Gadis itu meliukkan badan, pelan dan mantap. Tanpa keraguan, tanpa gerakan setajam pisau, namun lebih lembut dari sutra manapun. Seakan merasakan kelembutan satin, atau beledu. Seanggun angsa putih saat mengepakkan sayapnya.

Aku hanya bisa menatap, dan menatap. Memang aliran tariannya sangat berbeda dengan aliranku, namun aku memberi lebih banyak kekaguman untuknya yang bisa mengeksekusi gerakan seanggun itu.

Kakinya membuat lompatan kecil. Ayunan lembut tangannya seumpama dirijen sebuah orkestra imajiner; dalam hati aku tidak berhenti membatin betapa indahnya jemari – jemari yang meliuk cantik itu.

Ia menari dengan temannya. Namun fokusku hanya kuberikan padanya. Seolah ia telah menarikku, kuat, dalam, dengan tali merah yang keberadaannya tidak dapat kulihat, namun jelas mengikatku dengan kuat. Ya, aku yakin ia menyembunyikan simpul ujung tali merah itu di suatu tempat di tangannya. Ya, dialah pengendalinya.

Dia jelas meninggalkanku tidak berdaya, lemah, dan tergila – gila.

Namun aku tak bisa bilang apa – apa.

.

.

.

Homescreen

A Seventeen fanfiction by Blanc Étoile, All Rights Reserved.

Warning for genderswitch, high school-life!au, and maybe some non-baku languages.

.

.

Mereka bilang, Kwon Soonyoung itu seperti bintang. Menawan, tapi susah digapai.

Jihoon sendiri merasakannya. Berada satu kelas dengan sang moodmaker andal Soonyoung, tidak membuatnya semerta – merta bisa dekat dengannya. Jihoon, yang notabene-nya sudah memperhatikan Soonyoung sejak Latihan Dasar Kepemimpinan saat kelas 1 sekolah menengah atas, harus puas hanya menjadi pemerhati dari seberang kelas karena keterbatasannya bersosialisasi dengan orang se-ekstrovert Soonyoung. Bukan berarti Jihoon ini anti sosial, ya. Gadis satu ini hanya agak galak (uh.. oke, kadang terlalu galak) pada tiap orang yang melintasi zona nyamannya, baik sengaja maupun tidak.

Meskipun sering duet maut dengan Soonyoung dalam masalah tatar – menatar anak baru (Jihoon adalah kakak wakil ketua MPK yang bisa jutek abis saat nge-mos anak baru, sedangkan tugas utama Soonyoung sebagai ketua sekbid 5 OSIS memang adalah untuk mengurusi anak – anak kelas 1 yang masih bau kencur. Kadang merangkap seksi dokumentasi, sih), tetap saja membuat Jihoon jauh dari Soonyoung. Percakapan mereka diluar keorganisasian mungkin bisa dihitung dengan jari, yah, tidak dihitung dengan sapaan kepada satu sama lain ketika bertemu di kantin, lorong atau sebagainya, ya.

Memikirkan itu, Jihoon menghela napas. Ya, dia hanya bisa memandang Soonyoung dari jauh. Tidak enak, memang, menahan perasaan yang bahkan tidak bisa Jihoon identifikasi jenisnya. Tapi, yasudahlah. Bisa kenalan sama Soonyoung saja, sudah senang kok.

"Ji, kantin yuk," seorang gadis mengetuk meja Jihoon, dan Jihoon lantas mendongak dari kegiatannya nge-scroll Instragram dan melepas sebelah earphone-nya. "Kenapa, Won?"

"Kantiiin, Jihoonie. Makanya jangan ditutup terus telingamu itu," si gadis merengut dan mencubit pipi Jihoon. Jihoon lantas bereaksi dengan merengek. "Jangan cubit- ih, Wonwoo, sakiit!"

