I do not own the story!
copyright © 2012 All I Care About by fantasy_seoul (AFF)
translated by Zhen Jian (Oct 31, 2016)
Enjoy~
(*Luhan*)
"Lu."
"Tidak."
"Lu."
"Tidaaak."
"Lu."
"Lima menit lagi," kata Luhan, menyembunyikan wajahnya dengan cepat ke bantal.
"Kau bilang begitu sepuluh menit yang lalu. Sekarang bangun." Sehun menarik lengannya, membalik dan mendudukannya walau dengan rengekan. Luhan masih menutup mata karena mungkin Sehun akan membiarkannya kembali tidur. Bisa jadi Sehun menganggap wajah mengantuknya lucu dan –
Sehun menampar lembut wajahnya. "Bangun. Sekarang."
Atau tidak.
"Kau bisa bangun subuh di pagi Natal, tapi bahkan tidak bisa membuka matamu di hari pertama sekolah? Kenapa begitu?"
"Mudah –tidak ada hadiah di sekolah."
Sehun menghela napas, menampar wajahnya lagi.
"Yahh!" Mata Luhan terbuka, langsung menembaki Sehun dengan pandangan tajam. "Ada banyak cara yang lebih baik untuk membangunkanku kau tahu."
Sehun mengedik. "Ini juga berhasil." Dia berbalik untuk turun dari tempat tidur, tapi Luhan memajukan badan dan menariknya kembali.
"Kau tidak bisa memukulku lalu mengira aku akan membiarkanmu," kata Luhan, kenakalan tersirat di matanya.
"Aku tidak memukulmu. Tepatnya aku hanya menepukmu pelan."
"Tanganmu berkontak dengan wajahku –itu memukul."
"Dengan cinta."
Luhan memutar bola matanya. "Kau akan mendapatkan balasannya."
Dengan lengannya yang memeluk erat pinggang Sehun, Luhan menekan wajahnya pada punggung Sehun, menghirup aroma Sehun. Awalnya tubuh Sehun kaku, takut pada apa yang mungkin Luhan lakukan, tapi segera tenang saat menyadari Luhan tidak akan memukulnya atau yang lebih buruk, menggigitnya.
Tadinya, Luhan ingin menghukum Sehun karena membangunkannya, tapi dia tidak sanggup karena dia tahu Sehun hanya berusaha menjadi pacar baik yang membangunkannya untuk pergi ke kelas. Hari ini adalah hari pertama sekolah, yang mana berarti dia tidak bisa menghabiskan sepanjang pagi bermain dengan kekasihnya, tidak peduli seberapa besar dia menginginkannya. Jadi akhirnya dia memeluk Sehun lebih erat, mencoba menikmati waktunya.
"Kau bekerja hari ini?" tanya Luhan, suaranya pelan.
Walaupun dia sudah tahu jawabannya, dia bertanya karena dia berharap Sehun dengan ajaib memutuskan untuk membolos kerja hari ini, jadi dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengannya.
"Ya, kau tahu itu." Sehun menggerakkan kepalanya mencoba melihat apa yang Luhan lakukan di punggungnya. "Apa yang kau lakukan?"
"Mengisi ulang."
"Apa?"
"Kau isi ulangku."
"Dan apa maksudnya itu?"
"Artinya memelukmu membuatku bertenaga –cukup untuk sepanjang hari." Semoga.
"Oh. Baiklah," kata Sehun, suaranya sedikit dipaksakan. Luhan tahu Sehun berusaha untuk tidak tertawa. Kenapa aku mengatakannya keras-keras?
Saat Sehun mengubah posisinya, mencoba membuat Luhan melihatnya, anak yang lebih tua menenggelamkan wajahnya lebih dalam pada bagian belakang kaos Sehun, menolak membiarkan Sehun melihatnya. Terlalu memalukan.
"Sejak kapan aku menjadi manusia isi ulangmu?"
"Sejak kau membiarkanku memelukmu kapan pun kumau, sekarang berhenti bergerak," Luhan mendesis ketika Sehun terus memberontak dalam pelukannya. "Aku akan segera selesai." Aku harus membuat seharian ini tidak sia-sia!
"Idiot," kata Sehun saat dirinya sudah membalik badannya. Dia menangkup wajah Luhan. "Bukankah lebih baik jika aku melakukan ini?"
Luhan baru mau bertanya, "Apa," ketika tiba-tiba dia merasakan Sehun menempelkan bibir mereka dengan lembut. Secara langsung, ujung bibir Luhan tertarik ke atas merasakan bibir Sehun –dia selalu lemah pada ciuman pagi Sehun.
