apa kau bersedia membiarkanku meneriakkan kata-kata cinta untukmu ketika kita berada di rooftop? Apakah kau, Jeon Jungkook, bersedia menggenggam tanganku hingga akhir nanti?"

Jungkook berkaca-kaca, "Kenapa.. kenapa hyung seakan sedang memintaku untuk menikahi hyung? Jahat.. aku tidak.. aku tidak.."

Taehyung tersentak, ia segera memeluk tubuh Jungkook yang bergetar menahan tangis. "Maafkan aku, maafkan aku yang memaksamu, Kook. Kau tentu boleh menolaknya kalau kau keberatan, aku bisa meminta ibuku untuk membatalkan—

"Tidak! Tolong jangan lepaskan aku lagi hyung!" Jungkook memeluk punggung Taehyung dengan erat, ia menggeleng cepat, menolak mendengarkan perkataan Taehyung. Tidak salah kan kalau Jungkook menahan Taehyung? Tolong katakan tidak karena Jungkook sudah cukup lelah untuk mencoba merelakan Taehyung.

"Hyung.. biarkan aku berada dalam rengkuhanmu ketika kita di lantai dansa. Kenalkan aku pada temanmu, sahabatmu, saudaramu, kenalkan aku pada mereka semua sebagai kekasihmu. Aku tidak akan membiarkan hyung meneriakan kata cinta untukku saat hyung berada di rooftop

(Jungkook meraih tangan Taehyung dan menggenggamnya dengan lembut)

—tidak kecuali hyung mengajakku juga, dan ya, aku akan menggenggam tangan hyung terus. Jadi, bisakah hyung genggam tanganku juga?"

"Ya, dan aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi Kook..."

.

.

.

"I don't wanna hide us away" – Taehyung

"So, tell the world about the love we making" – Jungkook

.

.

.

END

Yattaaaaaa~~ akhirnya selesai ya, hutangku lunas kan ya. Gila, lebih dari setengah tahun aku nganggurin ini, maaf banget, bukan maksudku untuk menelantarkan hanya saja ini benar-benar sulit untuk aku selesaikan. Aku sudah mendengar lagu yang menginspirasi terciptanya ff ini, Secret love song by Little Mix. Tetapi aku tetap tidak tau bagaimana harus menumpahkan keinginanku ke dalam kalimat.

Terimakasih untuk BeauAnn, dia cukup banyak membantuku untuk menyelesaikan ini. Bisa dibilang ini collab resmi kami berdua setelah sebelumnya melakukan kolaborasi untuk beberada ide ff di masa lalu (?)

Silahkan cek profile BeauAnn karena dia juga memiliki ff TaeKook, mungkin kalian berminat membacanya dan meninggalkan review disana (siapa tau dia termotivasi untuk update cepat hahahha)

Aku tidak tau bagaimana ekspektasi kalian terhadap ending nya, tapi ku sudah berusaha untuk membuatnya terlihat natural, meski ku akui banyak yang aku paksakan disini. HAHA. HA. HA.

Sejujurnya aku kesulitan menulis TaeKook dengan feel yang seperti ini, tapi ku harap kalian tidak terlalu kecewa. Bisa kalian katakan padaku pendapat kalian tentang ff ini? Aku nyaris menyerah hahahaha.

.

.

.

Aku serius.

I really thank you guys, SparkyuELF137 - chocolate 13215 - hlyeyenpls - divkookie - nabits0613 - emma - Hastin99 - kyubby981 - LittleDeviL94 - Taekooks'cream - kimrin - Guest - Neko - Hozi Kwon - alicieus - kim s - TaeLine - clausy - Wulancho95 - nuruladi07 - Taehyunghyung - Taepucuk - Vayasyun - alienkuki

SEE YOU WHEN I SEE YOU. LOVE YOU GUYS :)