Pelaku pencubit pipi Jihoon, Jeon Wonwoo, tertawa sambil menyorongkan lagi kacamatanya yang melorot ke pangkal hidungnya. Sembari bangun dari duduknya, Jihoon mempertanyakan mengapa setiap hal yang dilakukan teman kecilnya ini bisa terlihat anggun, bahkan untuk hal simpel seperti berjalan sekalipun.

Keduanya berjalan menuju kantin, dengan Wonwoo yang dihadiahi beberapa tatapan mata yang menuding. Jihoon tidak heran mengapa sahabatnya dihadiahi tatapan semacam itu; yang ia heran adalah mengapa orang – orang sebegitu tidak kerjaannya untuk berspekulasi yang tidak – tidak, hanya berdasarkan observasi mata mereka yang pastinya, tidak 100% lengkap.

Jihoon melirik Wonwoo, sahabatnya masih memasang wajah datarnya seperti biasa. Namun, untuk seseorang yang sudah mengenal Jeon Wonwoo setelah 13 tahun berlalu, tentu saja ia mendapati perubahan ekspresi, meskipun hanya pergeseran satu senti raut wajah. Jihoon tersenyum maklum, lalu merangkul gadis yang lebih tinggi (sedikit) darinya itu. "Nanti aku belikan makaroni mau, gak? Ehehe."

Menatap Jihoon dengan aneh, Wonwoo memasang raut wajah tidak percaya dan berkata, "Benar deh, kamu kerasukan apa? Jangan – jangan arwah penasaran? Alien? Keluar dari badan Jihoon, sial!"

Jihoon tertawa, lepas. Sembari menarik tangan Wonwoo ke arah kantin, ia tersenyum lebar. Setidaknya ia bisa mengalihkan perhatian Wonwoo.

Apa mungkin mengalihkan pikirannya dari Soonyoung juga?

.

Jihoon sudah bilang belum sih, kalau ia benar – benar jatuh untuk Kwon Soonyoung? Sudah? Apa belum?

Pelajaran seni tahun ajaran ini mengambil tema seni tari. Bukan bidang yang paling Jihoon sukai dari seni, memang. Menari membutuhkan banyak tenaga dan koordinasi kerja bagian – bagian tubuh, di mana kelemahan Jihoon berada- gadis kecil kita ini lemah untuk kegiatan fisik. Karena itu ia lebih suka seni musik, dan mungkin sedikit menggambar.

Tapi yang jelas, inilah bidang seni kesukaan Soonyoung. Saat mengecek daftar nama guru yang akan mengajar di kelas mereka pada awal tahun, Soonyoung mengayunkan tinju ke udara dan menyerukan yes kecil di antara napasnya. Pasalnya, guru seni mereka adalah instruktur tari milik klub modern dance, Instruktur Kim. Jihoon ingat bagaimana lucunya Soonyoung saat itu.

Tugas akhir semester mereka adalah menampilkan penampilan tari bergenre apa saja, bebas dalam pelaksanaan juga; individual maupun berkelompok diperbolehkan.

Jihoon, yang jelas tidak banyak tahu tari dengan baik selain balet yang ia pelajari sampai kelas 4 sekolah dasar (setelahnya.. sepertinya dia sudah mulai ogah dengan tarian feminim begitu. Lebih baik diganti jadi les biola, katanya dulu pada mamanya), jelas menampilkan apa yang ia ingat dari balet. Sebenarnya Jihoon tidak suka ini, sayangnya gadis ini tak tahu tarian apapun selain balet.. Jihoon lebih ogah kalau harus menari tarian girlgroup.