Karena itu hangat dan manis.
Dan itu membuat Luhan merasa geli dan mabuk.
Dan ya ini lebih baik.
Jauh lebih baik.
Tak perlu waktu lama bagi Luhan untuk membalas ciuman Sehun, membiarkan jemarinya menyentak rambut Sehun, mendorongnya lebih dekat.
"Ehem. Sehun, bisa kau berhenti menghisap wajah Luhan kalau tidak kalian berdua akan terlambat sekolah," kata Chanyeol saat ia dan Baekhyun muncul di pintu mereka, menyeringai.
Sehun menarik diri, lalu tersenyum pada Luhan sebelum menggenggam bantal dan melemparkannya kepada pasangan tersebut, yang menunduk dengan terampil, menghindarinya dengan seringai utuh.
"Meleset," kata Chanyeol, menjulurkan lidahnya.
Sehun mengerang, "Sayang sekali."
Luhan tertawa sebelum mencubit pipi Sehun. "Sehun-ah, jangan terlalu jahat pada hyungmu," Dia bangun dari tempat tidur. "Aku akan bersiap-siap."
Ketika dia keluar dari kamar, dia bisa mendengar Chanyeol dan Baekhyun menggoda Sehun soal apa yang terjadi sebelumnya.
"Ayolah maknae, jangan berikan kami wajah itu. Kami minta ma'af sudah menganggu acara intim pagimu."
"Lagi pula kau selalu bisa mengisi ulang Luhan hyung lagi nanti malam."
"Menaikan daya baterainya."
"Mengisi ulang –"
"Diam!"
Luhan mendengar sesuatu seperti sebuah bantal berkontak dengan wajah, diikuti "Oww!" dari Chanyeol dan "Yah! Sehun!" dari Baekhyun.
Dia menggelengkan kepalanya. Tipikal pagi hari lainnya.
"LUHAANNNN!"
"LUHAN SUNBAE!"
"AAAHHHH LUHANNNN!"
Luhan memberikan para anak perempuan yang berteriak itu senyuman kecil dan lambaian malu-malu, membuat mereka bersorak lebih kencang dari sebelumnya.
Sehun mengerang sambil mengeluarkan headphone lalu memakainya di telinga, wajahnya terlihat sangat kesal. "Aku hampir lupa pada ledakan kepopuleranmu di sekolah," kata Sehun sambil menggandeng tangan Luhan lebih erat seraya dia memimpin mereka melewati keramaian.
Luhan terkekeh, lanjut untuk melambai pada kawan-kawannya, beberapa dari mereka teman, kebanyakan dari mereka penggemar.
"Yah! Berhenti melambai pada mereka! Itu membuatnya jauh lebih buruk!"
"Aku masih harus bersikap sopan."
Sehun menggelengkan kepalanya. "Kau terlalu baik."
"Aku harus agar menyeimbangkan kita. Kau kasar yang semua orang takuti sedangkan aku manis yang semua orang sukai. Lihat? Keseimbangan."
"Aku akan melepaskan tanganmu dan membiarkanmu menjaga diri sendiri jika kau mengatakan hal lain," ancam Sehun.
"Jika kau berani."
"Kau pikir aku tidak akan melakukannya?"
"Kalau begitu lakukan." Aku suka melihatmu mencoba Sehu –
Sehun melepaskan tangannya dan berjalan lebih dulu, mengejutkan Luhan dan semua orang yang mengelilingi mereka. Anak yang lebih muda menengok lalu menyeringai, senang pada fakta dia mengejutkan Luhan dengan melakukan ancaman yang tadinya hanya omong kosong. Dia terlihat sangat bangga.
Seringai di wajah Sehun dengan cepat menghilang ketika kerumunan itu, menyadari bahwa Luhan sekarang tanpa Sehun, menarik anak yang lebih tua menjauh, membanjirinya dengan hadiah dan pertanyaan seputar liburannya. Hal berikutnya yang Luhan tahu, mereka membentuk sebuah tembok di sekitarnya, dengan efektif menjaga Sehun tetap di luar.
Dari suatu tempat di samping kirinya, Luhan mendengar Sehun merutuk kata-kata kotor. Dan sekarang waktunya Luhan yang menyeringai. Itu yang kau dapatkan Sehun-ah!
Selama beberapa menit, Luhan menghabiskan waktunya untuk berterima kasih pada para mahasiswi atas hadiahnya dan menjawab pertanyaan mereka, sambil berpura-pura dia tidak melihat Sehun mencoba semampunya melewati anak-anak itu, gagal dengan sangat buruk. Dia menjulurkan lidahnya pada Sehun ketika dia menemukan anak itu melompat-lompat di kejauhan mencoba menarik perhatiannya.
"Kupikir kau akan membiarkanku menjaga diriku sendiri?" tanya Luhanmenggoda saat Sehun akhirnya membawanya keluar. Sehun terpaksa berteriak pada orang-orang, menuntut agar mereka melepaskan Luhan atau dia akan menguncinya dan tidak membiarkan seorang pun melihatnya lagi –ancaman yang Luhan temukan sebagai kasih sayang (kurang lebihnya).
"Kau tidak melakukannya dengan baik, jadi aku harus ikut campur dan menyelamatkanmu," bantah Sehun seraya mereka berjalan menuju kelas pertama Luhan.
"Pfftt. Aku baik-baik saja."
"Kau berpose untuk foto," Sehun dengan wajah datar, menatap tajam Luhan.
Luhan tersenyum. "Tidak bisa menahannya kalau aku fotogenik. Jika kau tidak tahan, seharusnya kau tidak melepaskan tanganku."
"Tadi itu cuma sebentar," balas Sehun, berhenti di depan kelas Luhan. "Lagi pula, aku tidak menyangka mereka akan merampasmu seperti tadi."
Luhan menyeringai. "Anggap ini sebagai pelajaran –"
"Agar tidak pernah melepaskanmu," lanjut Sehun seraya membungkuk, wajahnya sejengkal dari wajah Luhan. "Karena seseorang bisa datang dan merebutmu dariku?"
Luhan mengangguk, mencoba sebisanya untuk tidak melihat bibir Sehun karena mereka memohon untuk dicium. Jangan di sini. Jangan di sini. Jangan di sini, ulang Luhan karena rupanya teman sekelasnya menjulurkan leher mereka untuk mengintip.
"Itu tidak akan terjadi karena –" Sehun dengan lembut menempelkan dahi mereka, menghiraukan pekikan yang datang dari anak-anak lain. "Aku tidak akan pernah melepaskanmu."
Dia menunjukan Luhan seringaian puas sebelum menarik diri. "Kau terjebak denganku Bambi. Terima saja." Luhan memutar bola matanya. Cara yang bagus untuk mengatakannya..
"Bukannya kau ada kelas?" tanya Luhan.
Sehun memeriksa jam tangannya dan melotot. "Ya. Seharusnya aku di sana lima menit yang lalu. Aku akan menemuimu sebelum pergi kerja oke?"
Luhan mengangguk dan melihat Sehun berjalan mundur beberapa langkah, masih menatap Luhan, sebelum berbalik dan berlari ke luar gedung Sosiologi, meneriaki orang-orang agar menyingkir dari jalannya. Aish. Sehun-ah, apa yang harus kulakukan denganmu?
Setelah Luhan duduk di kursi paling jauh dari pintu, profesor datang dan langsung memulai pelajarannya. "Selamat datang di 101 Teori Sosial Klasik."
Dia sibuk membuat catatan saat pintunya terbuka, dan profesor menghentikan pelajarannya tiba-tiba.
"Aku tidak mengijinkan murid terlambat dalam kelasku," kata profesor, suaranya penuh kekesalan.
Luhan dan murid yang lain menoleh untuk melihat si pendatang baru –seorang mahasiswa dengan rambut hitam berdiri dan kacamata kotak. Mata Luhan melebar saat mengenali siswa itu.
Laki-laki yang dari mall.
Tidak mungkin...
"Aku benar-benar minta ma'af," laki-laki itu meminta ma'af sambil membungkuk beberapa kali. "Tapi aku benar-benar mempunyai alasan yang bagus."
Wanita itu menaruh tangannya di pinggang. "Dan apa alasanmu?"
"Aku tersesat," balas laki-laki tersebut dengan sebuah senyuman, membuat beberapa mahasiswi mulai berbisik satu sama lain soal betapa tampan senyumannya.
Luhan curiga laki-laki itu menggunakan senyuman manisnya untuk keuntungannya –agar lepas dari masalah. Kecurigaannya terbukti saat profesor menurunkan tangannya, dan memberitahu agar tidak terlambat lagi, ekspresinya melembut.
"Silakan duduk," perintah profesor sebelum melanjutkan pelajarannya. Laki-laki itu memandangi sekeliling mencari bangku kosong, dan ketika matanya mendarat pada Luhan, serta kursi kosong di sebelahnya, ia tersenyum.