Untungnya, Jiyeon dan Yoobin yang dahulu satu tempat les balet dengan Jihoon, bersedia satu kelompok dengannya dan menari balet bersama. Mengawali sesuatu yang sudah tidak dilakukan sejak lama memang berat, Jihoon akui itu. Ia bahkan sempat kesusahan berdiri di atas flatshoes khusus balet. Namun usaha tak pernah mengkhianati hasil, penampilan 3 menit mereka dengan instrumental Stella Del Mattino oleh Ludovico Einaudi sebagai pengiring mendapat sorakan heboh dari cowok – cowok sekelas dan tepuk tangan menghargai dari kaum hawa. Instruktur Kim dengan murah hati memberi nilai A dan Jihoon bisa bernapas lega. Banyak yang tidak menyangka gadis macam Jihoon bisa menari balet, dan Jihoon hanya menanggapi dengan ringisan.

Sambil duduk di pinggir kelas audiovisual dan melepas sepatu baletnya, Jihoon memperhatikan kelompok Soonyoung dipanggil dan memulai persiapan. Jihoon melepas cepol rambutnya dan membiarkan rambut hitamnya jatuh ke bahunya dan melambai dibelai angin dari kipas yang ia pinjam dari Sora yang kebetulan duduk paling dekat dengannya. Musik mengalun, aliran musik upbeat melingkupi atmosfer dan kelompok Soonyoung bergerak kompak. Mayoritas kelompok Soonyoung adalah laki – laki, namun terlihat satu gadis yang biarpun perempuan, tetap bisa mengimbangi gerakan powerful rekan se-timnya. Itu membuat Jihoon sedikit banyak menaruh kagum padanya. Namun Jihoon tidak heran, gadis itu adalah Minghao, gadis pindahan Liaoning, China yang sudah mengikuti sekolah dance dengan spesifikasi hip-hop dan break dance selama 9 tahun. Kadang Jihoon iri pada gadis kalem itu.

Fokusnya kembali pada Soonyoung. Ia tetap bergerak diiringi lagu dengan beat yang berubah – ubah, fleksibilitas dan tiap gerakan Soonyoung membuat Jihoon merinding; raut wajah seriusnya membuat Jihoon meriang. Soonyoung dalam mode liar begini sangat ilegal.

Jihoon bahkan tidak sadar saat kelompok Soonyoung memberikan satu gerakan solid akhir untuk menyelesaikan penampilan mereka. Instruktur Kim tersenyum senang, mayoritas tepuk tangan kaum hawa membahana, Jihoon merona di pojok ruangan.

Setelah ambil nilai tari itu, Jihoon yang makin merona karena tidak sengaja bertemu pandang dengan Soonyoung dari seberang ruangan, segera memburu Wonwoo ke kelas sebelah dan bercerita panjang kali lebar kali tinggi tentang betapa kerennya Soonyoung. Sesekali, Wonwoo mendongak dari novelnya untuk merespon dan tertawa kecil.

Wonwoo tidak heran, sih. Lee Jihoon ini, biar jutek, kalau sudah jatuh untuk orang lain, jatuhnya pasti keras hingga sulit untuk bangkit lagi.

.

"Jihoon!"

Lee Jihoon baru saja akan menyampirkan tali tasnya ke bahunya ketika sang ketua kelas, Jisoo, memanggilnya. "Ini Jumat. Kamu mau kemana?"

Jihoon mengernyitkan dahi, seakan – akan Jisoo sedang menanyakan pertanyaan yang tidak berarti. "Tentu saja pulang, kemana lagi?" ia menjawab tanpa berpikir, seakan pertanyaan Jisoo adalah pertanyaan retoris.

Jisoo menghela napas, dan mengulangi pernyataannya, "Ini Jumat, Jihoon," seakan pernyataan itu sudah sangat jelas. Jihoon menggaruk pelipisnya dan memasang wajah berpikir. Ya terus kenapa kalau Jumat?

Jisoo sadar kalau Jihoon tidak bakal peka di kode – kode begini. Ia menarik Jihoon ke depan kelas, tepatnya ke dinding dimana jadwal – jadwal kelas ditempel. Ia menunjuk jadwal berlabel, 'PIKET' dan nama Lee Jihoon terpampang di urutan nomor 3, ditempatkan di kolom 'JUMAT'. Jisoo memperhatikan raut wajah Jihoon yang perlahan berubah, lalu mengeluarkan pekikan tertahan. Dasar cewek gak peka.