Luhan tengah menulis sesuatu ketika dia merasakan seseorang berada di sebelahnya tiba-tiba. Dia langsung awas.
"Hai," bisik laki-laki itu. Luhan memberikannya anggukan kecil sebelum melihat ke depan.
Dia berpura-pura tidak menyadari anak itu terus mencuri pandang padanya selama kelas berlangsung.
Walaupun laki-laki itu tidak melakukan apa-apa, Luhan tidak bisa menahan perasaan ada yang aneh karena jujur saja apa yang menjadi kesempatan mereka untuk bertemu lagi? Dan kenyataan bahwa anak itu memilih untuk duduk di sampingnya, dari semua kursi kosong yang tersedia, membuat alarm di kepala Luhan menyala.
Ketika kelas berakhir, Luhan dengan cepat memasukan barang-barangnya ke dalam tas ransel dan baru mau pergi saat anak itu memanggilnya. "Hei, Luhan. Tunggu." Dia masih mengingat namaku?
Luhan berbalik dan menemukan anak tersebut tepat berada di belakangnya. Dia melangkah mundur beberapa kali; untuk mempertahankan jarak aman darinya. "K-kenapa kau di sini? K-kau membuntutiku? Kuberitahu kalau kekas—"
"Wah wah. Pelan-pelan," katanya. "Aku baru saja pindah kemari karena kudengar sekolah ini memiliki progam Sosiologi yang bagus. Aku jurusan Sosiologi, Lee Jinho –semester empat."
Lee Jinho?
Dia menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Luhan, tapi Luhan tidak bergerak. Jinho tersenyum. "Aku tidak membuntutimu. Aku janji." Dia mengangkat tangan kanannya dan memposisikan tangan kirinya di depan dada.
"Apa ini benar-benar kebetulan kita bertemu lagi?" tanya Luhan.
Jinho tersenyum lebar. "Aku percaya ini takdir."
Luhan menaikan satu alisnya. Apa dia serius?
Anak itu tertawa. "Kau pikir aku gila karena percaya hal seperti itu, kan?"
Luhan menggelengkan kepalanya. "Tidak... Aku juga percaya pada takdir, tapi ini... aneh mendengarnya dari orang asing. Jangan tersinggung."
"Tidak apa. Kurasa aku menakutimu. Ma'af. Tapi aku sungguh tidak mengikutimu. Aku tidak tahu apapun soal kau selain kau memiliki gitar yang aku mau, kau bekerja di kafe Heavenly, dan namamu Luhan."
Luhan menatap mata Jinho, dan tidak melihat apa pun selain kejujuran, dia lega. "Tidak apa-apa. Kupikir aku bereaksi berlebihan."
Mereka berjalan keluar kelas bersama. "Kenapa kau memilih duduk disampingku?" Luhan bertanya.
Jinho tersipu lalu menggaruk belakang lehernya, tiba-tiba menghindari kontak mata dengan Luhan. "Karena ini hari pertamaku di sini, dan aku tidak mengenal orang lain..."
"Oh."
"Yeah..Aku tidak akan duduk di sebelahmu lagi jika itu menganggumu."
"Bukan, tidak apa-apa. Aku hanya bertanya-tanya."
Mereka terus berjalan, adakalanya Luhan menunjuk berbagai ruangan yang berada di lembar jadwal Jinho. Itu terlihat seperti dia memberikan Jinho sebuah tur.
Yang mengejutkan, ternyata sangat mudah mengobrol dengan Jinho. Anak itu sangat ramah dan Luhan merasa seperti idiot sudah berpikir bahwa Jinho membuntutinya.
Luhan mengetahui bahwa mereka mempunyai banyak kesamaan. Seperti mereka mempunyai tiga kelas yang sama (karena jurusan Sosiologi dan lainnya), mereka berdua menyukai seni dan fotografi, mereka berdua suka bermain sepak bola, dan Jinho bahkan mengambil kelas Mandarin. Menjadi orang yang baik, Luhan menawarkan untuk membantunya di kelas jika dia membutuhkannya. Jinho membalasnya dengan senyuman lebar sebelum berterima kasih atas tawarannya.
"Berapa umurmu?" tanya Jinho ketika mereka keluar dari gedung Sosiologi.
"Dua puluh satu."
Jinho menghentikan jalannya. "Dua puluh satu? Tidak mungkin, kau terlihat –"
"Super duper muda? Yah. Aku sering mendengarnya."
"Jadi kau hyungku," kata Jinho saat mereka kembali berjalan, terus ke tengah lapangan.
"Benarkah? Bukankah kau juga semester empat?"
"Seharusnya aku semester dua, tapi aku menyelesaikan semua pelajaran lebih dulu dari yang lain." Semester dua? Kalau begitu seumuran dengan Sehun.
"Mengesankan." Luhan tersenyum.
"Terima kasih."
Zzzzzz. Sebuah pesan dari Baekhyun –
Hyung, apa kau ada waktu untuk makan siang? Ayo makan bersamaku dan Yeollie ;)
"Hei, aku akan bertemu dengan temanku untuk makan siang. Apa kau juga mau ikut?"
"Aku ingin, tapi sebenarnya aku ada kelas."
"Oh. Baiklah. Apa kau perlu aku untuk menunjukannya di mana?"
"Tidak, tidak usah. Aku bisa sendiri. Terima kasih atas semuanya. Sampai ketemu lagi...Luhan hyung."
Luhan terkekeh. "Yeah. Sampai ketemu lagi. Jinho."
Ketika dia sampai di kafetaria, dia menemukan Baekyeol di meja biasanya, menyuapi satu sama lain bibimbap. Setelah mengambil makan siangnya (menghabiskan waktu lebih di area makanan penutup), Luhan berjalan menuju meja mereka.
"Heii ini dia hyung favorit kita," sapa Chanyeol saat Luhan duduk di hadapan mereka, meletakan nampannya.
"Kami dapat kue strawberi untukmu," kata Baekhyun sambil memberikan Luhan kuenya.
Luhan tersenyum. "Terima kasih." Dia mulai makan, tidak menyadari tatapan yang Baekyeol berikan. Setidaknya sampai dia mendongak. "Apa?"
"Bukan apa-apa..Hanya saja ada yang kurang..."
"Memangnya apa?"
"Hmm. Mungkin seperti yang sangat tampan, anak laki-laki dengan kulit seputih susu dengan bagian luar yang dingin. Satu yang adakalanya mempunyai sisi imut dalam dirinya.."
"Anak laki-laki posesif yang selalu menempel di sampingmu."
Luhan tertawa. "Aku yakin Sehun akan suka mendengar penjelasan kalian berdua tentang dirinya."
Baekyeol mengangkat bahu. "Di mana dia?"
"Dia ada kelas sekarang," jawab Luhan, seraya mencolek kuenya. "Aku tidak akan melihatnya sampai nanti."
Baekhyun, merasakan Luhan sedikit sedih karena Sehun tidak di sana, merubah topiknya. "Jadi bagaimana hari pertamamu? Ada yang menarik?"
Luhan kembali semangat. "Sebenarnya ada, hal yang menarik terjadi. Kalian ingat laki-laki dari kafe?"
"Yang juga bertemu denganmu di mall?"
"Ya. Dia. Ternyata dia juga masuk ke sekolah kita semester ini. Gila, kan?"
"WOAAH. APA?" Baekhyun menjerit, hampir tersedak nasi dan membuat Chanyeol menjatuhkan sumpitnya.
"Baek. Tenang," kata Chanyeol, mengelus punggung pacarnya.
"B-bagaimana mungkin? Dia ada di s-sekolah kita...dan dia sekelas denganmu," kata Baekhyun, suaranya sedikit panik. Itu terlihat seperti dia sulit memproses informasi kecil ini.
"Beberapa kelas," Luhan membenarkan. "Dia juga jurusan Sosiologi, jadi kita mempunyai banyak kelas yang sama."
Baekhyun memejamkan matanya. "Ini tidak bagus. Sangat buruk."
"Buruk? Apa maksudmu?"
Dia membuka matanya lagi. "Hyung, tidakkah kau merasa aneh dia muncul di mana pun kau berada."
"Tidak di semua tempat..."
"Hyung kau tahu maksudku!"
Luhan menghela napas. "Ya. Aku tahu maksudmu. Aku juga sama terkejutnya. Percaya padaku, aku juga tidak mempercayainya, tapi setelah mengobrol dengannya, aku sadar dia sangat baik. Tidak berbahaya."
Baekhyun menyilangkan lengannya di dada. "Aku masih merasa dia masalah."
"Siapa namanya?" tanya Chanyeol.
"Jinho."
Baekhyun mendengus. "Sangat cocok. Dia punya nama yang sama dengan karakter di drama yang kutonton. Kau tahu jenis karakter apa dia? Karakter jahat yang mencuri kekasih pemain utama."