"Haaaah? Aku piket?!"

Jisoo menghela napas, berdecak seraya meraih sapu dari balik lemari dan memberikannya pada Jihoon. "Kamu OSIS terus, sih, hari Jumat. Jadi tidak pernah ingat kan, harusnya piket hari ini?" Jihoon menerima uluran sapu dari Jisoo yang sekarang berpangku tangan. "Untung OSIS gak ada kumpul apapun hari ini, jadi kamu bisa jalankan kewajiban kamu, Ji."

Jihoon merengut, lalu melirik ke sekeliling kelas. Sebentar, kok sudah kosong?

"Yang lain kemana? Kan yang piket bukan cuma aku?" Jihoon protes dengan nada ketus, tidak terima piket Jumat ini harus dikerjakan seorang diri. Jisoo tersenyum miring, menatap Jihoon spekulatif. "Kamu perhatikan gak, anak – anak yang namanya ada di daftar di depanmu itu tadi terbirit – birit lari keluar kelas saat bel pulang berbunyi? Yah, setidaknya mereka masih bisa berpikir untuk kabur," Jisoo menepuk pundak Jihoon pelan, "Tapi.. sekali – kali piket gak apa – apa kan, Jihoonie?" Ia memberi senyum menyemangati untuk Jihoon, mengambil tasnya dan menyampirkannya di sebelah pundak. "Aku pulang duluan. Kunci kelas setelah kamu selesai dan berikan kuncinya ke ruangan Ahn-ahjussi di lantai satu, oke? Semangat, Jihoonie!"

Dan Jihoon ditinggal sendirian di kelas, bersama sapu tua milik sekolah.

Gadis itu menghela napas, mengambil sebelah earphone yang masih tersambung ke ponselnya, dan memutar lagu. Setidaknya itulah yang bisa ia lakukan agar tidak terlalu bosan sendirian.

Sambil menyapu dan mengeluarkan sampah – sampah dari kolong meja, Jihoon merutuki deretan temannya yang pulang, meninggalkan tanggung jawab mereka untuk dibebankan pada Jihoon. Jihoon mengerti sih, karena, siapa sih yang tega melawan Hong Jisoo, sebuah duri mawar dibalik turban sehalus sutra?

Tapi Jihoon juga sampai pada satu pemikiran. Kalau tiap anak yang piket itu kabur tiap harinya, bukankah Jisoo yang selalu pulang terakhir yang akan membersihkan kelas sendiri? Karena Ahn-ahjussi hanya akan membersihkan lorong dan kamar mandi.

Jihoon meringis memikirkannya. Kasihan juga Jisoo. Wajah dan tutur katanya yang kalem (well... kalau sudah tegas, memang agak nyelekit, sih) mungkin yang menjadi faktor banyak anak kelas yang diam – diam tidak mau mengikutinya. Membayangkan betapa beratnya untuk membereskan kelas setiap hari sendirian, membuat Jihoon bertekad akan menahan siapapun yang harusnya piket hari itu, mulai minggu depan.

Jihoon menyapu sambil bersenandung. Sampai pada meja Soonyoung, ia berhenti sebentar. Ia tersenyum kecil, mengingat berbagai kegiatan kecil Soonyoung yang sering ia perhatikan dari seberang kelas. Bermain ponsel di kolong meja, menulis entah apa di halaman belakang bukunya, mengobrol, bahkan sampai belajar membuat origami. Masih tersenyum, Jihoon merunduk untuk membereskan laci Soonyoung. Isinya membuat Jihoon mengernyit.

Tidak, tidak ada sampah di lacinya. Hanya ada sebuah benda berbentuk persegi panjang seukuran genggaman tangan, lebih sedikit, dengan sebuah casing belakang motif burung hantu yang monokrom. Jihoon meraihnya, dan menimangnya di genggamannya.