"Baek. Kau benar-benar harus berhenti menonton drama," kata Chanyeol, menggelengkan kepalanya. "Tapi hyung, sangat luar biasa kau bertemu dengannya lagi."
"Yeah. Dunia benar-benar sempit."
Baekhyun menggerutu. "Dunia kecil yang dipenuhi penguntit."
Luhan tersenyum karena dia tahu Baekhyun ya Baekhyun. "Aku tahu kau mencemaskanku, tapi tidak apa-apa. Dia bukan penguntit. Aku menanyakannya. Dia bilang bukan."
"Hyung, memangnya seorang penguntit akan jujur memberitahumu?"
"Dia bukan penguntit. Kau bisa mengobrol dengannya kalau mau. Dia baru di sini, jadi kuyakin dia tidak akan keberatan bertemu orang-orang baru."
"Baik, dan selagi kita akan melakukannya, kau harus membiarkannya bertemu Sehun juga. Aku akan membawa popcorn."
Luhan mengerutkan kedua alisnya. "Kenapa kau membawa popcorn?"
"Untuk dimakan sambil menikmati perkelahiannya," jawab Baekhyun riang.
Luhan memutar bola matanya dan lanjut memakan kuenya. "Kau tahu mereka seumuran, jadi mereka akan menjadi teman."
Teman yang berubah menjadi lawan percintaan, pikir Baekhyun sambil menonton Luhan yang menjawab pesan dari Sehun –dia bisa tahu dari cara wajah anak yang lebih tua berubah lebih bersemangat ketika nama pengirimnya muncul.
Walaupun Baekhyun dengan yakin percaya bahwa anak baru ini adalah sebuah masalah yang menunggu untuk terjadi, dia tetap berharap bahwa dirinya salah.
(*Sehun*)
"Jadi kau suka Suk-Myeong?" Sehun menanyai Jinho, sambil meletakan semangkuk nasi goreng kimchi di nampannya. Karena Luhan sedang di kelas sekarang (sudah makan siang lebih dulu), Sehun bisa menyusul Jinho di kafetaria, dan mereka sekarang mengantri mengambil makanan.
"Jauh lebih baik dari yang kubayangkan," Jinho menjawab, tersenyum lebar.
Dan Sehun mengenal senyuman itu. Itu hanya berarti satu hal. "Kau sudah bertemu seseorang?"
Sejauh yang bisa dia ingat, Jinho selalu populer –benar-benar anak sebelah yang sempurna yang setiap orang bicarakan, mungkin itu karena ia ramah, yang paling mudah bergaul di antara mereka berdua, tapi bagaimana pun juga anak-anak yang lain lebih sering menempel dengan Jinho, menanyainya jika ia ingin bermain dengan mereka. Jinho akan setuju untuk bermain dengan mereka jika mereka mengajak Sehun. Jika di sana ada Jinho, pasti ada Sehun –mereka seperti satu paket.
Jinho menganggukan kepala. "Sebenarnya aku sudah bertemu dengannya sebelum Natal. Itu adalah pertemuan yang tak disangka-sangka dan aku tidak bisa berhenti memikirkan dirinya sejak itu. Dan hari ini, aku melihatnya lagi di kelas pertamaku! Aku seperti diangan-angan." Dia menyelesaikannya dengan berpura-pura melamun menatap kejauhan.
Sehun tertawa pelan. "Dia pasti –"
"Makhluk paling indah yang pernah ada di dunia," kata Jinho, tersenyum seraya mengambil satu botol jus jeruk. "Aku tidak melebih-lebihkannya. Ini adalah cinta pada pandangan pertama, segila kedengarannya. Aku tidak pernah bertemu dengan seseorang yang begitu sempurna."
Sehun mengedikan bahu. "Mungkin di matamu, tapi aku tahu seseorang yang jauh lebih sempurna."
Jinho memutar bola matanya. "Yeah okelah. Ngomong-ngomong, aku berencana untuk mengenalnya lebih jauh sebelum aku mengajaknya kencan minggu depan."
"Minggu depan?! Apa tidak terlalu cepat? Kau baru saja sampai di sini."
"Yah aku tahu, tapi dia itu jenis yang jika kau tidak bertindak, seseorang akan berbelok dan menyambarnya. Aku tidak mau kehilangan kesempatanku. Hidup dengan penyesalan bukan yang ingin kulakukan."
Tipikal Jinho.