Jihoon yakin 100 persen itu ponsel Soonyoung. Soonyoung memang fanatik burung hantu, setahu Jihoon. Entah kenapa. Burung hantu memang lucu sih, namun ambisi Soonyoung adalah ambisi sampai tahap ingin memiliki satu untuk menjadi temannya di rumah. Kalau ia lebih gila sedikit, mungkin untuk mengirimkan surat juga.

Jihoon bimbang. Haruskah ia tinggal disini... atau ia bawa pulang agar ia bisa menjamin ponsel Soonyoung aman? Masalahnya, Soonyoung sudah cukup lama pulang, dan Jihoon tidak yakin apakah ia akan kembali ke sekolah untuk mengambil ponsel-nya. Dan juga, besok dan lusa adalah akhir minggu, dimana sekolah mereka libur.

Ya sudahlah, besok aku kembalikan saja ke rumahnya.

Sekedar informasi, Jihoon memang tahu rumah Soonyoung, juga sebaliknya. Masih segar dalam ingatan Jihoon, waktu dimana proyek OSIS mengharuskan panitia kreatif acara menginap untuk desain panggung, tiket, poster, standee, dan lain – lain. Mayoritas tim kreatif memilih rumah Soonyoung, dan karena memang harus ada perwakilan MPK untuk mengawasi (rumor juga menyebar kalau Lee Jihoon cukup lihai mendesain), di ajaklah Lee Jihoon untuk menginap di rumah Soonyoung. Untunglah saat itu kedua orang tuanya dinas ke luar kota, atau mungkin ia telah habis dipotong dadu oleh ibunya karena berani menginap di rumah laki – laki sebayanya.

Jihoon terkikik mengingatnya. Jihoon paling ingat saat Soonyoung memujinya tampak imut dalam piyama abu – abu pudar polos dan rambut dikuncir tinggi. Jihoon yakin sekali ia tidak bisa kontrol ekspresi sama sekali saat itu, dan membuat Soonyoung tertawa karena melihatnya salah tingkah.

Tuhkan, pikiran Jihoon pasti tidak akan jauh – jauh dari Kwon Soonyoung.

Jihoon menggeleng dan berniat menyelipkan ponsel Soonyoung ke kantong roknya, namun jarinya tak sengaja menekan tombol Home pada sisinya, dan membuat layarnya menyala. Jihoon yang kaget melihat layarnya menyala, sontak mengeceknya lagi. Lockscreen ponsel Soonyoung adalah foto gradasi warna biru langit pudar ke warna merah muda pudar, seperti warna rose gold pada salah satu varian produk Apple Company. Jiwa penasaran Lee Jihoon merangkak keluar, ia menggeser layar untuk membuka kuncinya.

Ah, sial, ponselnya di password.

Passwordnya berupa 4 digit angka, deretan angka 1 sampai 9 berderet di depan Jihoon. Masih penasaran, Jihoon mencoba membuka kuncinya. Penelitian menunjukkan, sebagian besar laki – laki menggunakan tanggal lahir sebagai password gadget mereka. Mari kita buktikan apakah penelitian itu benar atau tidak.

1506.

Incorrect Password.

Halah, penelitian sampah.

Jiwa penasaran Lee Jihoon makin tergelitik untuk memecahkan kuncinya. Ah, apakah passwordnya itu sebuah pattern yang gampang, ya?

1234.

Incorrect Password.

0000.

Incorrect Password.

Jantung Jihoon berdegup kencang. Kesempatannya tinggal 7 kali untuk menebak kuncinya. Terbersit pemikiran untuk menyudahi ini, karena selain tidak sopan... kasihan nanti kalau semua data di ponsel Soonyoung ter-reset karena keisengan Jihoon menebak – nebak passwordnya.

Ah, satu kali lagi deh.. habis itu sudah.

Jihoon memikirkan baik – baik pra-duga apalagi yang harus ia masukkan. Terpikirkan satu, yaitu memasukkan tanggal lahirnya sendiri, namun langsung ia tampik jauh – jauh. Narsis banget, Jihoon. Ya ampun. Bisa – bisanya Lee Jihoon menjatuhkan harga dirinya di depan dirinya sendiri begini.

Eh.. tapi.. tidak ada salahnya, kan? Cuma coba – coba, kan..?

Sambil tertawa – tawa tidak jelas, Jihoon memasukkan tanggal lahirnya. Jihoon sih yakin ini pasti salah, karena itu ia tidak menanggapi yang satu ini serius. Siapa sih yang akan memakai tanggal lahirnya sebagai password ponselnya?

2211.

Unlocked.

"EH?"

Jihoon nyaris melempar ponsel Soonyoung, namun dengan segenap kewarasan yang tersisa, ia dengan cepat meletakkan ponsel itu di meja. Detak jantungnya sudah tidak lagi normal. Matanya mengeliling, meminta pertolongan entah pada apa, karena ia tidak yakin ia masih waras sehabis ini.

Soonyoung memakai ulang tahunnya sebagai PIN handohonenya. Kurang lemas apa Jihoon, coba.

Ah, mungkin karena angkanya bagus. Iya. Pasti itu. Jangan terbang dulu, Lee Jihoon.

Jihoon baru saja menetralkan napasnya, mengembalikan detak jantungnya, setidaknya menurunkan intensitas detakannya. Ia mengambil ponsel Soonyoung yang kini menampilkan tampilan Homescreen nya, dan berniat untuk menguncinya lagi. Tapi matanya menangkap sesuatu yang aneh.

Loh... itu kan, aku...?

Jihoon kali ini tidak bercanda, foto yang digunakan untuk Homescreen Soonyoung benar – benar foto HQ seorang Lee Jihoon, dengan rambut dikuncir rendah, merengut lelah dengan tangan dikantungkan ke jas MPK yang berwarna biru tua yang agak kebesaran di badannya. Foto itu benar – benar candid, dan lighting alami yang bagus, dan Jihoon bingung kapan ini diambil.

Jihoon lupa kalau Soonyoung adalah penjabat seksi dokumentasi OSIS yang lihai.

Jihoon bahkan tidak tahu bagaimana caranya bernapas lagi. Ia tiba – tiba saja pusing. Ia membalikkan ponsel nya, mengecek casingnya. Benar – benar casing ponsel Soonyoung. Ngeri, kalau misalnya ini bukan ponsel Soonyoung.

Yasudahlah.. Pura – pura tidak tahu saja.

Kali ini Jihoon benar – benar mengunci ponsel Soonyoung dan mengantonginya, berniat melanjutkan kegiatan menyapunya yang tertunda. Sial, ia tidak bisa konsentrasi. Sudahlah, seadanya saja, buang sampah, lalu pulang.

Lee Jihoon berbalik untuk meyorongkan sampah ke depan kelas, dan menemukan Kwon Soonyoung berdiri di depan kelas, napas terengah, menatapnya kosong dengan jaket angkatan tersampir di bahu.

Wah.. apa karena musik dari earphone nya terlalu keras sampai ia tidak bisa mendengar Soonyoung datang?

"S-Soonyoung?"

Pemuda yang terpanggil mengeluarkan tawa paksa, menunduk malu dan berjalan mendekati Jihoon perlahan. Jihoon berani bersumpah; paras Soonyoung kala itu yang bersinar diterpa pias mentari senja yang berwarna jingga, adalah definisi ketidaksempurnaan yang sempurna. Soonyoung membuat Jihoon ingin lari menubruknya dan menyempurnakan tiap kepingnya yang hilang, agar mereka menjadi sebuah puzzle yang utuh.

Well, itu nanti, setelah Soonyoung yang mungkin akan menamparnya di wajah karena telah lancang menggeledah ponselnya tanpa persetujuannya.