Perbedaan besar di antara mereka saat mereka kecil adalah Sehun cenderung lebih diam dan tidak yakin dengan apa yang dia inginkan –dia tidak terlalu memperdulikan suatu hal. Jinho, di sisi lain, cerewet tentang semua hal dan ia tidak akan berhenti untuk mendapatkan apa yang ia mau, menolak untuk menerima tempat kedua. Menjadi anak baik yang penuh tekad, ia terus mendapatkan apa yang ia mau, dengan cara apa pun –sering menimbulkan iri dari anak-anak lain. Sehun salah satunya.
"Bagaimana jika dia sudah ada yang punya? Dia terdengar seperti tipe yang sudah dimiliki," kata Sehun seraya mereka melewati area salad.
Jinho berhenti untuk merenungkan hal itu. "Kau benar.. Aneh jika dia masih sendiri..."
"Makanya. Lupakan itu. Hanya fokus saja mencari teman baru, yang mana kuyakin kau takkan punya masalah untuk melakukannya."
"Tapi bagaimana jika dia masih sendiri?"
"Kalau begitu aku akan mendukungmu."
Jinho memancarkan senyuman cerahnya. "Aku tahu kau akan mengatakannya. Thanks man. Dan hei, jika hal-hal di antara kami bekerja, aku akan mencoba untuk memasangkanmu dengan temannya. Kencan ganda?"
Sehun tertawa. "Kau masih Jinho yang sama seperti beberapa tahun yang lalu."
Jinho tersenyum. "Jadi bagaimana? Kau ikut?"
"Terima kasih, tapi tidak. Aku senang dengan keadaanku sekarang."
"Bagaimana keadaanmu?" Jinho bertanya saat berjalan melewati area makanan penutup. Dia berhenti ketika menyadari bahwa Sehun tidak ada di sebelahnya. "Sehun?"
Saat Sehun menyusulnya dengan kue strawberi di nampannya, Jinho menaikan alisnya. "Kupikir kau benci kue strawberi?"
"Aku masih membencinya, tapi ini bukan untukku." Dia berjalan menuju sebuah meja dan duduk dengan Jinho yang mengikutinya.
"Lalu untuk siapa?" tanya Jinho, memandangi Sehun curiga seraya meminum jusnya.
"Pacarku," kata Sehun, menghiraukan mata Jinho yang melebar seukuran wajan dan bagaimana Jinho menumpahkan sedikit jusnya ketika dia gagal untuk menutup atasnya.
"P-pacar? Seseorang yang kau kencani?" tanya Jinho, mengelap tumpahannya, masih tidak mempercayai apa yang baru dia dengar. "Apa kau benar-benar Oh Sehun?"
Sehun mendengus. "Kenapa sulit dipercaya?"
"Yah karena...Aku selalu berasumsi kau akan berakhir sendirian –"
"Ap—"
"Hanya karena kau selalu sangat menyendiri. Aku tidak berpikir kau akan suka dengan seseorang atau seseorang bahkan menarik perhatianmu. Ingat Mary dari kelas dua? Dia sangat menyukaimu, tapi kau tidak pernah menanggapinya."
"Um. Itu karena dia menyukaimu."
Mata Jinho melebar. "Benarkah?"
Sehun mengangguk. "Ya. Mereka semua menyukaimu."
"Hah. Menarik," Jinho bergumam seraya mengambil roti isinya, menggigitnya sambil melamun. "Jadi laki-laki ini...dia bukan bohongan atau hal-hal seperti itukan?"
"Tutup mulutmu."
Jinho tertawa. "Aku bercanda. Jadi ceritakan padaku tentangnya. Orang seperti apa yang bisa membuat Sehun jatuh cinta?"
Zzzzzzzzzzzzzz. Sehun mengeluarkan ponselnya, tiba-tiba tersenyum setelah melihat nama di layar –Bambi.
"Jenis orang yang mengingatkanmu pada makhluk hutan," jawab Sehun, membuka pesan yang Luhan kirim padanya.
Sehun-ah, apa kau makan siang sekarang? Apa yang kau makan? Apa kau makan sendirian? Apa kau merasa kesepian? Aku tahu kau sangat merindukanku karena aku tidak di sana :(
Ya ampun Bambi.
"Kutebak itu dia," kata Jinho ketika menyadari dari cara wajah Sehun bersemangat saat membuka pesannya.
Sehun menggerakan matanya dari pesan kekasihnya untuk melihat Jinho. "Apa terlihat jelas?"
"Kau tergila-gila? Ya. Sangat amat jelas." Jinho tersenyum. "Silakan. Anggap saja aku tidak ada."
"Terima kasih," kata Sehun dengan cepat mengetik balasannya.
Ya. Nasi goreng kimchi. Aku dengan teman lamaku –yang pernah kuceritakan. Dan tidak. Berhenti mengatakan hal-hal atas namaku. Aku baik-baik saja.
"Jadi makhluk hutan?" Jinho bertanya saat Sehun telah puas dengan balasannya.
"Oh itu—"
Zzzzzzzzzzzzzz.
Ohhh. Itu bagus. Aku titip salam untuknya. Dan berhenti menyangkal kenyataan kau sengsara tanpaku. Jika kau mengakuinya, aku akan memberikanmu hadiah ;)
Apa?
"Kau..." mulai Jinho, menunggu jawaban Sehun.
Sehun baru mau menjawab saat Luhan mengiriminya pesan lain dengan sebuah foto kali ini. Dia membukanya.
(foto baterai 1%)
Aku butuh pengisian ulang (heart)
Sehun menatap layarnya. Apa maksudnya –Oh. Oh. OOOOOOHHHHHHHHH! ASDFGHJKLFJSG!
Dia langsung mematikan layarnya dan untuk sementara waktu dia pikir ruangannya berputar. Dia bisa merasakan panas menyebar dengan cepat di wajahnya.
Apa kekasihnya baru saja mengiriminya sebuah pesan kotor?
Apa ini bahkan bisa dianggap kotor? Ini lebih imut dari apa pun.
Tidak. Jelas bukan kotor.
"Kenapa kau terlihat seperti itu?" Sehun mendongak melihat Jinho menatapnya dengan aneh. "Apa yang dia bilang? Aku ingin lihat." Jinho mengulurkan tangannya mencoba mengambil ponsel darinya.
"Yah! Ini pribadi!" Sehun mengeratkan genggaman di ponselnya –lebih baik dia mengubur dirinya sendiri daripada membiarkan orang lain melihat pesan itu.
Jinho menatapnya sebentar sebelum meledak dalam tawa. "Oke oke. Aku mengerti. Lanjutkan sexting kekasihmu."
"YAH! Bukan!"
Jinho terkekeh. "Aku benar-benar harus bertemu dengannya. Orang seperti apa yang bisa mengeluarkan reaksi seperti ini keluar dari Sehun?" Dia menaik-turunkan alisnya pada Sehun. "Dia pasti spesial."
Menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku (dia benar-benar tidak bisa menjawab pesan Luhan tanpa ingin menubrukan kepalanya berulang-ulang ke meja), Sehun kembali memakan nasinya seperti tidak ada yang terjadi.
"Dia spesial," aku Sehun.
Cukup spesial sampai membutuhkan isi ulang.
Fantasy_seoul: Bagian pertama –apa Baekhyun salah? Siapa di sini yang berpikir Baekhyun sangat benar tentang semua hal soal Jinho? *Angkat tangan* Lol. Bagian favorit –fluff di pagi hari (Sehun menjadi isi ulang adalah hal yang kudapat dari drama "The Greatest Love" –jika kalian belum menontonnya, kalian harus. Itu sangat lucu). Aku juga suka saat Sehun melepaskan Luhan sebentar hanya untuk terhalangi oleh yang lain yang mengelilingi Lulu. Hahaha. Ada sedikit pertanda di bagian ini.
Oh, aku tahu bagian ini berjudul "The Stalker" tapi Jinho bukan stalker. Sungguh. Dia berada di kelas Lulu demi diriku agar bisa menulis skenario dramatik di masa depan. Mereka mempunyai kelas bersama akan berefek pada cerita dan hubungan mereka serta drama dan kalian pasti mengerti :D
-Update bagian kedua- LOLLLL. LUHAN SANGAT IMUT! Bagian terakhirnya bagus! Sehunnie ayo isi ulang Lulumu! Dan juga kalian bisa melihat lebih baik tentang pertemanan masa kecil mereka...Jinho pada dasarnya yang memiliki semuanya, dan dia merawat Sehun, yang tidak populer. Tapi sekarang keadaan berbeda.. OOOOOOOOOO. Plotnya menguat. Muwahaha.
Dan betapa canggungnya bagi Sehun dan Jinho membicarakan orang yang sama tanpa mengetahuinya? Lol. Ketika Jinho menyarankan dia akan memasangkan dengan teman Luhan...hahaha. Ironinya.
Terima kasih sudah membaca! Silakan komentar :)