Soonyoung melirik ponselnya yang ada dalam saku Jihoon, menduga bahwa Jihoon telah berhasil membuka sandinya, menilai dari raut Jihoon yang merona dan malu. Ia terkekeh dan masih melihat ke arah lain, selain Jihoon. "Dari eskpresimu... kutebak kamu berhasil membuka sandi ponselku, ya, Lee Jihoon?"

Jihoon gelagapan. Dengan cepat ia mengeluarkan ponsel Soonyoung dari saku roknya dan mengulurkannya pada Soonyoung, rambut sebahunya menutupi wajahnya yang agak menunduk. "M-maaf, aku bukan bermaksud lancang.." dalam hati Jihoon merutuk. Kemana kepercayaan diri yang biasa ditonjolkannya pada bawahannya di OSIS? Kenapa ia jadi lembek begini? Hanya gara – gara pemuda sialan di hadapannya yang kebetulan, tampan– ini?

Halah. Ia saja kehilangan kemampuan bicaranya yang baik. Tak ada waktu untuk memikirkan krisis kepercayaan diri.

Soonyoung melirik ponselnya yang diulurkan Jihoon, masih tersenyum lembut, namun belum mengambil barang di tangan Jihoon yang menjadi tujuannya kembali lagi ke sekolah setelah sebelumnya sampai di rumah. "Kamu sudah lihat Homescreen-ku?"

Jihoon mendongak untuk bertemu dua orbs jernih Soonyoung yang berwarna cokelat terang; makin bersinar karena pias cahaya matahari yang menyusup lewat tirai jendela kelas yang kini menyisakan dua anak manusia yang telah jatuh. Ragu – ragu, Jihoon mengangguk. Jihoon kesal karena ia tak punya daya untuk mengendalikan rona wajahnya yang kian memerah. "I-iya."

Soonyoung mengusap tengkuknya yang tidak gatal, mengeluarkan cengiran yang membuat Jihoon lemah. "Yah, aku harap kau tidak takut padaku, Ji, karena percayalah, aku bukan penguntit."

Jihoon, yang kini telah berani bersitatap dengan orang yang telah ia perhatikan selama setahun terakhir ini, menggeleng cepat, berusaha terlihat sedatar yang ia bisa, namun tubuhnya tak bisa diajak bernegosiasi. "Aku yakin kamu bukan penguntit, hanya...

...mengapa fotoku yang menjadi Homescreen-mu, Soon?"

Ini dia. Soonyoung menarik napas panjang, telah menyiapkan jawaban sejak lama untuk aksi riskannya ini. Menunduk sebentar, ia lalu menatap Jihoon, lama, tepat di korneanya yang hitam, namun terlihat bening. Lompatan ritme jantung keduanya yang cepat dan sahutan napas yang nyaris tidak terdengar, adalah musik pengiring pertemuan mereka dengan lighting senja yang jingga. Ya, setidaknya Soonyoung tidak perlu menyewa cafe untuk sebuah atmosfer romantis.

"Kurasa kamu sudah punya terkaan tentang apa yang menjadi maksud penggunaan fotomu untuk Homescreen ponselku, Ji," Soonyoung mengulum senyum, menarik napas sekali lagi karena entah kenapa respirasinya sekarang membutuhkan lebih banyak oksigen. "Aku akan langsung ke intinya, karena sepertinya si kakak galak Lee Jihoon tidak suka basa – basi, yeah?"

Kalau Jihoon tidak tahu kalau Soonyoung menggunakan fotonya untuk Homescreennya dan ia lupa bahwa Soonyoung adalah seseorang yang ia sukai, mungkin ia sudah memberikan pukulan keras tanpa belas kasih yang menghasilkan suara di atas 100 desibel pada Kwon Soonyoung karena telah berani memanggilnya si kakak galak.

Bersyukurlah, Soon.

"Aku suka padamu, Ji. Itu saja. Untuk kelengkapan pernyataanku, kamu boleh tanyakan bagaimana detailnya," Soonyoung tersenyum, lembut sekali, melelehkan Jihoon dan membuatnya merah seperti kaca yang dibakar bara api. "Kalau kamu bertanya sejak kapan, aku juga tidak tahu sejak kapan. Kalau kamu bertanya kenapa, jawabannya, aku jatuh karena kamu menarikku. Kalau kamu bertanya bagaimana, aku akan menjawab, dengan perlahan."

Terkutuklah Kwon Soonyoung dan kepiawaiannya berbicara.

"Aku tidak tahu sejak kapan percikannya dimulai, namun aku sadar aku benar – benar jatuh saat melihatmu menari. Tidak pernah terlintas di pikiranku kalau kamu bisa balet- dan pengeksekusiannya benar – benar indah, cantik, membuatku mempertanyakan kesolidan ekstensi kamu, Ji. Kamu kelihatan unreal, aku takut kalau sebenarnya kamu itu kupu – kupu yang akan terbang kalau tidak aku tangkap."

Jihoon tidak punya kalimat yang bisa dilontarkan sebagai respon; tidak pula memiliki satu ekspresi absolut yang bisa ditunjukkan karena perasaannya yang telah diaduk – aduk.

"Jadi, Ji..." Soonyoung mengulurkan tangannya, masih terkekeh malu – malu, ia pun tidak merencanakan bahwa ia akan jujur pada Jihoon di kelas mereka yang sepi sepulang sekolah. "Akupun gak merencanakan ini... tapi, maukah kamu masuk ke dalam perangkapku supaya aku bisa mencegahmu saat kamu akan lari? Aku gak mau kamu hilang, Lee Jihoon."

Tangan Soonyoung yang terulur dan ekspresinya yang meyakinkan membuat Jihoon tak memegang kendali lagi atas alam bawah sadarnya. Mengeluarkan tawa tidak percaya, ia menggamit tangan Soonyoung yang menggantung di udara dan menautkan jemarinya pada jemari Soonyoung.

"Aku tidak berniat kabur, Kwon. Aku adalah kupu – kupu yang berniat menyesap nektarmu sampai habis."

Terdiam sebentar, lalu Soonyoung tertawa, lepas. Menularkannya juga pada Jihoon yang kini ikut tertawa. Melirik tangan mereka yang kini bertautan, Soonyoung tersenyum miring, "Apa itu artinya kamu akan menyerap dompetku sampai kering, Lee Jihoon?"

Dan Jihoon tertawa lepas, dan penampakan Lee Jihoon yang tertawa sudah cukup membuat Soonyoung bahagia sampai hari berakhir.

.

.

End.

.

Wiiihiiiii. Hai, hai! o/

First story of Adolescent series! Aku balik.. bawa series yang berhubungan gitu(?) jadi, tiap cerita ada hubungannya satu sama lain. Nanti diceritain couple yang lain gimana; menurut kalian, habis ini siapa dulu yang aku post? Meanie kah? Jeongcheol? Atau mungkin Seoksoo? Verkwan? Ayo vote di comment yaaa! Hehehehe x)

Ini bener – bener kepikirannya out of nowhere. Pas ngeliat homescreen aku ( Soonyoungie, btw. Hihihi ; u ; ) aku langsung kepikiran... homescreennya anak anak sebong tuh apa ya? xD Dan terciptalah fanfik ini.

Series ini memang udah kepikiran dari lama, dari dulu memang pengen bikin satu pack (?) series gitu tapi baru kesampean ; _ ; hayo, hayo, ada yang bisa nebak gak kenapa Wonwoo di kasih tatapan ngejudge gitu? Jawabannya ada di series yang Meanie!

Siapapun yang sudah sudi baca sampai sini, terimakasih. Much loves and kisses for you guys.

Last but not least, review?

.

Blanc Étoile, 2016.